Syahiid, jamaknya syuhada, artinya orang-orang yang setia, adalah kelompok ketiga dari empat golongan orang yang diberi nikmat oleh Allah Ta’ala.
Orang umumnya memaknai syahid hanya berarti orang yang mati terbunuh dalam pertempuran atau peperangan, atau yang mati tenggelam di sungai, atau yang mati karena wabah, dsb.
Tetapi aku berkata kepadamu, bahwa membatasi dan berpuas diri dengan pengertian syahid semacam itu adalah suatu perkara yang jauh dari kemuliaan iman.
Seorang syahid sejati adalah dia yang mendapatkan kekuatan istiqamah dan ketenangan hati dari Allah Ta’ala, sehingga tak ada goncangan dan malapetaka yang dapat menggoyahkan kesetiaannya.
Dia tunduk kepada Tuhan-Nya dengan suka cita dan tanpa rasa sesal. Ia memiliki kegigihan dan kesetiaan yang luar biasa, ketika dia diharuskan memberikan hidupnya demi Allah Ta’ala semata.
Ia bisa bertahan hidup di tengah-tengah penderitaan dan kesulitan. Bahkan dia ingin merasakan hidup berkali-kali demi untuk berjuang di jalan Allah.
Jiwanya dipenuhi dengan kesenangan dan ketenangan, sehingga setiap pedang yang ditebaskan di tubuhnya, dan setiap pukulan yang dihantamkan kepadanya, justru memberinya kehidupan, kegembiraan dan kesegaran baru. Inilah arti syahiid.
Kata syahiid bisa juga berasal dari kata syahd, yang artinya madu. Karenanya, seorang syahid seperti madu yang memiliki rasa manis. Ia sanggup bertahan dalam kesulitan, siap menanggung segala bentuk pengabdian, dan menanggung setiap kepahitan di jalan Allah.
Jika di dalam madu terkandung obat (QS 16:69), begitu pula adanya di dalam orang yang syahid. Maka barangsiapa bersahabat dengan orang syahid, ia bisa selamat dari banyak penyakit.
Kata syahiid juga digunakan untuk menyebut kondisi keadaan seorang manusia yang dapat melihat Allah dalam setiap perbuatannya, atau sekurang-kurangnya dia yakin bahwa Allah melihatnya. Orang syahid disebut juga ihsan.
Adapun shaalihiin, yakni para orang saleh, adalah kelompok keempat yang mendapat karunia nikmat dari Allah Ta’ala. Orang-orang itu disebut shaalihiin karena hati mereka telah suci bersih dari hal-hal buruk dan tak berguna.
Secara umum, jika badan tidak dalam kondisi sehat, maka makanan enak pun akan terasa tak enak di lidah. Sebaliknya, ketika badan dalam keadaan baik dan benar-benar sehat, maka segala sesuatu akan terasa enak dan nikmat.
Demikian pula ketika manusia terjerumus dalam kekotoran dan dosa, maka kondisi keadaan jiwanya akan memburuk, lantas kekuatan ruhaninya melemah, sehingga ia menjalani ibadah tanpa selera, dan ia pun tidak memperoleh kenikmatan dari ibadah yang dilakukannya. Kebingungan dan kecemasan melanda batinnya.
Tetapi ketika hal-hal buruk yang terjadi karena dosa itu mulai terkikis oleh karena pertobatan yang sungguh-sungguh, maka kebingungan dan keresahan dalam jiwanya mulai berkurang, hingga akhirnya ia temukan kedamaian dan kesenangan dalam hati.
Setiap orang secara naluriah mudah dan gampang melangkah ke arah dosa, bahkan kemudian menemukan kegembiraan dalam perbuatan yang dikendalikan oleh hawa nafsu itu.
Tetapi ketika seseorang mencapai posisi kesalehan, dia akan menganggap segala perbuatan dosa itu menjadi penyebab penderitaan dan kesedihan, serta menimbulkan goncangan pada ruh atau jiwanya.
Jika seseorang sudah menganggap kehidupan yang penuh dosa itu sebagai kegelapan, sementara itu pula ia temukan kegairahan, semangat yang meluap-luap, kesukaan dan kenikmatan di dalam beribadah, maka itu berarti kekuatan ruhaninya yang telah melemah karena kehidupan dosa sebelumnya, mulai tumbuh dan berkembang kembali, hingga muncullah pula kekuatan akhlaknya.
Disarikan oleh Yatimin AS dari Kitab Malfuzat Ahmadiyyah karya Hazrat Mirza Ghulam Ahmad, jld. 1, hlm. 217-218.
Comment here