Sebelum memahami pandangan yang disampaikan Maulana Muhammad Ali dalam tafsirnya. Penulis terlebih dahulu menelusuri pendapat mufasir tentang mu’jizat nabi Musa, sehingga selain menampilkan argumen utama dari Muhammad Ali, juga dapat memahami perbedaan antara dirinya dan mufasir lainnya.
Adapun ayat yang menjadi fokus pada tulisan ini, yaitu Q.S. Thaha (20): 17-22 sbb:
17. Apa yang ada di tangan kananmu itu, wahai Musa?”. 18. (Musa) berkata, “Ia adalah tongkatku. Aku (dapat) bersandar padanya, merontokkan (daun-daun) dengannya untuk (makanan) kambingku, dan memiliki keperluan lain padanya.” 19. (Allah) berfirman, “Lemparkanlah (tongkat) itu, wahai Musa!”. 20. Maka, dia (Musa) melemparkannya. Tiba-tiba ia menjadi seekor ular yang merayap dengan cepat.
21. Dia (Allah) berfirman, “Ambillah dan jangan takut! Kami akan mengembalikannya pada keadaannya semula. 22. Kepitlah (telapak) tanganmu ke ketiakmu, niscaya ia akan keluar dalam keadaan putih (bercahaya) tanpa cacat sebagai mukjizat yang lain.”
Hamka dalam tafsirnya Al-Azhar menyebutkan bahwa Allah telah memberikan sebuah isyarat kepada Musa terkait anugerah yang disandarkan pada tongkat dan tangannya sendiri. Dimana tongkat dan tangannya sendiri mampu mengakomodir bantuan dari segala bentuk tantangan perjuangan dakwahnya (Hamka, 1990a, p. 4406). Hamka menukil riwayat dari Ibnu Abi Haitam dari Ibnu Abbas berkata:
“menjelmalah tongkat itu menjadi ular besar, padahal pada saat itu sejenis ular besar belum ditemukan. Ketika ular tersebut menemukan pohon dimakan, bertemu batu dikunyahnya sampai suara remukannya dapat terdengar oleh Musa. Sehingga Musa ketakutan melihat tongkatnya sudah menjadi sedemikian rupa” (Hamka, 1990a, pp. 4407–4408).
Kisah dialog nabi Musa dengan Allah yang terekam pada ayat 17-18 membuktikan kuasa Allah yang diberikan kepadanya. Pendapat Quraish Shihab terkait pertanyaan yang diajukan kepada Musa merupakan persoalan isyarat sekaligus peringatan. Isyarat ini dipahami tongkat yang dipegangnya menjadi bukti kuasa Allah dengan mengubahnya menjadi ular kelak. Sedangkan peringatan di sini merujuk kepada Musa yang diingatkan untuk tidak luput dengan kondisi materi dirinya, karena perbincangan secara langsung dengan Allah dianggap sebagai konsep spiritual. Padahal dirinya (Musa) terkonstruk dari aspek material dan immaterial (Shihab, 2005, pp. 288–289).
Quraish Shihab melanjutkan penafsirannya pada ayat 19-20 yang bertautan tentang mu’jizat tongkat Musa berubah menjadi ular. Peristiwa ini merupakan fase awal tongkat Musa memperlihatkan wujudnya sebagai ular. Pada ayat lain seperti Q.S. A’raf (7): 107 ular tersebut disebut tsu’ban artinya ular panjang dan lincah, ayat di atas menyebutnya hayyah artinya tumpukkan badan ular yang menyatu dan menakutkan, dalam Q.S. al-Qashash (28): 31 dilukiskan bagaikan jann artinya ular yang bentuknya menakutkan. Perbedaan term yang merujuk kepada ular yang dirubah dari tongkat ini menunjukkan adanya wujud yang berbeda. Adapun faktor yang mempengaruhi perbedaan wujud adalah tempat terjadinya mu’jizat tersebut. (Shihab, 2005, pp. 289–290)
Pendapat Ibnu ‘Asyur mengenai ayat 17-18 surat Thaha ini yang berkaitan dengan pertanyaan Allah serta jawaban rinci nabi Musa mengisyaratkan adanya kesengajaan Musa. Jawaban Musa yang sangat rinci mungkin hanya beberapa saja disebutkan dalam al-Qur’an. Hal ini, dikarenakan Musa ingin berlama-lama menikmati perbincangannya dengan Allah. Adapun makna ??????? yang termuat pada ayat 20 ditafsirkan oleh Ibnu ‘Asyur sebagai sejenis ular berbisa/beracun, apabila digigit olehnya maka racunnya mampu untuk membunuh dan jenisnya merujuk kepada laki-laki. Sedangkan ular ini bersifat merayap (’Ashur, 1984, pp. 205–207).
Pandangan ar-Razi dalam tafsirnya mengungkapkan ayat 17 surat Thaha merupakan pertanyaan sekaligus pernyataan bahwa dari keduanya (apakah itu maknanya kepada tongkat dan tangan kanan) bersinergi memunculkan bukti kemu’jizatan. Allah mampu memberikan nyawa kepada benda padat dan menjadikan tubuh yang kasar memancarkan cahaya nurani. Dimana Allah pun 360 kali sehari semalam memandang hati kita yang menandakan bukti Allah mampu membolak-balikkan hatinya, karena amal shaleh yang diperbuat (Razi, 1981a, pp. 24–25).
Penafsiran yang diuraikan di atas terkait mu’jizat tongkat nabi Musa berubah menjadi ular tidak tersentuh nuansa penalaran rasionalitas dari mufasir, namun mereka berlandaskan teologis. Sedangkan Maulana Muhammad Ali meredefinisi makna tongkat yang dimiliki nabi Musa secara hakiki bermakna kaum. Kaum itu dikenal dengan Bangsa Israil. Oleh sebab itu, Musa diberikan anugerah kekuatan oleh Allah untuk menghidupkan dan memperjuangkan pembebasan kaumnya yang telah menjadi budak Fir’aun.(Ali, 1920, p. 627)
Pandangan Quraish Shihab yang menerangkan adanya alokasi perubahan pada tongkat Musa, berbeda dengan Maulana Muhammad Ali menegaskan hanya dalam dua peristiwa saja tongkat Musa berubah. Pada saat Musa berdialog dengan Allah, sebelum menemui Fir’aun dan ketika dirinya menghadap Fir’aun.(Ali, 1920, p. 351) Nampak di sini Ali, merespons ayat ini dengan merepresentasikan tongkat nabi Musa sebagai kaumnya, dimaksudkan untuk kita lebih mudah dipahami secara logis.
Q.S. Al-Baqarah (2): 50, “(Ingatlah) ketika Kami membelah laut untukmu, lalu Kami menyelamatkanmu dan menenggelamkan (Fir‘aun dan) pengikut-pengikut Fir‘aun, sedangkan kamu menyaksikan(-nya).”
Ayat di atas menunjukkan Kuasa Allah dengan memberikan mu’jizat kepada Musa dan tongkatnya mampu membelah lautan. Sehingga, Fir’aun beserta bala tentaranya diberikan azab berupa tenggelam di lautan, setelah nabi Musa dan kaumnya sampai di daratan seberang. Konsepsi lautan terbelah tanpa akibat kondisi alam dapat ditemukan dalam pandangan Maulana Muhammad Ali. Sebagaimana telah dijelaskan pada bagian awal bahwa Ali merenungi faktor lautan terbelah adalah adanya angin Timur yang kencang , sehingga membuat air laut terbelah dan mengering.(Ali, 1920, p. 32)
Perjalanan yang dilakukan Musa beserta kaumnya terjadi pada malam hari, hal ini berdasarkan Q.S. Thaha (20): 77 dimana Ali menegaskan terdapat jalur kering di laut.(Ali, 1920, p. 633) Adapun letak peristiwa nabi Musa dalam keterangan Bibel berada di Laut Merah ujung Utara. Pada tafsiran Maulana Muhammad Ali meyakini dalam mu’jizat terbelahnya lautan, terdapat hukum kausalitas alam yakni adanya pasang surut.
Ar-Razi memandang hal ini sebagai nikmat keagungan yang diberikan kepada Musa dan Bani Israil, karena perjuangan mereka melawan Fir’aun. Makna faraqna dipahami dengan memisahkan satu bagian dengan bagian lainnya, sehingga muncul jalan bagi mereka untuk dapat dilewati. Pada peristiwa ini sebagaimana diketahui merupakan kejadian pengejaran Fir’aun terhadap Musa dan pengikutnya.
Dengan fenomena lautan terbelah ini melegitimasikan berkah yang agung dari Allah SWT. ar-Razi memaparkan alasan rahmat yang diturunkan Allah adalah ketika didepan mereka terdapat lautan, sedangkan dibelakang bala tentara Fir’aun dalam keadaan siap menyerang. Apabila penangkapan terjadi, maka Musa dan kaumnya akan merasakan penyiksaan.(Razi, 1981b, pp. 76–77)
Hamka memiliki kemiripan dengan pemahaman ar-Razi terkait Musa dan kaumnya yang telah mengalami penyiksaan, perundungan, dan pemerasan selama tinggal di daerah kekuasaan Fir’aun. Oleh karena itu, pada saat Musa dan 12 suku Bani Israil berusaha kabur terhalang lautan yang luas, maka pertolongan Allah nyata laut itupun dibelah sehingga mereka mampu melewatinya. Lalu, Hamka menegaskan Allah membelah laut sebagai mu’jizat di zaman Musa yang telah disaksikan oleh 600.000 pengungsi Bani Israil serta bangsa-bangsa sekeliling lautan Qulzum. Perlu diketahui bahwa Laut Qulzum selama 4.000 tahun lebih setelah kejadian, tidak pernah ditemukan fenomena pasang surut. Kalaupun ada kelompok saintis yang melakukan ekspedisi, niscaya mereka kembali dengan pengakuan adanya mu’jizat Allah.(Hamka, 1990b, pp. 188–190)
M. Quraish Shihab memaparkan dua pendapat kontradiksi dari peristiwa terlebahnya laut yaitu meyakini pasang surut dan melegitimasi secara teologis dengan alasan dalam Q.S. 26:63 dijelaskan perintah dari Allah langsung kepada Musa untuk memukulkan tongkatnya. Walaupun Quraish Shihab menyatakan dua pandangan tersebut, namun baginya fenomena laut terbelah merupakan kenikmatan dan anugerah besar kepada Musa dan Bani Israil.(Shihab, 2002, pp. 193–194)
Peristiwa eksodus dalam perspektif saintis merupakan pengaruh faktor iklim, lebih tepatnya adalah fenomena wind setdown. Penelitian ini dilakukan oleh Carl Drews dan Weiqing Han keduanya menyimpulkan bahwad di bawah tekanan angin timur 28 m/s di cekungan model yang direkonstruksi, model laut menghasilkan area dataran lumpur terbuka di mana muara sungai terbuka ke danau.
Jembatan darat ini memiliki panjang 3-4 km dan lebar 5 km, dan tetap buka selama 4 jam. Hasil model ini menunjukkan bahwa navigasi di pelabuhan perairan dangkal dapat secara signifikan dibatasi oleh penurunan angin ketika angin kencang bertiup di lepas pantai. Jadi temperatur kekuatan angin berkecapatan 33 m/s bertiup selama 12 jam sekali mengakibatkan surutnya perairan.(Drews & Han, 2010, pp. 6–7)
Dari pemaparan di atas dapat ditemukan distingsi penafsiran Maulana Muhammad Ali dan mufasir lainnya yaitu faktor temperature cuaca mempengaruhi lautan terbelah. Secara saintifik telah dimuat juga sebagaimana hipotesis dari Drews yang mengklaim nabi Musa dan pengikutnya mampu melewati perairan diakibatkan kekuatan angin. Di sini nampak Ali memiliki pandangan rasio, walaupun saat memahami ayat tersebut belum mengafirmasi secara saintis.[]
- Penulis: Roma Wijaya | Dosen Sekolah Tinggi Agama Islam Syubbanul Wathon Magelang
- Sumber: ibihtafsir.id | dimuat pada 22 Maret 2025
Referensi
- ’Ashur, I. (1984). Tafsir at-Tahrir wat Tanwir (Vol. 16). Tunis: Dar At-Tunisiyyah.
- Ali, M. M. (1920). The Holy Qur’an: Containing The Arabic Text With English Translation and Commentary (II). Lahore: Ahmadiyya Anjuman-i-Ishaat-i-Islam.
- Drews, C., & Han, W. (2010). Dynamics of Wind Setdown at Suez and the Eastern Nile Delta. PLoS ONE, 5(8), 1–14. https://doi.org/10.1371/journal.pone.0012481
- Hamka. (1990a). Tafsir Al-Azhar. Singapura: Pustaka Nasional PTE LTD Singapura.
- Hamka, B. (1990b). Tafsir Al-Azhar. In Pustaka Nasional PTE LTD Singapura. Singapore: Pustaka Nasional PTE LTD Singapura.
- Razi, F. (1981a). Tafsir al-Fakhr ar-Razi (Vol. 22). Beirut: Dar Al-Fikr.
- Razi, F. (1981b). Tafsir al-Fakhr ar-Razi. In Dar Al-Fikr. Beirut: Dar Al-Fikr.
- Shihab, M. Q. (2002). Tafsir Al-Mishbah: Pesan, Kesan dan Keserasian Al-Qur’an. Jakarta: Lentera Hati.
- Shihab, M. Q. (2005). Tafsir Al-Mishbah: Pesan, Kesan, dan Keserasian Al-Qur’an (IV, Vol. 08). Tangerang: Lentera Hati.
- The Jewish Publication Society of America. (1917). The Holy Scriptures. Philadelphia: The Jewish Publication Society of America.

Comment here