- Mudahnya orang mengkafirkan orang lain (takfir) dan menghukumi sesat (tadllil);
- Pelemahan common sense;
- Seringnya sharing tanpa konfirmasi;
- Banyaknya berita tanpa fakta;
- Tidak seimbangnya berita antara yang mendukung dan menentang; dan
- Tidak imbangnya tulisan yang mendidik dan yang mengharu-biru perasaan.
Guru Besar Sejarah Kebudayaan Islam UIN Sunan Kalijaga itu juga mengatakan bahwa pada kesempatan itu ia sama sekali tidak menghukumi kelompok tertentu. “Saya tidak menghukumi, tetapi memberi contoh bahwa penghukuman sesat Ahmadiyah itu antara lain karena keyakinan atau paham bahwa Mirza Ghulam Ahmad adalah nabi,” ujarnya.
Dikatakannya, yang menganut paham ini adalah Ahmadiah Qadiyan (Jemaat Ahmadiyah), bukan Ahmadiyah Lahore (Gerakan Ahmadiyah).
Demikian juga Syi’ah yang terdiri dari banyak kelompok. “Menurut Syekh Azhar, Dr. Ahmad Khatib, kaum Syi’ah (yang tidak ekstrem) adalah saudara-saudara kita seagama Islam dan termasuk orang-orang yang salat menghadap kiblat (min ahl al-qiblah).” tambahnya.
“Generalisasi hukum mengenai satu kelompok untuk seluruh kelompok yang menggunakan nama sama atau mirip sebagaimana terjadi pada kasus Ahmadiyah dan Syi’ah seperti itu akan memperlemah penalaran pembaca,” ujar Machasin menerangkan.
Sebagai seorang akademisi, Machasin mengatakan bahwa ia bisa mengambil contoh dari bidang keahliannya. “Sebagai dosen sejarah pemikiran Islam saya boleh mengambil contoh dari bidang keahlian saya. Sekali lagi bukan memberi fatwa atau penilaian.” pungkasnya.
(thobib-sigit/bimasislam)
Comment here