Artikel

Ijtihad Sebagai Sunnah: Kritik Fazlur Rahman terhadap Pemahaman Sunnah

Umat Islam Indonesia yang besar dan relatif akomodatif ini sesungguhnya sangat memungkinkan menerima gagasan Fazlur Rahman untuk melakukan ijtihad dalam berbagai persoalan agama dan sosial, yang akan mengantarkan umat ini memiliki peran sentral dalam konteks ke-Indonesiaan. Bahkan tidak mustahil akan berperan juga sebagai “model” masyarakat pluralis yang damai, seperti yang dicontohkan oleh Nabi saw.

Oleh: Mulyono | Sekretaris PB GAI

Kendati al-Qur’an diakui sebagai sumber utama dan pertama dari seluruh ajaran dan syariat Islam, namun dalam sejumlah persoalan hanya memberikan petunjuk secara global, dan oleh karena itu masih diperlukan penjelasan yang lebih detail dan aplikatif. Rasulullah Muhammad saw., yang kepadanya firman-firman Tuhan itu diwahyukan, adalah orang yang paling otoritatif untuk memberikan interpretasi terhadap ayat-ayat suci tersebut, baik yang berkaitan dengan praktik ritual seperti shalat, zakat, puasa dan haji, maupun masalah-masalah sosial seperti misalnya hidup berumah tangga, bermasyarakat yang majemuk, perang dan damai, dan lain-lain. Penjelasan Nabi saw. inilah yang, baik dalam bentuk kata-kata, perbuatan atau pun sikap diam beliau yang diindikasikan sebagai sikap setuju atas suatu hal, disebut sebagai Sunnah Nabi.

Nabi saw. menempatkan al-Qur’an sebagai otoritas tertinggi, terutama yang berkaitan dengan perkara keagamaan, sedangkan persoalan-persoalan di luar itu banyak didasarkan atas gagasan manusiawinya, meskipun secara keseluruhan beliau merupakan pengejawantahan dalam praktik dari seluruh ajaran Qur’an. Itulah makanya beliau dikatakan sebagai Qur’an yang hidup. Siti ‘Aisyah, istri beliau pun memberi kesaksian bahwa akhlaq beliau adalah al-Qur’an. Meskipun demikian, Nabi saw. sekali-kali tidak merampas kebebasan bagi pengikut beliau untuk menggunakan akalnya hingga memiliki pendapat yang berlainan dengan beliau. Hal ini sekurang-kurangnya dapat disimpulkan dari pengakuan beliau bahwa pengikut beliau lebih mengetahui urusan keduniaan mereka (antum a’lamu biumuri dun-yakum).

Sabda beliau yang lain mengatakan bahwa kata-kata beliau tidak bisa menghapus firman Allah, sedangkan firman Allah dapat menghapus kata-kata beliau. Indikasi lain yang menunjukkan bahwa Nabi saw. sangat menghargai gagasan orang lain, terbukti dengan praktik musyawarah yang beliau lakukan dengan para sahabat beliau untuk urusan-urusan yang penting. Bahkan sampai ada yang memberikan sinyalemen bahwa beberapa ayat Qur’an turun bukan untuk mendukung gagasan beliau melainkan gagasan sahabat beliau, Umar bin Khathab (Nurcholish Madjid, 1984:3).

Interpretasi Nabi saw. terhadap ayat-ayat Qur’an, baik dalam bentuk perilaku, penjelasan lisan maupun sikap diam beliau (takrir), dianggap sebagai referensi terpenting dalam praktik keagamaan, baik pada waktu beliau masih hidup maupun sesudah wafat. Oleh karena itu meskipun beliau setengah melarang kepada para sahabat untuk menuliskan apa saja dari beliau selain ayat-ayat Qur’an, sejumlah sahabat tetap melakukannya, untuk kepentingan mereka sendiri. Meskipun demikian sepeninggal beliau upaya menuliskan Sunnah beliau dipandang sangat penting, dan oleh karena itu pelacakan terhadap hal ini mulai dilakukan oleh sejumlah orang, di antaranya dan agaknya yang pertama, oleh Abdullah bin Abbas dan Abdullah bin Umar. Dari sinilah di kemudian hari upaya yang lebih besar lagi dilakukan oleh para kolektor dan dibukukan menjadi kitab-kitab Hadits yang cukup banyak jumlahnya dan kita kenal hingga sekarang.

Perkembangan Hadits

Isyarat yang diberikan oleh Nabi saw. dengan melarang menuliskan apa pun selain ayat Qur’an, dan juga kata-kata beliau yang menyatakan bahwa ucapan beliau tidak bisa menghapus ayat Qur’an sedangkan ayat Qur’an dapat menghapus ucapan beliau, menunjukkan bahwa Hadits Nabi saw. semata-mata merupakan interpretasi terhadap ayat-ayat Qur’an yang tidak bersifat final. Pikiran seperti ini sekurang-kurangnya dilontarkan oleh Fazlur Rahman dalam bukunya yang, setelah diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia oleh Anas Mahyudin, berjudul Membuka Pintu Ijtihad.

Dalam hal ini Fazlur Rahman mengritik pernyataan-pernyataan dalam literaratur-literatur hadits-fiqih kaum Muslimin abad pertengahan yang mengatakan bahwa Sunnah Nabi sebagai sesuatu yang secara mutlak dan spesifik menetapkan untuk selama-lamanya detail-detail peraturan di dalam semua bidang kehidupan manusia (hlm. 13). Di halaman yang sama, bahkan ia juga menulis bahwa berdasarkan penggambaran-penggambaran yang diberikan oleh literatur-literatur hukum Islam pada abad pertengahan tidak memberikan kesan bahwa Nabi saw. adalah seorang ahli hukum yang mencakup semua bidang dan dengan cermat sekali mengatur kehidupan manusia hingga detail yang sekecil-kecilnya, dari pemerintahan hingga ritual bersuci. Oleh karena itu ia menolak jika dikatakan bahwa Sunnah Nabi saw. tetap merupakan konsep yang memiliki validitas dan operatif sejak awal sejarah Islam hingga masa kini (hlm. 7), karena dalam perkembangannya, konsep Sunnah sesudah Nabi saw. wafat tidak hanya mencakup Sunnah dari Nabi, melainkan juga penafsiran-penafsiran terhadap Sunnah dari Nabi tersebut.

Adalah suatu kenyataan bahwa keadaan terus berubah yang, tidak bisa tidak, diikuti oleh tantangan dan tuntutan baru yang memerlukan jawaban aktual. Oleh karena itu Sunnah Nabi, sebagai penjelasan hukum dan perintah Qur’an yang diberikan oleh Nabi saw. sudah seharusnya diinterpretasikan sesuai dengan konteks zaman. Pernyataan-pernyataan al-Qur’an sendiri yang merupakan hukum dan quasi-hukum, menurut Fazlur Rahman, dengan jelas sekali menunjukkan sifatnya yang situasional. Sedemikian situasionalnya sehingga ayat-ayat hukum itu hanya bisa dipandang sebagai quasi-hukum dan bukan sebagai hukum secara tegas dan jelas. Dengan demikian, baik wahyu yang disampaikan Nabi saw. maupun praktik yang dijalankan oleh Nabi saw., tidak bisa terlepas dari situasi historis yang aktual pada masanya (hlm. 14).

Sunnah Nabi pada masa sahabat

Sejak masa Nabi saw. masih hidup pun, hampir dapat dipastikan tidak dijumpai dua kasus yang persis sama dalam segala hal ? apalagi setelah berselang waktu yang panjang ? yang kesemuanya memerlukan pemecahan dari Nabi saw. Hampir dapat dipastikan pula dalam memecahkan kasus-kasus tersebut Nabi pun mempertimbangkan keadaannya. Salah satu kasus yang sangat populer adalah seorang Muslim miskin yang batal puasanya karena berhubungan dengan istrinya di siang hari. Pada akhir cerita, sang Muslim miskin itu bukan saja terbebas dari “hukuman” melainkan justru diberi sejumlah bahan makanan. Kebijakan Nabi saw. dipastikan lain jika yang batal puasa itu orang yang berharta.

Penafsiran-penafsiran yang cerdas bahkan terkesan bebas terhadap Sunnah Nabi banyak dicontohkan oleh sayidina Umar bin Khathab. Usulan brillian beliau untuk mengkodifikasi al-Qur’an kepada khalifah Abu Bakar, pemegang otoritas umat ketika itu, yang notabene tidak dijumpai preseden pada zaman Nabi saw., adalah merupakan fenomena kreatif Umar. Lebih jauh bahkan beliau juga “berani” mengambil tindakan yang oleh sementara sahabat dipandang sebagai bertentangan dengan praktik Nabi saw., yakni ketika beliau tidak membagikan seluruh harta rampasan perang kepada para prajurit Islam pada penaklukan Iraq dan Siria, melainkan justru kepada para petani kecil setempat, sekalipun mereka bukan (belum) Muslim (Nurcholish Madjid, 1988: 5). Padahal, contoh yang diberikan oleh Nabi saw. adalah membagikan dengan cara tertentu, yang sebagiannya untuk pasukan Muslim. Dapat dipahami jika keputusan beliau melahirkan sikap pro dan kontra dari orang-orang terkemuka, salah satunya Bilal, sahabat kesayangan Nabi saw. Meskipun demikian Khalifah Umar tetap teguh dalam pendiriannya dan yakin bahwa apa yang dilakukan tidak menyimpang dari pesan total al-Qur’an.

Dalam kasus ini Fazlur Rahman mengemukakan alasan mengapa Umar mengambil tindakan seperti itu, yakni selain pertimbangan rasa keadilan sosial-ekonomi, juga adanya kekhawatiran Umar kepada prajurit-prajurit Muslim yang dimungkinkan enggan untuk berjuang lagi setelah menjadi pemilik tanah-tanah pertanian yang luas. Sedangkan contoh yang diberikan oleh Nabi saw., menurutnya, mungkin disebabkan karena mengikuti hukum perang yang berlaku ketika itu, yaitu dengan menyita seluruh harta yang dimiliki oleh pihak musuh, agar kekuatan musuh menjadi lemah.

Mengaplikasikan Sunnah Nabi pada masa kini

Kemajuan dalam berbagai bidang bagi umat Islam, menurut Fazlur Rahman, sangat ditentukan oleh seberapa jauh umat Islam mampu menjawab tantangan-tantangan baru secara kreatif dan inovatif. Oleh karena itu dua sikap yang harus dihindari oleh kaum Muslimin yakni merasa panik, kecut dan mencari perlindungan khayali ke masa lampaunya, dan mengorbankan atau mengompromikan ideal-idealnya (hlm. 265). Kedua sikap ini sama bahayanya. Jika sikap pertama yang diambil, yakni sebuah masyarakat yang hidup di masa lampau, ia tidak mampu menghadapi realita-realita baru, pada ujungnya akan berubah menjadi fosil. Sedangkan jika sikap kedua yang dipilih, yakni tunduk kepada kekuatan-kekuatan baru, maka ia akan sekedar menjadi penonton dalam proses transformasi dan ditelan oleh organisme sosio-kultural asing tadi.

Jika umat Islam menginginkan kemajuan, maka tidak bisa tidak, haruslah melakukan proses pemikiran yang serius, jelas, dan sistematis secara tak henti-hentinya. Ajaran-ajaran al-Qur’an dan Sunnah Nabi, sebagaimana telah dicontohkan oleh generasi-generasi Muslim yang paling awal, hendaklah tidak dipandang sebagai ajaran-ajaran yang bersifat statis, melainkan sebagai ajaran yang bergerak secara dinamis, sesuai dengan tuntutan zaman. Sunnah Nabi, dengan demikian, tidak dipandang sebagai pembatasan secara absolut, melainkan sebagai referensi dan panduan untuk menemukan inovasi yang cerdas dan aktual.

Konteks Indonesia

Adalah suatu kenyataan bahwa Indonesia merupakan negara dengan jumlah umat Islam terbesar di dunia. Di sisi lain umat Islam di Indonesia relatif terbuka dan akomodatif terhadap ide-ide pembaharuan. Yang tersebut terakhir ini tampak dari ada kenyataan bahwa sejumlah agama-agama besar dunia mampu menunjukkan eksistensinya, yang ditandai dengan kemampuan hidup berdampingan secara damai dan semangat toleransi yang memadai, bahkan berbagai aliran pemikiran dan paham pada masing-masing agama mampu berkembang secara signifikan. Kendati demikian, umat Islam yang besar itu belum mampu menunjukkan perannya dalam hampir semua aspek kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara.

Beberapa faktor yang menyebabkan kondisi tersebut di antaranya faktor budaya paternalistik yang masih berurat berakar bagi sebagian terbesar umat Islam Indonesia, sehingga tidak ada kemandirian dalam bersikap dan berpendapat, lebih-lebih dalam masalah keagamaan, sehingga hanya mengikuti orang yang dianggap tokoh atau ulama. Sikap ini sesungguhnya tidak sesuai dengan tuntunan Islam, yang sangat mengedepankan kemandirian dalam beragama. Islam tidak mengenal sistem kependetaan atau pun sistem kerahiban, yang dianggap memiliki otoritas tertentu dalam bidang keagamaan.

Faktor kedua, sikap konservatif para ulama yang cenderung mempertahankan ide-ide lama yang dianggap baku dan bahkan bersifat absolut dan final. Sikap konservatif dan menganggap pendapat ulama terdahulu bersifat final, tidak memiliki alasan kuat. Dalam bidang fiqih, misalnya, munculnya para fuqaha secara silih berganti pada masa yang berbeda dan dengan pendapatnya yang berbeda-beda pula, menunjukkan adanya dinamika pemikiran yang lebih sesuai dengan konteks zaman. Nabi saw. sendiri tampak memberi kebebasan penuh kepada Mu’adh untuk berijtihad, ketika ia ditugasi sebagai gubernur di Yaman.

Umat Islam Indonesia yang besar dan relatif akomodatif ini sesungguhnya sangat memungkinkan menerima gagasan Fazlur Rahman untuk melakukan ijtihad dalam berbagai persoalan agama dan sosial, yang akan mengantarkan umat ini memiliki peran sentral dalam konteks ke-Indonesiaan. Bahkan tidak mustahil akan berperan juga sebagai “model” masyarakat pluralis yang damai, seperti yang dicontohkan oleh Nabi saw.

Khatimah

Islam bukanlah agama yang membelenggu kemerdekaan berpikir dan berbuat bagi pemeluknya, melainkan berisi ajaran yang memberikan arahan yang tepat agar pemeluknya mampu berpikir dan berbuat dengan benar berdasarkan nilai-nilai kebenaran universal (fitriah). Contoh praktik beragama secara aktual telah diberikan oleh Nabi Muhammad saw., baik dalam bidang aqidah maupun muamalah. Contoh (Sunnah) Nabi, betapa pun harus dipandang sebagai teladan ideal pada masanya, yang menuntut interpretasi-interpretasi baru dengan tanpa meninggalkan pesan totalnya, sesuai dengan tuntutan dan tantangan zaman. Dengan demikian Sunnah Nabi akan tetap aktual sepanjang masa.

Dalam konteks Indonesia, gagasan Fazlur Rahman, meskipun tidak baru, sangat relevan dengan kondisi Islam di Indonesia. Gagasan-gagasan kreatif terhadap detail ajaran Qur’an dan Sunnah Nabi saw. yang lebih relevan dengan konteks zaman sangat perlu untuk dipertimbangkan pelaksanaannya, terutama bagi para ulama dan cendekiawan, agar umat Islam mampu berperan secara signifikan dalam berbagai persoalan hidup bermasyarakat, berbangsa dan bernegara di bumi Pancasila ini. Insya Allah.[]

________________

Fazlur Rahman, Membuka Pintu Ijtihad (terjemah bahasa Indonesia dari Islamic Methodology in History oleh Anas Mahyudin) (Bandung: Penerbit Pustaka, cetakan III, 1995).
_____, Islam (terjemah bahasa Indonesia dari Islam oleh Ahsin Muhammad) (Bandung: Penerbit Pustaka, cetakan I, 1984)
Nurcholish Madjid, Khazanah Intelektual Islam (Jakarta: Bulan Bintang, 1984)
Maulana Muhammad Ali, Islamologi (terjemah bahasa Indonesia dari The Religion of Islam oleh H.M. Bachrun) (Jakarta: Darul Kutubil Islamiyah, cetakan kelima, 1996)
Soedewo PK, Islam dan Ilmu Pengetahuan (Jakarta: Darul Kutubil Islamiyah, cetakan ketiga, 1994)

Yuk Bagikan Artikel Ini!

Comment here

Translate »