ArtikelKristianologi Qurani

Integrasi Religi

Qur’an Suci dan Hadits Nabi menubuatkan bahwa dengan berlalunya waktu yang lama,  hati kaum Muslimin menjadi keras dan kebanyakan mereka mendurhaka seperti halnya  orang-orang yang diberi Kitab Suci dahulu, yakni kaum Yahudi dan Kristen (57: 16), mereka berpecah belah menjadi berbagai golongan, karena ”mempertuhan para ulamanya.”

Oleh: S. Ali Yasir | Mantan Ketua Umum PB GAI

Kata salib (berasal dari bahasa Arab shalb adalah cara membunuh  yang sudah terkenal) menurut KBBI artinya:  1. dua batang kayu yang bersilang tempat Yesus dihukum orang Yahudi; 2. tanda silang; menyalib menghukum mati pada kayu salib (tangan dan kaki orang yang dihukum direntangkan dengan dipakukan pada kayu salib). Jadi kalau hanya  direntangkan dengan  dipakukan pada kayu salib  tidak sampai mati lalu diturunkan namanya bukan menyalib dan tak ada atau tak terjadi penyaliban.

Isa Almasih  sangat takut  menghadapi salib,  maka beliau mohon ke hadirat Allah sampai peluhnya seperti titik-titik darah bertetesan ke tanah (Luk 22:41-44), dan  di tiang  salib berseru ” Eli, Eli lama sabakhtani (tuhanku, Tuhanku, mengapa Engkau tinggalkan aku?” (Mat 27:46). Dalam  keadaan demikian penyelamatan Tuhan datang ”syubbiha lahum (dia diserupakan telah mati menurut pandangan mereka)” (4:157), yang menurut kaumnya, yakni kaum Yahudi dan Kristen beliau dianggap telah mati ditiang salib sebagai akibat dari penyaliban, bahkan harus diimani telah mati disalib. (4:159). Jadi kaum Yahudi dan Kristen mengimani Isa Almasih mati disalib. Keimanan itu bagi kaum Yahudi untuk membenarkan tuduhan mereka terhadap Almasih sebagai orang terkutuk, na’udzu billah min dzalik. Sedang keimanan kaum Kristen untuk membenarkan  dogma mereka tentang dogma penebusan dosa, suatu dogma yang tak dikenal oleh Isa Almasih.

Jadi tentang penyaliban Isa Almasih ada perbedaan tajam antara beliau dengan umat Kristen. Perbedaannya ialah: (1) beliau takut dan tidak rela disalib, tetapi  menurut umat Kristen  beliau  ”tak takut untuk disalib, karena penyaliban merupakan  konsekwensi dari tugas  yang beliau emban, seperti tersirat dalam Mar 8:34. (2) Beliau yakin  tak akan  mati di tiang salib  karena Allah telah menjanjikan keselamatan diri beliau (3:55), tetapi  umat Kristen  justru  menetapkan  kematian Yesus di tiang  salib (4:159) sebagai rahmat untuk memperbaharuhi dunia (3) Kematian  disalib menurut beliau suatu bukti  kehinaan sebagaimana dijelaskan  dalam Taurat Musa (Ul 21:22-23), tetapi menurut  umat Kristen  diyakini sebagai tanda kemenangan  dan  keselamatan (1Kor 2:2). (4) Permohonan beliau dikabulkan Ilahi, maka penyaliban gagal – meski kaum Yahudi berhasil menangkap, mengadili, mengejek dan menganiaya beliau  –  sebagaimana telah dinubuatkan oleh para Nabi terdahulu, tetapi menurut umat Kristen  penyaliban sukses, sesuai dengan rencana kaum Yahudi (jika yang ditangkap lalu diadili kemudain direntangkan dengan dipakukan kedua tangan dan kaki pada tiang salib bukan Isa Almasih,  tetapi Yudas, maka  yang gagal bukan penyaliban Isa Almasih saja, melainkan pula penangkapan, pengadilan dan penganiayaan terhadap diri beliau).

Sebagai orang yang beriman kepada para Nabi Utusan Allah, termasuk Nabi Isa Almasih  bin Maryam, maka ia harus mencintai beliau, menghormati beliau dan membela beliau jika dilecehkan, dengan cara menyingkirkan apa yang beliau takuti dan benci, yakni penyaliban dan melestarikan apa yang beliau  sukai dan ajarkan. Inilah sebab utama, mengapa salib harus dipecah dan dipatahkan dengan dalil-dalil dari Kitab Suci dan buti-bukti sejarah, bukan dengan palu dan kampak ala preman. Untuk ini Nabi Suci menubuatkan bahwa diakhir zaman akan datang seorang Imam dari umat Islam bergelar sebagai Almasih Isa bin Maryam yang salah satu tugasnya adalah memecahkan salib.

Sumber kemunduran dan kerusakan

Salib adalah suatu lambang universal dan dasariah, yang dalam  aneka bentuk terdapat dalam beberapa lingkungan kebudayaan (Ensiklopedia Gereja, terbitan CLC, Jakarta,  hlm. 151). Salib  ”untuk orang-orang Yahudi suatu batu sandungan dan untuk orang-orang bukan Yahudi (kafir) suatu kebodohan” (1 Kor 1 : 23), sedang salib untuk orang Kristen dianggap sebagai tanda keselamatannya, sebagaimana dinyatakan oleh Paulus kepada jemaatnya di Korintus: ”Sebab aku telah memutuskan untuk tidak mengetahui apa-apa diantara kamu selain Yesus Kristus, yaitu Dia yang disalibkan” (1 Kor 2:2).

Oleh karena itu Allah ungkapkan kedahsyatan  dampak pemahaman  salah  kaum Yahudi dan Kristen  terhadap penyaliban Isa Almasih. Kedua umat sejatinya berada dalam keraguan  tentang kematian  Almasih di tiang salib, mereka  tak punya pengetahuan tentang kematian  beliau, hanya mengikuti dugaan saja dan tak yakin  telah  membunuh beliau dengan yakin (4:157), maka dari itu keduanya saling menyalahkan: Kaum Yahudi berkata, kaum Kristen tak menganut sesuatu (yang baik); dan kaum Kristen berkata, kaum Yahudi tak menganut sesuatu (yang baik); padahal mereka membaca kitab (yang  sama). Demikian pula orang-orang yang tak mempunyai pengetahuan, berkata, seperti apa yang mereka katakan” (2:113).

Sikap tidak mau tahu apa-apa selain apa yang ada pada dirinya seperti diajarkan Paulus itulah  penjabaran  simbol Salib yang  visualisasinya dan tiga macam termasyhur, yaitu tanda plus (+), tanda (T) dan tanda silang (X). Sebagai lambang mengandung arti  penyerahan diri secara  mutlak kepada Kristus, bahkan  bersedia  mati baginya (Luk 9:23). Pada zaman  Yesus memang  bagus dan tanda kebaktian yang tulus sebagaimana diperagakan oleh  kaum Hawariyin (3:52), tetapi  dikemudian hari menjadi buruk setelah munculnya Dajjal, karena  syariat yang dijunjung  tinggi oleh  Yesus Kristus ditiadakan dan dianggapnya sebagai kutuk Tuhan. Dalam praktek penyerahan diri umat secara mutlak  diberikan kepada para ulama dan pendeta, maka dari itu umat Kristen terjebak dalam pendewaan ulama dan pendeta sebagaimana dinyatakan Ilahi dalam firman-Nya: ”Mereka mengambil para ulama dan pendeta mereka sebagai tuhan disamping Allah dan Almasih bin Maryam” (9:31), sehingga karena itu umat  terpecah belah menjadi berbagai golongan yang saling bermusuhan dan membenci karena mempertuhan ulama dan pendetanya masing-masing. Disamping itu bahaya sikap itu adalah  sebagai penghalang kemajuan ilmu, akhlak dan rohani.

Sejarah  menjadi saksi, masa kejayaan  Krsiten yang pertama (abad ke – 4 s/d ke-7M) ditengarai kerusakan akhlak dan kemunduran ilmu pengetahuan (30: 41-42), demikian pula pada masa kejayaan Kristen yang kedua (abad ke -17 s/d ke- 20M) juga ditengarai kemunduran  akhlak dan rohani (19: 90-92). Ilmu pengetahuan dan tehnologi mereka memang maju, tetapi kemajuan itu bukan karena agama mereka, melainkan karena mereka meninggalkan agama mereka, alias mereka mematahkan ”salib”nya sendiri atas dasar kemauan diri mereka sendiri. Maka dari itu  di negara-negara maju agama  Kristen  mengalami kemunduran.

Sikap tidak mau tahu apa-apa  selain dari apa yang ada pada dirinya dilestarikan oleh para ulama  dan pendeta  disebut kerahiban (57:27), umatnya tinggal mengikuti dengan membabi buta, sikap ini disebut taqlidul-a’ima, yang oleh Qur’an Suci dilukiskan sebagai mempertuhan ulama, pendeta dan Almasih bin Maryam (9:31).

Qur’an Suci dan Hadits Nabi menubuatkan bahwa dengan berlalunya waktu yang lama,  hati kaum Muslimin menjadi keras dan kebanyakan mereka mendurhaka seperti halnya  orang-orang yang diberi Kitab Suci dahulu, yakni kaum Yahudi dan Kristen (57: 16), mereka berpecah belah menjadi berbagai golongan, karena ”mempertuhan para ulamanya.” Nubuat tersebut tepenuhi pasca Nabi Suci  dan para  sahabat sampai generasi tabi’in. Sejak itu secara berangsur-angsur mereka meninggalkan Qur’an Suci (25: 30) dan Hadits Nabi (4:65), karena jika terjadi tanazu’  (pertentangan) tak ”dikembalikan kepada Allah dan Rasul (4:59), tetapi dikembalikan kepada fatwa ulamanya. Inilah sumber kemunduran dan kerusakan umat Islam yang mencapai kesempurnaan seribu tahun setelah khairul-qurun yakni tiga abad permulaan (32:5). Saat itu para ulama yang menjadi panutan umat dilukiskan oleh Nabi Suci sebagai ”mahkluk yang paling buruk di bawah kolong langit, karena dari mulut mereka  keluar fitnah, padahal kepada mereka sendiri fitnah itu kembali.” (H.r. Baihaqi).

Eksklusivisme dan pluralisme keagamaan

Qur’an Suci memberi kabar baik, bahwa setelah kaum Muslimin terpuruk sampai titik nadir perkembangannya, tibalah saat kebangkitannya kembali (57:17), dengan cara yang sama dengan masa awalnya. Jika pada ”golongan yang awal” (56:39) Allah berkenan membangkitkan seorang Utusan dari  bangsa Ummi (62:2) yakni Nabi Suci Muhammad saw., sebagai Khatamun-Nabiyyin (33:40) dan rahmatan lil-’alamin (21:107);  pada ”golongan yang akhir” (56: 40) Allah berkenan juga  membangkitkan  seorang utusan dari bangsa lain (62:3), yakni dari keturunan Salman Al-Farisi (H.r. Bukhari). Beliau yang mendakwahkan diri sebagai utusan Ilahi keturunan Salman Al-Farisi adalah H.M. Ghulam Ahmad (1835-1908). Kedua beliau  kehadirannya adalah sebagai ”fadhlullah (karunia Allah)” dari ”Allahu dzul-fadhlil-’azhim (Allah Tuhannya karunia yang besar) ” (62:4).

Oleh karena itu beliaulah yang menghidupkan kembali  doktrin Islam yang rahmatan lil’alamin  di akhir zaman ini, yang sebelumnya telah dilupakan oleh kaum Muslimin, misalnya tentang eksklusivisme dan pluralisme keagamaan. Eksklusivisme  menurut Qur’an Suci sebagaimana dijabarkan  oleh Nabi Suci sifatnya moderat, karena meski berpendapat bahwa hanya dalam Islam terdapat dan terpelihara kebenaran (98:2-3) secara  sempurna seperti diwahyukan Tuhan (15:9), tetapi Islam mengakui bahwa agama –  agama lain terdapat unsur-unsur yang sebenarnya tidak apat diragukan kebenarannya (3:64), bahkan dijunjung tinggi yang diimani (2:4, 285) dengan demikian memungkinkan dialog dan kerja sama antar umat beragama (29: 46). Tetapi umat Islam di akhir zaman  berpandangan ekstrim, karena pendapatnya hanya  agama Islam saja yag memiliki kebenaran  keagamaan, sedang  agama lain dianggap  seluruhnya salah, yang karena  itu umatnya harus ditobatkan, jika perlu  dengan pedang. Pandangan ini didasarkan  penafsiran harfiah ayat Qur’an Suci 3:18, 85 kitab fiqih bab ”jihad”. Mereka lupa bahwa Nabi Suci pernah bersabda, ”Jangan kamu benarkan Ahlikitab dan jangan pula kamu dustakan mereka” (H.r. Bukhari). Maksudnya jangan kamu benarkan semua ajaran Ahlikitab, karena banyak kesalahan dan jangan pula kamu salahkan ajaran Kaum Ahlikitab karena masih banyak kebenarannya. Untuk mengetahui mana yang benar dan salah batu ujinya adalah Quran Suci. Itulah salah satu sebab mengapa Quran Suci berfungsi sebagai Al-Furqan (25:1).

Pluralisme keagamaan menurut Qur’an Suci sebagaimana dipraktekkan oleh Nabi Suci sifatnya juga moderat, karena memanndag bahwa semua agama, meskipun  dengan  jalan masing-masing yang berbeda, tetapi menuju satu tujuan terakhir yang sama, yakni Allah, Tuhan Yang Maha Esa (5: 48), sebab semua agama asli murninya dari Allah SWT (18:47; 16:36) yang diwahyukan secara evolusif sejak  Adam  a.s. Nabi yang pertama sampai Nabi Suci Muhammad saw. Nabi  yang terakhir (33:40). Tetapi umat Islam di akhir zaman memahami pluralsime agaama seperti  dikemukakan oleh  Komisi  Fatwa Majelis Ulama Indonesai (MUI) ”bahwa semua agama itu sama, agama  itu  sama benarnya dan baiknya sehingga  semua pemeluk agama berdampingan di Sorga.” (Media Indonesia, Jum’at 5 Agutus 2005). Suatu definisi yang didasarkan  atas buku-buku teologi dan fiqih Islam. Suatu  rumusan  tak sejalan dengan firman Allah dalam Quran Suci 2:62, 5:48; 13: 7; 16:36; 22: 17; 34:28.

Kepada  para pengikutnya beliau menyatakan : “Wahai saudaraku yang telah mengambil baiat dan telah menjadi warga Gerakan semoga Allah mengaruniaimu kekuatan untuk menjalankan perkara-perkara yang diridloi-Nya. Hari ini kalian kecil alam jumlah, dan dipandang dengan penuh  kebencian dan penghinaan”. Lebih lanjut beliau berkata, ”Ingatlah dengan yakin, bahwa kutukan dari umat manusia, jika ini tidak timbul dari kutukan Ilahi, jelas sekali tidak ada konsekwensinya. Jika Tuhan tidak berkehendak untuk menghancurkan kita, maka tak seorang pun bisa menghancurkan kita; tetapi jika Dia menjadi musuh kita, maka tak seorangpun  yang bisa melindungi kita. Allah bermaksud seluruh jiwa  yang tulus baik yang  hidup di Eropa, Asia ataupun di belahan dunia yang lain, hendaknya ditarik ke dalam Keesaan-Nya dan direngkuh bersama, dalam barisan Satu Agama …. Maka berusahalah untuk meraih tujuan ini berlandaskan kerendahan – hatimu dan doa” (Izalah  Auham, hlm. 446).

Alam dan zaman memberi kesaksian, bahwa kini dunia dalam barisan menuju Satu Agama…. Agama alam semesta, Agama fitrah  manusia, yakni Islam (damai). Tibalah saatnya ”salib” dalam hati yang menghalangi perkembangan fitrah manusia dipecah dan dipatahkan guna menyongsong langit baru dan bumi baru. Integrasi religi lewat eksklusivisme moderat dan pluralisme keagamaan.[]

Yuk Bagikan Artikel Ini!

Comment here

Translate »