Artikel

Jum’at: Hari Kudus Yang Tidak Khusus

Secara linguistik, kata Jum’at berasal dari akar kata jama’a, yajma’u, jam’an, yang mengandung makna “mengumpulkan” atau “menghimpun.” Kemudian, kata ini digubah menjadi Jum’uah (arti harfiahnya: hari berkumpul), dan digunakan untuk nama hari di urutan yang keenam dalam satu pekan.

Nabi Suci Muhammad saw. menyebut hari Jumat sebagai “sebaik-baik hari,” karena pada hari itu Adam diciptakan (HR Muslim dari Abi Hurairah r.a.). Kitab Taurat Musa juga menjelaskan bahwa Adam diciptakan pada hari keenam.

Dalam khazanah fiqih Islam, hari Jum’at menjadi istimewa karena di hari itu, umat Islam diperintahkan untuk mengerjakan shalat Jum’at. Allah Ta’ala menganjurkan agar jika diserukan panggilan shalat pada hari Jum’at, kaum beriman sebaiknya bergegas mengerjakannya, serta meninggalkan segala bentuk perniagaan terlebih dahulu. (QS 62:9-10).

Para ulama ahli fikih menganjurkan agar sedapat mungkin Shalat Jum’at dilakukan di Masjid Jami’ (masjid yang besar di suatu wilayah tertentu), karena tujuan Shalat Jumat antara lain adalah untuk memungkinkan berkumpulnya kaum Muslimin seminggu sekali dalam jumlah yang besar. Dengan demikian, hal ini selaras dengan nama hari di mana shalat Jum’at diselenggarakan, yakni yaumul-jum’ah (hari untuk berkumpul).

Meskipun hari Jum’at ini dianggap sebagai hari suci di kalangan umat Islam, tetapi secara implementatif perlakuannya berbeda dengan, misalnya, umat Yahudi terhadap Hari Sabbat (Sabtu) atau umat Kristen terhadap Hari Minggu. Sebab, seorang Muslim dianjurkan tetap melakukan kegatan duniawi sehari-hari dan juga tetap menjalankan shalat fardhu (wajib) sebanyak lima kali. Hanya bedanya, Shalat Dzuhur diganti dengan Shalat Jum’at yang mempunyai aturan khusus.

Dari Quran Suci kita bisa beroleh petunjuk bahwa menguduskan atau menjadikan hari tertentu sebagai hari suci karena dikhususkan untuk mengagungkan Tuhan memang penting. Akan tetapi pengkudusan itu tidak harus dengan serta merta meninggalkan kegiatan duniawi sama sekali seperti layaknya kaum Yahudi dalam menguduskan hari Sabbat atau hari Sabtu (lihat QS 4:154 dan 16:124, bandingkan dengan Kitab Keluaran 20:8-11). Atau seperti halnya kaum Kristen yang menguduskan hari Minggu (berasal dari kata dominggo), yang secara harfiah berarti “Hari Tuhan.”

Dalam mengagungkan Tuhan di hari kudus atau hari suci, Kaum Yahudi dan Kristen memiliki kesamaaan, yakni sama-sama meninggalkan kegiatan duniawi sama sekali. Hanya saja, hari suci mereka berbeda satu sama lain.

Akan tetapi, Islam menyempurnakan syariat agama sebelumnya. Islam menetapkan bahwa meskipun hari Jumat dianggap sebagai hari suci, tetapi orang beriman tetap dianjurkan mencari karunia Allah, dengan syarat tidak meninggalkan Shalat Jum’at (baca QS 62:9-10).

Dengan demikian agenda kegiatan seorang Islam di dalam menghormati hari sucinya berbeda dengan seorang Yahudi atau pun Kristen.

Taurat Musa dan Injil Yesus mengajarkan bahwa “manusia hidup tidak hanya dengan roti saja, melainkan pula dengan tiap-tiap firman yang keluar dari mulut Allah” (Ulangan 8:3; Matius 4:4). Artinya, manusia membutuhkan tidak hanya “hidangan jasmani,” melainkan pula “hidangan rohani”.

Tetapi di ranah implementasi, Yahudi dan Kristen memisahkan kedua persoalan ini. Sebabnya, mereka bekerja keras selama enam hari berturut-turut untuk “mencari roti,” dan hanya satu hari digunakan untuk menikmati “firman Allah,” yakni di hari Sabbat atau Minggu itu.

Tidak demikian halnya dengan seorang Muslim. Kerja “mencari roti” untuk memenuhi kebutuhan jasmani dan menikmati “firman Allah” untuk memenuhi kebutuhan rohani itu dilaksanakan setiap hari selama tujuh hari silih berganti. Di sela-sela kegiatan pemenuhan kebutuhan jasmaniah atau duniawiahnya, seorang muslim wajib mengerjakan shalat lima waktu, yang di dalamnya terdapat firman-firman Allah yang harus dibaca (QS 29:45), sebagai “hidangan rohani yang menghidupkan” (baca QS 8:24; bandingkan dengan Yohanes 4:34).

Jadi, Islam memberi kesempatan yang sebesar-besarnya kepada umatnya untuk memperkembangkan daya-daya rohaninya secara kontinyu di setiap hari yang mereka lalui, bersamaan dengan upaya mereka dalam mempertumbuhkembangkan jasmaninya. Karenanya, pembagian waktu antara pemenuhan kebutuhan jasmani dan rohani ala Islam ini, jauh lebih cocok untuk meninggikan kualitas hidup duniawi dan ukhrawi umat manusia.[]

Sumber: Naskah Buku “Ensiklopedia Ahmadiyah” karya K.H. S. Ali Yasir

Yuk Bagikan Artikel Ini!

Comment here