Ada seorang ibu, sebutlah namanya Jumi. Anaknya tiga, masih kecil-kecil. Siang hari ia dan suami bekerja, anak dijaga oleh pembantu.
Ada seorang ibu lagi, tetangganya, sebutlah namanya Sumi. Anaknya dua, juga masih kecil-kecil. Ia punya warung sembako di rumah, yang sehari-hari dijaga sendiri.
Anak-anak dari keduanya sering sekali main bersama.
Sudah tentu, ada kalanya anak-anak rukun bermain, tetapi sekali tempo anak-anak bertengkar, mungkin juga sampai berkelahi.
Tetapi anak cepat sekali baikan kembali, menjadi akrab lagi, mudah sekali melupakan pertengkaran yang sudah-sudah. Lain halnya dengan orang tua.
Pada suatu hari sepulang kerja, Jumi didatangi oleh Sumi sambil marah-marah dan mendampratnya. Katanya, anak-anak Jumi nakal, dan menyakiti anaknya.
Sumi mendampratnya dengan kata-kata tak senonoh menusuk hati, sampai ia dibuat marah juga, dan seperti ingin menempeleng Sumi.
Tetapi, Jumi tidak sampai betul-betul menampar Sumi. Ia hanya ber-istighfar.
Sampai Sumi capek mengumpat dan pulang, Jumi masih beristighfar terus, berusaha meredam panasnya hati.
Ia berusaha memaklumi kemarahan Sumi. Wajarlah, seorang ibu pasti maunya melindungi anaknya.
Malam harinya, pintu rumah Jumi diketok oleh tamu di luar. Pintu dibuka, dan terkejutlah Jumi. Ia melihat Sumi, yang marah tadi pagi, berada di depan pintu. Tetapi kini ia datang sambil menuding-nuding mulutnya sendiri yang terbuka lebar tak dapat ditutup, dan hanya mengeluarkan suara: “Hah, hah, hah.”
Jumi segera tanggap. Ia tahu jika Sumi telah menguap dengan membuka mulut terlalu lebar, sehingga ada engsel rahang bawah melesat dari sendinya dan membuat mulutnya terbuka terus.
Ia juga tahu bagaimana cara mengatasinya, yaitu rahang ditempeleng dari bawah, agar supaya segera mengatup kembali. Umpama pergi ke dokter, sama saja, tentu dokter akan menempeleng rahang bawah kembali pada tempatnya.
Maka, Jumi pun menampar Sumi. “Plak!” Mulut Sumi kembali bisa terkatup.
Sumi serta merta memeluk Jumi, sambil menangis, dan berkali-kali minta maaf atas kemarahannya tadi siang. Setelah tangis mereda, ia minta diri sambil berulang kali berterima kasih atas pertolongan Jumi.
Istighfar Jumi untuk meredam panasnya hati siang tadi, rupa-rupanya ditanggapi oleh Tuhan. Mungkin, siang tadi Tuhan berbisik kepadanya, “kalau ingin menempeleng dia, tunggu saja nanti malam!”
Jumi pun takbir berkali-kali atas kejadian itu.
Umpama, sekali lagi umpama, siang itu Jumi melayani panasnya hati dan menempeleng Sumi karena dampratannya yang menusuk hati, tentu ia dan Sumi akan menjadi “musuh bebuyutan” seumur hidup.
Tetapi sesudah peristiwa itu, Jumi dan Sumi menjadi sahabat karib. Bahkan setelah Jumi pindah ke kota lain, Sumi sering sekali titip oleh-oleh untuk Jumi yang sudah bertempat tinggal di kota lain.
Memaafkan itu indah. Percaya pada Tuhan yang Maha Pengatur segala-galanya itu indah. Mendengarkan dan melaksanakan bisikan hati itu indah.
Istighfar itu indah. Tuhan itu Maha Indah!
Oleh: Mardiyono Jaya S. Marja
Comment here