Sulardi Notopertomo. Saya mulai mengenalnya mungkin antara tahun 1998-1999, saat kami sama-sama membidani “kelahiran kembali” Angkatan Muda Ahmadiyah Indonesia (AMAI), organisasi yang menaungi anak-anak muda Gerakan Ahmadiyah Indonesia (GAI).
Waktu itu, saya tengah menempuh tahun terakhir pendidikan di sekolah menengah atas di Jogjakarta, sementara Sulardi sudah menjadi seorang pengusaha muda yang sukses di Jakarta.
Sebelumnya, organisasi muda-mudi GAI itu bernama AMAL (Angkatan Muda Ahmadiyah Lahore). Berdiri sejak 1965, diponggawani oleh Burhanuddin Sanityasa dan Djohan Effendi.
Tetapi di masa kepemimpinan S. Ali Yasir sebagai Ketua Umum PB GAI, antara 1994-1999, AMAL berganti nama menjadi AMAI. Seiring perubahan nama organisasi GAI, yang meniadakan kata “Centrum Lahore” dari nama resmi gerakan ini.
Dalam masa peralihan kepemimpinan Ketua Umum PB GAI dari S. Ali Yasir ke Fathurrahman Ahmadi Djojosoegito, terjadi dualisme kepemimpinan dalam tubuh angkatan muda. Dualisme itu memuncak di masa awal periode kepemimpinan Fathurrahman Ahmadi Djojosoegito.
Di satu pihak, PB GAI merujuk pada Badan Urusan Pemuda, yang secara struktural dibentuk sejak Muktamar tahun 1999. Diketuai oleh Purwiyadi dan Sarim Sembiring sebagai Wakil Ketua.
Di lain sisi, sebagian besar anak-anak muda Gerakan Ahmadiyah di berbagai daerah berhasrat untuk menjadikan AMAI sebagai badan otonom, yang secara organisatoris bisa menentukan hajat hidup organisasinya tanpa berbenturan dengan struktur Pedoman Besar.
Pada pertengahan tahun 2000, kelompok progresif ini kemudian menyelenggarakan Muktamar AMAI secara tersendiri di Purwokerto. Dan dalam muktamar ini, Sulardi terpilih menjadi Ketua Umum Angkatan Muda Ahmadiyah Indonesia untuk lima tahun ke depan kepengurusan.
Baru di tahun 2004, di akhir masa kepemimpinan Fathurrahman Ahmadi periode yang pertama, suara anak-anak muda ini diakomodir. Sehingga dalam periode berikutnya, Sulardi kemudian terpilih kembali sebagai Ketua AMAI untuk periode 2004-2009.
Sebagai pucuk pimpinan, Sulardi tidak hanya berlaku sebagai motor, tapi juga promotor dalam kebangkitan muda-mudi gerakan Ahmadiyah selama masa jabatannya, maupun sesudahnya.
Di era kepemimpinannya, anak-anak muda Gerakan Ahmadiyah bangkit. Kaderisasi di tubuh Gerakan ini kembali berjalan. Dari ujung timur hingga ujung barat pulau Jawa, kader-kader muda di tubuh Gerakan ini bermunculan kembali. Serempak bersemangat di bawah komando Ketua AMAI ini.
Majalah diterbitkan. Pelatihan dan kursus-kursus diselenggarakan. Bahkan Jalsah anak-anak muda dilakukan secara maraton.
Sejak tahun 2000-an, Jalsah AMAI diselenggarakan dari tahun ke tahun. Berpindah dari satu daerah ke daerah yang lain. Pertama di Jogja, lalu di Wonosobo, kemudian di Kediri, lantas di Jakarta, dan terakhir di Purwokerto.
Ia juga mencontohkan dan mendorong anak-anak muda dari berbagai daerah untuk ikut terlibat dan menjadi garda depan dalam kesuksesan agenda dakwah online Gerakan Ahmadiyah, yang sejak tahun 2001 digagas dan dirintis oleh PB GAI, melalui situs online www.ahmadiyah.org.
Sulardi banyak memproduksi karya tulis maupun karya terjemah untuk situs tersebut, juga untuk majalah yang diterbitkan anak-anak muda di Jakarta, yakni AMAI Journal. Juga untuk majalah Fathi Islam yang diterbitkan oleh PB GAI di Yogyakarta. Selain itu, ia aktif juga dalam berbagai forum diskusi online di berbagai platform.
***
Sulardi lahir pada 25 September 1971 di sebuah wilayah kabupaten di pesisir utara Jawa. Ayahnya bernama Saino, dan Ibunya bernama Saikem. Ia lahir dan tumbuh besar di Dusun Ngranti, Desa Ketos, Kecamatan Paranggupito, Kabupaten Wonogiri.
Pendidikan dasarnya dihabiskan di SDN 2 Ketos yang terletak di dusun dimana ia tinggal, dan berlanjut di SMP Pancasila 13 Paranggupito, sekolah menengah pertama yang berjarak 1,5 km dari rumah di mana ia tinggal.
Lalu, setelah lulus pendidikan menengah pertama pada sekitar tahun 1980, ia merantau ke Jogjakarta, yang berjarak hampir 100 km jauhnya dari desa ia tinggal, untuk menempuh pendidikan menengah atas.
Secara kebetulan, ia masuk di SMA PIRI 2 Yogyakarta, salah satu sekolah yang berada di bawah naungan Yayasan Perguruan Islam Republik Indonesia (PIRI), salah satu amal usaha Gerakan Ahmadiyah Indonesia (GAI).
Di sekolah inilah, Sulardi mulai mengenal ajaran Imamuzzaman Hazrat Mirza Ghulam Ahmad, hingga akhirnya bergabung dengan Gerakan Ahmadiyah Indonesia (GAI). Sulardi kemudian menjadi kader militan, karena mendapat bimbingan langsung dari guru agamanya saat itu, yakni Mohammad Iskandar.
Mohamad Iskandar adalah salah satu mubaligh terbaik yang dimiliki GAI. Ia pernah mengenyam Pendidikan Muballigh di Idarah Ta’limul Qur’an, salah satu lembaga kader Ahmadiyya Anjuman Isha’ati Islam Lahore (AAIIL) Pakistan, antara Januari 1976 hingga Januari 1979.
Sulardi tidak sendirian berguru kepada Mohammad Iskandar. Salah seorang lain dari banyak kader muda yang berguru kepada Mohammad Iskandar bersamanya bernama Sarim Sembiring, seorang Mahasiswa Ilmu Teknik di Universitas Gadjah Mada. Kebetulan, mereka berdua tinggal di rumah indekos yang tak jauh dari SMA PIRI 2 Yogyakarta, di daerah Pugeran.
Keduanya kemudian berbaiat di tangan sang guru, dan menjadi sahabat karib yang sama-sama aktif di Angkatan Muda Ahmadiyah Lahore (AMAL) Yogyakarta.
***
Selepas SMA di sekitar tahun 90-an, Sulardi kemudian merantau lebih jauh: ke Jakarta. Tidak untuk melanjutkan studi, tapi untuk bekerja. Sebab konon, orangtuanya tidak mampu membiayai bila ia meneruskan studinya ke jenjang yang lebih tinggi.
Sependek yang saya tahu, ia berkarir dari sejak menjadi karyawan, kemudian menjadi manajer, hingga punya perusahaan sendiri. Bidang kerja yang ia geluti adalah periklanan (advertising), spesifik pada papan iklan (billboard) indoor maupun outdoor.
Mula pertama ia bergabung sebagai karyawan pemasaran di PT Mentari, salah satu perusahaan periklanan yang cukup bonafid di Jakarta. Belum genap lima tahun bekerja, ia kemudian diangkat sebagai Marketing Director di perusahaan ini.
Di perusahaan ini pula, ia berkenalan dengan sosok gadis yang kemudian menjadi istrinya. Tuti Ariani namanya. Mojang Banten yang bekerja satu atap dengannya di PT Mentari ini.
Mereka menikah di tahun 1996. Dari pernikahan keduanya, lahir tiga orang anak: Fathi Ramadhani Ariardi, Falah Ahmad Ariardi, dan Fasya Aisha Ariardi.
Setelah hampir 15 tahun bergabung dengan PT Mentari, ia kemudian memberanikan diri membangun perusahaan sendiri.
Tercatat sejak Maret 2006, ia bersama sang istri mendirikan PT Visindo Media Pratama, yang bergerak di bidang yang sama dengan yang mereka geluti selama ini. Dan mereka pun sukses besar. Perusahaannya melaju pesat, bahkan menyaingi perusahaan yang sebelumnya mereka bergabung di dalamnya.
***
Sukses di dunia kerja tak membuat Sulardi lupa daratan. Ia juga tak melupakan sama sekali bai’atnya.
Ia bergabung dengan Gerakan Ahmadiyah Cabang Jakarta yang bermarkas di Jalan Kesehatan, Tanah Abang. Bahkan, ia menjadi salah satu motor penggerak sekaligus promotor dari berbagai aktivitas Gerakan Ahmadiyah cabang Jakarta, yang menjangkau warga gerakan dari empat kota kabupaten di sekitarnya, yakni Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang dan Bekasi (Jabodetabek).
Di cabang Jakarta ini, ia tidak hanya menjadi anggota pasif, melainkan aktif sebagai penceramah, khatib jum’at, dan memimpin majelis taklim dan pengajian yang diselenggarakan oleh GAI Jakarta.
Selain itu, Sulardi juga aktif mengorganisir dan memimpin anak-anak muda Gerakan dari wilayah Jabodetabok, bahkan membangun jejaring yang lebih luas dengan daerah-daerah lain di Indonesia.
Hingga akhirnya, di tahun 2000, sebagaimana kisah di awal tulisan, ia didapuk menjadi Ketua Umum Angkatan Muda Ahmadiyah Indonesia (AMAI) di tingkat nasional.
Sularti juga turut andil membantu Penerbit Darul Kutubil Islamiyah (DKI) Jakarta. Ia berperan banyak dalam pemasaran dan publikasi buku-buku yang diterbitkan oleh DKI Jakarta, yang saat itu berada di bawah kepemimpinan Mansyur Basuki.
Ia juga tercatat ikut bagian dalam penerbitan Qur’an Suci di tahun 2000-an, baik terjemah bahasa Indonesia maupun bahasa Jawa.
Ia juga berulangkali diamanati sebagai delegasi GAI Jakarta dalam berbagai forum mediasi konflik dalam kasus yang menimpa Jemaat Ahmadiyah sejak 2005, baik yang diselenggarakan oleh pemerintah maupun oleh organisi non pemerintah (NGO). Ia juga sering menjadi narasumber dalam berbagai wawancara media massa terkait isu-isu keahmadiyahan.
Tahun 2014, Sulardi diangkat menjadi Ketua GAI Cabang Jakarta, menggantikan ketua terdahulu, Nanang RI Iskandar. Di tahun yang sama, bersama empat orang anggota GAI lainnya, ia menjadi delegasi GAI Cabang Jakarta dalam rapat kerja Ambassador for Peace, di Hotel Arya Duta Jakarta.
Bersama para tokoh agama dan pemimpin spiritual dari berbagai wilayah di Indonesia, rapat kerja Ambassador for Peace kala itu menggagas perdamaian dan kerjasama lintas iman dan kepercayaan.
Pada Desember 2015, Sulardi mendapat kehormatan untuk hadir dalam Jalsah Salanah yang diselenggarakan oleh Ahmadiyya Anjuman Isha’ati Islam Lahore (AAIIL) di Pakistan, atas undangan langsung dari Hazrat Amir Abdul Karim Saeed Pasha.




***
Mujur tak dapat diraih, malang tak dapat ditolak. Tahun 2014, terjadi pergolakan politik di Jakarta, yang secara langsung maupun tidak langsung berdampak cukup signifikan terhadap bisnis perusahaannya.
Jejaring bisnis perusahaan milik Sulardi, utamanya yang berasal dari instansi pemerintah, banyak berguguran. Sebagian banyak yang membatalkan orderan, sebagian besar lainnya lagi tak melanjutkan kerjasama dengan perusahaannya.
Singkat cerita, sejak tahun itu, perusahaannya perlahan ambruk, hingga berakhir bangkrut. Tapi ia tak lantas menyerah kalah. Ia kembali bekerja menjadi karyawan di perusahaan jasa konsultan teknologi informasi, sambil merintis beberapa usaha kecil-kecilan di bidang kuliner.
Sayangnya, di awal tahun 2016, ia divonis gagal ginjal. Sejak itu, dua kali dalam sebulan, ia harus bolak-balik cuci darah. Berulangkali pula ia harus menjalani opname dan operasi karena sakit yang dideritanya.
Sesudah lama tak mendengar kabar, di pertengahan November tahun 2025 ini, saya mendapat pesan singkat dari istrinya.
“Mas Asgor, mohon doanya. Selasa pagi (18/11/2025) Jam 5 kemarin, Mas Lardi pingsan. Dibawa ke IGD, ada pendarahan di otak kanan. Sampai sekarang masih belum sadar di Ruang ICU.
Insya Allah, rencananya hari ini (Kamis, 20/11/2025) Jam 10 akan dioperasi. Sebelumnya kami minta maaf kalau selama ini ada kesalahan beliau, baik yg disengaja maupun yang tak disengaja. Sekali lagi mohon doanya….”
Dan tidak sampai tiga hari berselang sejak pesan singkat itu, kabar duka pun datang. Minggu, 23 November 2025, Sulardi Notopertomo wafat. Di ruang ICU, di Rumah Sakit EMC Tangerang.
Saya berduka, dan kehilangan. Betul-betul kehilangan. Seorang kakak, sahabat, dan sosok yang kepadanya saya banyak berhutang budi.
Semangat dan antusiasme, serta kiprah Sulardi dalam pengabdian dan dedikasi terhadap Gerakan Ahmadiyah, juga untuk pelayanan dan dakwah Islam, patut dijadikan teladan bagi kader-kader muda hari ini dan masa depan.
Kediri, 1 Desember 2025
Basyarat Asgor Ali

Comment here