Sentuhan Rohani

Kebaikan Tidak Akan Sia-sia

Dalam Islam, ada sunatullah bahwa dari suatu kebaikan akan lahir kebaikan yang lain. Aku ingat, aku pernah membaca buku Tadzkiratul Auliya’. Dalam buku itu, terdapat kisah seorang penyembah api berumur 90 tahun. Dalam keadaan hujan terus-menerus, dia menaruh biji-bijian di dekat gudang gandum untuk burung-burung. Ada seorang wali Allah berkata dari dekat, “Wahai laki-laki tua, apa yang kamu lakukan?” Dia menjawab, “Saudaraku, ada hujan terus-menerus dalam enam atau tujuh hari. Saya menaruh biji-bijian untuk burung-burung.” Wali Allah itu berkata, “Kamu melakukan perbuatan sia-sia. Kamu orang kafir. Kamu tidak akan mendapatkan ganjaran.” Laki-laki tua itu menjawab, “Saya pasti akan mendapatkan ganjarannya.”

Selanjutnya wali Allah itu mengatakan bahwa ketika beliau pergi menunaikan ibadah haji, dari kejauhan melihat laki-laki tua itu sedang melaksanakan tawaf. Beliau terkejut dan heran melihatnya. Ketika beliau terus melangkah maju, maka laki-laki tua itu mendahului bertanya bahwa apakah kebaikannya memberikan biji-bijian untuk burung-burung itu sia-sia atau ada ganjarannya.

Mari kita renungkan. Allah Ta’ala tidak mempertiadakan atau menghapuskan pahala untuk kebaikan orang kafir sekalipun. Lalu apakah mungkin, pahala untuk kebaikan orang Islam akan ditiadakan?

Aku ingat pengalaman seorang sahabat Nabi. Dia bertanya kepada Rasulullah Muhammad saw., “Wahai Rasulullah, pada masa saya masih menjadi kafir, saya banyak memberikan sedekah. Apakah saya akan memperoleh pahalanya?” Rasulullah Muhammad saw. menjawab, “Sedekah itulah yang menyebabkan kamu menjadi orang Islam.”

Kebaikan adalah batu loncatan, untuk naik menuju Islam dan Allah. Tetapi ingatlah, apakah kebaikan itu? Setan mencegat manusia di setiap jalan, dan menyesatkannya dari jalan kebenaran. Misalnya, pada malam hari, seseorang banyak memasak makanan untuk keluarganya. Pada pagi harinya masih ada sisanya yang sudah basi. Tepat pada waktu orang-orang dalam keluarga itu akan makan, di hadapan mereka telah tersaji bayak makanan yang baik dan enak. Belum sampai mereka mulai makan, tiba-tiba dari depan pintu terdengar suara pengemis yang meminta makanan. Salah seorang dari mereka mengatakan, “Berikan makanan yang basi itu pada pengemis.”  Apakah itu kebaikan?

Allah Ta’ala berfirman, “Dan mereka memberi makanan, karena cintanya kepada-Nya, kepada orang miskin, anak yatim, dan tawanan.” (Al Insan, 76:8).

Ketahuilah, makanan itu maksudnya makanan yang disukai, bukan makanan yang basi. Pendeknya, bila di meja makan tersedia makanan yang masih baru, hangat, dan lezat, hendaklah diambilkan dari itu untuk pengemis. Inilah kebaikan.

Orang tidak bisa mengklaim telah melakukan kebaikan dengan memberikan barang yang rusak dan tak berguna. Allah berfirman, “Kamu sekali-kali tidak dapat mencapai kebaikan (ketulusan), kecuali jika kamu membelanjakan apa yang kamu cintai.” (Ali ‘Imran, 3:92).

Bagaimana mungkin orang bisa sukses, jika tidak mau menanggung kesulitan dan tidak mau mengikhtiarkan kebaikan sejati? Apakah para sahabat nabi r.a. mencapai derajat yang mulia dengan cara gratis? Begitu besar biaya dan masalah yang harus ditanggung seseorang, hanya untuk memperoleh gelar duniawi. Lalu, apakah gelar Radhiyallaahu ‘anhum (semoga Allah meridhai mereka), yang menyenangkan dan menenangkan hati, dan sebagai tanda keridhaan Allah itu, diperoleh dengan mudah?

Keridhaan Allah yang melahirkan kebahagiaan sejati tidak bisa dicapai, selama orang tidak menanggung kesulitan sementara. Allah tidak bisa dibohongi. Selamat untuk orang yang tidak menghiraukan kesulitan untuk memperoleh ridha Ilahi. Sebab, orang beriman akan menemukan cahaya kebahagiaan abadi setelah bisa mengatasi kesulitan sementara itu.

Disarikan dari Manzur Ilahi/Malfuzat Ahmadiyyah, Hazrat Mirza Ghulam Ahmad, jilid 2, hlm. 66-67.

Yuk Bagikan Artikel Ini!
Translate »