Tahun 1957, dalam sebuah forum di Muktamar GAI, seorang lelaki renta berdiri di mimbar. Jas bludru hitam agak kusam membalut tubuhnya yang kurus dan keriput. Tangannya, yang memegang beberapa lembar kertas, gemetar. Lantas ia menangis terisak.
Lelaki renta itu bernama Soedewo. Seorang tua, yang dari tangannya sudah lahir banyak karya. Karyanya tak lekang dimakan zaman. Karya-karya yang menginspirasi, sekaligus menghidupi banyak orang.
Dengan suara agak parau, ia mulai berpidato. Meski lemah, pidatonya menggema ke segala penjuru ruang, berdengung di setiap telinga, dan menusuk-nusuk hati setiap orang.
Dalam linangan air mata, ia bertutur ihwal sejarah yang ia kenangkan: masa mudanya. Masa dimana darah juang masih mendidih di tubuhnya. Masa tatkala ia, bersama sahabat-sahabat karibnya, bersusah payah membidani kelahiran dan membesarkan GAI, sebuah wadah pergerakan yang amat dicintainya.
Di penghujung pidatonya, ia meninggikan suaranya, meskipun tetap terdengar lirih.
“Sejak pengakuan kedaulatan RI, GAI dalam menunaikan kewajiban pokoknya, yaitu menegakkan Kedaulatan Ilahi, kalaupun tak dapat dikatakan mati, kian lama kian mendekatinya juga.
Keadaan suram ini berulangkali dilaporkan oleh Pengurus Cabang dengan nada yang minder, seperti misalnya, cabang tak bergerak, tidak aktif, diam saja, tidur, merana, seperti kerakap di atas batu, mati enggan hidup tak mau, dsb.
GAI yang dahulu mempunyai majalah ‘As-Salam’, ‘Muslim’, ‘Risalah Ahmadiyah’ dan ‘Wasita Islam’, kini tidak dapat menerbitkan satu majalah pun! Buku kecil yang dahulu pernah berpuluh-puluh diterbitkan, kini tak ada satu pun yang diterbitkan.
Hanya Qur’an Suci Jarwa Jawi saja yang sekarang sedang dicetak di negeri Belanda, yang insya Allah akan terbit pada bulan Februari 1958.
GAI yang dahulu dapat menerbitkan berpuluh-puluh buku sampai dengan penerbitan De Heilige Qur’an, dalam jangka waktu tujuh tahun kini sesudah tujuh belas tahun, GAI baru akan menerbitkan Qur’an Suci Jarwa Jawi saja.
Dengan demikian, beranikah kita berkata, bahwa GAI setia pada sumpahnya kepada Tuhan?
Apalagi selama ini, iklim dan suasana di kalangan GAI, tidak memungkinkan bekerja dengan kesatuan dan kebulatan tekad. Perhatian dan hasrat kita bercerai berai. Semangat dakwah Islam, yang dahulu pernah menggelora, kini sudah padam. Akibatnya, beratus-ratus buku terbitan Lahore dan London, tak dapat diterjemahkan dan diterbitkan.
Maka jelaslah kiranya, bahwa selama ini, GAI menderita kemunduran terus menerus. Proses kemunduran ini dipercepat dengan masuknya faham materialistis dan komunistis. Maka dari itu semangat menjunjung agama melebihi dunia, diganti dengan semangat menjunjung dunia saja!
Sudah barang tentu hasrat berdakwah Islam, bukan mundur lagi, melainkan mendekati liang kuburnya!”
Pidato Seodewo yang mengharu biru itu, terekam dalam Majalah ‘Safinatu Nuh’, yang terbit bulan November 1957. Empat belas tahun pasca pidatonya itu, di November tahun 1971, Soedewo menghembuskan nafasnya yang terakhir.
Entah apakah ia sempat menyaksikan orang-orang pergerakan yang amat dicintainya itu tergerak hatinya untuk bergerak, usai mendengarkan pidatonya.
Tapi yang pasti, enam puluh satu tahun kemudian, jelang November tahun 2018 ini, tampaknya apa yang dikeluhkan dan ditangisi Soedewo dalam pidatonya itu, tak berubah sama sekali!
— Asghar Ali —
Comment here