Kolom

Dosa Waris

Siapa pun, mulai dari pribadi, keluarga, masyarakat, bangsa, negara, bahkan dunia, harus sadar bahwa berbagai malapetaka yang dihadapi dalam kehidupan dunia ini, disengaja atau tidak, adalah akibat saja dari nilai apa yang menjadi pilihannya.

Oleh: Soehartono | Majelis Amanah Organisasi GAI, Jakarta.

Adakah dosa waris? Ada. Tetapi bukan seperti keyakinan yang keliru, sebagai akibat dosa yang telah dilakukan moyang kita dahulu, Adam dan Hawa, sehingga harus ditebus dengan cara yang keliru juga.

Rasulullah Muhammad saw menyatakan bahwa “setiap anak dilahirkan dalam keadaan suci; orang-tuanyalah yang menjadikan mereka Yahudi, Nasrani ataupun Majusi”. Ini menggambarkan bahwa ada dosa waris, tetapi warisan dosa dari orang-tuanya, generasi pendahulunya.

Meski dalam kenyataan hidup, manusia dipengaruhi oleh lingkungan bermain, sekolah/kampus, kerja, pergaulan, dll., namun orang-tualah yang besar peranannya terhadap anak-anaknya. Jika orang-tua dan hampir seluruh lingkungan, sadar maupun tidak telah terjerumus dalam dosa, bagaimana generasi demi generasi yang terlahir kemudian? Warisan dosalah yang akan diterima anak-anaknya, keturunannya.  Karena, umumnya sikap manusia dalam menghadapi hidupnya, mengikuti begitu saja warisan dari pendahulunya, sebagaimana jelas digambarkan Allah dalam firman-Nya:

“Ikutilah apa yang Allah telah turunkan, mereka akan berkata: Tidak, kami akan mengkuti apa yang kami dapati pada moyang kami. Apa (akan engkau ikuti) walau moyang mereka tak mempunyai pengertian dan mereka tak mengikuti jalan yang benar?” (QS 2:170)

Dan perhatikan bagaimana kaum Nabi Ibrahim ketika ditanya, “kamu hidup mengabdi apa?” Mereka menjawab, “mengabdi berhala (materi)”, karena mereka “menemukan ayah-ayah kami berbuat demikian” (QS 26:69-74). Itulah hakekat dosa waris, mewarisi dosa dari para pendahulunya, orang-tuanya.

Lantas, penebusan seperti apakah yang dapat melepaskan diri dari dosa waris itu?

***

Kehidupan yang sekarang kita jalani adalah kelanjutan dari kehidupan ribuan generasi yang sudah berlalu. Kehidupan dimulai dari kumpulan beberapa ribu orang yang hidup terpencar di bumi Allah dengan alat-peralatan dan tata-nilai yang sederhana. Saat ini telah menjadi milyaran manusia dengan alat-peralatan super-modern-menakjubkan, tinggal berdesakan di bumi ini –masih di bumi Allah yang sama—dengan warisan aneka ragam norma/ tata-nilai hidup. Warisan berbagai norma/tata-nilai inilah yang menjadi sumber berbagai model hidup, di seluruh bidang kehidupan –berbagai ideologi yang mendasari kehidupan polek-sosbud-hankam-kum.

Betapa pun banyaknya norma/tata-nilai hidup yang membingungkan kita, sesungguhnya hanya ada dua prinsip dasar nilai, yakni Nilai Haq dan Nilai Batil.

Nilai Haq adalah berupa norma, aturan, tatanan hidup, baik berupa perintah maupun larangan, obyektif dari dan menurut Allah, sang Al-Haq. Diturunkan kepada manusia melalui wahyu kepada Nabi/Rasul-Nya sejak Adam as hingga Muhammad saw. Berupa petunjuk, tuntunan, ilmu, baik yang tidak tertulis maupun yang tertulis menjadi Kitab (mushaf) sebagai pedoman hidup manusia agar melaksanakan perintah dan menjauhi larangan-Nya, sesuai sunnah Rasul-Nya.

Ia dilambangkan sebagai nur (cahaya) karena segala sesuatu –benar-salah, baik-buruk, halal-haram, pahala-dosa —  menjadi terang dan jelas oleh karenanya (QS 2:256). Prinsip nilai ini tak berubah, hanya satu, tetap, sejak awal peradaban manusia sampai akhirnya kelak (QS 10:64 ; 30:30 ; 50:29).

Hanya melalui tata-nilai haq saja kehidupan penuh kebahagiaan surgawi — – ketulusan, kedamaian, keadilan, kejujuran, dan berbagai bentuk kebaikan (hasanah)– akan kita dapatkan, kita temui.

Nilai Batil adalah hasil pemutarbalikan, pengubahan, tipuan, pelintiran, olahan –dapat berwujud tulisan yang bahkan mereka sebut “kitab-suci”– dari nilai haq yang berasal dari Allah oleh setan penjelmaan Iblis, berujud manusia maupun jin (QS 2:59, 75, 79; 4:46; 5:13,41; 18:50; 41:29; 114:6 ).

Ia Dilambangkan sebagai dlulumat (gelap) karena membuat segala sesuatu –benar-salah, baik-buruk, halal-haram, pahala-dosa– menjadi gelap, samar-samar, tidak jelas. Jika makin dalam terjerumus dalam nilai batil, semua bisa menjadi makin gelap (QS 24 :40), tidak dapat lagi mengenal jalan yang benar, jalan Allah, makin jauh terjerumus, bahkan menjadikan hawa-nafsu sebagai tuhannya (QS 25:43; 45:23).

Berbagai bentuk ideologi atau isme saat ini, adalah buah dari pilihan batil, hasil usaha manusia yang telah menuhankan kemampuan akalnya untuk mencari jalan keluar dari derita hidup yang dialami. Ujungnya, bukan solusi terbaik yang didapat, justru petaka baru yang bahkan dapat lebih mengerikan.

Dengan tata-nilai batil, kehidupan penuh nestapa (neraka) yang akan kita dapatkan; kita temui berbagai bentuk permusuhan, dengki, ketidakadilan, tindakan penuh dosa, kebejatan moral, keculasan dan berbagai model kejahatan, kebusukan,  perebutan kepentingan memenuhi ambisi, nafsu, mengakibatkan berbagai penderitaan baik lahir maupun batin.

Kesadaran akan adanya kedua nilai ini hanya akan didapat melalui wahyu, firman, petunjuk dari Allah. Tanpa wahyu, tidak akan pernah kita mendapatkan jawab yang tepat dari setiap masalah yang muncul dan makin ruwet dalam kehidupan kini. Solusi yang tepat pun tak akan kunjung didapat.

Berdasar pada dua prinsip nilai inilah sesungguhnya bermacam kehidupan akan kita alami, kita temui. Prinsip inilah yang seharusnya menjadi kesadaran hidup manusia sejak awal, menyadari bahwa kehidupan surga atau neraka yang akan dialami dalam hidupnya adalah tergantung pilihannya. Siapa pun, mulai dari pribadi, keluarga, masyarakat, bangsa, negara, bahkan dunia, harus sadar bahwa berbagai malapetaka yang dihadapi dalam kehidupan dunia ini, disengaja atau tidak, adalah akibat saja dari nilai apa yang menjadi pilihannya

***

Mengikuti kehidupan yang telah ada yang tidak jelas nilai apa yang dianut, berarti telah mengikuti jalan batil (dlulumat), membiarkan diri hidup bergelimang dalam dosa, warisan dari generasi demi generasi terdahulu (cermati QS 2:170; 26:74; 31:21). Meski dalam kehidupan ini tidak pernah ada batil secara keseluruhan (kaffah), tetapi adukan, campuran, kombinasi haq-batil nilainya adalah batil juga.

Lantas, bagaimana cara keluar dari kehidupan batil? Jawabannya hanya satu: Tobat. Yakni berusaha dengan tekad yang kuat untuk kembali hidup mengikuti firman Allah, wahyu Allah, kalimah Allah, petunjuk Allah, jalan Allah, aturan Allah, sesuai teladan dari Rasul-Nya. Itulah usaha untuk memulai hidup dengan nilai haq. Hanya itu saja.

Ingat, hidup akan selalu menjadi misteri jika kita tidak mau mencoba melihat melalui wahyu, firman Allah. Hidup adalah berbuat, bertindak, bekerja, melakukan kegiatan, aktifitas. Sadar atau tidak, sesungguhnya apa pun yang kita lakukan pasti berdasar satu aturan, baik tertulis maupun tidak, dari manapun sumbernya.

Mengapa kita harus berbuat mengikuti aturan batil sajian setan yang memang sering menjanjikan kesenangan sementara tetapi akan membawa kita menuju kehancuran, malapetaka, nista-derita neraka? (QS 3:195-196). Padahal, sesungguhnya setan memang menyuruh manusia untuk berbuat kotor, jahat, keji, tak mau mengenal Jatidiri Allah (QS 2:169)

Mengapa tidak memilih mengikuti aturan dari Allah, Yang telah mencipta dan mengatur semesta, termasuk mengatur dan menempatkan kita di salah satu noktah kecil di semesta-Nya (QS 7:10), dan menjadi manusia yang taqwa kepada-Nya?

Hanya melalui pilihan nilai haq sehingga mencapai ketaqwaan inilah, sesuai janji Allah, manusia akan mencapai kehidupan bahagia yang sesungguhnya, lahir-batin bahkan sampai kehidupan akhirat, sebagai kelanjutan hidup sesudah kematian dari kehidupan dunia ini (QS 3:197).

Memang, tak ada paksaan bagi manusia untuk memilih suatu agama sebagai jalan hidupnya (QS 2:256). Terserah saudara, saudara akan memilh surga atau neraka dalam kehidupan ini (QS 2:286). Tetapi ingat, setiap pilihan ada konsekwensinya. Sanggupkah menerima akibatnya, dengan berbagai derita-malapetaka neraka dalam hidup kini maupun kelak, hidup setelah kematian kita, karena salah dalam menentukan pilihan?

Sekali lagi ingat! Surga atau neraka saudara adalah hasil dari pilihan saudara sendiri, meski tidak dapat lepas dari kesalah-pilihan mereka yang merasa “menguasai dunia”.[]

Yuk Bagikan Artikel Ini!

Comment here

Translate »