Berikut adalah dialog antara anggota Jemaat Ahmadiyah Indonesia (Ahmadiyah Qadiani, selanjutnya disebut JAQ) dan anggota Gerakan Ahmadiyah Indonesia (selanjutnya disebut GAI) yang terjadi secara tidak langsung melalui peramban whatsapp berkenaan dengan kontroversi kenabian Hazrat Mirza Ghulam Ahmad (HMGA).
JAQ : Memang beliau as (Hazrat Mirza Ghulam Ahmad) itu bukan Nabi Haqiqi (istilah ilmu Balaghah), tapi Nabi Haq. Nabi Haqiqinya adalah Nabi Muhammad saw. Beliau as adalah Nabi Majazinya.
Bukti nyata bahwa beliau itu Nabi Haq (benar) adalah sepeninggal beliau as dilanjutkan oleh Khalifahnya, bahkan kini Khalifah yang ke- 5. Sesuai dengan Hadits Rasulullah saw ” Tiada datang Nabi begitu saja, kecuali diikuti Khilafah.”
GAI : Dalam perjanjian Hudaibiyah Rasulullah rela tidak diakui sebagai nabi/rasul oleh orang kafir Makah, demi terciptanya perdamaian.
Adakah ayat Qur’an atau bahkan Hadits yang menyatakan bahwa Alloh hanya menciptakan satu-satunya Nabi Haq, yakni Hazrat Mirza Ghulam Ahmad?
Sikap seseorang kepada nabi itu pasti hanya dua, yaitu mengakui atau menolak. Mengakui berarti IMAN, menolak berarti KAFIR. Mengakui HMGA sebagai nabi, otomatis mengafirkan (diucapkan atau tidak) kepada orang lain. Ini sama halnya dengan menciptakan sumber perpecahan di kalangan kaum muslimin.
Bukti bahwa orang Ahmadiyah Qodiyan mengafirkan orang lain, di antaranya tidak mau shalat makmum di belakang orang lain.
JAQ : Berarti Bapak belum pernah belajar ilmu Balaghah ya? Haqiqi itu pasangannya majazi. Nabi Muhammad saw itu Nabi Haqiqi, sedangkan Hadhrat Mirza Ghulam Ahmad as itu Nabi Majazinya.
Dua-duanya Nabi Haq (benar-benar diutus oleh Allah), berkat telah menjadi umat beliau saw secara sempurna sebagaimana dijanjikan dalam (QS. 4:69).
Perumpamaannya seperti orang yang menghadap cermin. Orang yang ada dalam cermin haqiqinya adalah orang yang berada di depan cermin itu. Kenabian dan risalah Hadhrat Mirza Ghulam Ahmad as itu haqiqatnya adalah Kenabian dan Risalah beliau saw.
GAI : Dalam alquran memang banyak kita jumpai kata tamsil (perumpamaan-perumpamaan), permasalahannya apakah nabi haqiqi dan majazi bisa diumpamakan sangat sederhana bagaikan orang berkaca?
Kalau bahasa seperti itu, itu jelas-jelas bukan sesungguhnya. Atau kalau dibalik, itu sesungguhnya bukan. Seperti emas, bukan emas, seperti madu, bukan madu. Seperti nabi, sesungguhnya ya bukan nabi.
Ketika HMGA mengaku sebagai nabi, terjadi kegaduhan di kalangan umat. Sadar soal ini, lalu beliau menjelaskan bahwa kata nabi dalam pengakuan beliau itu hanya dalam pengertian bahasa, dan sama sekali bukan dalam pengertian ISTILAH ISLAM seperti yang sudah menjadi kelaziman.
Untuk menegaskan penjelasannya, beliau membuat istilah baru, yaitu nabi majazi, nabi buruzi, dll. Pada intinya beliau menolak kalau dituduh telah mengaku sebagai nabi (dalam pengertian istilah Islam).
Sebegitu jauh penjelasan itu sudah diberikan, tapi kalau masih sulit dipahami, “hapus saja kata nabi dan ganti dengan kata muhadats”.
Hingga sejauh itu pun, kalau masih juga belum bisa menerima, gak apa-apa. HMGA sangat sadar bahwa pengakuan kepada beliau bukan bagian dari rukun iman, tidak menjadi syarat bagi ke-Islaman seseorang, oleh karena itu beliau tidak diakui sebagai apa pun tidak membatalkan ke-Islaman seseorang.
Jadi, yang NGOTOT untuk menjadikan Hazrat Mirza Ghulam Ahmad sebagai nabi adalah Ahmadiyah Qodiyan. Sedangkan HMGA sendiri sangat tidak!
JAQ : Hadhrat Mirza Basyiruddin Mahmud Ahmad ra dkk ngotot mengakui Hadhrat Mirza Ghulam Ahmad as sebagai Nabi ummati, dll karena itu adalah bukti kebenaran janji Allah (4:69).
Bahkan Mln. Muhammad Ali MA, LLB dalam majalah yang beliau pimpin, The Review of Religion edisi Januari, Februari dan Maret 1914 menyatakan dengan tegas bahwa beliau as adalah seorang Nabi, dan bohong orang yang mengatakan bahwa beliau as itu bukan seorang Nabi.
Soal penolakan beliau as bukan seorang Nabi, karena pemahaman pendapat ghair ahmadi bahwa Nabi itu pasti membawa syariat. Mereka tidak paham maksud Nabi yang dijanjikan dalam (4:69).
Orang Islam yang menolak kenabian beliau as, tidak menjadi kafir, mereka tetap Islam sebab telah bersyahadat (Hadits). Karena itu Rasulullah saw menegaskan bahwa umat beliau saw akan pecah menjadi 73 firqah, semuanya diakui sebagai umat Islam (umati).
GAI : Nah … kan? Yang ngotot MBMA dkk., bukan HMGA. Kalau pun beda, gak jauh-jauh amat dengan orang Kristen yang ngotot bahwa Yesus adalah Tuhan, sedangkan Yesus sendiri tidak pernah mengaku sebagai Tuhan.
Saya meragukan kalau MMA mengakui HMGA sebagai nabi.
“Nabi Ummati” dll. itu istilah yang “diciptakan” oleh HMGA sendiri untuk menjelaskan bahwa beliau itu bukan nabi dalam pengertian istilah Islam, melainkan hanya dalam arti etimologis (bukan terminologis), dan oleh karena itu tidak lebih dari umat (umati).
Dalam pengertian istilah, beliau bukan nabi dan tidak (pernah) mengaku sebagai nabi.
Contoh kalimat: “Saya itu Presiden. Tapi bukan Presiden RI, melainkan hanya presiden PKS. Sehingga saya tidak beda dengan rakyat Indonesia pada umumnya. Bahwa secara faktual banyak perbedaan dengan rakyat lainnya, Ya iyalah.”
HMGA pasti sangat paham bahwa Allah mengutus seorang nabi pasti bersamaan dengan kitabnya, yang antara lain dinyatakan di QS 2:213. Lalu kitab apa yang menyertai terutusnya HMGA sebagai nabi?
Agaknya kawan kita (Qadiani) juga memaksakan bahwa tadzkirah merupakan kumpulan wahyu kepada HMGA, lalu bisa dinyatakan sebagai kitab. Padahal tadzkirah bukan karya orisinal HMGA, beliau sendiri tidak tau menahu soal buku itu.
Tapi lepas dari itu semuanya, ya silakan saja, boleh saja mengakui HMGA sebagai nabi juga boleh, tadzkirah sebagai kitab suci juga boleh saja.
Saya hanya ingin menegaskan bahwa GAI tidak mengakui HMGA sebagai nabi. Kalau pun benar bahwa MMA mengakui HMGA sebagai nabi, itu hak pribadi beliau, tapi bagi GAI “tidak ada nabi sesudah Nabi Muhammad, baik nabi lama atau pun nabi baru.”
JAQ : Justru Hadhrat Mirza Basyiruddin Mahmud Ahmad ra yang menghormati kesucian dan kebenaran Al-Quran bahwa sesudah Rasulullah saw akan datang Nabi pengikut beliau saw (4:69) dan (62:2-3). Contoh konkritnya Hadhrat Mirza Ghulam Ahmad as sebagai Nabi umat Rasulullah saw.
Semua Ahmadi jaman beliau as meyakini beliau as sebagai Nabi umat Rasulullah saw. Puluhan kali beliau as dipanggil sebagai Nabi oleh Allah Ta’ala, dan Mln. Muhammad Ali MA, LLB menyatakan sampai 4 kali bahwa beliau as adalah seorang Nabi dalam artikelnya di majalah The Review of Religion, dan bukti amaliyahnya dia mengakui Hadhrat Al-Haj Mln. Hakim Nuruddin ra sebagai Khalifatul-Masih Awal dan menyatakan bai’at di tangan beliau ra.
Hadhrat Al-Mushthafa Muhammad saw juga berkali kali Allah Ta’ala panggil Nabi dan Rasul. Itu juga dalam bahasa Arab pak!
GAI : Kalau dikaitkan dengan QS 4:69 kayaknya gak nyambung. Yang dimaksud HMGA sebagai contoh konkret itu apa? Faktanya hanya beliau satu-satunya yang diakui sebagai nabi. Apa iya hanya HMGA saja yang dituju oleh ayat itu?
Lalu terkait dengan QS 62:2-3, menurut saya juga pemahaman yang tendensius. Ayat itu tidak mensyaratkan harus nabi!
Ini relevan dengan QS 4:69. Bahwa orang yang taat kepada Allah dan Rasul tidak harus dan tidak akan jadi nabi. Maulana Muhammad Ali (MMA) dalam tafsirnya terhadap QS 4:69 tsb menerangkan sbb:
“Orang yang taat kepada Allah dan Utusan, akan menyertai orang-orang yang sempurna, yang terbagi menjadi empat golongan, yaitu para Nabi, para Shiddiqin, para Syuhada dan para Shalihin. Artinya, mereka tak dapat mencapai derajat kesempurnaan seperti empat golongan manusia sempurna itu, tapi mereka (hanya) akan menyertai keempat golongan itu, yaitu mereka akan berkumpul dengan golongan manusia sempurna itu di Akhirat.
Hal ini dijelaskan dalam satu Hadits. Diriwayatkan dalam suatu Hadits bahwa Nabi bersabda: “Orang tulus dan pedagang yang jujur akan menyertai para Nabi, Shiddiqin, dan Syuhada” (Tirmidzi 12:4)
Ini bukanlah berarti bahwa pedagang yang jujur akan menjadi Nabi, melainkan mereka akan menyertai para Nabi.
Menurut Hadits lain, Nabi Suci ditanya tentang orang yang mencintai suatu kaum, tetapi ia bukan dari golongan mereka, beliau menjawab bahwa orang itu menyertai orang yang dicintainya (M. 45:50).
Diriwayatkan bahwa sahabat Anas berkata: “Aku mencintai Rasulullah dan aku mencintai Abu Bakar dan ‘Umar dan aku memohon agar Allah mengumpulkan aku dengan mereka, sekalipun aku tak melakukan perbuatan yang telah mereka lakukan” (M. 45:50).
Jadi ayat ini menjanjikan kepada orang yang tak mencapai derajat kesempurnaan, jika mereka mau berusaha sekuat-kuatnya untuk mentaati Allah dan Utusan-Nya, mereka akan berkumpul dengan orang-orang sempurna.
Bagaimanapun juga, orang tak akan menjadi Nabi karena taat kepada Nabi Suci. Jika ini terjadi, maka bukan saja kaum Syuhada dan Shalihin akan menjadi Nabi karena mereka taat kepada Allah dan Utusan-Nya, melainkan pula semua orang yang berusaha untuk mengikuti mereka, akan dinaikkan derajatnya menjadi Nabi. Sudah barang tentu ini menggelikan sekali.
Orang yang berkata bahwa ada orang yang diangkat menjadi Nabi setelah ditutupnya pintu kenabian, ini disebabkan karena kebodohan mereka tentang ajaran pokok yang digariskan oleh Qur’an.”
(Sumber: Grup Whatsapp Keluarga Besar GAI, 8-11 Juni 2022)
In volume 3 of Tarikh i Ahmadiyyat written by the Qadiani jamaat, it says that Hazrat Mirza Ghulam Ahmad’s first tombstone said “Mirza Ghulam Ahmad, landlord of Qadian, mujaddid of the 14th centry . . . .” I can send you a copy to show Qadianis.
Also, Mirza Tahir Ahmad said in an interview with the Urdu newspaper The Jung that Qadianis believe Hazrat Mirza Ghulam Ahmad to be the Messiah but do not believe he was a prophet.
So Qadianis are running from their beliefs.