Diskursus

Gerakan Ahmadiyah dalam Krisis

Sebenarnya, saya berharap juga bahwa pemikiran Islam liberal bisa berkembang di lingkungan Ahmadiyah, mengingat tradisi rasionalisme yang telah tertanam dalam teologi Ahmadiyah. Namun saya memiliki keraguan, karena dalam ancaman tuduhan “sesat dan menyesatkan” atau “menodai aqidah,” Ahmadiyah tentu akan mengalami hambatan dalam mengembangkan pemikiran yang liberal.

 Oleh : Dawam Raharjo | Cendekiawan Muslim

JEMA’AT AHMADIYAH, demikian mereka memanggil dirinya. Di Pakistan, negara kelahirannya sendiri, sejak 1889, secara konstitusional pada tahun 1984, dianggap sebagai kelompok non-Muslim dan golongan minoritas, namun diberi hak hidup, bahkan mempunyai perwakilan di parlemen. Sedang di dunia Islam, organisasi-organisasi Dunia Islam, semacam Rabithah Alam Islami yang berpusat di Saudi Arabia itu, juga menganggap Ahmadiyah sebagai kelompok yang “sesat dan menyesatkan” dan karena itu tidak diizinkan mendirikan organisasi formal yang menyelenggarakan kegiatan pengembangannya.

Di kebanyakan negara-negara Islam, Ahmadiyah dilarang menyebarkan ajaran-ajarannya, tidak boleh menamakan masjid sebagai tempat beribadah dan juga tidak diperbolehkan menyerukan adzan sebagai cara memanggil orang bersembahyang. Di Indonesia, baru-baru ini, menjelang Hari Raya Idhul Fitri, Jema’at Ahmadiyah oleh Front Pembela Islam, dilarang mengikuti sholat Id, dan hanya boleh melakukan ibadah itu di dalam rumah mereka masing-masing. Ketika anggota Jemaat Ahmadiyah akan melaksanakan sholat Id di Parung, maka polisi mencegah mereka, karena khawatir akan terjadi tindak kekerasan.

Padahal Ahmadiyah sendiri tidak menganggap dirinya sebagai kelompok non-Muslim. Mereka hanya mengaku sebagai sebuah sekte atau mazhab dalam Islam. Bahkan mereka juga menganggap diri mereka sebagai salah satu bentuk dan manifestasi gerakan kebangkitan Islam pada abad ke-19.

Namun, karena mereka ditolak identifikasinya sebagai bagian umat Islam, maka mereka melakukan kegiatannya sendiri. Bagaikan kaum Muslim di zaman Nabi dalam periode awal, karena ditolak di negeri kelahirannya sendiri, sehingga terpaksa hijrah ke Negeri Kristen Abesenia dan kemudian Yathrib yang sudah merupakan suatu masyarakat plural, gerakan Ahmadiyah juga terpaksa hijrah ke negara-negara non Muslim atau negara-negara sekuler.

Sejak tahun 1985, Mirza Thahir Ahmad, Khalifah gerakan Ahmadiyah, memindahkan pusat kegiatannya ke London. Tapi justru di negara-negara sekuler itulah Ahmadiyah berkembang pesat, bukan saja karena gelombang migrasi orang-orang India-Pakistan, tetapi juga karena bertambahnya penganut Islam di kalangan orangorang Eropa Barat sendiri.

Pemerintah Inggris, dengan alasan perlindungan terhadap hak-hak asasi manusia, terutama kebebasan beragama, orang-orang Ahmadiyah diberi kemudahan untuk berpindah ke Inggris dan negara-negara Eropa Barat lainnya, sehingga banyak orang yang sebenarnya bermotivasi untuk bermigrasi ke Eropa Barat yang lebih makmur, masuk Ahmadiyah agar mendapatkan kemudahan meninggalkan tanah airnya yang masih dililit kemiskinan dan penindasan politik. Faktor ini juga memberikan kontribusi yang berarti bagi perkembangan gerakan yang mula pertama didirikan oleh Mirza Ghulam Ahmad di India-Pakistan itu.

Gerakan Ahmadiyah, sebagai organisasi sudah dikenal di Indonesia sejak 1924 dengan berdirinya sempalan gerakan ini, yaitu Ahmadiyah Lahore yang dipimpin oleh Mohammad Ali. Ini disusul dengan masuknya Ahmadiyah yang lebih “asli” yaitu Ahmadiyah Qadian, lewat Tapak Tuan Aceh. Namun, di Indonesia, yang lebih dikenal adalah Ahmadiyah Lahore, karena penerbitan-penerbitan mereka tentang Islam dalam bahasa Inggris. Dari penerbitan-penerbitan itulah, terutama karangan Mohammad Ali dan Kwaja Kamaluddin, tokoh pergerakan Islam HOS Tjokroaminoto, banyak belajar Islam, karena ia tidak bisa berbahasa Arab sehingga tidak bisa membaca literatur Islam berbahasa Arab.

Belajar Islam dari Ahmadiyah ini diikuti pula oleh Bung Karno muda, seorang nasionalis Muslim yang mulai tertarik pada ajaran Islam. Bung Karno sendiri suka membaca literatur Ahmadiyah yang dinilainya mampu menjelaskan ajaran Islam secara rasional, sementara itu ia melihat Islam tradisional sebagai ajaran yang penuh dengan kekolotan, sehingga ia menyebutnya “Islam Sontoloyo.” Karena simpatinya yang terbuka kepada gerakan inilah maka Bung Karno pernah dituduh sebagai telah masuk Ahmadiyah bahkan menjadi agen penyiaran, sehingga ia terpaksa menulis sebuah artikel yang berjudul “Saya Tidak Percaya Ghulam Muhammad Sebagai Nabi.”

Jadi Bung Karno tertarik dengan dakwah Ahmadiyah, tetapi tidak bisa menerima salah satu unsur aqidahnya, yaitu tentang kepercayaan kepada nabi. Pada waktu itu persepsi umum di kalangan umat Islam adalah bahwa orang Ahmadiyah mempercayai adanya nabi baru sesudah Muhammad saw. yang dipercaya sebagai nabi dan rasul, pungkasan (khataman Nabi) dengan seruan “la nabiya ba’dah, ” tak ada nabi sesudah itu. Menganggap Ghulam Ahmad sebagai Nabi adalah sebuah penyelewengan aqidah yang hukumnya “sesat dan menyesatkan.”

Namun, dalam gerakan sempalan Lahore, Mirza Ghulam Ahmad tidak diakui sebagai nabi, melainkan hanya seorang mujaddid. Sebenarnya pengakuan inipun ditolak oleh kebanyakan umat Islam. Mereka menganggap Jamaluddin Alafghani dan Muhammad Abduh sebagai mujaddid. Karena itu maka Ahmadiyah Lahore tidak dipandang sesat dan karena itu dakwahnya masih bisa diikuti.

Apalagi, buku-buku Muhammad Ali memang berisikan pemikiran-pemikiran yang cemerlang dan mengagumkan. Ia telah menerjemahkan al-Qur’an ke dalam bahasa Inggris, dalam bahasa sastra Inggris yang tinggi mutunya, dengan judul “The Holy Qur’an” (1909). Ia juga telah menyusun sebuah buku Pengantar Islam (introduction to Islam) dalam bahasa Inggris, dalam suatu narasi yang anggun dan dapat diterima oleh golongan berpendidikan. Ia juga mengarang sebuah buku mengenai sejarah Muhammad yang disadur oleh HOS Tjokroaminoto.

Dakwah gerakan Ahmadiyah Lahore ini telah memberikan sumbangan yang sangat besar terhadap pembentukan persepsi Islam secara modern dalam gerakan Islam di Indonesia. Namun Islam dalam wacana Ahmadiyah bukan merupakan Islam ideologis-politis, melainkan lebih sebagai Islam-kultural. Di situ Islam dipersepsikan sebagai suatu agama yang rasional dan cocok dengan masyarakat modern.

Ahmadiyah Qadian juga ikut berkembang, tetapi lebih secara diam-diam, terutama setelah mendidik sejumlah anak muda dari Madrasah Thawalib, Padang Panjang. Jika Ahmadiyah bergerak di tataran cendekiawan dan kaum terpelajar, maka Qadian lebih banyak bergerak di tingkat bawah dengan membentuk kelompok-kelompok masyarakat oleh mubaligmubalig muda yang terdidik. Karena itu dakwah keduanya juga berbeda.

Jika Ahmadiyah Lahore mengenalkan Islam sebagai agama yang rasional, maka Ahmadiyah Qadian lebih mengutamakan pendidikan akhlak dalam rangka pembentukan masyarakat ethis (ethical community). Selain itu Ahmadiyah Qadian lebih menekankan ortodoksi yang tak berbeda dengan Islam Sunni pada umumnya, walaupun lebih bercorak teologi daripada fiqih.

Di Indonesia, Ahmadiyah dikenal dengan Tafsir al Qur’an yang dikarang oleh Khalifah Kedua, Bashiruddin Mahmud Ahmad. Tafsir inilah yang dijadikan bahan siaran tafsir al Qur’an RRI yang disampaikan oleh Ustadz Zulkifli Mahmud yang terkenal. Buku tafsir ini juga luar biasa menarik, karena mampu menggali arkeologi agama-agama sebelum Islam, dalam menjelaskan ayat-ayat al Qur’an.

Pemikiran Bashiruddin Mahmud Ahmad ini, pada tahun 1950-an dipopulerkan di Indonesia oleh seorang sastrawan Muslim terkemuka, Bahrum Rangkuti. Pengaruh ini nampak dalam buku sastrawan Angkatan ’45 itu “Kandungan Alfatihah,” sebuah wacana teologi bercorak sastra.

Sebagaimana diketahui Bahrum Rangkuti juga dikenal sebagai seorang yang memperkenalkan puisi dan filsafat Mohammad Iqbal di Indonesia, dengan bukunya yang terkenal “Rahasia Pribadi” (Asraril Khudi). Sekalipun berkembang dalam wacana publik, tidak ada kelompok umat Islam yang menentang wacana itu, bahkan disambut hangat di dunia kebudayaan. Bahrum Rangkuti sendiri pada zaman awal Orde Baru, pernah menjabat sebagai Sekretaris Jenderal Departemen Agama di bawah Menteri A. Mukti Ali. Pada menteri intelektual itu tahu persis apa itu Ahmadiyah dan siapa Bahrum Rangkuti yang pengikut Ahmadiyah Qadian itu.

Tidak adanya reaksi dari kalangan umat Islam itu menunjukkan bahwa gerakan Ahmadiyah tidak mengembangkan ajaran yang “aneh-aneh” yang dianggap menyimpang dari ajaran Islam, sehingga umat Islam seolah-olah lupa, bahwa Ahmadiyah memiliki unsur aqidah kenabian yang dianggap menyimpang.

Di Yogyakarta, pernah berkembang pengajian Ahmadiyah dengan nama “Sunday Morning Class” (di lingkungan Gereja Kristen dikenal sebagai Bible School) yang disampaikan dalam bahasa Inggris oleh ustadz Mohammad Irsyad. Pengajian itu ramai dikunjungi orang, terutama dari kalangan mahasiswa. Djohan Efendi, yang masih mahasiswa dan aktivis HMI Cabang Yogya adalah seorang asisten dalam pengajian itu.

Para mahasiswa Ahmadiyah di Yogya umumnya adalah aktivis HMI, misalnya Sofyan Lamardy. Kalangan HMI juga mengetahui adanya unsur Ahmadiyah, tetapi mereka tidak melakukan reaksi yang negatif. Salah seorang tokoh cendekiawan Ahmadiyah adalah dokter Ahmad Muhammad Djojosugito, putera Djojosugito, penerjemah al Qur’an ke dalam bahasa Jawa. Tokoh Ahmadiyah yang juga menonjol di kalangan kebudayaan adalah Soedewo, yang uraian-uraiannya mengenai Islam sangat menarik karena tidak konvensional.

Dengan nama samaran, dokter Ahmad Muhammad pernah membuat karangan bersambung di majalah “Media” yang diterbitkan oleh PB HMI mengenai Yesus. Dalam karangan itu, ia membongkar mitos-mitos mengenai Yesus atau Nabi Isa as yang dipercaya oleh orang Kristen maupun Islam, misalnya Yesus lahir dari seorang ibu yang perawan suci dan Yesus bisa berbicara ketika masih bayi, walaupun tulisan itu dibantah oleh seorang rekannya yang juga seorang dokter, Zainuri Kosim yang membantahnya dengan wacana ortodoksi Islam tentang nabi Isa as. Walaupun polemik itu sangat serius, tapi dokter Zainuri Kosim tidak pernah menyerang lawan polemiknya sebagai penganut Ahmadiyah yang sesat.

Lebih luas lagi, seorang ulama Sunni, Hasbullah Bakrie membongkar pula mitos mengenai Yesus, misalnya bahwa Yesus itu mati di tiang salib. Wacana seperti ini memang bersumber dari Ahmadiyah yang membuat wacana arkeologis bahwa Nabi Isa itu sebenarnya tidak wafat di tiang salib dan dalam waktu 40 hari sembuh kembali, tetapi melepaskan misi kenabiannya dan mengembara sebagai orang suci dan akhirnya wafat dan dikuburkan di Kashmir. Pengikut ajaran Nabi Isa itu konon masih ada di Kashmir hingga sekarang. Tapi wacana ini tidak menimbulkan reaksi di kalangan umat Islam yang membawa kepada tuduhan terhadap Ahmadiyah sebagai golongan sesat dan menyesatkan.

Masalah Nabi Isa as ini pernah menimbulkan suatu debat terbuka yang dihadiri oleh sekitar 500 orang. Ahmadiyah diwakili oleh Rachmat Ali, sedangkan dari kalangan umat Islam Sunni diwakili oleh tokoh besar Ustadz A. Hassan Bandung, yang sangat kondang kepiawaiannya dalam debat dan polemik debat yang terjadi pada tahun 1933 itu berlangsung dengan santun dan bermutu.

Debat itu membuat peraturan dalam berdebat yang antara lain melarang peserta mengeluarkan reaksi-reaksi emosional, bahkan isyarat yang bersifat mendukung atau menolak pembicara, sehingga tidak terjadi teriakan-teriakan semacam “Allahu Akbar” dan semacamnya yang memancing emosi itu. Debat ini pun berakhir secara damai, tanpa mengakibatkan dampak kekerasan terhadap Ahmadiyah. Bahkan konon, moderator debat itu justru tertarik kepada Ahmadiyah dan bergabung ke dalam organisasi ini.

Padahal di Pakistan sendiri, pengikut Ahmadiyah mengalami penganiayaan dan tindakan kekerasan yang sulit dipercaya, yaitu tindakan yang lebih kasar dari yang pernah dialami oleh para sahabat Nabi oleh kaum musyrik Quraish pada awal dakwah Islam di Mekah.

Namun tindakan-tindakan dari kalangan umat Islam yang sudah keluar dari kemanusiaan itu, tidak menyebabkan pengikut Ahmadiyah bergeming. Bahkan sekte ini terus berklembang sehingga membawa perhatian dari Pemerintah Pakistan sendiri. Tapi sikap Negara Islam itu adalah memihak kepada golongan mayoritas sehingga menjatuhkan hukuman kepada Jema’at Ahmadiyah dengan menetapkan jemaat ini sebagai golongan minoritas non Muslim. Namun di lain pihak, Gerakan Ahmadiyah memperoleh status hukum resmi sebagai organisasi legal dan boleh melakukan kegiatannya.

Di Indonesia, dalam jangka waktu lama, gerakan Ahmadiyah tidak mengalami gangguan. Bahkan seorang tokoh Ahmadiyah Qadian seperti Brigjen Bahrum Rangkuti memperoleh posisi yang tinggi di lingkungan militer, yaitu sebagai Imam Tentara dan kemudian diangkat sebagai pejabat tinggi di Departemen Agama RI, tanpa protes.

Baru pada tahun 1980, dalam Musyawarah Nasional ke II di Jakarta, Majelis Ulama Indonesia (MUI), memfatwakan Jema’at Ahmadiyah sebagai golongan di luar Islam dan merupakan kelompok yang sesat dan menyesatkan. Fatwa ini menurut MUI didasarkan pada kajian terhadap 9 buku mengenai Ahmadiyah, tanpa menyebutkan buku apa saja dan juga tanpa klarifikasi dengan Jema’at Ahmadiyah sendiri. Fatwa tersebut dapat dinilai sebagai pengadilan in absensia dan tanpa pemberian hak terhadap tertuduh untuk menjawab dan memberikan klarifikasi.

Pada tahun 1981, Kedutaan Besar Saudi Arabia di Jakarta mengirim surat kepada Menteri Agama RI agar melarang Ahmadiyah di Indonesia. Tapi Depag tidak cepat bereaksi. Baru pada tahun 1984, terbit Surat Edaran Dirjen Bimas Islam dan Urusan Haji, Depag RI yang berisikan penilaian bahwa gerakan Ahmadiyah membahayakan negara dan menodai agama. Surat Edaran ini didasarkan pada Rekomendasi Rakernas MUI yang menyatakan bahwa Ahmadiyah berbahaya bagi ketertiban dan keamanan negara. Padahal Ahmadiyah sendiri tidak pernah berbuat onar atau mengacau, tidak pernah pula mengkritik aliran lain, sebagaimana Muhammadiyah pernah mengkritik paham-paham yang dianut oleh NU dan sebaliknya. Ahmadiyah mampu membentuk komunitas-komunitas yang damai tapi penuh gairah dalam beragama.

Yang menjadi pertanyaan adalah, apa hak yang dimiliki oleh MUI untuk tidak mengakui Ahmadiyah sebagai bagian dari umat Islam? Meminjam kalimat Dr. Komaruddin Hidayat, apakah ada otoritas agama yang mendapat “lisensi” dari Tuhan? Di situ MUI telah bertindak sebagai otoritas keagamaan seperti yang pernah dipegang oleh kekuasaan Vatikan pada Abad Pertengahan yang memancing gerakan reformasi Protestan di Eropa Barat yang diikuti dengan gelombang migrasi orang-orang Eropa ke benua Amerika yang sekuler dan liberal itu.

Dengan demikian maka tekanan yang menimpa Jema’at Ahmadiyah bersumber dari tiga otoritas, yaitu MUI dan Departemen Agama yang mendapat tekanan dari unsur asing, yaitu Pemerintah Saudi Arabia yang juga merasa memiliki otoritas atas ortodoksi Islam. Surat dari Kedubes Saudi Arabia itu sebenarnya dapat dinilai sebagai sebuah intervensi asing terhadap masalah dalam negeri Indonesia.

Gejala ini menunjukkan terjadinya politisasi terhadap kehidupan beragama di Indonesia yang menimbulkan masalah kebebasan beragama yang merupakan bagian dari hak-hak asasi manusia itu. Dari sinilah mulai tersebar persepsi di kalangan umat Islam mengenai kesesatan Jema’at Ahmadiyah. Ini diikuti oleh upaya-upaya untuk “membongkar” bukti-bukti “kesesatan” Ahmadiyah tersebut, antara lain dengan menggali biografi pendiri Ahmadiyah, Mirza Ghulam Ahmad dan mengkritisi buku kumpulan wahyu yang disebut Tadzkirah. Dari sini lahir tuduhan bahwa Ahmadiyah mempunyai kitab suci tersendiri di luar al Qur’an.

Tentang kenabian Mirza Ghulam Ahmad, Surat Edaran Depag RI mengatakan bahwa Ahmadiyah adalah gerakan sesat karena menganggap dirinya sebagai nabi dan dengan demikian menanggap Nabi Muhammad saw. bukan nabi terakhir sebagaimana dipercayai oleh seluruh umat Islam.

Salah satu fatwa pengkafiran di tingkat internasional pernah pula lahir dari otoritas ulama al Azhar. Tapi konon, fatwa itu sebenarnya adalah pesanan dari Raja Fuad ketika itu. Latar belakangnya adalah kritik seorang tokoh Ahmadiyah Qadian, Zafrullah Khan, yang pernah menjabat sebagai Menteri Luar Negari Pakistan pada awal berdirinya negara itu. Kemudian tokoh ini diangkat menjadi Ketua Mahkamah Internasional ( International Court of Justice). Ketika itu tokoh ini mengkritik Raja Fuad dari Mesir, sebagai seorang raja yang suka berfoya-foya. Padahal ia dicalonkan menjadi Khalifah, jika kekhalifahan Islam berhasil didirikan.

Tapi ide pembangunan kembali Khilafah Islam itu ditolak antara lain oleh Mohammad Rashid Ridha, seorang pembaharu Islam di Mesir, murid Mohammad Abduh. Karena sakit hatinya, ia meminta kepada ulama al Azhar untuk mengeluarkan fatwa pengkafiran Ahmadiyah, organisasi yang diikuti oleh Zafrullah Khan.

Di Indonesia, fatwa ini dikritik dan Zafrullah Khan dibela oleh Mohammad Natsir, rekannya dari Indonesia, yang mengetahui betapa besar peran Zafrullah Khan dalam membela perjuangan rakyat Palestina melawan Israil. Dalam pembelaannya itu, Natsir sudah tentu tahu persis tidak saja siapa Zafrullah Khan itu, tapi juga apa itu aliran Ahmadiyah.

Hingga kini belum diteliti apa latar belakang fatwa MUI tahun 1980 dan Surat Edaran Depag tahun 1984. Padahal pada tahun 1978 keluar Keputusan Menteri Agama mengenai Pedoman Penyiaran Agama yang antara lain menyatakan agar umat beragama menjaga stabilitas nasional dan tegaknya kerukunan antar umat beragama, supaya dilaksanakan dengan semangat kerukunan, tenggang rasa, tepo salira, saling menghargai, hormat menghormati antar umat beragama juga kerukunan inter agama yang sama (antara pemeluk agama yang sama), sesuai dengan jiwa Pancasila.

Berhadapan dengan Keputusan Menteri Agama ini, maka Surat Edaran tahun 1984, pada dasarnya bertentangan dengan surat keputusan itu, karena sejak itu telah terjadi permusuhan dari kelompok mayoritas terhadap kelompok minoritas di kalangan umat Islam sendiri.

Sungguhpun demikian, sesudah itu tak terjadi peristiwa kekerasan terhadap Ahmadiyah. Hingga pada tahun 2001 Bupati Lombok Barat mengeluarkan SK tentang pelarangan terhadap kegiatan Ahmadiyah. Setahun kemudian Lembaga Penelitian dan Pangkajian Islam (LPPI) yang diprakarsai oleh Amin Jamaluddin menyelenggarakan seminar di Masjid Al Azhar, Jakarta yang mengambil kesimpulan tentang kesesatan Ahmadiyah karena penodaan aqidah.

Ini diikuti dengan sebuah Penataran Anti-Ahmadiyah oleh LPPI yang antara lain dihadiri oleh Atase Keagamaan Saudi Arabia di Kedubes Saudi Arabia di Jakarta. Dampaknya adalah Surat Edaran Bupati Lombok Timur mengenai pelarangan Ahmadiyah. Langkah itu diikuti oleh Bupati Kuningan, karena di Kuningan telah tumbuh komunitas Ahmadiyah di Manis Lor. Profil komunitas Manis Lor yang damai dan sejahtera itu pernah ditulis di jurnal Ulumul Qur’an yang dilaporkan oleh Djohan Efendi, salah seorang staf peneliti Depag.

Kemudian, pada awal abad ke-21 itu, telah lahir buku-buku dan artikel-artikel mengenai kesesatan Ahmadiyah. Ikut menyebarkan sikap anti-Ahmadiyah itu adalah majalah Sabili yang besar oplagnya. Namun Ahmadiyah bukan satu-satunya kelompok yang dianggap sesat. Kelompok-kelompok keagamaan lain yang dinilai sesat antara lain adalah Inkarus Sunnah, Pembaharuan Isa Bugis, Gerakan Darul Arqam, juga Mahad Al Zaitun, Lembaga Dakwah Islam Indonesia (LDII), agama Baha’i dan Syi’ah, belum lagi berbagai aliran kebatinan yang percaya kepada Tuhan Yang Maha Esa.

Pernyataan sesat itu dilatar-belakangi oleh gerakan pemurnian Islam yang antara lain ingin meluruskan aqidah. Penekanan kepada konfirmasi aqidah inilah yang dilakukan oleh kaum fundamentalis Kristen, di AS ketika mereka berhadapan dengan kritik ilmu pengetahuan terhadap Bibel. Sementara itu yang dianggap sebagai penyelewengan dalam paham Ahmadiyah adalah unsur aqidah yaitu mengenai wahyu dan kenabian.

Tuduhan penyimpangan aqidah ini tentu saja dibantah, baik oleh perorangan maupun organisasi resmi Ahmadiyah. Pada tahun 2003 ini, Jema’at Ahmadiyah Indonesia telah menerbitkan sebuah makalah yang berjudul “Klarifikasi atas Telaah Buku Tadzkirah” yang berisikan beberapa artikel, yang pertama adalah klarifikasi terhadap Laporan Telaah Tadzkirah yang dilakukan oleh Tim Peneliti Puslitbang Lektur Keagamaan Depertemen Agama Republik Indonesia.

Artikel itu juga memberikan penjelasan mengenai soal wahyu, justifikasi tentang kenabian Ahmad (Mirza Ghulam Ahmad), masalah pengertian kafir, membantah tuduhan bahwa Mirza Ghulam Ahmad adalah penganut paham Wahdatul Wujud, mengenai kabar-kabar gaib tentang Muhammadi Begum, tentang penghidmatan terhadap pemerintahan kerajaan Inggris yang kesemuanya merupakan sumber kesalah-pahaman dan fitnah.

Dalam penerbitan itu dilampirkan pula surat dari Depertemen Agama yang berisikan undangan untuk mendiskusikan soal Tadzkirah. Ini menunjukkan bahwa Departemen Agama RI memang ingin ikut mengatur soal-soal aqidah yang dianut oleh kelompok-kelompok keagamaan.

Dalam suatu seminar yang diselenggarakan oleh Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), Jema’at Ahmadiyah juga telah menyusun suatu makalah yang berjudul “Menjawab Berbagai Tuduhan Teologis.” Buntut dari tulisan-tulisan itu adalah aksi kekerasan yang mulai muncul pada awal abad 21, misalnya penyerbuan terhadap komunitas Ahmadiyah di Pancor, Lombok Timur, dan menjalar ke Lombok Utara yang memakan korban manusia yang terbunuh dalam aksi kekerasan itu.

Kemudian, terjadilah puncak aksi kekerasan itu dengan penyerbuan Kampus Mubarak yang merupakan Kantor Pusat Jema’at Ahmadiyah, di Parung Bogor pada pertengahan Juli 2005. Tak lama kemudian, pada akhir Juli, Musyawarah Nasional MUI mengeluarkan fatwa lagi yang sifatnya mengukuhkan fatwa tahun 1980 yaitu menyatakan Ahmadiyah sebagai kelompok non-Muslim yang sesat dan menyesatkan.

Ini berlanjut dengan penyerbuan yang serupa pada komunitas Ahmadiyah di Kuningan dan Cianjur, termasuk pembakaran masjid-masjid Ahmadiyah. Di sini, fatwa MUI seolah-olah membenarkan aksi kekerasan itu, walaupun MUI secara formal menyatakan tidak menghendaki aksi kekerasan itu, namun mendesak Pemerintah untuk melarang gerakan Ahmadiyah. MUI tidak mau tahu bahwa fatwa MUI itu dijadikan sumber referensi tindak kekerasan, walaupun MUI daerah selalu terlibat dalam rencana tindak kekerasan.

Namun kali ini fatwa MUI dan aksi-aksi kekerasan itu menimbulkan reaksi di kalangan LSM. Lebih-lebih karena disamping memfatwakan sesat terhadap Ahmadiyah, MUI juga mengharamkan paham Liberalisme, Sekularisme dan Pluralisme. Reaksi itu menilai bahwa sikap dan tindakan terhadap Ahmadiyah itu merupakan bagian dari gejala yang lebih luas, yaitu penekanan terhadap kebebasan beragama.

Tapi timbul bantahan bahwa fatwa MUI hanya berurusan dengan masalah “rumah tangga” umat Islam dan tidak menyangkut agama-agama lain. Tapi keterangan itu dijawab dengan kenyataan bahwa tak lama kemudian timbul aksi-aksi penutupan rumah-rumah ibadah umat Kristen di Jawa Barat, DKI dan Banten. Tapi fakta itu pun dibantah dengan penjelasan bahwa kelompok umat Islam itu tidak menutup gereja-gereja sebagai rumah ibadah umat Kristen, melainkan menutup rumah-rumah ibadah “liar” tanpa izin yang mempergunakan rumah biasa sebagai tempat ibadah.

Latar belakang dari tindakan kekerasan itu sebenarnya adalah penilaian bahwa rumah-rumah ibadah yang didirikan ditengah-tengah pemukiman kaum Muslim itu adalah suatu kegiatan “Kristenisasi” yang memurtadkan orang Islam. Gejala ini dijelaskan dengan berdirinya sebuah organisasi yang bernama “Aliansi Gerakan Anti Pemurtadan” (AGAP).

Tindakan-tindakan yang sebenarnya berada di luar wewenang yang hanya dimiliki oleh pemerintah itu ternyata selalu merujuk kepada SKB 2 Menteri 1969 yang mengatur pendirian rumah ibadah itu. Karena protes, maka Depag mengambil langkah untuk melakukan revisi terhadap SKB 2 Menteri 1969 itu, tapi langkah ini pun menimbulkan tentangan keras.

Fatwa MUI dan tindakan kekerasan terhadap Jema’at Ahmadiyah ternyata mengandung hikmah yang besar. Kini telah timbul aliansi antara berbagai kelompok antaragama dan aliran kepercayaan yang berdiri di satu front untuk memperjuangkan kebebasan beragama. Situasi ini sulit kita bayangkan terjadi di masa lalu. Kelompok itu bersatu melawan tesis “Clash of Civilization” yang dikembangkan oleh Samuel Huntington. Kini, mereka telah merencanakan untuk melakukan serangkaian dialog antarperadaban dalam rangka untuk menegakkan masyarakat Pancasila di bumi Indonesia.

Dalam situasi krisis itu, gerakan Ahmadiyah nampak berusaha untuk melakukan oto-kritik dan penyesuaian dalam rangka melakukan integrasi dengan masyarakat plural. Pengalaman telah menunjukkan bahwa Sekularisme adalah paham yang sangat dibutuhkan, karena berdasarkan pengalaman itu, justru dalam alam sekularlah gerakan Ahmadiyah bisa berkembang ke seluruh dunia. Dan kini, dalam masyarakat Indonesia, pluralisme menawarkan pemecahan masalah yang dihadapi oleh Ahmadiyah.

Sebenarnya, saya berharap juga bahwa pemikiran Islam liberal bisa berkembang di lingkungan Ahmadiyah, mengingat tradisi rasionalisme yang telah tertanam dalam teologi Ahmadiyah. Namun saya memiliki keraguan, karena dalam ancaman tuduhan “sesat dan menyesatkan” atau “menodai aqidah,” Ahmadiyah tentu akan mengalami hambatan dalam mengembangkan pemikiran yang liberal. Jadi, karena trauma masa lalu, Ahmadiyah akan berusaha untuk mendekati ortodoksi untuk membuktikan bahwa Ahmadiyah itu adalah merupakan bagian dari Islam.

Buku yang ditulis oleh M. A. Suryawan ini ditulis dalam situasi krisis. Cendekiawan seperti penulis buku ini merasa terpanggil untuk melakukan suatu pembelaan terhadap Ahmadiyah. Di satu pihak memang nampak percikan-percikan pemikiran yang bersifat heterodoks. Namun arus utama dari pemikiran yang ditulis dalam buku ini cenderung untuk mendekati ortodoksi. Inilah agaknya dilema yang dihadapi oleh gerakan Ahmadiyah, terutama di Indonesia.[]

Tulisan di atas adalah pengantar untuk buku berjtajuk “Bukan Sekedar Hitam Putih: Kontroversi Pemahaman Ahmadiyah”, oleh M.A. Suryawan, diterbitkan Az-Zahra Publishing, 2005. 

Yuk Bagikan Artikel Ini!

Comments (3)

  1. Semangat terus

  2. Assalamu ‘alaikum. Salam. menitip jejak.

  3. CAHAYA CINTA KASIH
    Yakinilah bahwa Allah Swt Pencipta, Pemilik, Penguasa Alam semesta dan segala-galanya ini adalah Ahad, Satu “Tunggal”, dan tanpa sekutu. Dan Cintailah Allah melebihi dari apapun dan siapapun lalu Kasih sayangilah sesamamu karena Allah, sebagaimana Allah telah Mengasih Sayangimu! “Inilah Jalan Yang Lurus Itu”! Jalannya Orang-orang yang Allah telah diberi nikmat sebelum kita yaitu Para Nabi, Orang-orang Benar dan Jujur, Para Pejuang Agama yang Ikhlas, Para pelaku Kebajikan karna Allah lalu ikutilah Akhlak dan Cara-cara ibadah Nabi Muhammad Saw dengan Ikhlas dan Khusyuk”Sungguh2”. Inilah Yang dikehendaki Allah Swt didalam Al Qur’an!
    Kenapa harus meyakini Allah itu Ahad, Tunggal? Sebab perbedaan Agama sama sekali tidak bisa membuktikan bahwa berbeda pula Pencipta, Pemelihara dan Yang Berkuasa atas manusia dan semua mahkluk yang ada dialam semesta ini . Dan setiap pelopor agama yang benar pasti mengajak dan mengajar pengikutnya untuk mengenal, mendekatkan diri dan bersyukur kepada Pencipta yang Tunggal itu tanpa perantara! Sebab terputusnya hubungan manusia dengan Penciptanya menyebabkan manusia akan lebih cenderung mengikuti nafsunya sendiri atau nafsu orang lain. Yang akhirnya mereka saling berharap dan menyembah kepada sesama makhluk. Jika kita mensekutukanNYA dengan mahkluk pasti kita akan lebih mencintai makhluk dan membenci lalu melupakan dan tidak MemuliakanNYA dengan sebenarnya.ketahuilah Inilah yang menjadi penyebab awal terjadinya berbagai macam ragam kerusakan dimuka bumi ini dan penyebab pertumpahan darah yang tidak manusiawi dan penyebab hilangnya harmonisasi antar sesama manusia, mahkhluk dan alam sejak awal kemanusiaan . Mustahil dan Dusta jika ada yang mengatakan Kuasa mendamaikan dan mensejahterakan apa yang ada dimuka bumi selain mengajak kembali manusia2 itu kepada Penciptanya sesuai fitrahnya!
    Sedikit untuk dipikirkan dan dipahami bahwa “Firman (Sabda, Perkataan, Perintah)) itu berasal dari Allah tetapi Firman bukanlah berarti Allah dan Allah juga Bukan Firman” Tetapi Allah menciptakan Langit, Bumi maupun benih calon jasad Isa as didalam rahim ibunya cukup hanya dengan FirmanNYA (Perkataan, Sabda) saja, maka terwujudlah apa Yang DikehendakiNYA dan Nggak perlu repot2! Dengan demikian Langit, Bumi atau Isa As bukanlah anak Allah sebab diciptakan langsung dengan FirmanNYA, Sebagaimana Allah juga pernah menciptakan jasad Adam as dan setelah sempurna kejadiannya lalu Allah meniupkan ruh-NYA kedalam jasad Adam, dan ini juga menunjukkan bahwa adam juga bukanlah Allah, meskipun ruh itu berasal dari Allah, sebagaimana juga dengan manusia turunan Adam dan Hawa! Maka mereka yang berasal dari Allah maka akan kembali kepada Allah, sedangkan jasad berasal dari bumi akan kembali kebumi! Jika ruh maunya kembali kebumi disebabkan dalam hidupnya cinta sangat kepada bumi, maka akan terkurunglah mereka didalam kubur2 itu!
    Selanjutnya Kenapa kita harus mencintai Allah dengan sedemikian rupa melebihi apapun atau siapapun? Sebab, lihatlah semua yang pernah kita miliki dan cintai, dimanakah mereka ? dan yang sekarang kita cintai pasti juga akan meninggalkan kita atau kita yang pasti akan meninggalkannya, bahkan jasad kita sendiri yang selama ini kita anggap milik kita , suka ataupun tidak suka! Tetapi jika kita mencintai Allah Swt, maka kita telah menambatkan cinta kita pada Satu Zat Yang Kekal Yang Pengasih lagi Penyayang yang mana kita sesungguhnya tidak pernah berpisah denganNYA dan justru kita akan pergi meninggalkan dunia ini untuk menemuiNYA dan tinggal dalam Naungan Kasih SayangNYA Yang Abadi. Jika DIA membalas cinta kita dan mengasih sayangi kita , bukan hal yang sulit bagi Allah Swt itu untuk mengembalikan apa yang pernah kita miliki dan senangi atau sayangi didunia ini, “ Inilah Air Kehidupan Kekal itu! “ sebaga tujuan akhir perjalanan dari setiap orang yang mencari dan mengamalkan Kebenaran!
    Dan Apa pendapat dan bagaimana keadaan kita kita jika kita kelak menemuiNYA dalam keadaan membenci, memusuhi dan sombong kepadaNYA? Atau siapa yang kuasa memberikan tubuh-tubuh yang baru bagi seluruh manusia setelah tubuh2 yang lama itu telah menjadi tanah atau abu?
    Yah, harus kita akui babak belurnya kehidupan manusia sejak dahulu kala disebabkan tipis bahkan hilang kasih “amal shaleh” di jiwa-jiwa manusia, dimana hilang Kasih pasti disitu akan timbul serakah dan dengki sebagai sifat awal dari berbagai kejahatan di muka bumi ini, maka Kasihilah sesamamu sebagaimana kamu ingin dikasihi. Inilah pendapat yang umum Tetapi perlu saudara ingat Iman tidak bisa dipisah atau disamakan dengan kasih sebab bagaimana kita bisa mengasihi sesama jika sebelumnya kita tidak terlebih dahulu DiKasih sama Allah Swt , contoh konkrit Jikalau Allah Swt itu tidak kasih jantung kita berdenyut lagi, apa yang bisa kita “kasih” kepada sesama? Sebab itulah mengasihi sesama dengan menghilangkan “ Sumber Utama” yang menyebabkan “ada” yang untuk dikasih, Itu dihilangkan atau dikaburkan maka dengan demikian kita akan menjadi orang2 yang tidak mengenal dan bersyukur kepada Allah Yang Suci dan Tinggi itu sebagai Penyebab Awal segala sesuatunya Dan kita akan menjadi sombong dan menganggap bahwa kita bisa karena usaha kita, karena kehebatan kita dll, lalu lupa dirilah kita, sebab kita telah melupakan Pencipta kita!
    Dan selanjutnya jika juga harus memahami bahwa Kasih itu jika tidak disertai Sayang maka kasih itu cenderung bersifat pamrih dan tidak ikhlas, bahkan tak jarang mengharap balik lebih, maka dan atau kasih tanpa sayang akan berakibat kebabalasan , Bukankah dalam sayang itu juga terkandung “penjagaan” agar manusia tidak melampaui batas?” maka Kasih sayangilah sesamamu karna Allah! Sebagaimana Allah Swt telah Mengasih Sayangimu! Contoh : matahari itu siapakah yang menciptakan? Jasad dan Otak kita agar bisa berpikir, hati untuk memahami, perasaan untuk bisa merasakan. Dan Bibit yang kita tanam untuk makanan itu siapakah yang menciptakan dan menumbuhkannya? udara yang kita hirup, air yang kita minum, binatang yang kita makan, sperma yang kita miliki, ibu/bapa, istri/suami, anak2, dan jika kita disuruh menghitung niscaya kita pasti tidak mampu, dan milik siapakah semua itu? Allah itu Pengasih lagi Penyayang dan sebab Kasih Sayangnyalah kita semua ada, atau taukah kita dimana keberadaan kita ketika kita dalam keadaan tidur nyenyak atau pingsan”tidak sadar” ? bukan keberadaan kita dimuka bumi ini tidak kuasa terus menerus mengatur dan menjaga yang kita anggap milik atau dalam kekuasan kita tanpa tidur “Off” atau mati? lagi pula Allah Swt itu pulalah yang telah menyediakan berbagai fasilitas untuk mendukung baik kehidupan kita sekarang didunia ini dan setelah kita meninggalkan dunia ini , atau kepada siapakah kita akan kembali setelah mati nanti?
    Sedang iblis itu serakah dan pendengki kepada turunan Adam dan seluruh ajarannya berawal dari serakah,dengki,dendam! Dan seluruh kejahatan dimuka bumi ini berawal dari serakah dan dengki! Dan pengikut2 iblis ini akan kembali kepada iblis itu sebagai piaraannya atau anak2nya untuk bersama-sama keneraka, sebab untuk merekalah neraka itu diciptakan oleh Allah Swt sebagai Keadilan dariNYA, sebagai tempat pembalasan yang setimpal dari keingkaran dan perbuatan2 jahat mereka. Jika tidak demikian untuk apakah Neraka itu diciptakan? Atau suruhlah mereka untuk tetap hidup dimuka bumi ini dan jangan mati jika memang mereka kuasa . Jika bisa mereka hidup selama-lamanya dimuka bumi berarti berita ini hanya rekayasa saja. Namun bagi orang-orang yang sadar, bertaubat lalu mengadakan perbaikan2 dan kebajikan2 yakinlah, Pasti mereka akan menemui sesungguhnya Allah itu Penerima taubat, Pengasih lagi Penyayang kepada hamba-hambaNYA.
    Lalu, Kenapa harus mengikuti Akhlak dan cara-cara ibadah yang diajarkan nabi Muhammad saw? Sebab Akhlak beliau itu adalah Benar dan jujur, amanah, tanggung jawab, menyampaikan, dan cerdas ! lagipula seluruh ibadah yang diajarkannya adalah cara paling efektif, suci, langsung , dekat dan bebas dari perantara atau pengaruh pihak ketiga, Sebab siapakah manusia yang tidak ingin kenal dan dekat dan dapat berhubungan langsung dengan Penciptanya? Yang sebenarnya selama ini hanya DIA lah Satu-satunya yang Kuasa untuk setiap saat melihat, mendengar dan mengabulkan setiap doa semua ciptaanNYA yang kita tidak akan pernah sanggup menghitung jumlah mahklukNYA.
    Lalu Kenapa harus bersyahadat asyhaduan Laa illaha illallah wa asyahduanna muhammadur rasullulullah = Aku Menjadi saksi Tidak ada Penguasa “Yang Kuasa” Selain Allah dan menjadi saksi Muhammad adalah utusan Allah? Ini adalah Keimanan yang benar yang mengakui hanya Allah Swt lah“Pencipta, Pemilik dan Penguasa” Alam semesta dan segala-galanya ini tanpa sekutu” dan Muhammad Saw hanyalah seorang manusia dan hamba Allah yang diutus oleh Allah Swt.
    Lalu kenapa pula harus bershalawat kepada Nabi Muhammad dan keluarganya? Sebab agar pengikutnya jangan sekali2 meminta dan berharap kepada Nabi Muhammad dan keluarganya, sebagaimana yang terjadi kepada agama2 sebelumnya mereka meminta pertolongan kepada Nabi2, orang2 yang dianggap suci atau memiliki kelebihan yang akhirnya tak jarang menyembah mereka! Shalawat ini hanyalah proteksi bagi pengikutnya, agar sejarah kebodohan manusia yang menyembah dan berharap2 kepada manusia lain, mahkluk2 atau benda2 mati ,tidak terulang2! Demi Kemulian manusia itu sendiri yaitu hanya Menyembah dan berharap kepada Pencipta ,Pemilik dan Yang Berkuasa atas jiwa raga manusia itu sendiri dan makhluk seluruhnya.
    Akhirnya segala urusan kembali kepada Allah sebab Hanya Allah lah Yang Paling mengetahui dan Yang menentukan segala-galanya. Sedangkan aku tidak mengetahui kecuali apa yang diberitahukanNYA kepadaku sesuai kemampuanku!
    Pikirkanlah, Renungkanlah, bacaan ini dengan tanpa diiringi oleh rasa kebencian, dendam, serakah ataupun dengki!
    Banda Aceh 8 Desember 2013
    Oleh : Muhammad Dharmawan.

Comment here

Translate »