Tiga belas abad lamanya semenjak zamannya Nabi yang Suci, Islam telah mempunyai kekuasaan dan kebesaran dunia, sampai kira-kira pada penghabisannya abad yang ketiga belas kekuasaan itu menjadi banyak sekali susutnya. Dalam selama waktu ini Mujaddid-mujaddid diwajibkanlah hanya bekerja sepanjang jalannya perubahan di dalam badan Islam saja. Adapun yang sungguh-sungguh diserahkan kepada mereka, ialah menolong sesuatu kerusakan yang terjadi di dalam badan dunia Islam.
Tetapi bagi Mujaddid buat abad yang keempat belas adalah kewajiban yang maha besar memerangi lain-lain agama, yang telah mengambil sikap bermusuhkan Islam. Kekristenan telah berdiri melawan Islam, memusuhi dia dengan serangan-serangan yang terhebat. Orang-orang Islam, yang meninggalkan agama Tauhid, beribu-ribulah orang banyaknya sama mengambil perlindungan di dalam agama Tatslits, atau jatuh di dalam peri-keadaan tidak beragama.
Di Hindustan sini, agama Hindu yang disebut tidak ada kejahatannya, jugalah bersikap bermusuhkan segala agama, menista juga pendiri-pendiri dan pelajaran-pelajarannya agama-agama yang tersebut itu. Bertambun-tambun lumpur telah dilemparkannya, teristimewa kepada Islam. Lagipula adalah terdiri “agama-agama” seperti Brahmo Samaj, dengan memungkiri adanya ilham dari Tuhan sebagai alasan pendiriannya.
Menjadi buat menolak pengaruh-pengaruhnya banjir-banjir racun yang terlalu banyak ini, maka saat pun berteriaklah menuntut adanya seorang Mujaddid yang berkuasa.
Lain daripada itu, di dalam badan dunia Islam adalah terjadi juga kerusakan-kerusakan yang tak ada bandingan besarnya. Pendidikan cara Barat menambah memberi cap tidak bertuhan kepada fikiran mereka yang mendapat didikan itu. Agama telah kehilangan kekuatannya dan dianggapnya sebagai barang buat ketawaan. Bahkan mereka yang memegang kemudinya pendidikan kebangsaan adalah menganggap wahyu itu tidak lain melainkan hanyalah suara yang terbit dari hati manusia sendiri.
Maka bagi mujaddid dalam abad yang sekarang ini adalah wajib mengadakan obat menolak segala pengaruh-pengaruh yang berbisa ini. Di atas dan melebihi perkara ini, maka Mujaddid haruslah memperingatkan kepada kaum Muslimin akan pekerjaan yang besar, yaitu penyiaran (propaganda Islam).
Kaum Muslimin ada di dalam peri-keadaan yang sangat kelam kabut, tidak tahu barang apa yang harus diperbuatnya. Sebagai seorang yang tenggelam, maka mereka itu hendak berpegang kepada tiap-tiap rumput yang lewat berkembang. Sekarang, mereka hendak mencari keselamatannya dengan lantaran membuta tuli meniru Barat, nanti sebentar dengan lantaran melawan Barat dengan kuat-kuat. Terkecewa hatinya di satu tempat, mereka lalu hendak membelok kepada yang lainnya, dan mendapat penolakan di sana, mereka lalu hendak merebut yang lainnya lagi.
Mujaddid telah datanglah untuk membangunkan mereka akan mengetahui rahasianya kekuasaan mereka sendiri. Quran yang Suci, begitulah ia berkata kepada mereka, adalah satu kekuatan yang maha besar dan bisa mengindarkan rintangan-rintangan yang bergunung-gunung besarnya.
Mereka telah lupa kepada kebenaran yang besar ini, ialah kebenaran yang dinyatakan dalam ayat Quran: Law anzalnaa haadzal qur’aana ‘alaa jabalil laroaytahuu khaasyi’an mutashaddi’an min khasy-yatillaah. “Kalau kita menurunkan Quran ini di sebuah gunung, maka kamu akan mendapati gunung itu bergoncang dan hancur berpecah-pecah.”
Dan begitulah maka pekerjaan yang terutama dilakukan oleh Mujaddid, yang sesungguhnya berisi semuanya pekerjaan memperlindungi Islam terhadap kepada fihak luaran dan juga menjadikan perubahan di dalam dunia Islam, pekerjaannya Mujaddid itu ialah Penyiaran (Propaganda) Islam.
Baru saja Mujaddid buat abad yang keempat belas itu berdiri, maka yang pertama-tama sekali memanggil dia, ialah Propaganda Islam adanya. Semenjak waktu itu, benar-benar sampai pada nafasnya yang penghabisan di dunia ini, ia pun menjunjung tinggi akan bendera Islam itu. Sekarang kamu mendapati dia bermusuhan dengan Brahmo Samaj, lain kali bertandingan sama Arya Samaj. Lain kali lagi ia berjuangan dengan kekristenan atau menetapkan derajat Islam di atasnya kebudhaan.
Dia punya hati ada menyala dengan pengharapan, bahwa pada suatu hari benderanya Islam akan berkibar-kibar baik di negeri Timur maupun di negeri Barat. Dia ada mempunyai kepercayaan yang teguh akan harganya Quran yang Suci yang sebenar-benarnya itu. Dia ada beryakin bahwa dunia tak boleh tidak mesti bisa takluk kepada kekuatan pengajaran-pengajarannya Quran yang Suci. Bukannya pedang, tetapi kekuatannya pengajaran dan tanda-tanda kebatinan yang besar itulah yang bisa mengambil hati manusia.
Hanyalah propaganda Islam itu saja kewajiban yang dilakukan oleh Mujaddid, tetapi ia harus juga mengindarkan rintangan-rintangan yang menghalang-halanginya. Tiadalah mungkin akan berhadapan dengan kekristenan atau menyiarkan Islam di antara orang-orang Kristen, apabila Nabi Isa a.s. tidak dipertempatkan pada tempat yang semestinya – seorang Nabi di antara nabi-nabi Allah, memakan dan meminum sebagai mereka, bertakluk kepada kebutuhan-kebutuhan manusia sebagai mereka, bisa berubah-ubah dalam peri-keadaan badannya dan juga mati seperti mereka yang lain-lainnya itu.
Satu cita-cita sebagai propaganda Islam oleh Mahdi dengan kekuatan pedang itu tidak juga ada lain lagi hasilnya melainkan rasa mual dalam hati orang-orang saja. Begitulah, barang siapa datang dengan kewajiban propaganda Islam, pertama-tama sekali haruslah ia membersihi rintangan-rintangan yang menghalang-halangi ini.
Dunia Islam wajib melahirkan syukur kepada Mujaddid di atas jasa yang tiada bandingannya, yang telah dipertunjukkan olehnya bagi keperluannya Islam, yaitu dengan lantaran menghilangkan dua pengertian yang salah ini. Kalau pengertian-pengertian yang salah ini masih ada, niscayalah Islam tidak ada pengharapan sedikit pun juga, bahkan buat didengarnya saja.
Dua perkara yang nyata ini, yang ia telah menetapkannya begitu terang sebagai terangnya sinar siang hari – ialah bahwasanya Nabi Isa a.s. itu tidak sekali-kali berderajat di atasnya kemanusiaan, — bahwasanya ia ada manusia dalam arti kata yang sepenuh-penuhnya, dan bahwasanya pada zamannya Nabi yang Suci Islam tiadalah pernah disiarkan dengan kekuatan pedang, dan di kelak kemudian hari juga tidak akan disiarkannya dengan cara yang demikian itu.
Inilah satu perkara yang tak boleh tidak mesti nyata benarnya. Islam tak bisa membuat sesuatu kemajuan dengan cita-cita yang salah ini. Begitulah maka Mujaddid memerangi cita-cita salah yang serupa itu.
Tetapi fikiran yang sudah mengandung kebencian lebih dulu, adalah keras pekerjaannya. Perbuatannya Mujaddid dipandangnya dengan syak hati. Ia pun dituduhnya memasukkan barang baru di dalam agama.
_________________
Dinukil dari Da’watoel-‘Amal (Pengajakan Bekerja) oleh Maulana Muhammad Ali, Presiden Ahmadiyah Anjuman Isha’ati Islam, Lahore (Hindustan). Disalin oleh Oemar Said Tjokroaminoto, Presiden Central Sarikat Islam Yogyakarta (Jawa). Diterbitkan oleh Mirza Wali Ahmad Baig, Muballighul-Islam, Utusan Pergerakan Ahmadiyah, Yogyakarta (Jawa). Tanpa Tahun Terbit. Hal. 43-47.
Comment here