Kliping

Munas MUI Tak Bahas Ahmadiyah

Jakarta – Musyawarah Nasional Majelis Ulama Indonesia yang akan berlangsung mulai hari ini hingga 29 Juli tak akan membahas soal Ahmadiyah. “Komisi fatwa tidak mengagendakan lagi,” kata Ketua MUI Umar Shihab dalam konferensi pers di Jakarta kemarin.

Menurut Umar, fatwa tentang Ahmadiyah telah dikeluarkan 25 tahun lalu, tepatnya dalam Musyawarah Nasional MUI II pada 26 Mei-1 Juni 1980. Isi fatwa ada dua.

Pertama, MUI menyatakan, ajaran ini bukan termasuk Islam, sesat dan menyesatkan (dhallun wa mudhillun). Kedua, terkait dengan fatwa ini, MUI selalu berkonsultasi kepada pemerintah.

Ajaran Ahmadiyah terbagi dua aliran, yakni Qodiani dan Lahore. Fatwa haram diberikan MUI hanya untuk aliran Qodiani, “Karena mereka memiliki keyakinan Mirza Ghulam Ahmad (pendiri Ahmadiyah asal India) sebagai nabi baru setelah Nabi Muhammad,” kata Din Syamsuddin, Sekretaris Umum MUI, menambahkan. Adapun aliran Lahore hanya menganggap Mirza sebagai tokoh pembaru Islam.

Keyakinan Ahmadiyah Qodiani itu, kata Din, bertentangan dengan akidah Islam yang mengajarkan hanya Allah sebagai Tuhan dan Muhammad sebagai nabi terakhir. “Jika gerakan ini dibiarkan, akan terjadi penodaan dan pendustaan agama, karena mereka membawa Islam, tetapi pahamnya bertentangan dengan Islam,” katanya.

Karena itu, Din meminta pengikut Ahmadiyah Qodiani meluruskan keimanannya dalam memeluk Islam. “Atau mendirikan agama baru saja sekalian seperti Sikh atau Bahai yang juga mirip Islam,” ujar Ketua PP Muhammadiyah ini memberi tawaran.

Ahmadiyah kembali menyita perhatian, setelah sekelompok umat Islam menyerbu pusat pengajaran aliran Qodiani di Kampus Mubarak di Parung, Kabupaten Bogor, pada 15 Juli lalu. Penyerbuan ini diawali oleh sejumlah pertemuan elemen Islam, termasuk dengan Kejaksaan Agung.

Kemarin di Denpasar, Bali, Jaksa Agung Abdul Rahman Saleh menyatakan, kejaksaan sebenarnya tidak mencampuri keberadaan Ahmadiyah dari sisi kebebasan untuk berekspresi. Namun, kejaksaan akhirnya ikut campur setelah ajaran ini dinilai mengganggu ketertiban umum. “Seperti apa tindakan (ikut campur) itu, bisa kami diskusikan dengan berbagai pihak.”

Kejaksaan memiliki landasan hukum untuk ikut campur, yakni UU Kepolisian dan UU Kejaksaan, serta Peraturan Presiden 1965 tentang Penodaan Agama. Menurut Rahman, kejaksaan punya kewenangan untuk mengawasi keberadaan aliran-aliran kepercayaan dan agama. “Tapi keputusan akhir dalam kasus-kasus itu tentu kewenangan pengadilan.”

Kejaksaan tidak pernah melarang Ahmadiyah secara nasional. Namun, Rahman mengakui, di sejumlah daerah, kejaksaan telah mengeluarkan larangan itu. “(Tapi) bukan terhadap ajarannya, tapi larangan untuk menyebarluaskan ajaran itu.”

Rahman menilai, perdebatan ajaran agama dalam level tertentu tidak akan menimbulkan masalah. Namun, untuk kasus Ahmadiyah di Parung, “Ajaran ini jelas akan menimbulkan masalah.”

Dalam situasi semacam itu, peran aparat negara, khususnya polisi, sangatlah diperlukan. Kasusnya juga bisa mengalir ke pengadilan dan melewati kejaksaan. “Jadi mau tak mau (kami) akan menangani,” ucap Rahman. [Agus Supriyanto| Rofiqi Hasan)

Sumber : Edisi Cetak Koran Tempo | Selasa, 26 Juli 2005 | hlm. A4

Yuk Bagikan Artikel Ini!