Ambiguitas sikap pemerintah mungkin bisa dipahami sebagai cermin dari kompleksitas yang harus dihadapi. Kompleksitas tersebut semakin nyata jika kita menelaah Ahmadiyah dari segi perbedaan-perbedaan antara dua yang berkembang di dalamnya, yakni Qadiyan dan Lahore.
Oleh : Rudy Harisyah Alam | Litbang Kementrian Agama RI | Disampaikan dalam Dialog Terkait Kasus Ahmadiyah di Indonesia, di Balai Penelitian dan Pengembangan Agama, Jakarta pada 22 Desember 2005.
Pada tanggal 9 dan 15 Juli 2005, Kampus Mubarok, Kantor Pusat Jemaat Ahmadiyah Indonesia (JAI) yang terletak di desa Pondok Udik, kecamatan Kemang Parung, kabupaten Bogor diserang sekelompok massa. Penyerangan ini dilakukan oleh kelompok umat Islam yang menamakan dirinya Gerakan Umat Islam Indonesia (GUII) di bawah pimpinan seorang tokoh keturunan Arab bernama Habib Abdur rahman bin Ismail Assegaf.
Kasus kekerasan dan intimidasi ini bukan yang pertama kali, dan bukan pula yang terakhir. Sebelum kasus Parung, telah terjadi berulang kali kejadian, seperti di Cianjur, Jawa Barat (Maret 1984), Garut, Jawa Barat (1988), Kerinci, Jambi (1989), dan Lombok Timur, Nusa Tenggara Barat (2002). Setelah kasus Parung, maka penyerang pun masih melanjutkan kekerasannya seperti terjadi di Kabupaten Kuningan (Juli 2005), dan di Kabupaten Cianjur (September 2005)
Setidaknya ada dua masalah yang penting untuk dibahas berkaitan dengan hal ini. Pertama, bagaimana seharusnya kaum Muslim menyikapi munculnya pandangan-pandangan keislaman yang berbeda dari pandangan keislaman “mainstream” yang selama ini diyakini, khususnya pandangan keagamaan yang dimunculkan oleh Ahmadiyah. Kedua, bagaimana negara dan pemerintah merumuskan kebijakannya dalam menyikapi berbagai perbedaan pandangan tersebut.
Tulisan ini sendiri tidak berpretensi untuk memberi jawaban tuntas dan memuaskan semua pihak. Namun, yang perlu digarisbawahi adalah sebagai kebijakan untuk mengambil sikap yang tepat, maka sudah semestinya terlebih dahulu kita mengenali secara lebih mendalam apa itu Ahmadiyah dan poin-poin apa yang telah memicu perdebatan selama ini, sehingga dalam beberapa kasus telah melahirkan tindakan kekerasan.
Ahmadiyah di Indonesia
Meskipun di lingkup yang lebih kecil ajaran-ajaran Ahmadiyah bisa jadi sudah dikenal, namun kebanyakan kaum Muslim Indonesia jelas masih memiliki pengetahuan yang terbatas tentang Ahmadiyah. Indikasi terbatasnya pengetahuan tentang Ahmadiyah, yakni ketidaktahuan umumnya kaum Muslim Indonesia bahwa Ahmadiyah sendiri berkembang dalam dua kelompok ajaran dan gerakan, yakni Ahmadiyah Qadiyan dan Ahmadiyah Lahore. Secara organisatoris kelompok Qadiyan direpresentasikan oleh Jemaat Ahmadiyah Indonesia (JAI) yang berpusat di Kemang, Parung. Sedangkan kelompok Lahore direpresentasikan oleh Gerakan Ahmadiyah Indonesia (GAI) yang berpusat di Baciro, Yogyakarta.
Di Indonesia, ajaran Islam Ahmadiyah, khususnya Ahmadiyah Lahore, sebenarnya telah dikenal sejak 1918 melalui Islamic Review edisi Melayu yang terbit di Singapura. Namun secara langsung ajaran itu baru diperkenalkan pada sekitar 1920 melalui seorang tokoh Ahmadiyah Lahore, yakni Maulana Khawaja Kamaluddin yang datang ke Surabaya untuk tujuan berobat, dan sekaligus meninjau keadaan Surabaya. Lalu pada 28 November 1920, ia diberi kesempatan oleh Perhimpunan Taswirul Afkar untuk memberi sambutan dalam acara peringatan Maulid Nabi di Masjid Ampel Surabaya. Dan pada 1921, ia juga sempat diundang untuk memberi ceramah di Gambir Park (kini Jakarta).
Tokoh Ahmadiyah Lahore lainnya yang menyebarkan ajaran Islam Ahmadiyah ke Indonesia adalah Mirza Wali Ahmad Baig dan Maulana Ahmad sekitar tahun 1924. Karena alasan kesehatan, Maulana Ahmad tidak lama berada di Indonesia, dan segera kembali ke India. Sementara Mirza Ahmad Baig meneruskan dakwahnya di berbagai tempat di Jawa, antara lain Yogyakarta, Wonosobo, Purbolinggo, dan Jakarta, sampai sekitar tahun 1936.
Pikiran-pikiran Ahmadiyah Lahore mendapat sambutan di kalangan Muhammadiyah, antara lain Djojosugito dan Muhammad Husni. Selain kedua orang itu, juga terdapat nama-nama seperti Soedewo, Muhammad Kusban, Sunarto, Usman, Muhammad Irsyad, Mufti Syarif, dan lainnya. Mereka lalu mendirikan sebuah perkumpulan bernama Muslim Broderschap, yang bertujuan menyebar luaskan paham Ahmadiyah, antara lain dengan menerbitkan majalah berbahasa Belanda bernama Correspdentie Blad.
Pada 5 Juli 1928, Muhammadiyah mengeluarkan maklumat yang antara lain melarang pengajaran paham Ahmadiyah di lingkungan Muhammadiyah, dan orang-orang Muhammadiyah yang mengikuti paham tersebut harus menentukan pilihan: keluar dari Muhammadiyah atau membuang paham tersebut. Akibatnya Djojosugito dan Muhammad Husni pun dipecat dari keanggotaan Muhammadiyah.
Selanjutnya tokoh-tokoh tersebut membentuk wadah sendiri yang dinamakan Gerakan Ahmadiyah Indonesia (centrum Lahore) pada 10 Desember 1928. Di antara anggota pertama GAI adalah Muhammad Irsyad, Muhammad Sabit, Djojosugito, Muhammad Husni, Muhammad Kafi, Idris L.Latjuba, Hardjosubroto, K.H. Sya’roni, K.H. Abdurrahman, dan R. Supratolo. Organisasi itu selanjutnya mengajukan permohonan untuk memperoleh badan hukum (Rechtspersoon) pada 28 September 1929, dan mendapat pengakuan sebagai badan hukum dengan putusan pemerintah atau Gouvernements Besluit tanggal 4 April 1930 No. IX (extra Bijvoegsel Jav. Courant 22 April 1930 No. 32).
Dalam perkembangan kemudian Gerakan Ahmadiyah Indonesia (GAI) juga terdaftar pada Departemen Agama tanggal 27 Desember 1963 No. 18/II, dan juga terdaftar dalam Berita Negara RI yang diumumkan pada 28 November 1986 No. 95 lampiran No.35
Ahmadiyah: Pertumbuhan dan Perkembangannya
Tokoh utama sekaligus pendiri Ahmadiyah adalah Mirza Ghulam Ahmad. Lahir di Qadiyan, India, pada tahun 1835. Ghulam Ahmad adalah anak dari Ghulam Murtada, yang merupakan keturunan dari Haji Barlas, seorang raja di kawasan Qesh. Ketika Amir Tughlak Temur, kemenakan Haji Barlas, menyerang Qesh, Haji Barlas sekeluarga terpaksa melarikan diri ke wilayah Samarkand.
Pada sekitar 1530 M, yakni pada masa pemerintahan Raja Mughal Babur, leluhur Ghulam Ahmad bermigrasi dari wilayah Samarkand ke wilayah Gurdaspur, Punjab, India, yakni di suatu tempat yang berjarak sekitar 50 kos (1 kos kurang lebih sekitar 2 mil) sebelah timur laut Lahore. Di sana mereka menetap dan mendirikan suatu perkampungan bernama Islampur Qadhi Majhi. Lambat laun masyarakat menghilangkan kata Islampur, dan nama Qadhi Majhi pun berubah menjadi Qadiyan. Desa Qadiyan itu pada mulanya dinamakan Qadhi Majhi mungkin karena di wilayah tersebut terdapat banyak sekali sapi, yang dalam bahasa Hindi disebut majh, sehingga wilayah itu yang memiliki luas sekitar 60 kos, dikenal pula dengan nama Majhah. Selain itu, karena leluhur Ghulam Ahmad diberi kewenangan untuk mengelola keseluruhan wilayah tersebut, maka mereka kemudian dikenal dengan gelar Qadhi.
Ketika berusia sekitar 6 tahun, Ghulam Ahmad memperoleh pengajaran tentang al-Quran dan beberapa karya dalam bahasa Persia oleh seorang guru bernama Fazl-i-llahi. Lalu ketika berumur 10 tahun, didatangkan lagi seorang guru bernama Fazl-i-Ahmad untuk mengajarinya kitab nahwu-sharaf. Kemudian ketika berusia 17 tahun, seorang guru lain, bernama Gul Ali Shah dari Batala, dipanggil untuk mengajari Ghulam Ahmad di bidang nahwu, mantiq, dan falsafah. Ghulam Ahmad juga mengaku bahwa ia membaca buku-buku tentang pengobatan dari ayahnya seorang tabib yang pandai di bidang pengobatan tradisional.
Pada tahun 1864 hingga 1868, Ghulam Ahmad bekerja di kantor pemerintahan di Sialkot. Pada masa-masa ini, di samping mengerjakan pekerjaan sehari-harinya, ia juga banyak menghabiskan waktu untuk membaca al-Quran. Selama di Sialkot bahkan ia juga terlibat dalam banyak kontroversi dengan kaum misionaris Kristen. Ia juga menjadi akrab dengan pandangan Sayyid Ahmad Khan tentang Genesis, meskipun kemudian ia sendiri melontarkan kritik keras terhadap Ahmad Khan, yang bukan saja disebabkan ketidaksetujuannya terhadap pendekatan Ahmad Khan yang sangat naturalistik dalam memahami Islam, tetapi juga karena sikap apologetik Ahmad Khan, sehingga “as if there were anything in Islam that could not hold its own in the face of modern knowledge and science.”
Pada tahun 1868, Ghulam Ahmad di panggil pulang ke Qadiyan oleh ayahnya untuk mengurus lahan pertanian milik mereka dan menangani kasus sengketa tanah milik keluarga mereka. Namun, karena merasa tidak cocok dengan pekerjaan itu, ia banyak menghabiskan waktunya untuk mempelajari al-Quran. Ia lebih suka menyendiri dan kurang berminat dengan urusan-urusan duniawi. Karena itu, ia pernah menulis surat kepada ayahnya yang menyebutkan bahwa ia ingin menghabiskan waktu hidupnya dalam kesendirian.
Kematian ayahnya, Ghulam Murtadha tahun 1876 telah mendorong Ghulam Ahmad untuk lebih banyak mencurahkan perhatiannya pada Islam. Pada masa itu pula, sebuah gerakan baru mulai bangkit di kalangan Hindu, yang dikenal dengan nama gerakan Arya Samaj, yang didirikan oleh Swami Dayananda Sarasvati (1824-1883) pada tahun 1875 di Bombay, India. Pada tahun 1878 Ghulam Ahmad menulis berbagai artikel di media masa tentang isu-isu keagamaan, yang sebagiannya berisi kritik terhadap keyakinan gerakan Arya Samaj.
Pada tahun 1880, ia mulai menulis buku Barahin Ahmadiyah sebanyak 4 jilid, dan memerlukan waktu selama 4 tahun. Dalam karyanya ini, ia mengemukakan pandangan-pandangan tentang ajaran Islam, dan melontarkan keberatannya terhadap ajaran-ajaran Arya Samaj, Brahma Samaj, maupun Kristen, yang merupakan gerakan besar pada masa itu di India. Sebelumnya, pada tahun 1847, Swami Dayanand, pendiri gerakan Arya Samaj telah menerbitkan sebuah buku yang berjudul Satyarth Prakash (Cahaya Kebenaran) yang memaparkan prinsip-prinsip keyakinan Weda yang “benar” dan berusaha menolak ajaran-ajaran baik dari Islam, Kristen, maupun Sikh. Buku Barahin Ahmadiyah dapat dikatakan sebagai respon pertama dari kalangan Islam terhadap polemik yang dilontarkan Swami Dayanand tersebut.
Ketika sedang menyusun buku Barahin Ahmadiyah itu pada tahun 1880, Mirza Ghulam Ahmad menginformasikan bahwa dirinya telah menerima ilham dari Tuhan yang menugasi ia sebagai mujadid abad keempat belas hijriah dan ditunjuk untuk membela perkara-perkara Islam. Kendati demikian, pada saat itu ia belum membentuk jamaah. Baru tahun 1889 ia membentuk gerakan, setelah sebelumnya pada 1 Desember 1888 ia mengumumkan bahwa Tuhan telah memerintahkan dirinya untuk menerima baiat, dan membentuk jamaah. Jamaah itu diberi nama ‘Ahmadiyah’ yang mengacu salah satu nama panggilan Nabi Muhammad.
Di dalam sebuah manifesto yang ditulis 4 November 1900, Mirza Ghulam Ahmad menjelaskan karakteristik dari dua nama yang dinisbahkan kepada Nabi Muhammad, yaitu Muhammad dan Ahmad. Nama Muhammad mencerminkan sifat keagungan dan kebesaran beliau (jalal), sedangkan nama Ahmad mencerminkan sifat keindahan (jamal) pada diri beliau. Menurut Maulana Muhammad Ali, dari nama Ahmad Nabi Muhammad itulah nama Ahmadiyah dinisbatkan, dan bukan Ahmad dari nama Mirza Ghulam Ahmad. (Lihat Maulana Muhammad Ali, The Ahmadiyyah Movement, Lahore: Ahmadiyyah Anjuman Isha’at Islam, 1973), h.20
Mirza Ghulam Ahmad, pertama kali mengadakan baiat di kota Ludhiana pada 1 Maret 1889., di rumah Mian Ahmad Jaan. Orang yang pertama kali berbaiat kepada Mirza Ghulam Ahmad adalah Maulana Nuruddin Sahib, dan sekaligus menyatakan bahwa Mirza adalah pendiri gerakan ini. Dipilihnya kota Ludhiana dan bukan kota Qadiyan, karena Ludhiana adalah pusat kegiatan misionaris Kristen dan di sanalah jurnal Kristen Noor-i-Afshan dipublikasikan sejak 6 Maret 1873. Selain itu, Ludhiana adalah tempat para maulawi terkemuka yang telah ikut berperan aktif dalam peristiwa pemberontakan 1857. Kehadiran Mirza di sana tampaknya merupakan respon terhadap dua jenis aktivitas semacam itu di kota tersebut.
Selanjutnya sekitar 1891, Mirza Ghulam Ahmad memproklamasikan bahwa dirinya adalah al-masih al-mawu’d sekaligus al-mahdi bagi umat Islam. (baca: Tuhan memberi Mirza Ghulam Ahmad dengan gelar al-masih al-mawu’ud dan al-mahdi) untuk menyingkirkan dua hambatan dalam upaya penegakan dan penyebaran Islam yang sejati. Hambatan pertama, adanya kepercayaan yang populer baik di kalangan Kristen maupun Muslim, bahwa Isa ibn Maryam belum wafat, tetapi diselamatkan pada saat penyaliban dan diangkat ke langit, serta masih hidup dan akan datang kembali di akhir zaman. Hambatan kedua, adanya kepercayaan bahwa al-Mahdi akan diturunkan di akhir zaman untuk menegakkan kebenaran ajaran Islam dengan “kekerasan”, dan ini disimbolkan dalam ungkapan sebuah hadis bahwa ia akan datang “menghancurkan salib dan membunuh babi”
Bertentangan dengan kepercayaan yang populer itu, maka pemahaman ke Islaman yang ditawarkan Mirza Ghulam Ahmad berbeda. Sesungguhnya Isa ibn Maryam tidak wafat di tiang salib, dan tidak diselamatkan dengan cara diangkat hidup-hidup ke langit. Beliau diselamatkan dari kematian di tiang salib (diserupakan mati dan ditolong para sahabatnya – redaksi), dan menjalani hidup (untuk meneruskan tugas kenabiannya – redaksi) dan wafat sekitar usia 120 tahun di Kasmir, India. Oleh karena itu, ramalan-ramalan yang berbicara tentang kedatangan nabi Isa ibn Maryam dalam sejumlah hadis, hendaknya dipahami secara metaforis. Pertama, yang akan datang sebagai al-Masih yang dijanjikan bukanlah Isa ibn Maryam (yang sudah wafat), tetapi seseorang yang memiliki kemiripan kualitas spiritual dengannya, dan orang itu akan datang sebagai seorang dari kalangan umat Nabi Muhammad. Kedua, sebagai al-Mahdi, maka orang itu akan menegakkan kebenaran ajaran Islam bukan dengan cara kekerasan, tetapi dengan cara-cara damai, yakni dengan mengemukakan argumentasi-argumentasi tak terbantahkan dan dapat diterima secara rasional.
Sejak 1901, Mirza Ghulam juga memulai penyebaran Islam ke wilayah Eropa dan Dunia Barat lainnya, dengan cara menerbitkan majalah bulanan berbahasa Inggris, bernama Review of Religions. Di antara editor pertama majalah ini adalah Maulana Muhammad Ali dan Khawaja Kamal-ud-Din. Selain itu, sejak 1904, Mirza Ghulam Ahmad juga mencoba menyebarkan ajaran Islam di kalangan Hindu dengan mengemukakan klaim selain sebagai al-Mahdi di kalangan Muslim dan al-Masih di kalangan Kristen, maka ia sesungguhnya manifestasi dari Krisna di kalangan Hindu. Dalam rangka membangun hubungan yang damai dan bersahabat antara kalangan Muslim dan Hindu, maka menjelang akhir hayatnya Mirza Ghulam Ahmad sempat menulis sebuah buku yang berisikan pesan damai bagi kedua komunitas tersebut yang berjudul Paigham Sulh (Pesan Damai).
Pada bulan Desember 1905, Mirza Ghulam Ahmad menyatakan bahwa dirinya telah diberitahukan bahwa “masa tugasnya” sudah akan hampir berakhir. Untuk itulah, ia menulis sebuah pamflet kecil yang berjudul Wasiat (Washiyah Will) yang berisi antara lain pembentukkan Anjuman (Masyarakat), yang kemudian dinamakan Sadr Anjuman Ahmadiyah. Anjuman ini diberikan kekuasaan penuh untuk mengurusi perkara-perkara yang berkaitan dengan gerakan Ahmadiyah dan akan menjadi pengganti Mirza Ghulam Ahmad sepeninggalnya. Akhirnya Mirza Ghulam Ahmad menghembuskan nafas terakhir pada tanggal 26 Mei 1908, setelah mengalami serangan penyakit diare. Sepeninggal Mirza Ghulam Ahmad, maka Maulana Nuruddin menjadi penerus memimpin Ahmadiyah, dan akhirnya wafat pada tanggal 13 Maret 1914.
Isu-Isu di Seputar Perpecahan
Satu hari setelah Maulana Nuruddin wafat, yaitu 14 Maret 1914, Ahmadiyah terpecah menjadi dua aliran, kendati bibit-bibit perpecahan sudah tempak ketika Ahmadiyah masih berada di bawah kepemimpinan Maulana Nuruddin. Aliran pertama adalah Ahmadiyah Qadiyan di bawah pimpinan Mirza Basyiruddin Mahmud Ahmad, anak dari Mirza Ghulam Ahmad, yang kemudian mengangkat dirinya menjadi Khalifah al-Masih II, menggantikan Maulana Nuruddin. Aliran kedua, Ahmadiyah Lahore, di bawah pimpinan Maulana Muhammad Ali. Masing-masing aliran itu memiliki pandangan yang berbeda mengenai sebab-sebab timbulnya perpecahan.
Maulana Muhammad Ali, tokoh utama yang sekaligus pendiri kelompok Ahmadiyah Lahore menulis sebuah buku berjudul The Split in the Ahmadiyya Movement (1918) yang menjelaskan penyebab mengenai perpecahan tersebut. Menurut kelompok Lahore disebabkan kelompok Qadiyan telah memunculkan doktrin dan kepercayaan baru yang berbeda dari apa yang selama ini diajarkan oleh Mirza Ghulam Ahmad sendiri.
Pertama, soal keyakinan bahwa Mirza Ghulam Ahmad adalah nabi hakiki. Hal ini berkaitan dengan pemaknaan terhadap makna khatam al-nabiyyin bukan sebagai nabi penutup, tetapi sebagai “yang termulia” atau “yang tersempurna” dari para nabi (QS al Ahzab, 33:40). Finalitas kenabian dipahami sebagai berakhirnya pewahyuan yang membawa syariat baru, dan bukan untuk jenis wahyu tanpa syariat. Wahyu jenis kedua itulah yang diyakini kalangan Ahmadiyah Qadiyan yang diterima Mirza Ghulam Ahmad, dan karena itu maka Mirza Ghulam Ahmad diyakini sebagai nabi jenis ini, yakni nabi tanpa membawa syariat baru.
Kedua, soal penafsiran terhadap nama “Ahmad” yang muncul di dalam al-Quran surah al-Shaff (61:6), yang berisi ramalan Isa ibn Maryam tentang akan datangnya seorang utusan sesudahnya yang bernama “Ahmad”. Menurut Maulana Muhammad Ali, kelompok Qadiyan berpendapat bahwa Ahmad bukanlah salah satu dari nama Nabi Muhammad. Karena itu, ramalan Isa ibn Maryam itu bukan mengacu pada Nabi Muhammad, tetapi kepada Mirza Ghulam Ahmad.
Ketiga, mengenai status seorang Muslim yang tidak meyakini paham yang dibawa Mirza Ghulam Ahmad, termasuk meyakini statusnya sebagai seorang nabi dalam pengertian tanpa membawa syariat. Kelompok Qadiyan melalui pernyataan Mirza Basyiruddin Mahmud Ahmad, menganggap orang yang tidak mempercayai status itu, baik orang yang pernah mendengar atau belum pernah mendengar tentang ajaran tersebut adalah “kafir” dan “berada di luar Islam”
Dalam rangka menanggapi buku tersebut, maka Mirza Basyiruddin Mahmud Ahmad (1889-1965), sebagai wakil kelompok Qadiyan dan juga sebagai Khalifah al-Masih II, menulis sebuah buku dalam bahasa Urdu yang berjudul Ainah-i Sadaqat pada Desember 1921. Buku tersebut kemudian diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris dengan judul The True about the Split pada tahun 1924. Di dalam buku tersebut Mirza Basyiruddin Mahmud Ahmad sesungguhnya tidak membantah ketiga hal tersebut. Yang dibantah adalah segi “kebaruan” dari keyakinan tersebut. Menurutnya, kecuali dalam perkara kedua, maka perkara pertama dan ketiga telah dianut bahkan ketika Mirza Ghulam Ahmad masih hidup. Sedangkan keyakinan yang menyangkut perkara kedua, memang berkembang tak lama setelah Mirza Ghulam Ahmad. Hal ini sebagai hasil dari ajaran yang diterimanya dari Maulana Nuruddin, Khalifah al-Masih I dalam struktur organisasi kelompok Ahmadiyah Qadiyan.
Selain masalah-masalah disebut di atas, maka perpecahan tersebut semakin menciptakan jurang yang semakin melebar antara Ahmadiyah Qadiyan dan kelompok Muslim lainnya, adalah pernyataan Mirza Basyiruddin Mahmud Ahmad bahwa:
“Karena al-Masih al-Mau’ud (Mirza Ghulam Ahmad -RHA) adalah utusan Allah, dan pengingkaran terhadap utusan Allah adalah kedurhakaan yang berbahaya dan dapat mencabut iman. Menurut al-Quran dan hadis Nabi Muhammad, maka perkataan al-Masih al-Mau’ud adalah kewajiban bagi setiap orang Ahmadi untuk melakukan shalat dengan bermakmum pada Imam orang Ahmadi pula. Tetapi, di tempat-tempat yang tidak terdapat Imam seorang Ahmadi, maka dia hendaknya melaksanakan shalat sendiri sambil berdoa kepada Allah agar Dia memberi Jamaah …. karena seorang mukmin sejati tidak akan pernah sendirian. Demikian pula terlarang bagi kaum Ahmadi untuk menikahkan anak perempuannya dengan orang non-Ahmadi, karena istri pada umumnya dipengaruhi suami, dan ini akan membuat seorang menjadi mungkar. Demikian pula, kaum Ahmadi hendaknya tidak menghadiri penguburan seorang non-Ahmadi, karena hal itu akan berarti berupaya meminta syafaat kepada Allah bagi orang yang telah terbukti menjadi musuh dengan mengingkari dan menentang al-Masih al-Mau’ud.”
Instruksi ini dikeluarkan oleh Mirza Basyiruddin Mahmud Ahmad dalam publikasi “Syarat-syarat Bai’at” pada tanggal 15 Mei 1915 sebagaimana dikutip oleh Spencer Lavan dalam The Ahmadiyya Movement: Past and Present, h. 51.
Fatwa, Pelarangan, dan Sikap Pemerintah
Paham keIslaman Ahmadiyah sebenarnya telah mendapat berbagai tentangan sejak awal penyebarannya di Indonesia, meskipun tentangan keras khususnya ditujukan kepada Ahmadiyah Qadiyan. Namun sebagaimana dipaparkan di atas, Ahmadiyah Lahore pun mendapat respon yang keras, khususnya dari kalangan Muhammadiyah pada waktu itu.
Namun, betapapun sengitnya reaksi terhadap Ahmadiyah pada waktu itu, ketidaksetujuan itu tidak diwujudkan dalam tindak kekerasan, tetapi dalam bentuk perdebatan dan diskusi. Misalnya, pada tahun 1926 di Padang, Abdullah Ahmad dan Haji Abdul Karim, mengkritik pandangan Ahmadiyah bahwa Nabi Isa telah wafat dan tak mungkin turun ke dunia lagi. Haji Abdul Karim Amrulah secara khusus menyusun buku berjudul al-Qawl al-Shahih, yang membahas soal pengertian nabi, rasul, wahyu, dan Nabi Muhammad adalah rasul penghabisan. Pada tahun 1925, di Tapaktuan (Aceh), Muhammad Isa dan Ahmad Syukur, murid Abdul Karim Amrullah, menyanggah paham Ahmadiyah melalui pengajian-pengajian. Sedangkan pada tahun 1933 di Bandung (Jawa Barat), Ahmad Hassan dari Persatuan Islam banyak melakukan debat terbuka untuk mengkritik paham Ahmadiyah.
Tindak kekerasan sebagai ekspresi ketidaksetujuan terhadap ajaran keislaman Ahmadiyah, khususnya aliran Qadiyan, memang baru bermunculan pada era 1980an. Pada era itu, Majelis Ulama Indonesia mengeluarkan fatwa tentang paham Ahmadiyah Qadiyan “di luar Islam, sesat, dan menyesatkan” melalui Musyawarah Nasional ke-2 yang berlangsung di Jakarta tanggal 26 Mei – 1 Juni 1980. Tindakan kekerasan bermunculan, misalnya di Cianjur, Jawa Barat (Maret 1984), di Garut, Jawa Barat (1988), dan di Kerinci, Jambi (1989).
Selanjutnya Direktorat Jenderal Bimas Islam dan Urusan Haji Departemen Agama pun mengeluarkan Surat Edaran No. D/BA.01/3099/84 tertanggal 20 September 1984 yang ditujukan kepada Kanwil-Kanwil Depag, khususnya Kepala Bidang Penerangan Agama Islam di seluruh Indonesia, yang menyatakan bahwa “Pengkajian terhadap aliran-aliran Ahmadiyah menghasilkan bahwa aliran Ahmadiyah Qadiyani dianggap menyimpang dari Islam karena mempercayai Mirza Ghulam Ahmad sebagai Nabi, sehingga mereka percaya Nabi Muhammad bukan Nabi terakhir”. Selanjutnya SE itu berbunyi: “Perlu dijaga agar kegiatan Jemaat Ahmadiyah Indonesia tidak menyebarluaskan pahamnya di luar pemeluknya, agar tidak menimbulkan keresahan masyarakat beragama dan mengganggu kerukunan kehidupan beragama”.
Di dalam SE tersebut, Depag juga menyerukan kepada Majelis Ulama Indonesia, Majelis Ulama Daerah Tingkat I dan Tingkat II, para ulama serta da’i di seluruh Indonesia untuk menjelaskan kepada masyarakat tentang sesatnya Jemaat Ahmadiyah Qadiyan. “Bagi mereka yang terlanjur mengikuti Jemaat Ahmadiyah Qadiyan, Depag menyerukan agar mereka kembali kepada ajaran Islam yang benar, sementara seluruh umat Islam diminta untuk tidak terpengaruh oleh paham yang dinyatakan sesat tersebut.”
Meskipun Fatwa MUI tahun 1980 dan Surat Edaran Dirjen Bimas Islam dan Urusan Haji secara eksplisit ditujukan bagi Ahmadiyah Qadiyan, namun melalui Munas ke-7 tanggal 26-29 Juli 2005, MUI mengeluarkan fatwa baru yang berisi penegasan kembali tentang “sesatnya” paham Ahmadiyah, dan tidak lagi membedakan antara dua kelompok Ahmadiyah, yakni Qadiyan dan Lahore.
Mengenai hal tersebut, K.H. Ma’ruf Amin, Ketua Komisi Fatwa Majelis Ulama Indonesia, menjelaskan:
“Kita tidak membedakan (antara Ahmadiyah Qadiyan dan Ahmadiyah Lahore-RHA). Memang dalam persidangan (pembahasan fatwa – RHA) yang menyinggung perbedaan tersebut. Namun, ketika kita merujuk fatwa Majma’al-Fiqh al-Islamiy negara-negara OKI di Jeddah (1985), di sana terbunyi “fa amma’l-lahuriyah ka’l-qadiyaniyah fi’l-hukm ...” Jadi aliran Lahore disamakan seperti aliran Qadiyan dalam hukumnya sebagai “murtaddina kharijna ‘an-i’l-islam“. Artinya, mereka juga “murtad dan keluar dari Islam”. Kenapa? Karena, mereka juga meyakini “anna Mirza Ghulam Ahmad zhill-un wa buruz-un li sayyidina Muhammad” (bahwa Mirza Ghulam Ahmad adalah bayangan dan penampakan dari Nabi Muhammad). Betapa kacau! Bayangan dan penampakkan itu ’kan berarti “seperti ” Nabi”! (Wawancara dengan Ma’ruf Amin, tanggal 5 Agustus 2005, jam 14.00 di Istiqlal, Jakarta )
Sementara itu, respon dan kebijakan pemerintah terhadap kasus tersebut pun masih ambigu. Misalnya, pada satu kesempatan Menko Kesra Alwi Shihab, setelah mengikuti rakor menteri bidang politik, mengatakan bahwa pemerintah tidak akan melarang ajaran Ahmadiyah atau pun membubarkannya, tetapi menyerahkan kepada pihak pengadilan untuk memutuskan perkara tersebut. Lebih lanjut, Alwi mengatakan bahwa pemerintah tetap mengakui keputusan yang pernah dikeluarkan pemerintah 1980 yang “mengizinkan para pengikut Ahmadiyah di kalangan mereka sendiri, namun melarang penyebaran ajaran tersebut” (Jakarta Post, 11/8/05). Sementara itu, pada suatu kesempatan, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (18/8) sempat menyatakan bahwa Ahmadiyah sudah lama dilarang di Indonesia. Hal itu ditegaskan kembali oleh Menteri Agama M. Maftuh Basyuni (20/8) bahwa “Ahmadiyah sudah lama dilarang, karena tidak sesuai dengan ajaran agama Islam” Selain itu, Menteri Agama itu juga mengatakan bahwa pihak yang memiliki kewenangan untuk mengambil tindakan tersebut adalah Kejaksaan Agung (Pelita, 22 Agustus 2005).
Di lain pihak, Jaksa Agung Abdul Rahman Saleh (24/8) mengatakan bahwa “tidak ada pelarangan atas Ahmadiyah sebelum ada perintah pengadilan”. Namun, Jaksa Agung mengakui bahwa memang sudah ada pelarangan-pelarangan di tingkat lokal di sejumlah daerah yang dilakukan pihak Kejaksaan setempat, seperti di Majalengka, Jawa Barat, dan Lombok Timur, NTB. Dan, “Pelarangan-pelarangan tersebut tidak akan dicabut oleh Kejaksaan Agung”.
Ambiguitas sikap pemerintah itu mungkin bisa dipahami sebagai cermin dari kompleksitas yang harus dihadapi. Kompleksitas tersebut semakin nyata jika kita menelaah Ahmadiyah dari segi perbedaan-perbedaan antara dua yang berkembang di dalamnya, yakni Qadiyan dan Lahore. Hal inilah yang telah kami paparkan terdahulu untuk melihat perbedaan di antara keduanya, walaupun mungkin belum lengkap.
Penutup
Paparan di atas jelas belum dapat memberikan gambaran utuh tentang Ahmadiyah, termasuk isu-isu teologis yang berkembang dalam dua perspektif kelompok Ahmadiyah, baik Lahore dan Qadiyan. Tentu saja klasifikasi atas isu-isu teologis ini diharapkan dapat diperoleh dalam diskusi ini. Namun demikian ada beberapa hal penting yang perlu dikemukakan, terkait dengan dua poin masalah yang dikemukan pada bagian awal tulisan ini.
Pertama, langkah terbaik untuk menyikapi munculnya pandangan keagamaan yang berbeda, termasuk perkembangan dalam pemikiran keislaman, bukan dengan tindakan kekerasan, tetapi dengan mengemukakan berbagai argumentasi “lebih baik”. Jika pun tidak dapat dicapai titik temu, hendaknya masing-masing pihak berpegang pada keyakinan sendiri, sambil menghormati hak orang lain juga untuk berpegang pada pandangan dan keyakinannya sendiri. Dalam jangka panjang, hal ini akan menumbuhkan sikap toleran dan kedewasaan di kalangan umat beragama, khususnya dalam menghadapi perbedaan pemahaman keagamaan yang ada. Mengutip pandangan Amien Rais, salah seorang tokoh Muslim Indonesia, “Jika orang tidak suka dengan ajaran Ahmadiyah, jangan ikuti. Sikap terbaik dalam menghadapi Ahmadiyah adalah dengan menegakkan toleransi, dan bukan dengan cara-cara kekerasan” (lihat http://www.antara.co.id (6 Agustus 2005)).
Kedua, berbagai perbedaan pandangan dalam pemahaman keagamaan hendaknya tidak mendorong kita untuk secara tergesa-gesa mencap kelompok lain sebagai “sesat”, “kafir”, ataupun “keluar dari Islam”. Hal ini berlaku, baik bagi kelompok Ahmadiyah sendiri, maupun kelompok-kelompok Islam lainnya.
Ketiga, pemerintah harus merumuskan kebijakan-kebijakan yang lebih komprehensif, baik intern suatu umat beragama maupun antar-umat beragama. Dalam hal ini, perlu kita pertimbangkan usulan Abdul Kader Toyob, seorang profesor Studi Islam di University of Nijmegen’s International Institute for the Study of Islam di Belanda, bahwa “Negara harus menjaga jarak dari perdebatan menyangkut isu-isu keagamaan, karena negara tidak bisa memutuskan apa yang benar atau tidak benar dalam (agama) Islam. Meskipun demikian, negara dapat menetapkan batas-batas, seperti misalnya jika seseorang tidak suka dengan pandangan tertentu, namun orang itu tidak boleh melakukan tindak kekerasan untuk mengekspresikan ketidaksukaan atau ketidaksetujuan itu. (lihat http://www.jakartapost, 18 Juli 2005).[]
Comment here