Kyai Sabitun adalah sebuah anomali barangkali. Ia menjadi pertemuan dari dua hal yang orang zaman sekarang mungkin anggap sebagai hal yang sangat berseberangan. Seandainya Kyai Sabitun lahir di zaman ini, kira-kira dia akan mendapatkan dua “dosa besar” sekaligus, yang pasti membuatnya celaka.
Pertama dia adalah seorang penganut Ahmadiyah, kedua dia adalah seorang anggota Partai Komunis Indonesia (PKI). Dan di kedua organisasi tersebut perannya tak tanggung-tanggung. Di Ahmadiyah ia menjadi perintis Gerakan Ahmadiyah Indonesia (GAI) di Wonosobo, dan di PKI ia menjadi aktivis di Barisan Tani Indonesia (BTI) yang punya afiliasi ke PKI, dan puncaknya Kyai Sabitun menjadi perwakilan PKI di DPRD Provinsi di Semarang.
Jika saja ia lahir dan hidup di era zaman ini, tentu perlakuan diskriminatif akan berlipat ditimpanya –sebagaimana nasib penganut Ahmadiyah dan eks Tapol 65. Untung –juga sial—nya, ia tidak lahir di zaman ini, ia lahir di zaman kolonial Belanda masih menjajah.
Kyai Sabitun lahir di Dusun Tanjungsari, Desa Binangun, Watumalang, Wonosobo pada tahun 1901. Ia adalah putera ketujuh dari Kyai Abdul Wahab. Sebelumnya ia menempuh pendidikannya di Madrasah Mambaul Ulum Djamsaren Surakarta, setelah itu ia pindah ke Mu’allimin Muhammadiyah Yogyakarta. Baru pada 1924, setelah mengenal Mirza Wali Ahmad Baig (salah satu Muballigh Ahmadiyah), ia melanjutkan studi ke Lahore.
Kepergian Kyai Sabitun untuk mempelajari Ahmadiyah ke Lahore tidak dilakukannya secara sendirian. Ia pergi bersama enam pemuda lainnya, termasuk Muhammad Irfan (koreksi: Erfan Dahlan –red.), putra pendiri Muhammadiyah, Ahmad Dahlan. Mereka berangkat pada tahun 1924 atas dorongan salah satu tokoh Muhammadiyah, Kahar Muzakir. Rencana Sabitun muda akan belajar di sana selama 5 tahun, tapi karena gangguan penyakit kanker, Sabitun hanya mampu menjalani studinya selama 3 tahun. Hingga pada tahun 1927 ia pulang ke Indonesia. Sedangkan teman-teman sejawatnya melanjutkan studi di Lahore hingga 5 tahun
Menurut cerita Muhammad Jamil, murid Kyai Sabitun, Muhammad Irfan sendiri tidak pulang ke Indonesia, tetapi ia memilih melanjutkan petualangannya ke Bangkok untuk menyebarkan cara pandang Ahmadiyah di sana hingga ajal menjemputnya.
Baca artikel terkait : Erfan Ahmad Dahlan (1905 – 1967)
Sepulang dari Lahore, Kyai Sabitun menyebarkan Islam dalam perspektif Ahmadiyah Lahore di tanah kelahirannya, Wonosobo. Mula-mula ia mendirikan diniyah dan pondok pesantren dengan murid awal sebanyak 56 anak. Awalnya ia melakukan kegiatan belajar di rumahnya. Tetapi menginjak tahun ketiga, murid yang datang ke rumahnya membludak. Maka kegiatan belajar dialihkan ke masjid yang mempunyai daya tampung lebih besar.
Kyai Sabitun adalah salah satu kyai yang masyhur karena kecerdasannya. Ajaran Islam yang disampaikannya ke mana-mana terkenal sangat rasional sehingga menjadikan orang terkagum-kagum. Pada tahun 1932, Kyai Sabitun melakukan debat terbuka dengan tuan Van Djik, seorang zending Kristen, bertempat di sebuah gereja protestan. Tema yang diangkat pada debat tersebut adalah sekitar dosa waris dan kelahiran Isa, yang cukup banyak diperdebatkan karena banyak macam versinya.
Disaksikan oleh ribuang orang dari Islam dan Kristen, debat tersebut berjalan lancar hingga akhir. Pada zaman itu melakukan debat agama dan mendatangkan banyak massa seringkali dilarang oleh pemerintah kolonial karena dianggap berpotensi melakukan provokasi untuk makar. Sejak saat itu, namanya menjadi sangat terkenal di Wonosobo, dan orang Kristen segan untuk mendebatnya.
Keaktifan Kyai Sabitun di Barisan Tani Indonesia (BTI) dimulai ketika di tahun 1947 beliau membeli rumah di kampung Kauman Utara, Wonosobo. Setahun kemudian pindah ke kampung Tanggung, Wonosobo. Di kampung Tanggung itulah aktivitas Kyai Sabitun di BTI meningkat.
BTI adalah organisasi massa petani yang terhubung ke Partai Komunis Indonesia (PKI). BTI didirikan pada 25 November 1945. Di sana Kyai Sabitun tak sungkan belepotan lumpur untuk mencangkul bersama buruh tani penggarap sawahnya. Puncaknya, ia terpilih menjadi anggota DPRD Wonosobo tahun 1957. Karena kecerdasannya, Kyai Sabitun diajukan oleh PKI ke jenjang lebih tinggi dan terpilih sebagai anggota DPRD Provinsi di Semarang.
Ketika Kyai Sabitun menjadi anggota DPRD tingkat Provinsi ini, ada cerita menarik. Sebagai anggota DPRD Provinsi, tentu hal yang lumrah jika anggotanya mendapatkan jatah kendaraan inventaris. Namun, Kyai Sabitun menolak jatah motor inventaris itu. Meskipun inventaris sepeda motor merk hummel itu menjadi haknya. Ia ingin hidup sederhana, jauh dari kemewahan sebagaimana rakyat yang diwakilinya.
Menurut penuturan Djamil, muridnya, masuknya Sabitun ke PKI awal mulanya untuk dakwah, sebagaimana yang dipidatokan Kyai Sabitun di hadapan murid-muridnya. Masuknya Kyai Sabitun ke PKI ini juga ikut serta membuat banyak warga Ahmadiyah merapatkan dukungannya ke PKI. Apalagi basis pencaharian kebanyakan warga Ahmadiyah waktu itu adalah pertanian, sesuai dengan basis masa yang diperjuangkan oleh PKI.
Namun, karena asas dan tujuan Ahmadiyah dengan PKI bertentangan, maka Ahmadiyah melarang anggotanya masuk PKI. Sampai-sampai Kyai Sabitun sendiri mendapatkan surat peringatan dari Pedoman Besar Gerakan Ahmadiyah Indonesia (PB GAI). Dan karena surat peringatan ini tak diindahkan, Kyai Sabitun akhirnya dikeluarkan dari GAI melalui surat tertanggal 17 Oktober 1957.
Sikap GAI ini dapat dimengerti jika kita merujuk pada sikap organisasi yang tercantum dalam website resmi mereka. Terhadap politik, mereka punya sikap seperti ini:
- Gerakan Ahmadiyah tersebar luas di berbagai negara dan Kerajaan di dunia, yang masing-masing mempunyai cara hidup dan kepercayaan sendiri.
- Di negara manapun Gerakan Ahmadiyah menetap, tunduk dan taat kepada Undang-undang Negara yang bersangkutan dengan memegang teguh semboyan: Laa tha’ata limahluuqin fil ma’shiyatillaah, artinya tidak ada ketaatan terhadap sesama makhluk dalam hal maksiyat kepada Allah.
- Gerakan Ahmadiyah bukanlah gerakan politik dan tak mencampuri perjuangan politik apa saja di manapun juga, sekalipun Gerakan Ahmadiyah menyadari akan pentingnya perjuangan politik.
- Gerakan Ahmadiyah tidak dan tidak akan merampas hak politik anggotanya, asalkan gerakan politik itu tak bertentangan dengan asas Ketuhanan Yang Maha Esa; namun gerakan Ahmadiyah memperingatkan anggotanya agar tetap setia kepada bai’atnya: hendak menjunjung tinggi agama melebihi dunia.
- Tujuan Gerakan Ahmadiyah ialah hendak mendirikan Islam (damai) di dunia dan sekali-kali tak akan membuat fasad (kerusakan) di dunia
- Gerakan Ahmadiyah Indonesia (GAI) sekali-kali tak bertanggung jawab atas sikap Jemaat Ahmadiyah Indonesia yang lebih dikenal sebagai Ahmadiyah Qadian.
Melihat panasnya politik di tahun kepemimpinan Soekarno, wajarlah berdasarkan poin ketiga dan keempat dalam sikap organisasi di atas, GAI akhirnya menjatuhkan vonis dikeluarkannya Kyai Sabitun dari GAI sebagai sebuah organisasi. Dimana ketika itu Ahmadiyah tidak ingin terseret lebih jauh dalam suasana politik yang panas ketika itu.
“Memecat” Kyai Sabitun dari organisasi bukan tanpa pertimbangan yang serius, apalagi melihat Kyai Sabitun sebagai salah satu perwajahan Ahmadiyah di publik. Ini menguntungkan juga membahayakan bagi Ahmadiyah. Menguntungkan, karena hal ini menjadikan Ahmadiyah juga memiliki perwakilan di posisi pemerintahan, namun merugikan ketika PKI yang dianggap masyarakat islamis sebagai kekuatan yang tak memiliki kepercayaan terhadap tuhan mempunyai corong seorang ulama. Secara logis, melihat kapasitas Kyai Sabitun sebagai aktivis organisasi, beliau harus memilih: tetap berada di PKI atau kembali ke Ahmadiyah secara utuh.
Tidak ada literatur yang mengisahkan bagaimana akhir hidupnya. Yang sering terdengar adalah sebuah lagu yang sering dinyanyikan anak-anak Wonosobo pada sekitar tahun 1970-an. Lagu yang mewakili ingatan buruk yang terus diwariskan. Anak-anak mungkin tidak tahu maknanya, tetapi dari sana tertangkap maksud satu pihak yang menginginkan kejayaan Kyai Sabitun berakhir dengan olok-olokan:
Sabitun mobile karya, Sabitun mlebu penjoro
ngakune kyai islam, jebule kyai edan
Sabitun mobilnya pinjaman, Sabitun masuk penjara
ngakunya kyai islam, ternyata kyai gila
Sepak terjang Kyai Sabitun ini mengingatkan penulis kepada Dom Helder Camara, “si uskup merah” yang terkenal akan ucapannya, “kalau saya mengumpulkan makanan untuk orang kecil saya disebut orang suci; tetapi kalau mempertanyakan sebab kemiskinan rakyat kecil itu, dengan segera saya disebut komunis!”.
Juga kepada Vinoba Bhave, seorang pemimpin Hindu yang berjalan kaki di sepanjang anak benua India untuk meminta agar para tuan tanah memberikan tanahnya kepada kaum miskin tak bertanah.
Di tangan mereka, agama diramu bukan sebagai kebutuhan spiritual saja, tapi juga menjadi semangat pembebasan. Dari mereka penulis merefleksikan, apa sekarang agama masih saja dibatasi oleh ritual-ritual?
Masyhur ada pendapat bahwa semakin rajin orang itu menjalankan ritual, semakin saleh-lah dia. Dan siapa pun yang saleh, berhaklah ia memegang kunci surga. Sampai di sini, penulis berkesimpulan bahwa belum banyak tokoh agama yang mampu mentransformasikan ajaran agamanya menjadi alat pembebasan. Agama masih saja menjadi jalan pintas menuju sorga (yang belum tentu ada).
Kalau orang sudah shalat, sudah ke gereja, sudah merasa menjadi manusia yang baik. Tetangganya digusur? Ah, bukan soal!
Guna mengkaji fungsi transformatif agama, memanglah kita harus melihat agama bukan saja pada ritualnya, tapi pada nilai dan semangat yang dibawanya. Ada pendapat Gus Dur yang menarik terkait bagaimana proses transformasi fungsi ritual menjadi fungsi pembebasan. Secara lengkap Gus Dur menulis begini:
“Untuk melakukan transformasi intern, agama harus merumuskan kembali pandangan-pandangan mengenai martabat manusia, kesejajaran kedudukan semua manusia di muka undang-undang dan solidaritas hakiki antara sesama umat manusia. Melalui upaya ini, tiap agama dapat berintegrasi dengan keyakinan-keyakinan lain dalam bentuk pencapaian sejumlah nilai-nilai dasar universal yang mendudukkan hubungan antar-agama pada sebuah tataran baru, yaitu pelayanan agama kepada masyarakat tanpa pandang bulu dalam bentuknya yang paling konkret seperti penanggulangan kemiskinan, menegakkan kedaulatan hukum dan kebebasan menyatakn pendapat. Baru jika sudah pada tataran baru itu, barulah agama berfungsi melakukan pembebasan (tahrir, liberation).”
Artinya, Agama dapat memberikan sumbangan bagi proses kesejahteraan, manakala ia sendiri berwatak membebaskan. Sehingga, ketika kita masih saja dihadapkan pada masalah kebolehan pemimpin non islam, hukum mengucapkan natal, maka proses transformasi agama masih panjang jalannya.
Melihat kondisi seperti ini, lantas dari mana kita akan memulai? Haruskah sistem yang lama tegak ini kita runtuhkan dulu? Bagi saya tidak. Perubahan selalu dimulai dari dalam. Kalau anda ingin agama ini berubah, mulailah denganmengubah cara pandang penganutnya. Salah satunya? Anda!
Oleh : Ubaidillah Fatawi | Disarikan dari buku “Gerakan Ahmadiyah Indonesia”, “Rekonsiliasi Kultural Tragedi 1965”, “Catatan Pengalaman Syarikat Indonesia”, website ahmadiyah.org dan Islam Kosmopolitan.
Comment here