Hari-hari ini telah beredar buku bertajuk “Ahmadiyah Telanjang Bulat Di Panggung Sejarah,” disusun oleh Abdullah Hasan Alhadar, dan diterbitkan oleh PT Al-Ma’arif, Bandung, tahun terbit 1980.
Buku ini diklaim ditulis berdasarkan 80 literatur, baik yang berbahasa Arab, Inggris maupun Indonesia. Di antaranya 32 buah literatur keagamaan umum, 9 literatur perbandingan non Ahmadiyah, 3 literatur Ahmadiyah Lahore, 7 literatur karya Hazrat Mirza Ghulam Ahmad, dan 38 literatur Ahmadiyah Qadian.
Buku ini diharapkan oleh pengarangnya “agar dapat dijadikan pangkal study mendalam terhadap Gerakan Ahmadiyah, disisipkan sebagai bahan tambahan untuk Lembaga Research Islam” (hlm. 17).
Buku ini dibagi menjadi 7 bab, yaitu:
- Pengantar Pada Pembuka. Merupakan pengantar yang bertalar belakang keyakinan dua agama: Kristen dan Islam, tentang kedatangan Al-Masih.
- Ahmadiyah sebagai Isolasionisme. Menerangkan bahwa Ahmadiyah adalah aliran yang mengisolir dan sebagai suatu sekte maupun pergerakan terpisah dan berdiri sendiri.
- Ahmadiyah sebagai Syncretisme. Menerangkan Ahmadiyah adalah aliran atau pergerakan yang ingin mempersatukan saluran pergerakan yang ada di bawah pimpinan seseorang.
- Ahmadiyah sebagai Crypto Muhammadanisme. Menerangkan Ahmadiyah adalah aliran maupun pergerakan yang secara diam-diam atau berselubuh mengoper ajaran-ajaran Islam.
- Ahmadiyah sebagai Diabolisme. Menerangkan Ahmadiyah adalah aliran maupun pergerakan yang ajaran-ajarannya diilhami oleh pengaruh-pengaruh iblis.
- Muslim India Awal Abad 19 Masehi. Menerangkan penderitaan kaum muslimin di bawah kekuasaan bangsa Sikh dan Inggris.
- Ahmadiyah Sebagai Parasitisme. Menerangkan bahwa Ahmadiyah adalah aliran maupun pergerakan yang memiliki sifat benalu, mengisap pada paohon yang ditumpanginya.
Buku setebal 723 halaman ini bahasanya lancar, komunikatif dan enak dibaca. Tetapi sayang, banyak digunakan bahasa kasar dan porno.
Lebih fatal lagi, menjungkirbalikkan fakta-fakta sejarah dan memberi penilaian yang telalu subjektif terhadap Ahmadiyah, yang disebutnya sebagai “sebuah aliran kepercayaan hasil refleksi dan imajinasi atas heterogenitas kepercayaan-kepercayaan di India”.
Pendirinya, Hazrat Mirza Ghulam Ahmad, disebut sebagai duplikat Sir Sayyid Ahmad Khan, pelepas azab, tukang laknat, Yesus India, raja kurman-kurman, dan sebagainya.
Dalam Bab I, penyusun menerangkan penyaliban Isa seperti yang diuraikan oleh Perjanjian Baru. Kematian Isa di atas salib menimbulkan keputusasaan pada umat Kristen permulaan. Keputusasaan ini mereka atasi dengan menciptakan suatu ajaran bahwa sesudah mati Isa Almasih hidup kembali.
Empat puluh hari sesudah kebangkitannya, Isa Almasih kembali ke tempatnya yang sejati, duduk di sebelah kanan Allah Bapak di langit. Dari langit, Isa akan turun kembali ke bumi (hlm. 12).
Sambil lalu, penyusun menerangkan kepercayaan itu terdapat pula di kalangan umat Islam. Hal inilah yang “membuat umat jadi lambat”. Maka sikap yang baik adalah tidak menanti dan tidak terlindas dalam pikiran untuk menanti. Lebih baik lagi membuang jauh doktrin kedatangan kembali Almasih maupun Almahdi (hlm. 16)
Pendapat penyusun itu bertentangan dengan kenyataan. Sejarah mencatat bahwa kaum Ahmadi yang mempercayai akan benarnya ajaran Islam tentang kedatangan Al-Masih dan Al-Mahdi menjadi sangat giat mengorbankan harta, jiwa dan tenaganya di jalan Allah untuk membela dan menyiarkan Islam ke seluruh pelosok dunia.
Kebenaran hadits Nuzulul Masih sebenarnya tak perlu diragukan, karena hadits itu secara maknawiyah mutawatir.
Penyusun buku ini menganggap pendiri Gerakan Ahmadiyah, Hazrat Mirza Ghulam Ahmad, tidak waras akalnya. Maka sang cucu dan sang putra, dan pengikut-pengikutnya, tentu tidak waras pula (hlm. 109), tidak pernah sembuh dari sakit (hlm. 148) dan pemalas (hlm. 188).
Bisakah orang tidak waras mengarang 84 buku yang membela dan menyiarkan Islam? Melakukan perjalanan jauh untuk ceramah, menerima puluhan ribu surat dan menjalani diskusi dengan pelbagai tokoh agama?
Pandangan penyusun terhadap Dr. Sir Muhammad Iqbal juga berat sebelah. Seolah-olah beliau seratus persen anti Ahmadiyah (hlm. 25). Padahal sebenarnya beliau tidak suka kepada Mirza Basyiruddin Mahmud Ahmad, pemimpin Ahmadiyah Qadian, yang mengangkat Hazrat Mirza Ghulam Ahmad sebagai Nabi dan Rasul, dan mengafirkan sesama kaum muslimin.
Dan juga masalah pribadi dan politik. Dalam bidang teologi, Dr. Sir Muhammad Iqbal banyak persamaan dengan Ahmadiyah dan pendirinya. Misalnya tentang jihad, Dajjal Ya’juj wa Ma’juj, sorga dan neraka, dsb.
Mengenai Mirza Ghulam Ahmad, Iqbal berkata, “Mirza Ghulam Ahmad Qadiani adalah pemikir agama yang terbesar di antara kaum Muslimin India pada abad ini/” (Antiquery, September 1900).
Dan mengenai Ahmadiyah Lahore, Iqbal berkata: “Terhadap Gerakan Ahmadiyah, sepanjang pengetahuan saya, adalah para warga organisasi Lahore yang saya anggap kaum muslimin yang sangat mulia dan saya sangat simpati atas usaha-usahanya untuk menyiarkan Islam.” (Iqbal-Nma, jilid II, Majmu’a Makatib Iqbal, hlm. 232, disusun oleh Syaik Ataullah).
Dan masih segudang lagi fitnah, caci maki dan tuduhan-tuduhan palsu yang dilancarkan terhadap Ahmadyah dan pendirinya. Itulah intisari buku yang sedang kita bicarakan ini.
Kiranya tak perlu diperpanjang. Saya teringat nasehat nenek, “yen seneng ora kurang pangalem lan yen gething ora kurang panyacat.”
- Penulis : K.H. S. Ali Yasir | Ketua Umum PB GAI Masa Bakti 1995-1999
- Sumber Artikel : Harian Kedaulatan Rakyat, 18 Mei 1981
Comment here