Artikel

Campur Tangan Allah terhadap CiptaanNya

cliffs in sea near coast at sunset

Oleh : S. Anjar Setyono | GAI Cabang Wonosobo

“Dan seandainya Allah tidak melumpuhkan sebagian manusia demi sebagian yang lain, pasti dunia ini telah rusak.” (2:51)

“Sesungguhnya Allah akan selalu memihak kepada orang-orang yang takwa dan berbuat baik.” (16:128).

Seluruh ciptaan Allah yang ada di alam semesta berkembang tahap demi tahap menuju ke bentuk akhir yang telah ditetapkan oleh Allah SWT (1:1). Tak ada satu benda pun yang diciptakan tanpa arah dan tujuan yang pasti (3:190). Semua benda berkembang menuju kesempurnaannya sesuai ukuran (qadar) yang telah ditetapkan oleh Allah kepada setiap benda itu. Rencana Allah ini tak mungkin menemui kegagalan. Demikianlah setiap ciptaan bergerak mengarah ke bentuk akhir penciptaaannya, entah kerena taat (thau’an) atau karena dipaksa (karhan).

Hukum qadar yang sedemikian indah dan unik ini ternyata telah disalahpahami oleh sebagian besar umat Islam menjadi “nasib” yang tak dapat diubah, sehingga umat Islam menjadi skeptis dan beku. Kata qadar (masdarnya taqdir) sebenarnya tak ada kaitan sama sekali dengan “nasib”, keduanya bagaikan dua garis sejajar yang tak mungkin bertemu ujung pangkalnya.

Untuk mengantarkan ke bentuk akhir setiap ciptaan itu, ternyata Allah tidak statis, namun selalu aktif pada setiap saat sebagaimana sabda Allah dalam surat 55:29, kulla yaumin huwa fî sa’nun, bahwa setiap saat Allah selalu ada dalam urusan yang baru.

Aktifitas Allah tersebut dinyatakan dengan kedua sifat utamanya, yakni: Ar-Rahmân dan Ar-Rahîm, Yang Maha Pemurah dan Yang Maha Pengasih, yang disebut sampai 114 kali di dalam kitab suci Al-Qur’an, yakni 113 kali pada setiap pemulaan surat dan satu ayat pada surat 27:30. Hal ini pastilah bukan sekedar pencantuman tanpa makna. Ar-Rahmân adalah kasih sayang Allah yang disediakan sebelum ciptaan baru yang memerlukan sarana itu dicipta oleh Allah. Ar-Rahîm adalah kasih sayang Allah yang selalu akan diberikan kepada ciptaannya sesuai dengan yang dikerjakan oleh ciptaan tersebut.

Fenomena di sekitar kita sangat menarik bila disimak, penuh arti bila diamati. Kita ambil contoh tumbuh-tumbuhan misalnya, yang tujuan akhir diciptakannya adalah untuk mencukupi kebutuhan manusia. Ia tumbuh dan berkembang tak lepas dari kasih sayang Allah.

Untuk tumbuh dan berkembang, tumbuhan memerlukan sarana yang telah disediakan oleh Allah: tanah dengan kandungan zat-zatnya, seperti air, garam tanah, natrium, kalsium, magnesium dan yang lain adalah udara dan sinar matahari yang dengan itu tanaman bisa berasimilasi dan sebagainya.

Konklusi yang bisa kita tarik, bahwa untuk menuju ke bentuk akhir, setiap ciptaan tak pernah lepas dari campur tangan Allah SWT.

Jelaslah kiranya bahwa menurut Kitab Suci Al-Qur’an seluruh ciptaan Allah di alam semesta ini baik yang berupa benda mati maupun hidup yang beraneka ragam itu tak pernah lepas sedetik pun dari perhatian dan bimbingan Allah SWT. Bila kita mundur selangkah, kemudian dengan hati yang jernih bertafakur, berpikir serta merenung, hati nurani pasti akan tergugah untuk mensyukuri kasih sayang Allah yang tiada bertepi itu; dan kita akan tersadar, bahwa ternyata seluruh ciptaan Allah di alam semesta ini diperuntukkan bagi manusia sebagai sarana untuk mengantarkan ke tujuan akhir manusia diciptakan.

“Dia ialah yang menciptakan semua yang ada di bumi untuk kamu semua.” (2:29)

Dengan demikian, tujuan akhir hidup manusia pasti lebih tinggi daripada tujuan akhir seluruh ciptaan Allah yang lain di alam semesta ini. Adapun tujuan akhir hidup manusia itu ialah “kehidupan rohani”, yakni kehidupan sorgawi yang sejak keberadaannya di dunia ini telah diperintahkan untuk memasukinya (89:30). Meskipun jalan lurus (shirâthal-mustaqîm) telah dibentangkan oleh Allah, tetapi untuk sampai ke sana tidaklah mudah, tidaklah semulus yang kita bayangkan. Kadang badai menghadang dan gelombang menghantam. Untuk meniti shirâthal-mustaqîm itu sangatlah sulit tanpa pertolongan Allah, sesulit unta yang berusaha untuk memasuki lubang jarum (7:40).

Kita tahu bahwa seluruh ciptaan Allah selain manusia telah dicipta pada posisi tunduk, patuh dan berserah diri tanpa reserfe kepada Allah SWT, tanpa menyimpang serambut pun dari garis yang telah ditetapkan oleh Allah sesuai dengan qadar yang ada pada masing-masing ciptaan tersebut.

Manusia selaku ciptaan yang paling baik (ahsani taqwîm) dan sebagai khalifah di bumi sangat dihargai oleh Allah SWT. Allah berkenan untuk memberikan petunjuk hidup (way of life), sementara manusia diberi kebebasan untuk memilih guna mengembangkan potensi yang ada pada dirinya dalam mencapai tujuan hidupnya.

Namun kebebasan inilah yang membuat sebagian manusia terlena, tergelincir kehilangan arah dan kendali, sehingga berbeda-beda sikapnya terhadap petunjuk hidup atau undang-undang Allah tersebut. Tetapi sebagai konsekwensi terhadap pilihannya itu, manusia tak mungkin bisa keluar dari hukum Allah, Mâliki Yaumiddîn (1:3), yakni hukum-hukum umum yang akan selalu berjalan, mencatat dan memberikan balasan terhadap perbuatan apapun dan kapan pun yang dikerjakan oleh manusia.

Sikap manusia terhadap undang-undang Allah pada garis besarnya dapat dibagi menjadi tiga golongan:

  1. manusia yang penuh dengan kesadaran menerima undang-undang Allah, disebut orang mukmin
  2. manusia yang plin-plan terhadap undang-undang Allah, disebut orang munafik
  3. manusia yang ingkar menentang dan menolak undang-undang Allah, disebut orang kafir

Kelompok orang munafik dan kafir itulah yang menjadi penghalang besar yang akan selalu berusaha untuk melawan dan menggagalkan rencana Allah SWT untuk mengantarkan manusia ke tujuan akhir hidupnya. Sejarah menjadi bukti, tak seorang nabi pun yang mengemban misi Allah SWT yang tak mendapat rintangan dan perlawanan dari mereka.

“Dan tak pernah seorang utusan pun yang datang kepada mereka, melainkan mereka pasti memperolok-olokkan dia.” (15:11)

Nabi Nuh mendapat rintangan dan perlawanan hebat dari umatnya yang durhaka, termasuk puteranya; Ibrahim mendapat tekanan dan perlawanan hebat dari seorang raja besar Namrud; Musa anak pungut Fir’aun mendapat perlawanan dari Raja-diraja Fir’aun yang memproklamirkan dirinya sebagai Tuhan; Isa (Yesus Kristus) ditentang oleh Imam Besar Kayafas dan para pembesar Romawi; Muhammad ditentang oleh para pembesar Arab yang justru sebagian besar merupakan leluhurnya sendiri, mereka bersatu untuk menghancurkan misi yang diemban olehnya.

Namun sejarah mencatat bahwa tak pernah ada seorang nabi pun yang gagal dalam mengemban misinya. Hal ini karena Allah akan selalu campur tangan untuk mewujudkan rencananya. Terhadap Nabi Nuh, Allah menciptakan banjir besar dan menenggelamkan umat Nabi Nuh yang durhaka termasuk puteranya sendiri. Terhadap Nabi Musa, Allah menyelamatkannya dengan menenggelamkan Fir’aun dan bala tentaranya di Laut Merah. Terhadap Nabi Isa, Allah menyelamatkannya dari mati terkutuk di kayu salib menurut pandangan Yahudi dengan cara membuat Nabi Isa seperti orang yang telah meninggal tatkala diturunkan dari salib. Terhadap Nabi Muhammad saw., saat dalam keadaan yang paling kritis dalam persembunyiannya di Gua Tsur tatkala dalam perjalanan Hijrah dari Makah ke Madinah, Allah menyelamatkannya dengan sarang laba-laba; dan seterusnya.

Dengan demikian tak ada kejadian di alam semesta ini baik yang berupa benda ataupun peristiwa yang terjadi tanpa makna; melainkan pasti selalu ada arti yang tersirat dibalik yang tersurat.

Peristiwa-peristiwa besar dan aktual yang terjadi akhir-akhir ini kiranya patut kita simak, antara lain:

  1. Hancurnya Komunisme Uni Soviet yang berarti runtuhnya Ma’juj
  2. Banyaknya Gereja kosong di Eropa karena ditinggal oleh umatnya
  3. Bersatunya Negara-negara Islam dalam OKI
  4. Menggebu-gebunya Amerika Serikat dan sekutunya untuk menghancurkan dunia Islam yang merupakan refleksi ketakutan mereka kepada Islam.
  5. September kelabu hancurnya World Trade Center (WTC) Tahun 2001.
  6. Hantaman gelombang Tsunami yang merupakan tragedi kemanusiaan yang sangat mengerikan.
  7. Fatwa MUI 29 Juli 2005 yang maksudnya untuk mendiskreditkan GAI tetapi realitasnya justru melejitkan GAI.

Bila ketujuh peristiwa besar yang kami kutip tadi kita baca secara rohani, tampak di sana ada sinyal Ilahi yang merujuk kepada derap lajunya warna hijau yang sedang melaju menuju titik kulminasinya, yakni kejayaan Islam yang ke-II.

WTC yang konon dibuat dari kerangka baja yang tak mungkin hancur oleh kekuatan apapun, lagipula dilengkapi radar canggih yang sanggup mendeteksi bahaya sekecil apapun, ternyata hancur luluh tanpa senjata peledak yang dilakukan oleh apa yang mereka sebut teroris. Terlepas dari perbuatan teroris atau bukan, kami membaca bahwa hancurnya WTC tersebut karena ada campur tangan Allah di dalamnya. Ini merupakan isyarat dari Allah SWT bahwa kekuatan Amerika di mata Allah tidak ada apa­-apanya.

Mereka membuat rencana, Allah juga membuat rencana, dan Allah adalah sebaik-baik perencana.” (3:53).

Dari peristiwa tersebut dapat ditarik kesimpulan bahwa usaha-usaha Negara Barat yang dimotori oleh Amerika untuk menghancurkan Islam akhirnya akan sia-sia. Kaum Ahmadi sangatlah memahami, bahwa abad XIX M identik dengan abad XIV H, yakni titik awal kejayaan Islam yang kedua, sesuai janji Allah dalam sSurat 32:5, 56:40, 9: 32 dll.

Sedangkan kini adalah abad XXI M yang identik dengan abad XV H. Ini berarti bahwa kejayaan Islam yang kedua telah bergulir satu abad lebih, dan akan terus bergerak menuju titik kulminasinya.

Tugas mulia untuk mengantarkan Islam pada kejayaannya yang kedua itu oleh Allah dipercayakan kepada Mujaddid Besar Mirza Ghulam Ahmad, yang atas perintah Allah membentuk wadah perjuangan yakni Gerakan Ahmadiyah, untuk mewadahi laskar-laskar samawi guna mewujudkan rencana Allah SWT tersebut.

Gelombang Tsunami sangatlah mungkin merupakan murka Allah, selain akibat kerusakan moral manusia, juga akibat penolakan manusia terhadap amanat suci yang mesti diembannya. Ayat Al-Qur’an di bawah ini patut kita simak:

Maka berkelilinglah kamu di muka bumi, lalu lihatlah bagaimana akibat orang-orang yang mendustakan.” (6:11, 16:36)

Dan sudah banyak generasi yang kami hancurkan sesudah Nuh. Dan Tuhan dikau sudah cukup sebagai Yang Maha Waspada dan Yang Maha Melihat dosa hamba-hambanya.” (17:17)

Kiranya tidaklah aneh, apabila Gerakan Ahmadiyah yang mini itu ternyata mampu menangani karya-karya besar, ini tak lain karena dibalik perjuangannya itu ada kekuatan ghaib yakni kekuatan Allah SWT yang sejak awal berdirinya memang telah dijanjikan oleh Allah, bahwa tangan-Nya akan selalu menyertai derap dan langkah gerakan yang didirikan atas perintah-Nya itu.[]

Yuk Bagikan Artikel Ini!

Comment here

Translate »