ArtikelKliping

Ahmadiyah Phobia & Krisis Mubaligh di Tubuh Gerakan Ahmadiyah

Sekalipun umur Gerakan Ahmadiyah hampir mendekati setengah abad, namun masih banyak umat Islam yang “ahmadiyah phobia,” artinya takut Ahmadiyah.

Akan tetapi yang paling menggelikan adalah justru “ahmadiyah phobia” dari sebagian orang Ahmadi sendiri! Ia sembunyi-sembunyi karena takut ketahuan sebagai orang Ahmadi ….

Penyakit ini amat memalukan dan patut disesalkan. Mbok ya jangan masuk Ahmadiyah saja jika masih merasa takut! Karena jika demikian, ia akan menipu Allah dan menipu diri sendiri.

Sebab, manakala ia berbaiat, ia berjanji kepada Allah, bahwa dengan daya upaya sekuat-kuatnya akan menyiarkan Islam dan meluaskan Gerakan ini.

Bagaimana ia dapat meluaskan Gerakan Ahmadiyah jika ia masih “ahmadiyah phobia”!

***

Dengan meninggalnya Bapak Soedewo dan Bapak Moehammad Irshad, Gerakan ini benar-benar kehilangan dua mubalighnya yang besar.

Mengapa beliau-beliau itu menjadi mubaligh besar? Apakah beliau-beliau itu keluaran sekolah mubaligh tinggi?

Sama sekali tidak!

Beliau-beliau hanya orang yang tahu menggunakan kesempatan yang baik!

Setiap orang juga dapat menjadi mubaligh besar seperti beliau, asalkan tak menyia-nyiakan kesempatan baik yang diberikan kepadanya.

Sebenarnya, tiap-tiap orang Ahmadi itu dengan sendirinya adalah seorang mubaligh. Periksalah sekali lagi bai’at saudara!

Pertama-tama, dalam bai’at kita, kita bersumpah setia akan menjunjung tinggi perkara agama melebihi perkara dunia. Kedua, akan menyiarkan Islam dan Gerakan ini seluas-luasnya.

Itulah tugas seorang mubaligh!

Akan tetapi bai’at seperti itu, bukan dikerjakan oleh kita, melainkan dikerjakan oleh orang-orang Nasrani. Buahnya mereka yang memetik, kita yang gigit jari, karena kita menyalahi bai’at sendiri!

Sesungguhnya, kita harus lebih takut lagi akan murka Allah, karena bai’at kita, kita ikrarkan terhadap Allah.

Bukankah dengan menyalahi ba’iat kita, berarti kita menipu Allah? Na’uudzu billaahi min dzaalik!

***

Kita sudah cukup dewasa. Kita sudah tak boleh lagi bergantung kepada siapa-siapa. Yang pokok ialah sikap mental kita sendiri.

Jika mental kita tetap kuddle-geest alias mental kambing, kita nanti hanya mengekor saja!

Inilah yang sejak jaman dahulu menyebabkan kemunduran umat Islam, yaitu penyakit taqlidul a’ma. Penyakit tak mau berjuang, penyakit tak mau berkorban!

Padahal, kita semua tahu bahwa tak ada kemenangan tanpa perjuangan, dan tak ada perjuangan tanpa pengorbanan, dan tak ada pengorbanan tanpa keyakinan.

Maka dari itu galanglah keyakinan yang teguh dalam batin saudara!

Dalam hal ini, Bapak Soedewo dan Bapak Muhammad Irshad mempunyai keyakinan teguh, yang membaja, bahwa satu-satunya jalan untuk menyelamatkan dunia hanyalah dengan sistem hidup Islam, yang seirama dengan kehendak Allah, bukan menuruti kehendak manusia, sekalipun manusia itu berpredikat ulama!

Rahasia kehendak Allah ini diwedharkan kepada manusia melalui para mujaddid. Kita, sebagai pengikut mujaddid, harus ikut serta menyebarluaskan kehendak Allah ini.

Itulah yang mendorong beliau berdua untuk mendalami dan menyebarkan ajaran Mujaddid, baik dengan lisan maupun dengan tulisan.

Jika semua anggota Gerakan ini mengikuti jejak beliau, niscaya kita tak akan kekurangan mubaligh!

Kita sudah dipermudah dengan bahan-bahan yang dapat kita miliki. Tinggal terserah kepada usaha kita dan pengorbanan kita untuk memiliki dan menguasai bahan-bahan itu.

***

Janganlah saudara menjadi wayang, tetapi jadilah dalang yang baik!

Dalang yang baik dapat menggerakkan wayang dan dapat menggerakkan jiwa para penontonnya.

Tetapi wayang hanyalah tubuh-tubuh tanpa ruh, yang selalu bergantung kepada sang dalang. Karena itu, tubuh yang seperti wayang ini, sekalipun jumlahnya beribu-ribu, prestasinya tetap nol besar.

Gerakan Ahmadiyah adalah gerakan, bukan sekedar perkumpulan! Jadi, harus bergerak dan menggerakkan.

Maka dari itu, setiap anggota Gerakan tak boleh menunggu-nunggu dalang yang akan menggerakkan. Tugasnya sudah jelas, yaitu menyiarkan dan membela Islam!

Jika tiap-tiap anggota Gerakan ini mengerjakan tugas ini, berarti bahwa masing-masing anggota sudah bertindak sebagai mubaligh. Apakah dengan demikian, kita akan mengalami krisis mubaligh?

  • Judul Asli Artikel : Krisis Muballigh
  • Penulis : H. Moechammad Bachroen (Ketua Umum PB GAI)
  • Sumber Artikel: Warta Keluarga GAI, No. 1 & 2 – 1 Februari 1971.
Yuk Bagikan Artikel Ini!

Comment here

Translate »