Era millenial adalah istilah untuk menyebut era kekinian, yang menjadi ruh atau spirit kehidupan generasi muda zaman sekarang, atau yang dalam bahasa gaul mereka disebut kids zaman now.
Era millenial ditandai oleh lahirnya generasi milennial. Generasi millenial sendiri dapat diartikan sebagai generasi yang lahir antara tahun 1980-2000, atau generasi muda masa kini berusia antara 15–34 tahun. Konon, di Indonesia khususnya, akan terjadi bonus demografi dengan melonjaknya masyarakat usia produktif ini, yang terjadi sejak dekade ini dan akan mengalami puncaknya pada 2030 nanti.
Generasi millenial adalah generasi melek digital, yang lahir bersamaan dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi. Perkembangan teknologi sendiri bergerak dari dominasi teknologi materi (pertanian dan bangunan), ke dominasi teknologi energi (industri dan transportasi), dan kini didominasi oleh teknologi informasi (komunikasi dan komputasi).
Dalam kaca mata kehidupan beragama, di era millenial ini ghirah dan gairah generasi millenial khususnya di Indonesia dalam upaya memperdalam agama tampak mengalami kenaikan yang cukup signifikan. Tentu hal ini bisa dinilai positif, dengan asumsi bahwa mendalami agama sama artinya dengan usaha memperbaiki akhlak dan moral. Akan tetapi, benarkah demikian?
Di satu sisi, kita bisa temukan model keberagamaan yang “stylish n fashionable”. Menjadi muslim millenial adalah menjadi muslim yang gaul, cerdas, melek fesyen dan sekaligus modern. Akan tetapi ekspresinya mencerminkan refleksi pergumulan mereka dengan dunia modern yang diintrodusir dan diinfiltrasi oleh budaya barat. Dari cara penampilan, bicara, sikap hingga pola pikir.
Ini bisa dilihat dari sisi positif dengan adanya pola sikap yang inklusif dan pola pikir yang terbuka (open minded) di satu kelompok. Tapi bisa juga dilihat dari sisi negatif dengan munculnya kecenderungan disoreintasi di kelompok-kelompok lain. Perubahan-perubahan mendasar yang diakibatkan “kecenderungan disorientasi” itu antara lain adalah terjadinya globalisasi, individualisasi, materialisasi dan bahkan sekularisasi, dalam arti memisahkan urusan agama dengan kehidupan pada umumnya. Agama, dalam arti ini, dianggap sebagai kotak tersendiri yang terpisah dengan kotak-kotak urusan kehidupan lainnya.
Di sisi diametris yang lain, yang tampaknya lebih problematik adalah pola keberagamaan yang eksklusif, yang melahirkan konservatisme dan radikalisme. Beberapa penelitian menyebutkan bahwa generasi millenial ini adalah salah satu kelompok generasi yang sangat rentan terhadap pengaruh-pengaruh radikalisme dan tindakan intoleran di tengah derasnya arus informasi yang beredar di media sosial dan internet. Sebab, banyak informasi yang tidak difilter dan bahkan menjadi tak terkendali.
Mereka yang mudah sekali membidahkan dan mengafirkan orang lain adalah generasi “anak kemarin sore” yang baru saja belajar mengenal Islam dari berbagai “halaqah” di dunia maya, semacam google, youtube, wikipedia, facebook, twitter, whatsapp, dan lainnya.
Dangkalnya pemahaman dan pengetahuan terkait Islam itu sendiri akhirnya menuntun pada persepsi yang salah dalam pemaknaan Islam sebagai sebuah agama yang rahmatan lil `alamiin. Islam diartikan terlalu tekstual dan juga formal. Lahirlah generasi yang eksklusif dalam beragama. Pada saat yang lain, sikap eksklusif itu memunculkan pola penguatan identitas politis dalam pola keberislamannya, dengan ciri antara lain merasa benar sendiri, gampang mengkafir-kafirkan yang lain, dan lain sebagainya.
Budaya kekerasan dan konflik yang belakangan melanda dunia Islam, antara lain, disebabkan oleh dominannya pendekatan politik yang penuh intrik dan konflik konfrontatif. Informasi mengenai konflik yang terjadi di timur tengah, di Syria, Palestina, Amerika, dan belahan dunia yang lain, kadang kala atau bahkan sering kali menjadi trigger yang menyulut konflik di belahan dunia yang lain.
Di Indonesia, misalnya, kesan semacam ini sangat bisa kita rasakan belakangan ini, yang wajah permukaannya bisa diteropong melalui peristiwa demo berjilid-jilid karena urusan pilpres dan pilkada beberapa waktu lalu, yang nuansanya masih berlangsung hingga saat sekarang ini.
Lantas apa yang bisa dilakukan GAI sebagai sebuah gerakan Islam di Indonesia dalam menjawab tantangan dan peluang dakwah di era millenial ini? Bisakah GAI mengembalikan jiwa Islam (welstanchaung) di Indonesia sesuai dengan visi dan misi yang diembannya, yakni agar supaya umat umat Indonesia mencapai keadaan jiwa (state of mind) atau kehidupan batin (inner life) yang disebut salam (damai)? Apakah jalan menuju kemenangan Islam (fathi islam) yang nir-kekerasan (jamaliyah) dan menjadi metoda dan spirit dakwah GAI bisa diintrodusir dan dikembangkan melalui berbagai rekayasa dan retorika yang lebih selaras dengan zaman sekarang ini?
Itulah kiranya sederet pertanyaan yang harus kita temukan jawabannya bersama-sama, di tengah kejumudan dan kemandegan internal gerakan yang juga musti kita terobos…[]
–Asghar Ali–
Comment here