Di dalam Surat At-Taubah ayat 55 Allah SWT berfirman: “Maka janganlah harta dan anak-anak mereka membuatmu kagum. Sesungguhnya maksud Allah dengan itu adalah untuk menyiksa mereka dalam kehidupan dunia dan kelak akan mati dalam keadaan kafir”.
Mengomentari ayat ini, Maulana Muhammad Ali menyatakan, “Kaum munafik mengalami siksaan dunia tentang harta dan anak-anak mereka karena dua hal. Pertama, karena mereka mengaku Muslim, mereka harus ikut mengambil bagian dalam segala urusan pembelaan. Kedua, kebanyakan anak-anak mereka menjadi Mukmin sejati, dan kaum munafik tahu bahwa setelah mereka meninggal dunia, harta mereka dan anak-anak mereka menjadi sumber kekuatan Islam, padahal agama inilah yang ingin mereka hancurkan dengan usaha keras mereka”.
Selain ilustrasi, ayat di atas merupakan peringatan, agar kita senantiasa dapat mengambil satu sikap di saat yang tepat. Karena cobaan Allah itu akan datang dalam berbagai macam bentuk, seperti kenikmatan, kesengsaraan, kematian atau pun dalam bentuk yang lain.
Terhadap fenomena apa pun, kita harus cepat mengambil sikap. Misalnya, Allah menganugerahi kenikmatan, maka kita harus mengambil sikap bagaimana cara memperlakukan kenikmatan itu dengan baik. Jangan dipergunakan untuk berfoya-foya atau dihambur-hamburkan. Setelah mencukupi kebutuhan, maka harus kita kembalikan kepada yang memberi yaitu Allah, meski melalui cara lain. Akan tetapi harus dengan cara yang baik yaitu dengan bersyukur, berupa amal saleh. Di sini pentingnya ilmu dalam beramal.
Atau contoh lain. Manakala ada panggilan Shalat, maka kita harus memenuhi panggilan itu. Apabila sedang dalam perjalanan, kita harus segera mencari Masjid. Meski hanya dalam hati, jangan menjawab, “nanti saja” atau “nanti dulu” atau “biarlah” atau “enggak apa-apa”, atau cara lain yang serupa, tapi kita harus mengambil sikap yang positif. Di sini kita harus cepat mengambil sikap.
Fenomena seperti itu, dalam bahasa agama dimaknai sebagai istidraj. Allah akan membiarkan hamba-hamba-Nya yang tidak cepat mengambil sikap positif atau lalai akan semakin lalai karena mereka tidak menyadari bahwa fenomena itu adalah untuk kebaikan. Mereka yang seperti itu sedang diperbudak hawa nafsu duniawi.
Allah akan melakukan pembiaran terhadap hamba-hamba-Nya yang lalai. Mulai dari kelalaian yang kecil-kecil, apabila terus menerus dilakukan akan menjadi besar dan akhirnya menjadi bumerang yang akan menjerumuskan pelakunya di ladang kering yang miskin nilai dan tak mendapatkan surga. Sebagaimana dikatakan bahwa peristiwa besar tidak terjadi secara otomatis, namun dimulai dari yang kecil-kecil.
Di sisi lain, Allah menganugerahkan kepada kita dua jalan. Seperti disebutkan dalam Surat Asy-Syams ayat 8, “Fa al-hamahaa fujuurahaa wa taqwaahaa”, maka Dia mengilhamkan kepadanya (jalan) kejahatan dan ketaqwaannya.
Jadi Istijrad dapat dimaknai sebagai proses. Dan kita harus selalu bermohon kepada Tuhan, “Ihdinash-shiraathal mustaqiim”, tunjukkan kami jalan yang lurus, “shiraathallladziina an-’amta ‘alaihim ghairil-maghduubi ‘alaihim waladh-dhaalliiin”, (yaitu) jalan orang-orang yang telah Engkau beri nikmat kepadanya, dan bukan (pula jalan) mereka yang sesat.
Ayat-ayat tersebut di atas adalah permohonan atau do’a kita kepada Tuhan, agar kita memperoleh hidayah, yaitu daya rohaniah ketuhanan atau daya pimpin Ilahi, sehingga kita dapat terhindar dari jalan yang membingungkan, dimana rasionalitas nyaris dikalahkan oleh perasaan.
Dengan hidayah itu, kita akan memiliki kekuatan untuk mempengaruhi daya batin yang merupakan motor penggerak aktivitas lahiriah kita. Dengan itu kita akan memiliki kecerdasan dalam mengatur arah dan irama hidup kita sendiri atau pun arah dan irama hidup masyarakat yang ada di sekitar kita.
Istidraj itu dapat terjadi pada diri kita sendiri atau pada orang lain karena pengaruh kita. Masalahnya adalah bagaimana caranya mengaplikasikan istidraj dalam kehidupan. Yang utama, kita harus membangun sikap pada diri sendiri dahulu, sebagaimana Sabda Nabi, “Mulailah dari dirimu”. Selanjutnya jangan melakukan hal-hal yang sifatnya destruktif dan jangan mengeksplorasi sikap yang negatif kepada orang lain. Lakukan perlakuan kita dengan metode dakwah, yang maknanya menyampaikan sesuatu yang sifatnya baik, positif dan konstruktif.
Ilmu pengetahuan mengatakan bahwa asas-asas keturunan atau genetika mewariskan serangkaian muatan emosi. Dari studi pengkajian, dikatakan bahwa penderitaan dan kebahagiaan adalah bumbu-bumbu kehidupan. Tapi kita tidak dapat menghindari penderitaan hanya untuk mendapatkan kebahagiaan. Keduanya harus seimbang. Di dalam kalkulus perasaan, rasio antara emosi positif atau negatif harus seimbang. Maka di sanalah akan ditemukan rasa bahagia.
Atas dasar hal itu, maka yang menjadi sasaran utama dari uraian di atas, adalah bagaimana cara kita mengambil sikap menghadapi berbagai macam fenomena.
Sebagaimana diketahui, bahwa hidup adalah proses. Adapun yang dimaksud proses adalah kegiatan yang menghasilkan sesuatu. Kegiatan ini bisa merupakan kegiatan baru. Akan tetapi bisa juga berupa kegiatan yang pernah terjadi berulang lagi (repetitif). Fenomena seperti ini akan terjadi di sepanjang usia kehidupan manusia. Sehingga kita harus dapat membina istidraj itu dengan baik.
Apabila kita sadar, bahwa kita telah melakukan kesalahan, yang artinya tidak menanggapi setiap fenomena dengan baik, artinya kita telah melakukan kealpaan atau kelalaian dalam cara bersikap, maka kita wajib beristighfar, yang maknanya mohon ampun kepada Allah Rabbul ‘Alamin.
“Ya Allah berilah kami cahaya dari Cahaya-Mu, agar kami dapat bersikap dan menemukan jalan yang benar”, Amin ya Robbal ‘Alamin. Wallaahu a’lam bish-shawaab.[]
Fathurrahman Irshad | GAI Jakarta
Comment here