DiskursusTokoh

Bung Karno, Aku dan Ahmadiyah

Masyarakat Solo mengenal dengan baik sekolah Ahmadiyah. PIRI namanya. Sekolah yang maju. Sekolah itu menampung siswa dari berbagai kalangan masyarakat. Tidak hanya Ahmadiyah. Mungkin, sekolah itu sekarang masih ada.

Dari sekolah itulah pertama kali aku mengetahui Ahmadiyah. Setelah itu, aku semakin tertarik dengan paham Ahmadiyah ketika mendengarkan ceramah tafsir al-Quran di radio yang dibawakan Zulkifli Mahmud pada tahun 1950-an. Dia penganut paham Ahmadiyah dan dikenal sebagai penafsir ulung. Ceramah-ceramah itu rutin disiarkan di RRI, radio resmi milik pemerintah. Ketertarikanku yang sangat pada ceramah-ceramah itu lebih karena tafsir al-Quran yang dibawakan Zulkifli Mahmud perihal kebudayaan sangat rasional, ilmiah. Misalnya, melalui tafsirnya, dia mengangkat peradaban Romawi, Kristen, dan Islam dengan pendekatan yang amat logis.

Buku-buku yang ditulis penganut paham Ahmadiyah juga tidak kalah menarik. The Holy Quran (1909) dan Introduction to Islam karya Mohamad Ali serta Tafsir al-Quran Bashiruddin Mahmud Ahmad merupakan beberapa bacaan tentang Islam yang mencerahkan dan sangat memikat.

Buku-buku itu pula yang dengan baik memperkenalkan Tjokroaminoto, Agus Salim, Soekarno, dan pejuang Indonesia lainnya pada Islam. Sebab, banyak di antara pendiri republik ini yang tidak bisa membaca buku berbahasa Arab. Buku-buku bagus tentang Islam yang ditulis orang Ahmadiyah dalam bahasa Inggris dan Belanda inilah yang mendekatkan mereka pada keluhuran Islam. Bung Karno pun semakin tertarik pada Islam. Sehingga, meskipun kritis terhadap Islam, presiden pertama Indonesia itu tidak meninggalkan agama dalam memperjuangkan cita-citanya bagi kedaulatan bangsa ini: Nasionalisme, Agama, dan Komunisme (NASAKOM).

Karena buku-buku Ahmadiyah ditulis dalam bahasa Inggris dengan semangat rasional dan menekankan Islam sebagai kemuliaan ahlak (moralitas), otomatis banyak orang Barat yang kemudian mengenal dan bersimpati pada Islam. Sebaran Islam di negeri-negeri Barat pun belakangan marak justru karena Barat membaca literatur Ahmadiyah yang berbahasa Inggris. Masjid mereka kini berdiri di Inggris serta negeri-negeri Barat lainnya. Prinsip yang dimajukan Ahmadiyah: Love for All; Hatred for None.

Sejak SMA aku mulai membaca buku-buku yang berbahasa Inggris itu. Dengan penuh kekaguman aku menikmati logika keislaman yang disuguhkan di dalamnya. Minatku pada tafsir, terutama, diwariskan dari ayahku yang kerap mengajakku berdiskusi mengupas ayat-ayat al-Quran dari aspek bahasa dan keindahannya. Ayahku mengidolakan tafsir al-Zamakhsyari, ahli tafsir beraliran Mu’tazilah, yang menggali makna intrinsik dan filosofis al-Quran dari kedalaman bahasanya. Sebagaimana telah aku ceritakan, kendati ayahku seorang pengusaha sukses, ia pernah menjadi guru di sekolah Muhammadiyah dan sebelumnya bersekolah di Mamba’ul Ulum dan sekaligus mondok di Pesantren Jamsaren.

Saat SMA itu juga aku membaca tarikh (sejarah) yang ditulis penganut Ahmadiyah. Di antaranya tarikh Nabi. Tulisan Ahmad Muhammad Djojosoegito aku baca. Anak dari Raden Ngabehi HM. Djojosoegito (pendiri awal Ahmadiyah Indonesia) ini menulis dengan sangat baik tentang sosok Yesus, Nabi Isa. Sebuah cara pandang Islam yang kritis terhadap konsep Trinitas dalam kekristenan. Pendapat Ahmadiyah terhadap Yesus sangat menarik dan rasional. Mereka menganggap bahwa Yesus itu bukan Tuhan, melainkan manusia. Yesus adalah manusia biasa, seorang nabi, Nabi Isa. Manusia yang dilahirkan tidak dari seorang ibu yang perawan. Dia lahir dari Maryam dan bapaknya tidak lain Yusuf. Adalah tidak masuk akal, menurut Ahmadiyah, jika Yesus hanya dilahirkan dari seorang ibu, tanpa bapak. Sebab, pada masa itu sulit dibayangkan bagi Maryam dan Yusuf dapat melakukan perjalanan jauh kecuali jika mereka pasangan suami-istri. Tentu saja mereka telah menikah dan lahirlah Yesus.

Tafsir al-Quran versi Ahmadiyah yang menjelaskan bahwa Yusuf dan Maryam suami-istri adalah kisah Zakariya yang suatu ketika membuat undian, dengan anak panah, untuk para pria yang hendak memperistri anaknya, Maryam. Jatuhlah pilihan itu pada Yusuf.

Yesus juga tidak mati di tiang salib. Belakangan, tafsir Ahmadiyah semacam ini mendapatkan pembenaran dari literatur-literatur kritis yang dimunculkan orang-orang Barat. Benar, bahwa Yesus dari Nazaret pernah ditangkap. Tetapi, dia telah dilepaskan oleh para pengikutnya. Kemudian, Yesus melarikan diri dan menyerahkan mandatnya pada Yesus Kristus. Yesus dari Nazaret diserupakan Yesus Kristus. Yesus dari Nazaret pun tidak diketahui lagi setelah itu.

Tetapi, orang-orang Romawi tetap menuntut agar Yesus ditangkap lagi. Akhirnya, Yesus Kristus, bukan Yesus dari Nazaret, tertangkap, oleh karena sangat menentang pemerintahan Romawi. Yesus Kristus cenderung politis. Sementara, Yesus dari Nazaret lebih spritual, rohaniawan.

Ahmadiyah juga menjelaskan bahwa kelahiran Yesus bukan pada Desember, tetapi sekitar bulan Juli. Dasar dari argumen ini adalah keterangan al-Quran yang menyatakan bahwa di saat-saat kelahiran Nabi Isa, Maryam bersandar di pohon kurma. Buah dari pohon kurma yang disandari Maryam itu berjatuhan. Padahal, dalam kenyataannya pohon kurma berbuah bukan pada bulan Desember, tetapi di sekitar Juli.

Memang, gambaran Ahamadiyah terhadap Yesus lebih banyak bernuansa kritis terhadap kekristenan. Namun begitu, sepatutnya wacana tersebut dipandang sebagai argumen teologi yang rasional. Bukan melihatnya secara doktrinal. Maka, aku pun mendudukkan wacana keislaman dari Ahmadiyah secara ilmiah, tidak dogmatis.

Masa-masa SMA juga aku merasakan sekali keindahan terjemahan al-Quran dalam bahasa Jawa yang ditulis Raden Ngabehi HM. Djojosoegito. Sebab, pada dasarnya bahasa Jawa itu indah. Demikian pun jika aku membaca terjemahan al-Quran dalam bahasa Inggris. Djojosoegito menuliskan terjemahan al-Quran ke bahasa Jawa dengan sangat bagus. Sementara, aku tidak sedikitpun merasakan keindahan al-Quran dalam bahasa Indonesia.

Harus pula aku sampaikan di sini bahwa kecintaanku pada masa itu terhadap M. Iqbal, pemikir dan sastrawan besar Islam dari Pakistan, tidak lain karena tulisan-tulisannya diterjemahkan Bahrum Rangkuti, sastrawan yang menganut paham Ahmadiyah. Berkat jasanya, gagasan Iqbal tentang pemikiran Islam yang mencerahkan serta kedalaman sentuhan filsafat eksistensialisme yang menggetarkan dalam karya sastranya dapat dikenal luas di Indonesia.

Jadi, kontribusi Ahmadiyah, yang dilahirkan oleh pimpinan spiritual tertinggi, Mirza Ghulam Ahmad, pada tahun 1889, dan masuk ke Indonesia sejak 1924 di Yogyakarta dan 1925 di Tapaktuan, Aceh, tidak bisa dipandang sebelah mata. Karena itu, aku tidak punya keberatan sama sekali terhadap Ahmadiyah. Tidak ada alasan apapun, juga tidak ada hak buat diriku, untuk mengkafirkan dan menolak Ahmadiyah. Ahmadiyah itu Islam. Mereka organisasi Islam dan bagian dari umat Islam.

Dasar dari persepsi dan sikap yang aku tunjukkan terhadap Ahmadiyah tersebut mengacu pada fakta tafsir keagamaan mereka yang sangat rasional. Ajaran Ahmadiyah lebih menganjurkan akhlak yang mulia dengan meninggikan semangat kemanusiaan ketimbang terlibat langsung pada politik praktis. Berbeda dengan NU, Muhammadiyah, dan Masyumi yang berorientasi pada politik (partai politik), Ahmadiyah adalah paham keislaman yang lebih menekankan orientasinya pada moralitas, humanisme. Faktanya, mereka mendakwahkan nilai-nilai Islam itu sendiri: mengembangkan kehidupan yang rukun, damai, dan antikekerasan.

Aku cukup lama mengenal Ahmadiyah. Karena sekolah mereka di Solo sangat bagus. PIRI namanya. Aku sama sekali tidak berkeberatan jika jemaat Ahmadiyah meyakini bahwa Mirza Ghulam Ahmad sebagai nabi mereka. Itu hak mereka dan tidak seorang pun berhak menghakimi Ahmadiyah sebagai sesat lalu merasa dibenarkan untuk menganiaya mereka, terlebih mengusirnya dari Solo atau bumi Indonesia ini, meski aku tidak mempercayai keyakinan Ahmadiyah itu. Sehingga, wacana teologis mereka sebatas aku nikmati lantaran menjunjung rasionalitas dan keluhuran moralitas. Sampai di situ aku mengapresiasi Ahmadiyah.

Persepsi dan sikap itu pula yang ditunjukkan Bung Karno lantaran bersimpati dan terkesima pada literatur-literatur Islam yang diproduksi para intelektual Ahmadiyah. Hal itu, misalnya, tampak dalam salah sebuah atikel Bung Karno yang bertajuk Tidak Percaya bahwa Mirza Ghulam Ahmad adalah Nabi (25 November 1935). Di dalamnya, pendiri bangsa ini memberikan pujian yang tinggi, “walaupun ada beberapa pasal dari Ahmadiah tidak saya setujui dan malahan saya tolak, misalnya mereka punya ‘pengeramatan’ kepada Mirza Ghulam Ahmad, dan kecintaan kepada imperialisme Inggris, toh saya merasa wajib berterima kasih atas faedah-faedah dan penerangan-penerangan yang telah saya dapatkan dari mereka punya tulisan-tulisan yang rasionel, modern, broadminded dan logis itu.”

Jadi, Bung Karno, sebagaimana diriku, bukanlah pengikut Ahmadiyah. Sebab, aku dan Bung Karno tidak dogmatis menyerap pandangan keislaman Ahmadiyah.[]

***Diadaptasi dari wawancara Biografi M. Dawam Rahardjo yang dilakukan kisaran 2009-2010

Penulis: Thowik Sejuk | Sumber: Sejuk.org

Yuk Bagikan Artikel Ini!

Comment here

Translate »