Artikel

Internalisasi Nilai-Nilai Islam di Zaman Akhir

white and red house reflecting on body of water under blue sky

Allah SWT berfirman, “Wahai orang yang beriman, taatlah kepada Allah, taalah kepada Utusan, dan kepada ulil amri minkum (yang memegang kekuasaan di antara kamu); lalu jika kamu bertengkar mengenai suatu hal, kembalikanlah itu kepada Allah dan Hari Akhir. Ini yang paling baik dan paling tepat untuk (mencapai) penyelesaian.” (QS 4:59)

Ayat suci di atas menggariskan tiga aturan penting terkait dengan kesejahteraan umat Islam, yang berhubungan dengan urusan kepemerintahan, yaitu (1) taat kepada Allah dan Utusan, (2) taat kepada yang memegang kekuasaan di antara kaum muslimin di mana pun ia berada, dan (3) mengembalikan kepada Allah dan utusan-Nya jika terjadi perselisihan (tanazu) dengan pihak yang berkuasa.

Jadi, ayat suci tersebut menerangkan adanya tiga ketaatan bertingkat. Pertama, ketaatan kepada Allah, yang merupakan ketaatan tertinggi, karena Dia yang memiliki kekuasaan tertinggi dan mutlak. Kedua, ketaatan kepada Rasulullah, yakni Nabi Suci Muhammad saw, yang atas izin Allah beliau menjelaskan batas-batas ketaatan kepada pihak yang ketiga, yakni ulil amri: “Mendengar dan taat adalah wajib, selama orang tak disuruh mendurhaka kepada Allah, ia tak boleh mendengar dan taat (kepada pihak yang berkuasa).” (HR Bukhari).[1]

Dalam kehidupan duniawi, ulil amri bisa disebut raja, sultan, amir, atau presiden, ke bawah sampai ketua RT, bahkan kepala keluarga sebagai unit terkecil dalam hidup bermasyarakat dan bernegara. Mereka harus ditaati selama tak mendurhaka kepada Allah. Jika mereka memaksa berbuat syirik, maka ia tak boleh ditaati. Tetapi kita tetap harus bergaul dengan mereka di dunia, sebagaimana diajarkan oleh Lukman Al-Hakim, seorang nabi dari Benua Afrika (QS 31:15).

Hazrat Imam Mirza Ghulam Ahmad dalam buku Zururatul Imam (1897) menjelaskan: “Dalam sejarah tiap-tiap bangsa ada seorang amir atau raja. Allah mengutuk orang-orang yang menghendaki perpecahan dan tak mau bernaung di bawah seorang amir.”

Dalam kehidupan ukhrawi atau rohani, ulil amri itu disebut Imam zaman, yang pada zaman dahulu disebut  Nabi atau Rasul. Pasca Nabi Suci, Ulil Amri itu disebut Imam, lengkapnya Imamuz-Zaman atau Imamul-Jama’ah, yang termasyur pula sebagai Mujaddid, yang dibangkitkan pada permulaan tiap-tiap abad.

Mereka adalah seorang ulama, tetapi bukan sembarang ulama. Mereka adalah ulama pewaris para nabi (waratsatul-anbiya’). Nabi Suci juga bersabda, “ulama umatku seperti para nabi Bani Israil.”2 Mereka wajib ditaati sebagaimana para amir atau raja. Ke arah inilah Allah membimbing umat Islam agar memanjatkan do’a: “Ya Allah, bimbinglah kami ke jalan yang benar, yaitu jalan orang -orang yang Engkau beri nikmat.” (QS 1:5-6).

Jadi seorang imam itu membimbing umat seperti halnya para nabi utusan Allah pada zaman dahulu. Tidak hanya mengandalkan kecerdasan akal saja, melainkan pula bimbingan langsung dari hadirat Ilahi, yang disebut wahyu. Tetapi bukan wahyu kenabian (nubuwah), melainkan hanya wahyu mubasyarat atau ilham saja.

Disebut juga sebagai ilmu laduni, yakni ilmu yang diajarkan Allah kepada manusia tanpa pena, sebagaimana diisyaratkan dalam wahyu pertama yang diterima oleh Nabi Suci (QS 96:1-5). Oleh karena itu Nabi Suci bersabda: “Barangsiapa mati sedang ketika hidupnya tanpa imam jama’ah, maka matinya mati jahiliah” (al-Hakim).

Tiga obyek ketaatan

Jika demikian halnya, ada tiga macam ketaatan yang wajib dilakukan oleh setiap orang muslim di mana pun dan kapan pun berada di muka bumi ini, terutama pada zaman akhir. Tiga macam ketaatan itu akan memudahkannya menjawab pertanyaan di akhirat nanti.

Ketika malaikat bertanya: “Man Rabbuka (siapa Tuhanmu)?” jawabnya, “Allah Ta’ala.” Ketika malaikat bertanya, “Man Nabiyyuka (siapa nabimu)?” jawabnya, “Muhammad Saw.” Dan akhirnya tatkala malaikat bertanya, “Man Imamuka (siapa imam kamu)?” jawabnya tentu, “Imam Mirza Ghulam Ahmad”, karena ketika hidup, ia memiliki ikatan baiat dengan beliau sebagai imam.

Ketiga obyek ketaatan itu, yaitu Tuhan (Allah), Nabi (Muhammad saw), dan Imam (yang pada zaman akhir ini adalah Hazrat Imam Mirza Ghulam Ahmad) adalah pegangan teguh yang paling kuat dan tak akan putus (Al-urwatul wutsqa, lan fishaamalaha) (QS 2:256).

Maka saya menyatakan, jika saya hidup pada abad pertama Hijriah, jawabku atas pertanyaan ketiga dari malaikat adalah “Imamku adalah Umar bin Abdul Aziz,” dan Imamku adalah Abu Hasan al-Asy’ari atau Imam Abu Syarah, jika hidup pada abad ketiga. Begitu seterusnya, berganti masa berganti nabi. Sebab, setiap masa mempunyai kitab atau ketentuan (likulli ajalin kitab), dan Allah menghapus apa yang Ia kehendaki dan menetapkan apa yang Ia kehendaki (QS 13:38-39).

Jadi jawaban atas pertanyaan ketiga berubah-ubah mengikuti abad dimana seorang hidup di dunia. Tetapi jawaban atas pertanyaan-pertanyaan pertama dan kedua sejak pasca Nabi Suci sampai hari kiamat tak berubah, sebab beliau Nabi terakhir, yang sesudah beliau tak ada Nabi lagi, baik Nabi lama ataupun Nabi baru.

Penerimaan dan pengakuan terhadap Imam Zaman pada abadnya berhubungan erat dengan implementasi agama dalam kehidupan umat atau penganutnya. Kata “agama” bahasa Arabnya ada tiga macam, yaitu din, millah dan mazhab. Kata din (makna aslinya ketaatan atau pembalasan) bertalian dengan Allah yang yang mewahyuhkan agama. Sedang kata millah (makna aslinya perintah) bertalian dengan Nabi yang kepadanya agama itu diwahyukan. Sementara itu, kata mazhab bertalian dengan Imam yang berijtihad menjelaskan agama itu pada suatu abad.3

Seringkali terjadi, penghormatan kepada Imam Zaman melebihi penghormatan kepada Nabi Suci, sehingga umat menjadi penyembah mazhab, sebagaimana  diperagakan oleh umat Islam yang telah terpecah belah menjadi 73 golongan. Hal ini dikecam oleh Allah:

“Janganlah menjadi golongan orang musyrik, (yaitu) golongan orang yang memecah belah agama mereka dan menjadi beberapa golongan; tiap-tiap golongan merasa senang akan apa yang ada pada mereka.” (QS 30:31-32)

Menurut rekaman sejarah, pola hidup keberagaman umat Islam diwarnai oleh hasil ijtihad dan hidayah Ilahi yang dikaruniakan kepada seorang Imam pada suatu zaman atau abad. Sebagaimana misal, pada saat umat Islam tergila-gila kepada filsafat Yunani dan ilmu mantiknya, Allah membangkitkan Imam Abu Ubaidullah an-Nisabur dan Imam Abu Bakar al-Baqillani pada abad keempat, dan abad berikutnya Allah membangkitkan Imam Ghazali yang dikenal sebagai Hujjatul-Islam (Pendalil Islam).

Tatkala umat Islam silau terhadap filsafat  dan mistik Vendata dan Persia Kuno, Allah membangkitkan Syaikh Abdul Qadir Jilani pada abad keenam, dan Khawaja Muinudin Khisti pada abad ketujuh. Keduanya memancarkan kembali kehidupan sufiyah yang pernah diperagakan oleh Rasulullah saw.

Tatkala umat Islam terjebak menjadi penyembah orang-orang Suci dan para wali, Allah mengirim Imam Ibnu Taimiyah yang menghancurkan bid’ah dan khurafat pada abad ketujuh, lalu diperkuat oleh Imam Ibnu Hajar al-Asqalani dan Shaleh Ibnu Umar pada abad kedelapan.

Begitu seterusnya, setiap kali umat Islam ditimpa bencana, Allah mengulurkan seutas tali dari langit dengan datangnya seorang Imam Zaman.

Melalui para Imam itu, yang oleh Hazrat Mirza Ghulam Ahmad disebut Imammah Haqqah, terjadilah internilisasi nilai-nilai Islam yang sesuai dengan tuntunan dan tantangan zaman di suatu tempat.

Imam Zaman Akhir

Pada zaman akhir, yaitu seribu tahun dari tiga abad masa kejayaannya, umat Islam benar-benar terpuruk. Fitnah yang keluar dari mulut para ulama pada zaman ini adalah takfirul muslimin (mengafirkan sesama muslim). Sementara mengislamkan orang kafir tak pernah mereka ucapkan, apalagi mereka lakukan. Sungguh jauh panggang daripada api.

Nabi Muhammad saw melukiskannya dalam sebuah hadits: “Akan datang suatu zaman, dimana tak tetap tinggal Islam kecuali namanya, dan tak tetap tinggal al-Qur’an kecuali tulisannya. Masjid mereka makmur, tetapi sunyi dari petunjuk. Para ulama mereka adalah makhluk yang paling buruk di bawah kolong langit, dari mulut mereka keluar fitnah dan kepada mereka fitnah itu kembali”(HR Baihaqi).

Keterpurukan umat Islam di zaman ini secara umum diakibatkan oleh dua sebab, yaitu sebab internal dan sebab eksternal. Sebab Internal dikarenakan mereka meninggalkan al-Qur’an, sebagaimana dikhawatirkan oleh Nabi Muhammad saw yang diabadikan dalam al-Qur’an, “Dan utusan berkata: Tuhanku, sesungguhnya kaumku memperlakukan al-Qur’an ini sebagai barang yang ditinggalkan.” (QS 25:30)

Sedang sebab eksternalnya, karena fitnahnya Dajjal, Yakjuj dan Makjuj yang mengalir dari tempat-tempat yang tinggi (QS 21:96) dan berbuat kerusakan dimuka bumi (QS 18:94). Kerusakan akibat fitnah itu dilukiskan Ilahi dalam al-Qur’an:

“Langit hampir-hampir pecah karena ucapan itu, dan bumi membelah, dan gunung runtuh berkeping-keping, karena mereka mengakukan seorang putra kepada Tuhan Yang Maha Pemurah. Dan tak pantas bagi Tuhan Yang Maha Pemurah untuk memungut putra.” (QS 19:90-92)

Untuk menyeru umat Islam kembali kepada pangkuan Qur’an Suci, sebagai pemersatu umat manusia, dan menyelamatkan manusia dari fitnahnya Dajjal, Yakjuj,dan Makjuj, Allah SWT mengirimkan seorang Imam Zaman Hazrat Mirza Ghulam Ahmad (1835-1908). Kedatangannya telah dikabar-ghaibkan dalam Qur’an Suci, misalnya yang berkenaan dengan kebangsaan dan tanda-tanda alamnya:

“Dia adalah yang membangkitkan di kalangan bangsa Ummi seorang Utusan yang ayat-ayatNya menyucikan mereka, mengajarkan kepada mereka Kitab dan Hikmah, walaupun mereka benar-benar dalam kesesatan yang terang. Dan (Ia juga akan membangkitkan di kalangan) orang-orang yang lain dari mereka yang belum pernah mengabungkan diri dengan mereka (bangsa ummi). Dan Ia adalah yang Maha Perkasa, Yang Maha Bijaksana. Itu adalah karunia Allah. Ia menganugrahkan itu kepada siapa  saja yang Ia kehendaki. Dan Allah itu Tuhannya karunia yang besar.” (QS 62:2-4)

Berkenaan dengan ayat tersebut, Imam Bukhari meriwayatkan suatu hadits:

“Sahabat Abu Hurairah berkata: “Kami sedang duduk bersama Nabi Suci ketika Surat al-Jumu’ah diturunkan kepada beliau, dan di sana terdapat ayat “wa akharina minhum lamma yalhaqqu bihim” (QS 62:3). Aku bertanya kepada Nabi Suci, “Siapakah mereka?” Beliau tak menjawab, sampai aku bertanya tiga kali. Sahabat Salman dari Persi, duduk di antara kami, dan Nabi Suci meletakkan tangan beliau di atas Salman dan bersabda: “Law kaanal-iimaanu ’indats-tsurayaa lanaalahuu min haa ulaa’i (kendatipun iman itu di dekat bintang Tsuraya, niscaya orang dari kalangan orang ini akan mencapai itu).”

Ayat suci dan hadits tersebut di atas mengandung kabar ghaib (nubuat) tentang datangnya seorang yang akan dibangkitkan Ilahi. Dia adalah seorang keturunan Persi yang belum pernah berjumpa dengan bangsa ummi, karena secara zamani rentang waktunya “terlalu jauh” (fathala’alaihimul-amandu).

Kabar Ghaib ini digenapi dengan datangnya Hazrat Mirza Ghulam Ahmad, Imam Zaman yang bergelar Masih dan Mahdi. Tetapi wajarlah jika hati umat Islam menjadi keras menentangnya (faqasat qulubuhum) (57:16), karena iman mereka mengantung di bintang Tsuraya.

 

Ahmadiyah: Kebangkitan Islam Kembali

Hazrat Mirza Ghulam Ahmad datang bukan hanya sebagai Mujaddid saja, melainkan juga sebagai Masih dan Mahdi, yang mengemban tugas memenangkan Islam atas semua agama (liyuzh-hirahu’alad-dini kullih) (QS 9:33; 48:29;61:9). Tugas ini sama dengan yang diperagakan oleh Nabi Suci Muhammad saw. sebagaimana  dikabarghaibkan dalam Qur’an Suci:

“Muhammad adalah utusan Allah; dan orang-orang yang menyertai dia berhati teguh melawan kaum kafir, bercinta kasih di antara mereka. Engkau melihat mereka ruku’ dan sujud, memohon anugerah dan perkenan Allah. Tanda-tanda mereka nampak pada wajah mereka karena bekas sujud mereka. Itulah gambaran mereka dalam Taurat, dan gambaran mereka dalam Injil: bagaikan benih yang mengeluarkan tunasnya, lalu menguatkan itu, maka jadilah itu kuat dan berdiri teguh diatas batangnya, yang menyenangkan bagi para petani, agar ia membuat marahnya kaum kafir karena itu. Allah menjanjikan kepada orang-orang yang beriman dan berbuat kebaikan di antara mereka, pengampunan dan ganjaran yang besar.”(QS 48:29)

Dalam teks ayat suci di atas, terdapat waqaf mu’anaqah pada kalimat “wamatsaluhum fil-injil,” berupa titik tiga pada sebelum dan sesudah kalimat itu. Artinya, pembaca boleh berhenti sejenak membaca, sebelum kalimat itu atau sesudahnya. Jika berhenti sebelum kalimat itu, maka ayat tersebut menjelaskan dua gambaran. Tetapi jika dibaca sesudah kalimat itu, berarti ada satu gambaran lagi tentang umat Nabi Muhammad saw. Dengan demikian, dalam ayat tesebut terdapat tiga macam gambaran.

Gambaran pertama terdapat dalam Taurat, yakni “orang-orang yang menyertai dia berhati teguh,” dst. Dan gambaran kedua terdapat dalam injil, yakni “(mereka) bagaikan benih yang mengeluarkan tunasnya’” dst. Sedangkan gambaran ketiga terdapat dalam Taurat dan injil, sebagaimana dalam gambaran pertama.

Gambaran Taurat antara lain tertulis dalam kitab Ulangan 18:18-22; 33:1-3; 34:10-12, dll., yang dijelaskan pula oleh para Nabi Israel lainnya, seperti Daud, Sulaiman, Yesaya, Habakuk, Daniel, dll.

Gambaran Taurat itu diperagakan Nabi Suci saw. dan para sahabat dalam periode Madinah sebagai penjabaran dari nama Muhammad yang diilhamkan Ilahi kepada Abdul-Muthalib. Nama ini secara harfiah artinya “yang terpuji,” mengandung sifat jalali, yakni sifat kebesaran, kemuliaan dan kemenangan.

Sejarah mencatat, dalam periode Madinah ini beliau dan para sahabat menampilkan sifat keberanian menghadapi musuh bersenjatakan pedang, kesabaran menghadapi bahaya besar yang mengancam, memperoleh kemenangan dalam pertempuran, pengampunan terhadap musuh yang telah takluk, sukses dalam berdiplomasi secara jujur, penegakan hukum tanpa pandang bulu, dll.

Maka dari itu dalam suatu hal yang sering digunakan orang untuk memburuk-burukan beliau, sejatinya dalam hal itu tersimpan kebesaran dan kemuliaan beliau. Dalam diri Muhammad terdapat kegagahperkasaan Musa, Keberanian Yoshua, kejayaan Daud, kemegahan Sulaiman, kearifan Sri Kresna, Kebijakan Konghuchu, dll.

Maka dari itu beliau menjadi uswatun hasanah bagi para presiden atau raja, bagi para panglima dan prajurit, bagi para jaksa dan hakim, bagi para pedagang dan pengusaha, sebab beliau telah melaksanakannya dalam kehidupan bermasyarakat.

Gambaran dalam injil diperagakan oleh Nabi Suci dan para sahabatnya dalam periode Mekah sebagai penjabaran nama Ahmad yang diilhamkan kepada ibudanya, Siti Aminah. Secara harfiah nama ahmad berarti “aku memuji,” yang mengandung sifat jamali, yakni sifat keindahan, keelokan dan kehalusan budi. Karena memuji pihak lain, maka tentunya mesti menggunakan tutur kata yang lemah lembut, sikap sopan santun, serta halus.

Sejarah mencatat, pada zaman Mekah beliau dan para sahabat menyebarluaskan Islam dengan keindahan, keelokan dan kehalusan budi. Caci maki para pendosa, beliau terima dengan senang hati; rintangan dan halangan mereka yang memusuhi beliau singkiri; penganiayaan dan pembunuhan para sahabat oleh kaum kafir beliau terima dengan sabar, dan demi mempertahankan iman beliau hanya menganjurkan mereka untuk hijrah ke Afrika di seberang Laut Merah.

Sebagai Ahmad, dalam diri Nabi Muhammad saw. terdapat kesabaran Ayub, kekhusyukan berdoa Zakaria, kebersahajaan Isa Almasih, kesederhanaan Yahya, kezuhudan Siddharta Gotama, dll. Oleh karena itu beliau menjadi uswatun hasanah bagi para fuqara, masakin, mustadh’afin, bagi para buruh dan karyawan, orang-orang pinggirian,dsb.

Akhirnya gambaran ketiga, yakni gambaran dalam Taurat dan Injil yang digabung menjadi satu, adalah nama ahmad yang diucapkan oleh Isa Almasih bin Maryam dalam Injil (QS 61:6). Nama ini mengabungkan dua nama yang mengandung dua arti dan sifat serta peragaan dan penerapanya.

Sebagai kata sifat, Ahmad artinya adalah “yang terpuji,” selaras dengan arti kata Muhammad yang mengandung sifat jalali. Penerapannya berkenaan dengan masalah hablum minallah atau aqidah. Sedangkan sebagai kata kerja, Ahmad artinya “aku memuji,” dan mengandung sifat jamali. Penerapannya berkenaan dengan hablum minannas atau mu’amalah.

Jika demikian halnya, teranglah bahwa Nabi Suci dan para sahabatnya yang asyidda’u ‘alalkuffari ruhama’u bainahum itu terbabar secara sempurna dalam kehidupan Nabi Suci dan para sahabat pada fase Madinah. Sedangkan gambaran dalam Injil, “yang senantiasa rukuk dan sujud, serta memohon anugerah dan perkenaan Allah,” terbabar secara sempurna  dalam kehidupan Nabi Suci dan para sahabat pada fase Mekah.

Gambaran pertama dan kedua melukiskan kejayaan Islam yang dijanjikan Ilahi dalam Qur’an Suci (QS 9:33, 48:28, dan 61:9). Janji ini terpenuhi dengan sempurna pada zaman Islam permulaan dan berlangsung selama tiga abad. Sedangkan gambaran ketiga merupakan suatu kabar ghaib (nubuat) tentang kebangkitan Islam kembali, yang cara mencapainya adalah harus dengan cara mengaktualisasikan sifat jalali dan sifat jamali itu.

Sifat jalali berkenaan dengan akidah yang gambaranya asyidda’u ‘alalkuffar, sedang sifat jamali berkenaan dengan mu’amalah yang gambarannya ruhama’u bainahum. Demikianlah aktualisasi “ muhammadur-rasulullahi walladzina ma’aha asyidda’u alal kuffari ruhama’u bainahum” pada zaman akhir. Kalimat inilah yang diilhamkan kepada Hazrat Mirza Ghulam Ahmad pada tahun 1880 (lihat dalam buku Eik Ghalati ka Izalah).

Di sinilah rahasia mengapa Gerakan Pembaharuan dalam Islam pada zaman akhir ini, yang beriringan dengan The Great Century of World Evangelization (Abad Agung Penginjilan Dunia) ( 1815-1914), disebut dengan nama “Ahmadiyah”. Nama itu secara de jure berlaku sejak 4 November 1900. “Ruh Ahmadiyah” ditiupkan Ilahi pada tanggal 1 Desember 1888 dan lahir di Babu Ludd, yakni kota Ludhiana, pusat Kristenisasi di Anak Benua India pada 23 Maret 1889.

Sebagai sebuah Gerakan, Ahmadiyah mencapai kesempurnaan pada 20 Desember 1905 dengan dibentuknya Shadr Anjuman Ahmadiyah. Sementara, selama tiga belas abad sebelumnya, gerakan pembaharuan dalam Islam bersifat seketarian, karena seperti halnya agama-agama terdahulu, gerakan itu dinamakan menurut nama pendirinya.

Nama Ahmadiyah diambil dari kata Ahmad, salah satu nama Nabi Muhammad saw, dan sama sekali bukan nama Imam panutannya. Lewat aktualisasi nama inilah Islam akan memperoleh kemenangan kembali.

Pada zaman akhir ini , menurut Nabi Suci, tugas Masih Mau’ud antara lain meletakkan peperangan (yadhaa’ul-harb). Maksudnya perang  bersenjatakan pedang atau bom atas nama agama harus diletakkan atau ditinggalkan. Senjata perang zaman akhir ini adalah Qur’an Suci (QS 25:52); dan tentu juga Kitab-kitab suci lainnya, sebab beriman kepada semua kitab suci menjadi salah satu Rukun Iman (QS 16:43-44). Karena itu, pada zaman akhir ini Islam harus “menang tanpa ngasorake,” karena “nglurug tanpa bala.”

Sejarah menjadi saksi, tatkala umat Islam terjebak dalam pemujaan mazhab, Ahmadiyah justru nglurug dengan laskar samawi atau juru ingat pada tiap-tiap kota di seluruh dunia (sebagaimana dimaksud oleh QS 25:51), terutama di Barat. Khawaja Kamaluddin dan Aftabuddin Ahmad ke Inggris; Maulana Sharruddin ke Jerman; Umar F.H. Ehrenfels ke Wina; Mirza Wali Ahmad Baig dan Maulan Ahmad ke Indonesia.

Demikian halnya juga dengan Maulana Muhammad Ali. Meski bermukim di Lahore, tetapi ribuan rudal rohaninya, berupa majalah berbahasa Inggris bertajuk The Review of Religions tersebar luas di Eropa dan Amerika.

Seorang penulis Barat, A.H.Walter, menulis dalam bukunya, The Ahmadiyya Movement antara lain sebagai berikut: “Majalah The review of Relegion seirama sekali dengan namanya, karena mengupas banyak persoalan penting dari perbagai macam agama di dunia: Hindhu, Arya Samaj, Brahma Samaj, Theosophy, Sikh, Budha, Jayna, Zarathustra, Bahaiyah, Yahudi dan Kristen. Demikian pula agama Islam dengan cabang-cabangnya dari aliran ortodoks hingga modern, seperti Syiah, Ahlul-Hadits, Khariji, Shufi, dari aliran modern seperti Sir Sayyid Ahmad Khan dan Sir Sayyid Amir Ali.”

Berkat Jihad Kabir (dakwah dengan lisan dan tulisan) para da’i dan mubaligh Ahmadiyah tersebut, jutaan orang Eropa dan Amerika yang buta matanya terhadap Islam dibuat melek. Mata mereka kini terbuka melihat kebenaran dan keindahan Islam yang dirindukan oleh fitrah mereka. Sementara selama ribuan tahun sebelumnya, mereka terbelenggu oleh amani (angan-angan atau desus-desus) seputar salib, yang tidak hanya ditegakkan oleh umat Kristen saja, tetapi juga ditegakkan oleh sebagian besar umat islam non-Ahmadi. Kini, tibalah saatnya salib itu dipatahkan.

 

Bai’at sebagai pintu gerbang internalisasi nilai-nilai Islam

Jika diamati dengan teliti uraian di atas, nampak jelas bahwa dalam nama ahmadiyah (yang diambil dari kata ahmad sebagai kata kerja) itulah terkandung petunjuk bagi upaya internalisasi nilai-nilai Islam pada zaman akhir ini. Hal ini selaras dengan gambaran dalam Taurat dan Injil yang diabadikan dalam Qur’an Suci: “ Engkau  melihat mereka ruku’ dan sujud, memohon anugerah dan perkenan Allah.”

Penjabaran gambaran ini dalam sejarah Ahmadiyah mulai terbangun pada 8 Desember 1888 dengan turunnya Ilham berbahasa Arab kepada Hazrat  Mirza Ghulam Ahmad:

“Jika kamu telah berniat bulat, maka bertakwakallah kepada Allah, dan buatlah sebuah perahu dengan pertolongan dan wahyu Kami. Sesungguhnya orang yang baiat kepadamu, sebenarnya meraka itu berbaiat kepada Allah, tangan Allah di atas tangan mereka” (selebaran Tabligh).

Ilham tersebut berisi dua hal. Pertama, memerintahkan agar beliau membuat kapal seperti yang dilakukan Nabi Nuh (QS 11:37). Hanya saja, jika kapal Nabi Nuh kapal hakiki yang dibuat dari batang kayu, maka kapal Hazrat Mirza Ghulam Ahmad adalah kapal majazi, berupa organisasi atau jama’ah.

Kedua, imbauan bai’at, seperti halnya para sahabat bai’at kepada Nabi Suci di Hudaibiyah pada Februari 628 (lihat QS 48:10). Berkenaan dengan imbauan bai’at ini, Ghulam Ahmad mengeluarkan selebaran Takmil Tabligh (perlengkapan tabligh) pada 12 Januari 1889, yang berisi syarat-syarat bai’at. Syarat-syaratnya itu terdiri dari sepuluh butir yang kemudian dikenal sebagai Janji Sepuluh, yang diucapkan setelah bai’at.

Pada  23 Maret 1889, beliau menerima bai’at dari 40 orang sahabat yang setia di kota Ludhiana. Teks baiat kepada imam zaman untuk menyelamatkan diri dan berperan serta dalam memenangkan Islam kembali selengkapnya sebagai berikut:

Dengan nama Allah, Yang Maha Pengasih, Yang  Maha Penyayang. Aku bersaksi sesungguhnya tak ada Tuhan selain Allah. Dan aku bersaksi bahwa sesungguhnya Muhammad adalah Utusan Allah.

Pada hari ini, di bawah tangan Imam Zaman,  saya menyatakan diri sebagai pengikut Gerakan Mujaddid Hazrat Mirza Ghulam Ahmad, yaitu Masih yang dijanjikan dan Mahdi.

Dengan hati yang tulus saya bertobat atas dosa saya sampai hari ini, dan saya hendak menjauhkan diri dengan sekuat-kuatnya dari perbuatan dosa.

Demikian pula saya berjanji hendak menjunjung agama melebihi dunia. Dengan sekuat-kuatnya saya hendak menetapi kewajiban shalat, zakat, puasa, dan naik Haji ke Mekah.

Dengan daya upaya sekuat-kuatnya, saya hendak menyiarkan Islam dan meluaskan Gerakan Ahmadiyah, seperti yang diperintahkan oleh Gerakan Ahmadiyah Indonesia.

Demikian pula saya berjanji bahwa selama-lamanya tidak akan membencanai Islam dan Gerakan Ini.

Ya Allah, Ya Rabbi. Saya mohon ampun atas kesalahan saya, mohon perlindungan daripada dosa. Ya Tuhan! Saya telah menganiaya jiwa saya, dan saya mengakui kesalahan saya, karena tidak ada yang dapat mengampui kesalahan selain Engkau.

Sesudah mengucapkan baiat, lalu mengikrarkan Janji Sepuluh sebagai berikut:

  1. Selama hidup tak akan berbuat dosa syirik (yaitu menyembah tuhan selain Allah).
  2. Akan menyingkiri segala macam kejahatan, seperti misalnya: berdusta, berzina, memandang orang lain dengan nafsu birahi, khianat, sewenang-wenang, mengacau dan berbuat bencana. Lagi pula tak akan tunduk kepada meluapnya hawa nafsu.
  3. Akan tekun menjalankan shalat lima waktu sebagaimana diperintahkan oleh Allah dan Rasul-Nya; dan dengan sekuat-kuatnya akan menjalankan shalat tahajjud, dan memohonkan rahmat atas Nabi Suci (shalawat), memohon perlindungan daripada dosa (istighfar), mengucapkan syukur atas nikmat Ilahi (tasyakkur), memuji dan memahasucikan Allah (tahmid dan tasbih).
  4. Tak akan menyakiti sesama manusia, teristimewa kaum Muslimin, baik dengan tangan, lisan, atau pun dengan cara-cara lain.
  5. Akan tetap setia kepada Allah, baik di waktu senang maupun susah, di waktu kecukupan maupun kesempitan, di waktu sehat maupun sakit; dan dalam keadaan bagaimana pun akan tetap tawakkal kepada Allah; dan akan menghadapi segala kesukaran dan kehinaan di jalan Allah dengan gembira; di saat-saat derita tak akan mundur selangkah pun, bahkan semakin menguatkan tali pengikat dengan Allah.
  6. Akan menjauhkan diri dari kelakuan buruk atau menuruti ajakan nafsu daging; dan akan menaati sepenuhnya segala perintah Qur’an Suci; dan akan menjunjung tinggi sabda Allah dan Rasul-Nya sebagai pedoman Hidup.
  7. Akan menjauhkan diri dari kesombongan, dan sebaliknya akan hidup dengan andhap asor, rendah hati, dan lemah lembut.
  8. Akan menjunjung tinggi kehormatan agama Islam melebihi apa saja, bahkan melebihi jiwa, harta, tahta, anak, dan saudara.
  9. Akan mencintai sesama manusia demi cinta saya kepada Allah; dan dengan sekuat-kuatnya hendak mengghunakan nikmat pemberian Allah kebahagiaan umat manusia.
  10. Akan menaati perjanjian ini sampai mati dan dengan segala keikhlaskan akan meneguhkan tali persaudaraan ini lebih kuat daripada ikatan keluarga dan ikatan lain-lainnya.

Dengan baiat dan janji sepuluh di atas, terjadilah internalisasi(4) nilai-nilai Islam pada diri seorang Ahmadi.

Hazrat Mirza Ghulam Ahmad dalam kitabnya Zururatul Imam, menjelaskan tentang tujuan baiat kepada beliau: “Dia (yang telah berbaiat) telah menjual segala keinginan dan kebutuhannya kepada seorang Imam. Tujuannya adalah agar ia dapat memperoleh ilmu-ilmu hakiki dan berkat-berkat sejati serta makrifat yang sempurna, yang dengan itu iman menjadi kuat dan penuh makrifat, karena terjalin hubungan suci dan murni dengan Allah Ta’ala.”

Hal ini selaras dengan firman Allah: “Dan di antara manusia ada yang menjual dirinya untuk mendapat perkenan Allah” (QS 2:207) dan dalam ayat “Sesungguhnya Allah telah membeli dari orang mukmin: jiwa raga mereka dan harta mereka (dan sebagai gantinya) mereka akan memperoleh sorga.” (QS 9:111)

Jati Diri Ahmadiyah

Internalisasi nilai-nilai Islam pada zaman akhir melalui mazhar sempurna Nabi Suci, yakni Hazrat Mirza Ghulam Ahmad, sebagaimana digambarkan dalam Taurat dan Injil, akan nampak nyata bagi orang-orang yang tajam mata hatinya. Hal ini telah diisyaratkan dalam Qur’an, “tanda-tanda mereka nampak pada wajah mereka karena bekas-bekas sujud mereka.”

Yang dimaksud “wajah” dalam ayat itu bukanlah bagian depan kepala dari dahi atas sampai ke dagu, dan di antara telingga yang satu ke telinga yang lain. Wajah yang dimaksud adalah seluruh diri secara totalitas, lahir dan batin!

Demikian pula kata “sujud” bukan hanya berarti sujud ritualistik dalam shalat, berlutut dengan meletakkan dahi ke lantai bersama enam indera yang lain, yang mengakibatkan bekas noda hitam pada dahi. Tetapi kata sujud ini harus dimaknai secara kaffah, yakni tunduk dan patuh kepada Ilahi dengan menaati hukum-hukumnya, baik hukum syariat  maupun hukum alam.

Ketaatan  kepada hkum syariat dapat menyempurnakan rohani seseorang, tetapi sifat ketaatanya sukarela. Sementara ketaatan kepada hukum alam akan menyempurnakan jasmani seseorang, dan sifat ketaatanya terpaksa (QS 3:83; 13:15).

Ketaatan dan kesempurnaan kepada kedua hukum Ilahi itu melahirkan jati diri (keadaan khusus pada diri seseorang). Oleh karena itu, internalisasi nilai-nilai islam pada zaman Nabi Suci saw. adalah actualisasi jati diri ahmadiyah yang diperagakan di Makkah dan jati diri Muhammadiyah yang diperagakan di Madinah.

Dan saat sekarang ini, di zaman akhir ini, internalisasi nilai-nilai Islam oleh Hazrat Mirza Ghulam Ahmad merupakan aktualisasi jati diri Ahmadiyah yang mengandung dua sifat, yaitu sifat jalali yang ranahnya aqidah dan sifat jamali yang ranahnya mu’amalah, sebagaimana digambarkan dalam Taurat dan Injil.

Jati diri Yang bersumber pada internalisasi nilai-nilai Islam oleh Imam Zaman oleh Maulana Muhammad Ali dirumuskan dalam dua komponen, yakni dalam Teori dan dalam Praktek, yang masing-masing 12 Butir. Jati diri dalam teori adalah:

  1. Islam adalah agama yang hidup. Semua pengikutnya yang sempurna, dengan ridha Ilahi, dapat berhubungan dengan-Nya.
  2. Islam adalah agama kesatuan. Semua umat Islam adalah saudara dan tak seorangpun dapat disebut kafir karena berbeda pendapat, selama ia berpegang teguh kepada kalimat laailaaha illallaah Muhammadarrasuuuullah (Tak ada Tuhan selain Allah dan Muhammad adalah Utusan Allah)
  3. Islam berpandangan liberal. Islam mengakui kesatuan umat manusia dan menerima semua Nabi yang dibangkitkan diantara semua bangsa di dunia.
  4. Islam adalah agama yang unggul dan tak bisa diungguli. Prinsip-prinsip ajarannya secara bertahap akan diterima dan memperoleh kemajuan di dunia
  5. Islam adalah agama yang rasional. Baik ajaran pokok (ushul) maupun cabang-cabang (furu’)nya selaras dengan nalar dan fitrah manusia.
  6. Pintu Ijtihad tetap terbuka untuk selama-lamanya.
  7. Kitab Suci Al-Qur’an mendapat tempat yang pertama dan utama dalam kehidupan, dan merupakan sumber hukum Islam yang asli dan tak dapat diganti. Hadits datang sesudah itu dan berada di bawah Al-Qur’an. Sesudah itu datang Fiqih (yurisprudensi) dan Ijtihad para Imam, yang kedua-duanya berada di bawah Qur’an Suci dan Hadits Nabi saw
  8. Kitab Suci Al-Qur’an adalah sumber petunjuk bagi umat manusia sepanjang zaman. Tak ada satu ayat pun yang pernah hapus atau akan dihapus
  9. Kitab Suci Al-Qur’an memiliki daya rohani yang besar; oleh karena itu tidak memerlukan dan tak akan memerlukan pedang.
  10. Kitab Suci Al-Qur’an adalah kumpulan semua kebenaran rohani dan agama, dan memancarkan sinar kepadanya. Tidak hanya mendorong ke arah kemajuan dibidang agama saja, tetapi juga memberikan dalil-dalil dalam memperjuangkannya.
  11. Nabi Suci Muhammad saw. memiliki sifat-sifat kesempurnaan semua Nabi terdahulu; oleh karena itu umat manusia tidak memerlukan datangnya Nabi lagi.
  12. Nabi Suci Muhammad saw. adalah penutup para Nabi. Sesudah beliau tidak akan datang lagi, baik Nabi lama ataupun Nabi baru. Para Mujaddid (pembaharu) akan bangkit pada tiap-tiap permulaan abad untuk membetulkan kesalahan-kesalahan umat Islam dan memberi bimbingan ke jalan yang benar.

Jati Diri Ahmadiyah dalam Praktek rumusannya sebagai berikut :

  1. Menghormati para pendiri agama dari berbagai bangsa dan kitab-kitab sucinya.
  2. Menghormati semua sahabat Rasulullah saw., semua Imam (dari madzab manapun), para Wali dan Mujaddid.
  3. Beranggapan bahwa semua madzab dalam Islam adalah sebagai ranting-ranting pohon yang beraneka macam. Perbedaan-perbedaan kecil bisa saja timbul, tetapi semua sependapat tentang Qur’an Suci dan Nabi Muhammad saw.
  4. Tunduk kepada syari’at dan adat istiadat Islam. Menjauhi semua adat dan kebiasaan yang buruk dan menerima kekuasaan Al-Qur’an secara kaffah.
  5. Cinta kasih kepada siapapun (pemeluk agama apapun, dari negara manapun dan bangsa atau umat apapun juga)
  6. Beranggapan bahwa setiap orang Islam adalah saudara dan berusaha sedapat mungkin untuk menolongnya
  7. Kebaktian kepada agama Islam dikerjakan bersama Imam dan Mujaddid pada abadnya dan di bawah pimpinannya. Berjuang untuk memperbaharui organisasi dan membuang kesalahan-kesalahan dengan semangat dan jiwa agama yang besar.
  8. Membela agama Islam, semua Kitab Suci dan Utusan Allah dari segala serangan.
  9. Beranggapan bahwa dirinya sebagai duta di jalan Tuhan Yang Maha Esa dalam hal menyebar-luaskan Islam. Menyampaikan wahyu Tuhan dan pesan Islam kepada seluruh bangsa di dunia.
  10. Membelanjakan sebagian dari waktu dan miliknya untuk mempertahankan dan menyiarkan Islam.
  11. Dengan senang hati menghadapi segala macam kesulitan, kesalah-pahaman dan penghinaan demi dan untuk agama Allah
  12. Menjunjung tinggi agama melebihi dunia. Cinta kasih kepada Tuhan dan Utusan-Nya. Mendahulukan pelayanan kepada agama Islam dan rela berkorban untuk umat manusia pada umumnya dan Nabi Suci Muhammad saw. pada khususnya daripada urusan duniawi.

Jati diri Ahmadiyah di atas membentuk keperibadian kolektif, yang dalam pertumbuhan dan perkembangannya membentuk kepribadian personel yang bersifat subyektif. Keperibadian seseorang tentu berbeda dengan orang lain, karena berbeda takdir-detailnya.

Bagi kaum Ahmadi, keperibadian itu mestinya adalah cerminan yang tak melenceng dari koridor Jati Diri GAI di atas.

Ahmadiyah Sebagai Gerakan Tuhan

Untuk mengenal lebih jauh Gerakan Ahmadiyah, yang jati dirinya seperti di atas, kita perlu mengenal dari segi sejarah sebagai pengenapan nubuat atau kabar gaib Qur’an Suci, Hadits Nabi dan Ilham/Kasyaf para wali atau orang-orang suci secara singkat.

Dalam kitab Barahini Ahmadiyah yang terbit pada tahun 1880, Hazrat Mirza Ghulam Ahmad menerima ilham: “Dialah yang mengutus utusan-Nya dengan agama dan petunjuk yang benar, agar agama itu berlaku bagi semua agama yang lain.” ( p. 498). Dalam ilham yang selaras dengan QS 9:33, 48:28 dan 61:9 ini, terdapat isyarat bahwa beliau adalah Mahdi, artinya yang mendapat petunjuk atau yang memberi petunjuk.

Petunjuk Ilahi dalam al-Qur’an Suci sering kali disebut wahyu, maka wahyu sifatnya universal.Tanpa wahyu segala sesuatu: mulai dari alam ma’adani, nabati, hewani, insani dan ruhi, tak akan dapat mencapai kesempurnaan sesuai dengan takdirnya masing-masing.

Dalam hal ini, kata wahyu bukanlah dalam konteks kenabian (nubuwah). Dalam buku ini beliau menyatakan: “Barangsiapa ragu-ragu akan kebenaran Wahyu Ilahi, silahkan datang kepadaku, agar dapat melihat dan mengalami sendiri kebenaran Wahyu Ilahi itu.”

Di samping itu, beliau mendeklarasikan dirinya sebagai Mujaddid abad ke-14 Hijriyah, yang deklarasi itu diperkuat dengan selebaran khusus sebanyak 20.000 eksemplar yang disebarluaskan pada tahun 1885, antara lain beliau menulis:

“Penulis surat selebaran inii diberitahu bahwa ia adalah Mujaddid pada abad ini, dan keluhuruan rohaninya menyerupai Al-Masih bin Maryam. Aku datang untuk menegakkan kebenaran Islam dan untuk menyakinkan manusia akan keindahanya, dan untuk memimpin mereka ke arah sumber ajaran-ajaran Islam yang menyegarkan roh mereka dengan air suci Islam. Aku tak membawa syariat baru. Qur’an Suci adalah Kitab Suci terakhir dan Nabi Suci Muhammad saw. adalah Nabi terakhir. Kedatanganku adalah untuk mengabdi kepada Islam, dan untuk menyiarkannya, dan untuk membersihkannya dari kotoran-kotoran yang melekat kepadanya, sebagai akibat hiruk pikuk pikiran manusia. Aku adalah Mujaddid abad ke- 14 Hijriah ini.”

Selanjutnya, pada tanggal 1 Desember 1888, beliau menerima Ilham: “Apabila engkau telah membulatkan tekad, bertawakallah kepada Allah. Dan buatlah perahu di hadapan Kami dari wahyu Kami. Orang-orang yang baiat kepada engkau sesungguhnya mereka berbaiat kepada Allah. Tangan Allah di atas tangan mereka” (Tabligh Risalat, 1:145).

Dalam Ilham ini beliau diperintahkan agar membuat perahu, yakni membangun gerakan yang oleh Nabi Suci disebut al-Jama’ah dan menerima baiat dari orang-orang yang mendukung jamaah itu.

Enam minggu berikutnya, pada tanggal 12 Januari 1889, beliau menerbitkan selebaran berjudul Takmil Tabligh (Perlengkapan Amanat) yang berisi sepuluh butir syarat-syarat baiat yang kemudian menjadi “Janji Kita” atau Janji Sepuluh” yang diikrarkan setelah baiat.

Dua bulan sebelas hari berikutnya, tepatnya 23 Maret 1889 di Kota Ludhiana, terealisasi ilham Ilahi: “sesungguhnya orang yang berbaiat kepadamu, sebenarnya mereka itu berbaiat kepada Allah. Tangan Allah di atas tangan mereka”. Dan perintah Nabi Suci: “Apabila kamu melihat dia, maka baitlah kamu kepadanya, walaupun kamu harus merangkak di atas gunung es, karena dia adalah Khalifatullah, Al-Mahdi” ( HR Ibnu Majah)

Pada saat itu yang baiat sebanyak 40 orang saja, akan tetapi dalam tempo sekitar seperempat abad, tatkala Imam Zaman wafat pada tanggal 26 Mei 1908, pengikut beliau telah berjumlah 400.000 orang dengan jutaan simpatisan.

Para ulama penetang beliau berkeberatan jika “Ahmadiyah” digunakan untuk menamakan Gerakan beliau. Mereka menyebut pengikut beliau Mirza’i atau Qadiyani, seperti halnya orang-orang Barat menyebut Islam sebagai Muhammadanisme. Sebutan itu sangat populer sampai tahun 1900.

Karena nama itu tak beliau kehendaki, Allah memberi pertolongan lewat tangan Bangsa Inggris yang menguasai anak benua india pada saat itu. Pemerintah kolonial menyelenggarakan sensus penduduk pada tahun 1901, di mana setiap orang dicatat namanya, agamanya, mazhabnya.

Untuk memenuhi tuntutan zaman dan alam itulah, beliau menamakan pengikutnya kaum Muslimin golongan Ahmadiyah. Jadi Ahmadiyah adalah nama mazhab atau Gerakan beliau. Mereka yang mengikuti gerakan ini disebut Ahmadi. Nama Ahmadiyah diambil dari kata “ahmad”, nama Nabi Suci yang diilhamkan kepada ibundanya, Siti Aminah, sebagai penggenapan kabar ghaib (nubuat) Isa Almasih dalam Injil, yang diabadikan dalam Qur’an Suci 61:6.

Digunakannya Ahmadiyah untuk nama Gerakan Pembaharuan dalam Islam zaman akhir ini, karena nama itu sesuai dengan yang diisyaratkan  Ilahi dalam firmanNya yang termaktub dalam ayat terakhir surat Al-Fath (Kemenagan), setelah ayat yang berbunyi : “Dia ialah yang mengutus UtusanNya dengan petunjuk dan agama yang benar, agar ia memenangkan itu di atas semua agama. Dan Allah sedah cukup sebagai saksi” (48:28).

Atas dasar ayat qauliyah dan ayat kauniyah di atas, jelaslah bahwa Ahmadiyah adalah Gerakan Tuhan.

Sami’na wa atha’na

Akhirnya sebelum saya tutup, perkenankanlah saya menyampaikan sebuah Hadits riwayat Ahmad bin Hanbal sebagai berikut: “Tidak ada Islam kecuali dengan jama’ah, dan tak ada jama’ah kecuali dengan amir, dan tak ada amir kecuali dengan bai’at,dan tak ada bai’at kecuali dengan taat.”

Dan juga sebuah atsar ucapan Umar bin Khathab: “Sesungguhnya tak ada Islam kecuali dengan jama’ah, dan tak ada jama’ah kecuali dengan amir, dan tak ada amir kecuali dengan taat.”

Jama’ah yang dimaksud sudah barang tentu bukan sembarang kelompok atau golongan. Jama’ah yang dimaksud adalah sebagai mana yang diisyaratkan oleh Nabi Suci dalam Hadits yang diriwayatkan oleh Imam Ibnu Majah dari Auf bin Malik:

“Demi dzat yang diri Muhammad di tangan kekuasaanNya, sungguh akan berpecah belah umatku atas 73 golongan, maka yang satu di Sorga dan yang 72 di neraka. Rasulullah ditanya, siapakah mereka itu? Beliau menjawab, Al-Jama’ah.”

Hadits semacam ini diriwayatkan pula oleh Abi Daud, Ahmad dan Ad-Darimi. Imam Thabrani menyebut satu golongan itu dengan sebutan Ahlus-Sunnah wal-Jama’ah. Imam Tirmidzi menjelaskan bahwa satu golongan itu adalah “ma ana ‘alaihi wa ashabi (apa yang aku di atasnya dan para sahabatku).”

Jama’ah itu bukan hanya perkumpulan sejumlah orang di bawah seorang amir atau imam saja, tetapi juga mencakup adanya satu program dan satu cara untuk mencapai satu tujuan. Jama’ah umat Islam, sejatinya Imamnya tak dipilih secara demokratis oleh umat Islam; meski Allah telah memerintahkan antuannul amanati ila ahliha (supaya kamu menyerahkan amanat kepada orang yang pantas menerimanya)” (QS 4:58).

Yang memilih dan menetapkan Imam bagi jama’ah Islam adalah Allah Ta’ala sendiri, sebagaimana ia menetapkan para Nabi dan Rasul pada zaman dahulu. Umat mereka akan mengenalinya melalui pengakuan Nabi dan Rasul yang bersangkutan. Umat yang berhati bersih akan segera menjadi pengikut mereka. Inilah yang disebut jama’ah, meski pengikutnya hanya tiga orang. Pada zaman Islam permulaan, Nabi Suci, Siti Khadijah, Ali bin Abi Thalib dan Zaid adalah satu jama’ah karena tanpa satu pimpinan dan satu program serta cara untuk mencapai satu cara.

Dengan demikian, di kalangan umat Islam akan lahir satu jama’ah pengikut Imam Zaman atau Imam Jama’ah pada abadnya, yang dibangkitkan oleh Allah. Mereka adalah Ahlussunnah wal jama’ah, karena menegakkan Sunnah Nabi dan para sahabatnya.(5)

Pada zaman akhir ini, nama jama’ah yang dikehendaki alam dan zaman adalah Ahmadiyah Indonesia, disingkat GAI. Jika nama ini diganti, misalnya: Persaudaraan Islam Republik Indonesia (PIRI), seperti disarankan oleh beberapa pihak tertentu, adakah pantas saran itu diterima?

Jika seruan Allah dan RasulNya harus kita sambut dengan sami’na wa atha’na, maka tentunya seruan Ilahi dan mazhar RasulNya pun semestinya disambut pula dengan sami’na wa atha’na. Sebab, dalam nama Ahmadiyah terkandung dua arti dan sifat yang aplikatif dalam upaya dakwah, untuk berperan serta dalam kebangkitan Islam kembali sebagaimana telah dijanjikan Tuhan. Siapa yang senantiasa memuji, terpujilah dia!

  • Penulis : K.H. Simon Ali Yasir | Ketua Umum Pedoman Besar GAI Periode 1995-1999
  • Disampaikan dalam ceramah umum pada Jalsah Salanah GAI pada 12 Januari 2012

Endnote

(1). Orang beriman jika diseru kepada Allah dan Utusan-Nya memang harus menjawab:  “sami’na wa atha’na (kami mendengar dan kami taat )” (QS 24:51). Tetapi taat kepada Ulil Amri adalah “tha’atun ma’rufah (ketaatan yang pantas)” ( QS 24:53), tak boleh taat secara membabi buta, tanpa pemilahan mana yang benar dan mana yang salah.

(2). Masalah ulil amri ini selaras dengan janji Ilahi dalam ayat: “Allah berjanji kepada orang-orang yang beriman di antara   kamu dan berbuat baik, bahwa Ia pasti akan membuat mereka penguasa di bumi sebagaimana Ia telah membuat orang-orang sebelum mereka menjadi penguasa, dan bahwa Ia akan menegakkan bagi mereka agama mereka yang telah Ia pilih, dan bahwa Ia akan memberi keamanan sebagaimana pengganti setelah mereka menderita ketekutan. Mereka akan mengabdi kepada-Ku, dan tak akan menyekutukan Aku dengan apapun. Dan barangsiapa sesudah itu tidak terima kasih, mereka adalah orang yang durhaka.” (QS 24:55).

Menurut Maulana Muhammad Ali, “ janji yang diberikan dalam ayat ini bukan saja ditunjukan pada khalifah Nabi Suci yang mengurusi pemerintahan duniawi, melainkan pula kepada para Khalifah ruhani atau para Mujaddid. Sejalan dengan Bangsa Israil yang diisyaratkan dalam ayat ini, janji disini juga berkenaan dengan munculnya seorang Masih di kalangan kaum Muslimin, sebagaimana seorang Masih telah dibangkitkan di kalangan Bangsa Israil. Itulah sebabnya mengapa pengakuan Hazrat Mirza Ghulam Ahmad, dari Qadian, pendiri Gerakan Ahmadiyah, didasarkan ayat ini; beliau mengaku sebagai mujaddid abad ke-14 Hijriah, dan sebagai Masih yang kedatangannya telah diramalkan sebelumnya.” (tafsir no. 1763).

Untuk menafsirkan ramalan (kabar ghaib atau nubuat) dan penggenapanya, kaidahnya adalah sebagai berikut:

  • Pengakuan yang dinubuatkan. Misalnya, Nabi Suci adalah seorang Nabi untuk semua bangsa, pengakuannya termaktub dalam QS 7:158; 25:1, dll.
  • Menyebutkan ramalan tentang dirinya. Misalnya, Nabi Suci menyebutkan perjanjian para nabi (QS 3:81) seperti Taurat dan Injil (QS 7:157) atau kitab-       kitab terdahulu (QS 26:192-197).
  • Karakteristiknya sesuai dengan gambaran dalam ramalannya. Karakteristik Nabi Suci sesuai dengan semua ramalan para nabi sebelumnya, maka beliau menyeru manusia agar mengikuti teladan beliau (QS 3:31).
  • Adanya penjagaan Ilahi terhadap dirinya (QS 8:30, 9:40,dll).

(3). Kata madzhab berasal dari akar kata dzahaba artinya “pergi,” maknanya “jalan yang dilalui orang, baik dalam hal ajaran maupun praktek keagamaan,” atau bermakna pula “pendapat tentang agama.”

(4). Istilah Intenalisasi menurut The Contemporary Engliss-Indonesia Dictionary artinya “proses pengambilan gagasan orang untuk diterapkan pada diri sendiri.” Sedangkan menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, artinya “penghayatan.” Misalnya dalam kalimat, “proses internalisasi falsafah negara penguasaannya secara mendalam lewat penyuluhan, penataran, dsb.”

(5). Dalam hadits riwayat al-Hakim dari Umar, Nabi Suci bersabda: “Senantiasa segolongan dari umatku ada yang menolong atas kebenaran, sehingga datang Hari Kiamat.” Segala penetapan terhadap al-Jama’ah itu pasti gagal, sebagaimana dinyatakan dalam hadits riwayat Muslimin, Tirmidzi dan Ibnu Majah dari Tsauban, Nabi Suci bersabda: “Senantiasa segolongan dari umatku-ada- yang menolong atas kebenaran, tidak membahayakan pada mereka itu orang yang meremehkan dan menentangnya, sehingga datang perintah Allah dan ia tetap eksis.”

Tentang berkembangnya Ahmadiyah, meski ditentang oleh dunia Islam, Imam Zaman menulis sebagai berikut: “Lihatlah! Itu zaman sedang datang, malah sudah dekat, yaitu Tuhan akan meluaskan kemakbulan Jamaah ini di dunia. Jama’ah ini akan tersiar di Timur, Barat, Utara dan Selatan. Nanti di dunia yang dimaksud dengan Islam adalah Jamaah ini. Ini wahyu dari Tuhan, tak ada sesuatu hal yang mustahil di hadapanNya” (Tuhfah Golrewiyah, hal. 56).

Yuk Bagikan Artikel Ini!

Comment here

Translate »