- Judul Penelitian: Gerakan Ahmadiyah Indonesia pada Era Reformasi: Potret Perjuangan untuk Survive di Tengah Kompetisi Berbagai Kekuatan
- Peneliti: Aris Widodo, M.A. & M. Usman, S.Ag., M.Ag | Institut Agama Islam Negeri Surakarta
- Tahun Terbit: Januari 2013
- Sumber Asli | Unduh PDF
Dasawarsa terakhir abad ke-19 menandai munculnya salah satu gerakan yang sangat kontroversial dalam Islam, yaitu Ahmadiyah. Titik kontroversial gerakan ini terletak pada klaim pendirinya yang mengaku sebagai al-Mahdi, al-Masih, bahkan sebagai nabi. Didirikan tahun 1889 oleh Mirza Ghulam Ahmad (1837-1908), gerakan Ahmadiyah mulai menyebar ke berbagai negara, melintasi negara asalnya, India.
Menyikapi tersebar-luasnya gerakan Ahmadiyah yang sangat kontroversial tersebut, Rabithah ‘Alam Islami mengadakan konferensi di Mekkah tahun 1974. Konferensi ini mengeluarkan beberapa point krusial, di antaranya: Ahmadiyah merupakan gerakan subversif terhadap Islam dan dunia Islam karena gerakan itu membenarkan klaim pendirinya, Mirza Ghulam Ahmad, sebagai nabi. Oleh karena itu, berdasarkan point ini, konferensi merekomendasikan negara-negara Muslim untuk melarang gerakan itu di negara-negara mereka.
Mengikuti rekomendasi di atas, banyak negara Muslim, seperti Afghanistan, Turki, Mesir, Saudi Arabia, Uni Emirat Arab, dan Pakistan mendeklarasikan bahwa Ahmadiyah merupakan gerakan di luar Islam dan para pengikutnya divonis sebagai non-Muslim.3 Indonesia, sebuah negara Mayoritas Muslim, mengambil arah yang sama.
Enam tahun sesudah konferensi tersebut, yaitu tahun 1980 (dan dikuatkan kembali 25 tahun kemudian, yaitu tahun 2005), Majlis Ulama Indonesia (MUI) mengeluarkan fatwa yang menyatakan bahwa Ahmadiyah merupakan sebuah gerakan yang berada di luar Islam. Empat tahun sesudahnya, yaitu tahun 1984 (dan ditegaskan kembali 21 tahun kemudian, yaitu tahun 2005 oleh Maftuh Basyuni), Kementerian Agama mengeluarkan sebuah surat edaran yang dikirimkan ke seluruh cabangnya di Indonesia, yang isinya mendukung fatwa tersebut.
Dampak dari keluarnya fatwa dan surat edaran tersebut sangatlah besar. Gelombang penentangan beberapa kelompok Muslim terhadap Ahmadiyah, yang sebetulnya telah muncul sejak awal-mula keberadaan Ahmadiyah di Indonesia, semakin membesar. Situasi ini ditambah lagi dengan munculnya era baru dalam pemerintahan di Indonesia, yaitu era reformasi, setelah rezim Soeharto dengan Orde Baru-nya ambruk pada tanggal 21 Mei 1998.
Munculnya era baru tersebut menawarkan kesempatan bagi berbagai entitas, termasuk kelompok-kelompok radikal, hadir di permukaan. Oleh karena itu, gelombang oposisi terhadap gerakan Ahmadiyah tersebut kemudian tidak hanya mewujud di ranah teoretis, tapi juga dalam perilaku radikal. Serangkaian penyerangan terhadap gerakan Ahmadiyah terjadi pada tahun 2002, 2004, 2005, 2006, dan 2008. Serangan itu seringkali begitu membahayakan sehingga tahun 2006 beberapa anggota Ahmadiyah di Lombok, Nusa Tenggara Barat, mencari suaka ke Australia dan Kanada. Karena seringnya terjadi tindakan anarkis ini, pemerintah kemudian mengambil keputusan, yaitu dengan mengeluarkan Surat Keputusan Bersama (SKB) Tiga Menteri (Menteri Agama, Jaksa Agung dan Menteri Dalam Negeri) pada tanggal 9 Juni 2008, yang isinya, antara lain, mempersempit ruang-gerak Ahmadiyah.
Di sisi lain, meskipun MUI dan Kementerian Agama menunjukkan keberatan mereka atas keberadaan Ahmadiyah di Indonesia, yang kemudian diikuti oleh beberapa kelompok yang menentang Ahmadiyah di Indonesia, tidak semua elemen di Indonesia mengikuti garis kecenderungan yang sama. Hal ini terlihat dari adanya indikasi berikut. Dua tahun setelah munculnya era reformasi, yaitu tahun 2000 (masa pemerintahan Abdurrahman Wahid), Mirza Tahir Ahmad, khalifah ke-4 Ahmadiyah, diizinkan untuk mengunjungi Indonesia, dan disambut hangat oleh beberapa tokoh Muslim di Indonesia.
Comment here