AkademikaArtikelTokoh

Minhadjoerrahman Djojosoegito: Pemikiran Keagamaan Yang Mempengaruhinya

Gerak langkah R. Ng. H. Minhadjoerrahman Djojosoegito di dalam usahanya untuk membela dan meluaskan syiar Islam di Indonesia tidak terlepas dari pengaruh pemikiran Persyarikatan Muhammadiyah. Kemudian menyusul pemikiran-pemikiran keagamaan Gerakan Ahmadiyah Lahore, yang datang dari India. Bahkan yang terakhir ini besar pengaruhnya terhadap pemikiran dan perjuangan beliau selanjutnya.

Pengaruh Persyarikatan Muhammadiyah

Perkumpulan Djami’at Chair (1901), dapat dikata sebagai penggerak Islam yang pertama di Jawa. Dari tempat inilah K.H. Ahmad Dahlan, pemimpin pertama Persyarikatan Muhammadiyah dan orang terpelajar lainnya mengenal bacaan-bacaan kaum reformis yang datang dari luar negeri.

Dahlan mengenal ajaran-ajaran Salaf dari buah karya Syaikh Muhammad Abduh dan Ibnu Taimiyah, juga dari majalah Al-Urwatul Wutsqa yang dipimpin oleh Syaikh Djamaluddin Al-Afghani. Di samping itu juga dari Tafsir Al-Manar yang dibukukan oleh Rasyid Ridlo, murid Syaikh Muhammad Abduh. Tidak lama sesudah itu, Dahlan mendirikan Persyarikatan Muhammadiyah di Yogyakarta (1912).

Ilmu dan kepribadian Kyai Dahlan ini kemudian lahir dalam amal dan perbuatannya, terutama didorong oleh sebab-sebab dan suasana yang ada di sekelilingnya ketika itu. Ketidakmurnian ajaran Islam akibat pengaruh tradisi-tradisi yang bukan Islam, bid’ah dan khurafat. Lembaga-lembaga pendidikan yang ada perlu penyempurnaan bentuk dan isi sehingga lebih sesuai dengan tujuan yang hendak dicapai. Usaha mempertahankan Islam dari pengaruh dan serangan dari luar Islam. Terakhir berasal dari pengaruh dan dorongan gerakan pembaharuan dalam dunia Islam yang berasal dari luar negeri.

Amal dan perjuangan Kyai Dahlan ini tampaknya diwarisi pula oleh generasi penerusnya, tak terkecuali Djojosoegito. Ia mendapat didikan Kyai Dahlan selama tiga tahun, sejak 1920 hingga Kyai Dahlan wafat di tahun 1923. Warisan didikan Kyai Dahlan ini tampak nyata di bidang pendidikan dan dakwah Islam.

Lembaga pendidikan pada masa kolonial telah terbagi ke dalam dua kutub. Pertama pendidikan bersistem pondok pesantren, yang hanya mengajarkan ilmu-ilmu keagamaan saja. Kedua, lembaga pendidikan bersistem sekolah yang didirikan oleh pemerintah kolonial Belanda, yang bercorak sekuler karena hanya mengajarkan ilmu pengetahuan umum saja.

Pendidikan barat yang sekuler ini menghasilkan banyak kaum intelektual Indonesia yang menunjukkan sikap acuh tak acuh terhadap ajaran Islam. Bahkan tidak jarang pula yang beranggapan bahwa Islam itu kolot dan menghambat kemajuan. Snouck Hurgronje meramalkan, dengan pendidikan Barat yang bercorak sekuler anak-anak Indonesia akan menjauhkan diri, semakin jauh dari kebudayaan Timur dan tentu saja termasuk agama Islam akan mendekati kebudayaan Barat.

Melihat kenyatan itu, Kyai Dahlan berusaha mengkombinasikan unsur-unsur yang baik dari kedua sistem yang ada. Untuk itu didirikanlah Sekolah Muhammadiyah tahun 1911, yang mengajarkan ilmu pengetahuan umum dan ilmu pengetahuan agama.

Demikian halnya pula dengan Djojosoegito dalam melihat realitas yang sama. Sebagai seorang intelektual yang telah menerima ajaran mujaddid, ia merasa wajib untuk menyadarkan akan kekeliruan golongan intelektual yang meremehkan ajaran Islam. Oleh sebab itu bersama dengan Moehammad Hoesni, sekretaris Pengurus Besar Muhammadiyah kala itu, ia mendirikan Muslim Broederschaap di Yogyakarta. Di dalamnya berkumpul tokoh lain seperti Soetopo, Moestopo, Syamsoerijal, Soepratolo, Kayat, Soedewo PK, dan Meohammad Koesban.

Moeslim Broederschaap menerbitkan majalah berbahasa belanda Correspondentie Blad. Artikel-artikel yang dimuat dalam majalah ini seratus persen berasal dari ajaran Mujaddid Mirza Ghulam Ahmad. Sebagai tindak lanjut di kemudian hari beliau merintis berdirinya lembaga pendidikan yang bernafaskan Islam, yakni Perguruan Islam Republik Indonesia. Lembaga pendidikan ini tidak hanya menyampaikan ilmu pengetahuan umum saja, tetapi juga ilmu pengetahuan agama, yang mendapat perhatian tidak kalah pentingnya.

Di bidang dakwah Islam, Kyai Dahlan telah menunaikan tugasnya dengan baik. Ilmunya ia sampaikan kepada masyarakat di saat mereka membutuhkan petunjuk dan penerangan. Beliau ingin mempraktekkan ajaran-ajaran dan hukum-hukum Islam dengan sungguh-sungguh dan konsekwen.

Kyai Dahlan berusaha memberantas bid’ah dan khurafat yang dipraktekkan umat Islam dalam kehidupan sehari-hari, seperti pada waktu mengandung, melahirkan, mengkhitankan, mengawinkan dan saat terjadi kematian. Juga pada waktu bercocok tanam dan memotong padi. Orang bisa menyaksikan bahwa pekerjaan-pekerjaan yang berhubungan dengan semua itu adalah bertentangan dengan tauhid.

Sementara itu, giatnya missionaris Kristen terhadap umat Islam menyadarkan Kyai Dahlan untuk membangun sebuah organisasi dakwah yang kuat dan tertib. Sehingga dengan organisasi tersebut ia mampu mengimbangi dan melebihi usaha kristenisasi umat Islam di Indonesia.

Demikian pula halnya dengan Djojosoegito. Pengalamannya sebagai Ketua Muhammadiyah cabang Purwokerto, telah memberi inspirasi dan cita-cinta untuk membentuk organisasi dakwah Islam, yakni dengan berdirinya cabang Gerakan Ahmadiyah Lahore di Indonesia dengan nama Gerakan Ahmadiyah Lahore Indonesia (GAI). Peristiwa penting ini terjadi pada tahun 1928, setelah beliau dikeluarkan dari Persyarikatan Muhammadiyah.

Pada giliran berikutnya, GAI juga berusaha membendung derasnya gelombang missionaris Kristen terhadap umat Islam di Indonesia.

Pengaruh Ahmadiyah Lahore

Laju pertumbuhan ajaran gereja mampu bertahan dan menekan bangsa Indonesia dan umat Islam pada khususnya. Bersamaan dengan itu, pemerintah kolonial Belanda selalu berusaha untuk memasukkan kebudayaannya dan mengembangkan agamanya, baik di kalangan penduduk maupun di sekolah yang telah diatur menurut sistem politiknya, dengan jalan memberikan kelonggaran dan bantuan yang besar kepada fihak missionaris.

Adapun jalan yang ditempuh oleh missionaris dan zendiing Kristen terhadap rakyat jajahan antara lain dengan cara membangun gereja, sekolah, rumah sakit, mendatangkan padri dan suster, dan memperlakukan orang-orang yang mau mengikuti mereka dengan baik. Sebagai akibatnya, orang Islam yang tidak kuat imannya tertarik dan mengirimkan anak-anaknya ke sekolah Kristen.

Menyadari akan nasib umat Islam seperti itu, tergugahlah semangat juang para pemimpin Islam waktu itu untuk membela dan memperjuangkan Islam dari serangan lawan. Satu di antaranya adalah Fachruddin, murid Kyai Dahlan yang sangat militan. Dalam usahanya membela Islam, Fachruddin banyak menulis artikel yang berisi dialog antara seorang Muslim dengan seorang Kristen. Satu di antaranya berjudul “Kawan Lawan Kawan”, yang dimuat dalam majalah Bintang Islam.

Keadaan umat Islam yang memprihatinkan seperti itu rupanya terdengar juga oleh dua orang mubaligh Ahmadiyah Lahore, yakni Maulana Ahmad dan Mirza Wali Ahmad Baig, yang kala itu tengah berada di Singapura dalam perjalanan tabligh menuju Tiongkok. Akan tetapi setelah kedua mubaligh itu mendengar bahwa kristenisasi di tanah Jawa memperoleh sukses besar, maka diubahlah tujuannya yang semula, tidak jadi ke Tiongkok tetapi ke Jawa. Tahun 1924, kedua mubaligh Ahmadiyah Lahore itu tiba di Yogyakarta dan disambut dengan tangan terbuka oleh Persyarikatan Muhammadiyah.

Adapun tujuan keduanya datang ke Jawa tidak lain untuk membantu dan memberikan petunjuk kepada kaum muslimin akan bahaya yang akan mengancam Islam, seperti materialisme dan ajaran Tatslits (Agama Nasrani). Di samping itu, untuk memberikan pengertian kepada mereka bahwa mereka itu harus insyaf untuk membela agamanya dari bahaya-bahaya itu dan juga berusaha untuk membuktikan bahwa Islam di atas agama-agama lain.

Beberapa bulan setelah itu, tampaklah persaudaraan antara Ahmadiyah dan Muhammadiyah, lebih-lebih tatkala beberapa pemuda Muhammadiyah dikirim ke Lahore untuk belajar agama, seperti Kyai Maksum, Kyai Sabit, Moehammad Sabitoen, dan Jumhan. Jumhan adalah putra pendiri Persyarikatan Muhammadiyah, Kyai Dahlan, yang di tanah India berganti nama menjadi Irfan Dahlan, dan meninggal di Bangkok sebagai mubaligh Ahmadiyah Lahore.

Adapun Djojosoegito, pertemuannya dengan tokoh-tokoh Ahmadiyah terbatas di Indonesia, terutama dengan Maulana Ahmad dan Wali Ahmad Baig. Hal demikian dapat dimengerti, sebab waktu itu Djojosoegito masih menjabat sebagai Sekretaris I Pengurus Besar Muhammadiyah. Namun demikian pengaruh kedua mubaligh itu begitu besar terhadap dirinya. Terbukti dialah motor penggerak utama yang mewarnai corak kehidupan dan perkembangan Gerakan Ahmadiyah Lahore Indonesia.

Dalam waktu yang tak begitu lama, berkumpullah beberapa tokoh intelektual di tempat kediaman Mirza Wali Ahmad Baig, di Jalan Gerjen Kauman, untuk belajar agama kepadanya. Mereka antara lain Minhadjurrahman Djojosoegito, Moehammad Hoesni, Soedewo Partoadikusumo, Moehammad Koesban, Soenarto, Oesman, Moehammad Irsyad dan Mufti Syarif. Tak heran bila semangat golongan intelektual seperti itu, apalagi diyakini bahwa apa yang dipelajari itu bersumber dari Islam, banyak memikat kaum terpejalar yang memang sedang dalam kegandrungan untuk memadukan antara religie dan wetenschaap.

Adapun Djojosoegito tertarik kepada faham Ahmadiyah Lahore, karena Ahmadiyah berani membuka kebenaran yang haq tentang pandangan Islam dan Rasululullah saw. terhadap umat Kristen. Ahmadiyah berani menyiarkan kebenaran dan keindahan Islam di negara-negara Kristen yang selama itu menindas dan memusuhi umat Islam. Di samping itu, sekitar tahun 1924 beliau telah mulai kenal dan membaca buku-buku terbitan Ahmadiyah Lahore. Bahkan beliau belajar langsung kepada Maulana Ahmad dan Mirza Wali Ahmad Baig.

Keberhasilan missi Ahmadiyah dalam usahanya menyiarkan ajaran Islam ke seluruh dunia, baik secara lisan maupun tertulis, juga merupakan salah satu pendorong bagi golongan intelektual Islam Indonesia, khususnya Djojosoegito, untuk berdekat-dekat dengan faham Ahmadiyah.

Secara tertulis, Ahmadiyah berhasil menyebarkan buku-buku tentang Islam, misalnya Muhammad de Profeet de Islam. Lebih dari itu Ahmadiyah berhasil menerjemahkan Qur’an Suci ke dalam berbagai bahasa dunia, seperti Inggris, Belanda, Jerman dan Urdu. Menyusul kemudian dalam bahasa Jawa oleh Djojosoegito dan dalam bahasa Indonesia oleh H. Moehammad Bachroen. Dari buku-buku tentang Islam tersebut, tafisr Qur’an Suci yang dikerjakan oleh Maulana Muhammad Ali, besar pengaruhnya terhadap golongan intelektual Islam Indonesia.

Muhammadiyah sebagai gerakan Islam yang besar pernah mengakui keberhasilan Ahmadiyah di dalam menyiarkan Islam di Eropa. Dalam Almanak Muhammadiyah tahun 1436 Hijriyah, dinyatakan demikian, “Di Barat umat Islam terus bertambah kemajuannya, banyak bangunan-bangunan masjid sebagai pusat siar Islam. Para mubaligh Ahmadiyah yang ada di sana sangat keras kerjanya untuk mengembangkan dan meratakan pengajarannya, hingga di antara mubaligh itu ada yang berani memasuki pusatnya kaum Kristen di tanah Roma, Italia, hendak diislamkannya.”

—————————————————-

Dinukil dari Skripsi berjudul “Raden Ngabehi Haji Minhadjurrahman Djojosugito: Studi Tentang Pemikiran dan Perjuangannya” Oleh Arif Sarjito, Fakultas Ushuluddin IAIN Sunan Kalijaga, 1994.

Yuk Bagikan Artikel Ini!

Comment here