Oleh: Fathurrahman Irshad | Kalimat di atas merupakan penggalan syair sebuah lagu yang sangat harmoni dan menyentuh hati, yang dinyanyikan “Bimbo”. Apabila dikutip secara lengkap, syair tersebut berbunyi seperti ini : “Rasul menyuruh kita menyayangi anak yatim – Rasul menyuruh kita mengasihi orang miskin”.
Namun alangkah baiknya, apabila kita mencermati lebih dulu makna kata “menyayangi” dan “mengasihi” dalam syair tersebut. Makna kata “menyayangi” adalah realisasi “pemberian” berkaitan dengan masalah “batiniyah”. Sedang mengasihi adalah realisasi “pemberian” berkaitan dengan masalah “lahiriyah”. Sedangkan makna kata “yatim” adalah anak yang mengalami kehampaan batin berupa kasih sayang. Baik kasih sayang dari ibu atau bapak atau keduanya. Dan orang “miskin” adalah orang yang kekurangan dalam segi materi (ekonomi) atau lahiriyah.
Ternyata dalam kalimat yang sangat maknawi itu, hal-hal yang menyangkut masalah batiniyah didahulukan dibanding yang menyangkut masalah lahiriyah.
Di dalam ajaran Islam, masalah batin memang diutamakan. Bahkan di dalam pembinaan moral Islam, pembinaan batiniyah yang bersemayam di dalam qalbu lebih utama daripada pembinaan “lahiriyah”. Karena batin merupakan pusat kegiatan dan menjadi motor penggerak aktivitas lahiriyah. Atau realitas lahiriyah merupakan manivestasi aktivitas batiniyah.
Di dalam konsep ini, makna hati atau qalbu bukanlah sejenis gumpalan yang terletak di dada kiri kita, melainkan sebuah daya rohaniyah ketuhanan. Karena itu hati merupakan hakikat realitas manusia dan juga sebagai daya (melalui akal) akan menghasilkan realitas-realitas ilmu. Dalam perkembangan lebih lanjut, daya hati atau daya rohaniyah ketuhanan dan daya yang menghasilkan realitas-realitas ilmu kita sebut dengan “Daya Pimpin Ilahi” karena mewujudkan kehendak Allah, memanifestasikan dan merealisir keinginan-Nya yang Maha Rahman dan Maha Rahim. Karena segala daya sumbernya dari Tuhan, maka akan menjadikan manusia sebagai pribadi yang mulia. Dan dengan daya itu kita akan memantulkan cahaya dari Cahaya yang memancar secara terang benderang.
Kembali kepada masalah “pemberian”. Masalah pemberian ini erat kaitannya dengan “amal”. Masalahnya di sini adalah, bagaimana amal itu dapat digerakkan oleh daya rohaniah ketuhanan sehingga amal yang kita lakukan akan menjadi satu perbuatan baik dan terpuji.
Dalam kaitannya dengan hal itu, amal harus mempergunakan ilmu atau cara, yaitu bagaimana cara menjalankan amal tersebut. Menurut Hazrat Mirza Ghulam Ahmad dengan cara merealisir “Semua amanat Illahi dan janji Imani dengan-Nya dengan sepenuh kemampuan serta menepati semua amanat dan janji dengan sesama makhluk dengan segenap kekuatannya”.
Surat Abasa (80:1-11) adalah sebuah kisah yang merupakan pengalaman pribadi Rasul SAW, ketika Abdullah ibnu Ummi Maktum, seorang buta datang meminta pengajaran kepada Nabi, dimana saat itu Nabi sedang dalam pertemuan dengan para pemuka masyarakat Quraisy yang masih musyrik.
Meski kedatangan yang secara tiba-tiba itu kurang tepat, namun apabila kita tilik lebih jauh lagi, ternyata kedatangan Abdullah itu mengandung maksud yang baik, yaitu meminta pengajaran kepada Nabi tentang apa yang telah diwahyukan Allah kepada beliau. Walau saat itu dia tidak melihat situasi karena buta (tidak melihat).
Ketika itu, Nabi bermuka masam atau kurang senang dan tak mau menanggapi pertanyaan Abdullah yang buta. Maka turunlah Wahyu peringatan tersebut. Hal ini menggambarkan bahwa “Penempatan kewajiban terhadap penghormatan keluhuran kepribadian manusia pada tingkat yang setinggi-tingginya” harus menjadi perhatian utama.
Nabi mengingatkan kepada yang diminta, “Bersedekahlah meski hanya dengan sebiji kurma”. Nasehat tersebut mengingatkan kita, agar kita tidak terbelenggu dengan masalah duniawi meski dalam situasi ekonomi yang sangat genting. Dan setiap apa yang kita lakukan tidak akan membuat tersinggung atau menyakitkan hati si penerima (QS 2:264).
Bagi si peminta, Nabi mengingatkan, “siapa yang meminta guna memperbanyak apa yang dimilikinya, maka sesungguhnya ia hanya mengumpulkan bara api (neraka)”
Sementara itu di dalam Surat Al-Baqarah (2:273), Qur’an Suci menasehati, bahwa “(sedekah) adalah untuk kaum melarat yang terkurung di jalan Allah, mereka tak dapat pergi (berusaha) di bumi ini. Orang bodoh yang mengira mereka itu kaya, karena (mereka) menjauhkan diri (dari perbuatan minta-minta). Engkau dapat mengenal mereka dari tanda-tanda mereka – mereka tak meminta kepada manusia secara mendesak. Dan barang baik apa saja yang kamu belanjakan, Allah sungguh-sungguh tahu akan itu”
Makna nasehat Qur’an Suci itu bukan hanya kepada orang yang berpunya “agar memberi”, akan tetapi juga kepada yang butuh supaya “enggan meminta”.
Selaras dengan martabat yang tinggi itu, maka adalah sangat penting bagi kita untuk menghayati petunjuk-petunjuk agama, sehingga baik bagi “yang diminta” maupun bagi “si peminta” dapat menempatkan diri sesuai petunjuk-petunjuk agama atau menempatkan diri kepada Petunjuk Ilahi.
Di dalam Surat Abasa (80:8-10) “Adapun orang yang datang kepada engkau dengan usaha keras”- “Dan ia Takut” – “Kepadanya engkau tak menaruh perhatian”.
Tiga ayat tersebut mengisahkan kepada orang yang meminta jangan dihardik, dan yang berpunya diharapkan memberi sebelum meminta.
Walahualam bishawab
Comment here