Kolom

Tragedi Bom Sarinah dan Soal Penghayatan Kehidupan

Bom mengguncang Jakarta. “Jakarta Menangis,” “Pray for Jakarta,” seru beberapa media lokal dan media asing. Lantas, apa yang harus kita lakukan?

Kiranya kita perlu mencermati mengapa peristiwa seperti itu bisa terjadi. Di sini kita tidak dapat mengelak. Jawabnya tidak lain adalah “unsur kepentingan.”

Karena negara kita dihuni oleh serumpun suku bangsa, melainkan berbagai macam suku dan bangsa dan berbagai macam “kepentingan”. Akibatnya ada kemajemukan.

Di sini, pasti akan terjadi benturan. Salah satunya, seperti kekerasan yang terjadi di Jalan Thamrin, Jakarta beberapa saat yang lalu, yang kita kenal dengan sebutan “Tragedi Sarinah.”

Terlepas dari itu, yang pasti “sang pelaku tidak memahami arti kehidupan”. Mengapa saya katakan demikian?

Marilah kita kembali pada Al-Qur’an, back to Al-Qur’an, yang merupakan panduan hidup kita.

Di dalam Al Qur’an dikisahkan dua peperangan yang terjadi pasca Rasulullah saw. hijrah, yaitu perang Badar dan perang Uhud yang terjadi pada tahun kedua dan tahun ketiga hijriyah.

Setelah itu pada tahun keempat turun Sabda Ilahi, yaitu Surat Ali Imran (QS 3:186), “Dan sungguh kamu akan diuji harta kamu dan diri kamu. Dan sesungguhnya kamu akan mendengar banyak caci maki dari orang-orang yang diberi kitab sebelum kamu, dan kaum musyrik. Dan jika kamu bersabar dan bertaqwa, maka sesungguhnya ini adalah golongan perkara besar yang harus diniati dengan kuat”

Ayat tersebut diturunkan pasca perang Uhud atau tahun keempat Hijriah. Dimana kandungan ayat itu dapat kita maknai adanya kemajemukan yang menimbulkan terjadi berbagai benturan kepentingan, yang akhirnya menimbulkan kerugian dan sakit hati yang harus dipikul kedua belah pihak.

Bila kita cermati, pada saat perang (perang Uhud), artinya belum ada perintah kepada kita untuk “tidak berperang”, di satu sisi. Dan diturunkan wahyu “pasca perang Uhud” yang maknanya kita harus bersabar dan bertaqwa yang harus diniati dengan kuat.

Maka di dalam aturan hukum yang kita kenal, bahwa terhadap aturan yang ditetapkan belakangan, bila tidak bertentangan dengan aturan sebelumnya, maka arti dan maksudnya merupakan penguatan.

Namun apabila aturan baru itu bertentangan, artinya paraturan itu melemahkan, menghapus, atau mencabut aturan yang lama. Dengan demikian yang belaku adalah aturan yang baru.

Dua ilustrasi di atas membuat kita berfikir bahwa dua peristiwa itu, yakni perang di satu sisi dan sabar dan taqwa di sisi yang lain sebenarnya merupakan ilustrasi yang diberikan Tuhan, yang mana kita harus memaknai, belajar lalau mengambil sikap.

Akibat peperangan atau kekerasan itu akan mengakibatkan kerugian di kedua belah pihak. Artinya dua-duanya akan mengalami kerugian baik yang kalah atau yang menang. Dan khusus bagi yang menang akibat perang seperti itu, tidaklah mencermninkan “kekuatan yang sejati.”

Dasar kehidupan beragama adalah mengutamakan kepentingan umum dan kemaslahatan yang artinya adalah kebersamaan. Apabila tidak demikian, maka akan terjadi penindasan antara satu golongan terhadap golongan yang lain.

Di sini setiap orang dituntut mengorbankan sebagian kepentingan dirinya untuk disumbangkan pada kemaslahatan, ketentraman dan ketertiban umum. Inilah yang dinamakan sikap “Terpuji”.

Di dalam Al-Qur’an musuh manusia itu adalah “hawa nafsu” yang ada pada dirinya sendiri. Sehingga do’a yang kita panjatkan adalah “AGAR TUHAN BERKENAN MELINDUNGI KITA DARI DIRI KITA SENDIRI”, yang maknanya agar kita dapat mengendalikan hawa nafsu.

Apabila kita dapat mengendalikan atau mengalahkan hawa nafsu, berarti kita memiliki “kekuatan yang sejati”. Mengapa demikian? Karena kemenangan yang kita peroleh adalah kemenangan yang didapat dari “Sifat-Sifat yang Terpuji”.

Contoh: Kedermawanan, adalah kekuatan untuk memberi kepada orang yang kekurangan. Menahan marah adalah kekuatan menahan nafsu untuk melukai orang lain.

Beramal saleh adalah kekuatan untuk melakukan perbuatan yang berfaedah atau yang dibutuhkan oleh orang lain. Kasih sayang adalah kekuatan untuk memberikan Cinta kasih kepada yang tidak berdaya.

Kesabaran adalah kekuatan untuk berlapang dada. Menahan pembalasan adalah kekuatan untuk melakukan perbuatan sabar, baik lahiriyah maupun bathiniyah.

Dan contoh perbuatan-perbuatan terpuji sejenis yang lain.

Bahkan menegakkan kaadilan adalah merupakan “kekuatan”, sebagaimana dijelaskan Surat Al-Maidah, “Wahai orang-orang yang beriman, jadilah kamu orang yang jujur karena Allah, (jadilah kamu) saksi yang adil dan janganlah kebencian orang-orang mendorong kamu untuk berlaku tak adil. Berlaku adilah kamu, ini lebih dekat kepada taqwa. Dan bertaqwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah itu Yang Maha Waspada akan apa yang kamu lakukan” (QS 5:8).

Apabila kita dapat melaksanakan apa yang difirmankan Allah, artinya kita “Memilki Kekuatan Yang Maha Dahsyat”. Dan semoga kita semua mampu melaksanakan tuntunan Ilahi tersebut demi kesatuan dan persatuan bangsa Indonesia.

Dan “KAMI TIDAK TAKUT”, demikian slogan yang kita dengungkan dalam menegakkan kebenaran dan keadilan.[]

Penulis: Fathurrahman Irshad

 

Yuk Bagikan Artikel Ini!

Comment here

Translate »