KlipingTokoh

Menapak Jejak Perjuangan Bapak R. Ng. H. Minhadjurrahman Djojosoegito

Tanggal 23 Oktober 1936, Ibu Djojosoegito (Ibu Soemarjati —red) dipanggil Tuhan menghadap ke hadiratNya dengan tenang, meninggalkan kita untuk selama-lamanya. Waktu itu aku di Salatiga, menjadi guru pada Leerschool Meiesjes Normaalschool, dan aku telah bai’at menjadi anggota GAI sejak tahun 1929.

Mendengar kabar itu sangat pilu hatiku, karena merasa kehilangan sesepuh tempat menanyakan segala sesuatu. Aku pergi ke rumah R. Muh. Sapari, adik dari Bapak Djojosoegito, untuk menanyakan hal itu. Ternyata hal itu betul, dan menambah keprihatinanku. Untunglah aku masih ada ingatan, bahwa segala sesuatu yang dikehendaki oleh Allah SWT tentu baik, meskipun terkadang pahit rasanya. Inilah yang bisa menghibur diriku.

Awal bulan Desember 1936, aku menerima surat dari Bapak Djojosoegito. Aku diminta membantu beliau dalam urusan rumah tangga, karena beliau sedang sibuk menerjemahkan Quran Suci dalam bahasa Jawa. Sebagai seorang muslim yang mendambakan keluarnya Quran Suci dalam bahasa Jawa, permintaan ini harus kufikirkan mendalam.

Aku tahu juga beliau berputera 11 orang, di Perguruan Tinggi 2 orang, di AMS 2 orang, di Mulo 2 orang, di HIS 3 orang dan 2 orang lainnya belum bersekolah, yang terkecil berumur satu tahun. Aku tahu pula beliau seorang yang keras kemauannya, tetapi lemah lembut tutur katanya dan rendah hati tidak sombong.

Aku tahu, karena aku lama menjadi murid pengajian di rumah beliau di Kweekschoollaan Purwokerto, bersama-sama dengan teman-teman yang lain, misalnya: Bapak Hasanudji, Bapak Hasanasngad, Bapak Kastadja, Bapak Hardjosoebroto, Kyai H. Abdulrachim dan lain-lain, semuanya ini sekalian.

Sikapnya terhadap murid-murid baik sekali, tidak membeda-bedakan. Kaya miskin, berpangkat atau tidak, petani buruh, semuanya dianggap sama satu keluarga, duduk sama rendah berdiri sama tinggi. Pernah beliau serimbit datang ke rumahku menjenguk, meskipun rumahku di kampung dekat rumpun bambu.

Waktu aku mendapat kesusahan yang hebat dalam hidupku, dan kebetulan beliau serimbit datang pada muktamar GAI di Purwokerto, ibuku yang tercinta itu mendekati aku dan memberikan nasehatnya, serta menghibur banyak-banyak, supaya aku bersabar dan tawakkal kepada Allah SWT, sampai hatiku trenyuh dan menangis.

Karena akrabnya, maka tatkala beliau pindah dari Purwokerto ke Mulo Malang sebagai taalonderwijzer pada tahun 1929, kita semuanya meneteskan air mata.

Waktu itu GAI baru lahir, masih bayi. Alhamdulillah, Tuhan tiada menegakkan hambaNya yang berkecimpung di dalam urusanNya, yang masih membutuhkan pemeliharaan dan bimbingan.

Datang ke Purwokerto dari Jogya tuan Mirza Wali Ahmad Baig untuk menetap di Purwokerto, bertempat tinggal di rumah Bapak Hasanudji di Purwokerto Lor. Kita semuanya bersyukur dan meguru kepada beliau. Yang muda-muda belajar bahasa Inggris dengan buku-buku The Holy Quran, Muhammad the Prophet, Early Calliphate, dan yang tua-tua mendengarkannya.

Kecuali itu di rumah tuan Mirza sendiri ada beberapa pemuda terpelajar yang menjadi santinya dan berdiam bersama-sama di situ, yang sekarang telah menjadi orang tua, di antaranya: sdr. H. Sotjipto, S.H., Burhanul Arifin, Tjik Abdul Wachid, Abdullah Affandi, Abd. Rahman, Muh. Dardiri, dan lain-lain. Sdr. Muh. Irsyad waktu di Purwokerto juga mengajar bahasa Arab dan agama kepada kita waktu kita masih muda.

Setelah aku memikirkan dengan mohon petunjuk ke hadirat Ilahi Rabbi, dengan salat tahajjud setiap malam, hatiku terbuka dan hilang rasa takutku. Maklumlah, aku anak tunggal tak mempunyai saudara. Ibuku seorang yang keras, ayahku lemah lembut, tetapi aku tidak manja dan memang tidak dimanjakan.

Pada suatu malam aku bermimpi. Apa arti mimpiku waktu itu aku tidak tahu. Aku masih di Salatiga. Seolah-olah aku sedang memanggul senjata berjuang bersama-sama orang banyak, berlari-lari menuju tempat datar yang dikelilingi bukit-bukit, mengelilingi Nabi Suci sebagai perisai. Hatiku gembira dan puas rasanya, tidak takut mati, sebab di dalam hatiku telah tertanam keyakinan, mati membela agama Allah menjadi perisai Nabi Suci itu masuk sorga.

Aku terbangun dari tidurku. Kepuasan hatiku terasa hingga beberapa hari. Setelah beberapa hari berselang aku menerima surat dari Bapak Djojosoegito seperti tersebut di atas.

Waktu aku pulang ke rumah di Purwokerto pada liburan bulan Desember 1936, kutunjukkan surat itu kepada kedua orang tuaku. Semuanya menyetujuinya dan tidak keberatan. Juga kutunjukkan surat itu kepada orang tua ruhaniku, Ketua GAI cabang Purwokerto, yang sampai sekarang suami isteri masih hidup, dan sejak dahulu sikapna selalu baik terhadapku hingga kini. Beliau pun menyetujuinya.

Maka dari itu, jadilah aku membantu Bapak Djojosoegito. Aku pindah dari Salatiga ke Malang, pada tanggal 23 Desember 1936.

Rupa-rupanya, Bapak telah mengetahuinya, bahwa aku bukanlah orang yang suka bermalas-malasan. Maka dari itu sebagai tambahan kesibukanku, disuruhnya aku mengajar agama di sekolah Van Deventerschool Malang, dan melanjutkan memimpin pengajian ibu-ibu di Talun Lor, di rumahnya ibu Tjitrowardoyo, yang sudah dirintis oleh alm. Ibu Djojosoegito. Karena yang ikut pengajian di situ bukan hanya muslimat GAI, maka secara getok tular pengajian ibu-ibu melebar ke Singosari, bertempat di rumahnya Ibu Sukardjo Wiryopranoto.

Aku mendapat pelajaran dan bimbingan Bapak. Setiap malam kira-kira jam 2, Bapak tentu bangun tidur untuk salat tahajjud. Lalu terus mengerjakan terjemahan Quran Suci jarwa Jawi sampai waktu Subuh. Setelah makan pagi lalu pergi dinas mengajar di sekolah Mulo sebagai guru bahasa Jawa.

Tabligh Ahmadiyah menjadi kesenangannya. Pada waktu-waktu yang senggang, tentu dipergunakannya untuk tabligh. Bapak mempunyai tangan kanan yang sangat dipercaya, yang membantu beliau dalam urusan tabligh. Dibawanya dahulu dari Purwokerto, namanya R. Muh. Ichlam, adik ipar R. Sumardi Sumodihardjo. Ke mana saja Bapak pergi tabligh, ke Sumburpucung, ke Ngebrug, sdr. Ichlam selalu mengikutinya. Ia sangat aktif dalam GAI, seperti adik iparnya, R. Sumardi. Sering juga ia tabligh sendirian.

Banyak yang tertarik akan pengajian GAI, baik di Sumberpucung maupun di Ngebrug, dan masuk bai’at menjadi anggota GAI. Pemilik pabrik tahu di Ngebrug, namanya Pak Piyah, seorang anggota GAI, karena cintanya kepada GAI, rumahnya biasa dipergunakan untuk tabligh Islam oleh GAI.

Pengajian di rumah pun diadakan seminggu sekali tiap malam Jum’at di Klojen Kidul gang IV. Setiap maghrib kita bersama salat maghrib sekeluarga. Lalu anak-anak diberi ceramah agama oleh Bapak. Ada seorang yang dahulunya benci kepada agama, namanya Muh. Zen. Karena seringnya bergaul dengan kita dan mendengarkan ceramah agama di rumah kita, akhirnya menjadi anggota GAI yang aktif.

Suatu hal yang tak dapat kulupakan ialah: selama 30 tahun aku membantu Bapak, tidak pernah aku dimarahi. Jika ada kekeliruan atau kesalahan pada diriku, hanya diberi dongeng lelakonnya orang-orang yang baik-baik, sehingga dengan sendirinya aku merasa akan kekeliruanku atau kesalahanku setelah aku mawas diri.

Orang-orang yang biasa dijadikan contoh dan diceritakan kepadaku ialah alm. Ibu Djojosoegito dan alm. Dr. Sumo. Pernah beliau bercerita: “Alm. Ibumu itu dahulu hampir tiap malam bangun salat tahajjud. Aku baru bangun lalu nututi salat tahajjud pula. Pernah ibumu kutanya, jawabnya: Sesungguhnya aku ini iri hati terhadap wanita-wanita zaman dahulu. Mereka pada bisa menerima wahyu Ilahi. Apakah kita, wanita zaman sekarang, tidak bisa menerima wahyu?”

Terkadang beliau juga menceritakan alm. Dr. Sumo seperti berikut. “Mas Dr. Sumo itu sahabt karibku. Beliau sangat bermurah hati. Jika diminta-mintai apa saja oleh siapa pun tentu diberinya, sehingga dirinya sendiri terkadang kehabisan tidak punya apa-apa lagi. Pada suatu ketika, mbakyu Dr. Sumo telah kehabisan segala-galanya, matur kepada mas Dr. Sumo, dijawab, “Mohonlah kepada Allah dengan sabar dan salat. Tentu Allah akan mengabulkannya. Percayalah Bu kepada pertolongan Allah”.

Pagi-pagi benar bakda subuh ada seorang dari desa datang membawa beras sepikul beserta sayur mayur kelapa dan buah-buahan, matur kepada mas Dr. Sumo: dalem dipun utus Bapak nyaosaken wos kaliyan reramban, marti bapak nembe panen sae. Mas Dr. Sumo lekas-lekas memanggil: Bune, mari kemari. Lihatlah ini, ada rezeki Ilahi untukmu. Makanya jangan putus asa. Gusti Allah itu Maha murah, jika diminta-mintai tentu memberinya.”

Banyak lagi contoh-contoh seperti itu yang biasa diceritakannya kepadaku, yang menggugah hatiku menyadari akan kekuranganku.

Bersamaan dengan penyerbuan Jepang ke Hawai, kita dipindahkan dari Malang ke Jogja pada tahun 1939. Keadaan di Jogja sama sekali lain dengan Malang. Di Jogja adalah pusat pembenci Ahmadiyah. Bapak mengajar di HIK sebagai guru bahasa Jawa (taalonderwijzer).

Lapangan tabligh di Jogja sempit. Allah memberi kesempatan tabligh di tempat lain, di Magelang dan di Solo. Di Solo, pengajian GAI dipimpin oleh Kyai Muhammad Mufti Syarif, bertempat di rumah R. Muh. Kusban sebagai pusatnya. Bapak terkadang diundangnya untuk ceramah umum di sositeit Mangkunegaran.

  1. Muh. Kusban besar jasanya terhadap GAI. Kecuali rumahnya dijadikan pusat, langgarnya diwakafkan kepada GAI. Di Magelang, Kyai Ma’ruf memelopori pengajian di Boton dan di Mertoyudan. Bapak sering diundang untuk memberi ceramah dalam pengajian itu.

Aku selalu mengikutinya. Lama-lama aku dapat tempat mengajar agama di Mulo Magelang seminggu sekali. Juga mengadakan ceramah agama kepada ibu-ibu di Boton Magelang. Sdr. Sunarto, suami isteri, adalah murid dari Mulo Magelang yang telah tumbuh dan menjadi anggota GAI yang aktif.

Di Jogja tempat yang tandus bagi GAI. Orang pertama yang mau minum ajaran Ahmadiyah ialah Sdr. Masyhud, Sdr. Ali Adnan dan Kyai H. Saleh Siraj. Pengajian umum pertama diadakan di sekolah Islamiyah atas usaha Kyai H. Saleh Siraj. Pernah juga mengadakan pengajian di masjid Pakualaman, dengan dihadiri oleh Sri Pakualam VIII. Kita duduk lesehan di masjid itu. Ini pun atas usaha Kyai H. Saleh Siraj.

Setelah agak lama kita di Jogja, lalu dapat tempat mengajar agama di SGP Jln. Jati SGKP waktu itu dan SKP Lempuyangwangi dengan sukarela, dengan persetujuan kepala sekolah yang bersangkutan. Kukatakan sukarela karaena tidak diberi honor. Hal semacam itu sudah menjadi kebiasaanku.

Waktu telah ada peraturan honor bagi guru-guru agama, aku disisihkan tidak boleh mengajar agama lagi oleh yang berwenang, karena dianggap tidak memenuhi syarat. Tetapi aku dibela oleh Kepala SGP Jln. Jati untuk tetap dipertahankan mengajar agama, karena aku sudah lama mengajar agama di SGP. Hanya diperbolehkan satu tahun. Selanjutnya diberikan oleh yang berwenang kepada mereka yang disetujuinya sebagai guru agama tetap di sekolah, dan aku tidak lagi mengajar agama di sekolah negeri.

Allah Mahatahu. Kiranya aku masih dibutuhkan tenaganya untuk mengajar agama di sekolah. Dalam Muktamar GAI bulan Mei 1947 di Purwokerto, antara lain memutuskan: GAI melangkahkan kakinya maju selangkah dalam tugasnya tabligh Islam, dengan membuat lapangan baru, yaitu mendirikan sekolah. Jadi gerak pertama penyiaran Islam yang dilaksanakan oleh GAI ialah:

  1. Menyusun karangan-karangan dan penerbitannya
  2. Menyiarkan maklumat-maklumat yang harus diikuti dengan pembahasan dan perdebatan
  3. Memberikan ceramah-ceramah dan amanat kepada orang-orang yang menempuh jarak jauh untuk mencari kebenaran
  4. Surat-menyurat yang ditulis untuk kepentingan orang yang mencari atau menyangkal kebenaran
  5. Akhirnya mereka masuk Gerakan dengan bai’at

Ini semuanya ibarat nyebar benih. Gerak kedua membuat lapangan supaya dapat menanam benih itu dengan leluasa dan dengan tentram tak ada yang menghalang-halanginya atau mengganggu gugat, karena di tempatnya sendiri, yaitu mendirikan sekolah. Maka dari itu sekolah-sekolah itu bagi GAI bukan tujuan, hanyalah sarana, lapangan untuk mencapai tujuan.

Mendirikan sekolah bukanlah perkara yang mudah, dan biayanya pun cukup besar, tidak sedikit. Jika hanya menghitung-hitung biaya pendirian sekolah, tidak akan berjalan. Bapak yang bijaksana cancut tali wanda mengajak empat orang anggota GAI yang kelihatan kuat jiwanya, diajak bersama-sama memikirkan. Keempat orang itu ialah: R. Alimurni Partokusumo, R. Supratolo, Surono Tjitrasantjoko dan aku sendiri.

Kita cukup lebar dada. Maka dari itu kita mengajar saudara-saudara di luar GAI, kenalam lama yang jiwanya Islam cukup kuat dan tidak sempit dada, ialah: Bapak Abbas Sutan Pamuntjak Nan Sati, Bapak Arifin Temiyang, Bapak Sutan Muhammad Said, Bapak Ahmad Mertosono dan Bapak KRT Taniprodjo.

Sekolah-sekolah yang mula-mula didirikan SMP dan SMA bertempat di sekolah negeri pada sore hari. Tatkala serbuan Belanda ke kota Jogja pada bulan Desember 1948, sekolah-sekolah PIRI ditutup. Para karyawan PIRI dan para siswa ada yang ikut tentara membela negara, ada juga yang ikut orang tuanya pulang ke rumahnya di Jakarta.

Sampai dengan tahun 1972, waktu PIRI mengadakan peringatan seperempat abad, jumlah sekolah-sekolah PIRI ada 17 buah. Di Jogjakarta, di Purwokerto dan di Madiun. Wujudnya sekolah-sekolah yang ada: STK, SD, SMP, SMEP, SMA, SKKA, SPG dan SMEA.

Cita-cita GAI mendirikan sekolah itu: guru-gurunya, tata-usahanya, dan murid-muridnya, semuanya orang-orang Islam yang telah bai’at menjadi anggota GAI. Cita-cita itu amat luhur, tetapi pelaksanaannya sukar, karena anggota GAI sendiri hanya sedikit dan tersebar di seluruh pelosok tanah air dan kebanyakan pegawai negeri, tidak mungkin dijadikan satu tempat.

Maka dari itu, adanya putusan Muktamar menambah langkah dalam tabligh Islam dengan mendirikan sekolah, anggota-anggota GAI kelihatan apatis. Hanya pusat Jogja dan cabang Purwokerto yang kelihatan bergerak dan semangat. Jogjakarta dipelopori oleh Bapak dan Purwokerto dipelopori oleh R. Sumardi Sumodihardjo. Lalu menyusul cabang Madiun yang dipelopori oleh Kyai Masyhud.

PIRI pusat di Jogjakarta dan PIRI cabang Purwokerto kelihatan hidup dan maju sampai sekarang. Dan PIRI cabang Madiun kelihatan layu, dan akhirnya ditutup meskipun telah mendapat subsidi dari Pemerintah RI karena rupa-rupanya pendiri kurang bisa menguasainya. Tetapi sebagai gantinya, menyusul pada tahun 1978 tumbuh lagi cabang Magelang, yang dipelopori oleh Kyai H. Salamun. Mudah-mudahan beliau diberi kekuatan yang cukup memeliharanya. Amin.

GAI terpaksa mendirikan sekolah-sekolah yang keadaanya tidak seperti yang dicita-citakan tersebut di atas. Maka dari itu penyempurnaan selanjutnya, Bapak sejak semula mendirikan sekolah, mengadakan pengajian bagi para karyawannya, baik guru maupun pegawai, tiap bulan sekali, supaya mereka mengenal agama dan menjadi orang agama.

Sekarang pengajian malah dilaksanakan dua kali sebulan, yaitu pengajian umum bagi seluruh keluarga PIRI dan pengajian kelompok bagi tiap-tiap sekolah. Sampai kini hasilnya pun telah kelihatan. Banyak karyawan yang dahulu tidak/belum salat, sekarang sudah menjalankan salat. Ada juga yang telah menjadi anggota GAI. Memang masih banyak kekurangan-kekurangannya, tetapi sudah lumayan juga hasilnya.

Bapak Djojosoegito mempunyai cita-cita, jika masjid di Baciro telah jadi dan Quran Suci jarwa Jawi telah keluar, beliau ingin mengadakan pengajian di masjid itu dan mengajar agama dengan Quran Suci jarwa Jawi. Tetapi setelah masjid jadi dan Quran Suci jarwa Jawi telah keluar, beliau sudah tidak bisa bergerak, karaena menderita penyakit tekanan darah tinggi. Sampai akhirnya, Bapak dipanggil pulang menghadap ke hadirat Ilahi Rabbi dengan tenang, pada tanggal 21 Juni 1966.

Inna lillaahi wa inna ilaihi raaji’uun.

 

Yogyakarta, 28 September 1979 | Diriwayatkan oleh Ibu Hj. Koestirin Djojosoegito

 

Sumber: Buku Kenang-Kenangan GAI Usia 50 Tahun (Golden Jubilee), 1979.

Yuk Bagikan Artikel Ini!

Comment here