Artikel

Buat Apa Manusia Hidup? Ini Jawaban Kaum Materialis versus Pengkaji Quran

building castle figures facade

Selain pertanyaan “apakah manusia itu?”, Immanuel Kant (1724-1804), seorang filsuf Jerman yang masyhur, mengemukakan tiga buah pertanyaan pokok yang besar faedahnya untuk membedakan dan menilai pandangan tentang manusia menurut berbagai ideologi. Tiga pertanyaan itu adalah: “Apakah yang dapat manusia ketahui?”, “Apakah yang harus manusia perbuat?”, dan “Apakah yang bisa atau boleh manusia harapkan?”

Atas ketiga pertanyaan itu, maka jawaban yang diberikan oleh para filosof yang menganut “naturalisme materialistis” sudah barang tentu “tak ada”. Sebab, dalam aliran filsafat yang disebut “naturalisme materialistis” yang ekstrim, manusia itu dipandang sebagai benda dan pesawat (perkakas). Betapa pun juga rumit susunannya, sebagaimana sebuah alat atau mesin, manusia terjadi sebagai hasil yang diperoleh secara kebetulan belaka.

Manusia, dalam pandangan filsafat ini, terbentuk dari suatu proses yang sifatnya mekanis-kausal belaka, dari saling pengaruh-mempengaruhinya (interaksi) kesatuan-kesatuan zat terakhir (atom-atom) yang menyusun alam. Manusia menjelma secara matematis sebagai penyusunan kembali dari bagian-bagian zat dalam ruang, menurut pada hukum-hukum alam yang membuta, tanpa tujuan.

Agak lebih baik dari itu, dinyatakan oleh Bergson (1895-1941). Filsuf berkebangsaan Prancis yang beraliran “naturalisme vitalistis” ini memandang manusia sebagai “la grande reussite de lavie”, hasil baik yang megah dari hidup[1] atau dari alam (la nature).[2] Manusia adalah juga homo faber yang mempunyai intelek atau kemampuan membuat sendiri dan mempergunakan alat-alat,[3] menghasilkan teknik modern yang menakjubkan, dan mampu menguasai tenaga-tenaga alam dengan secara teknis yang luar biasa majunya.

Walaupun demikian, bagi Bergson, manusia itu pada hakikatnya tak lain dan tak bukan hanyalah “seekor vertebrata yang lebih tinggi tingkatnya.” Karena itu, jawaban yang diberikan naturalisme vitalistis ala Bergson atas pertanyaan-pertanyaan Immanuel Kant di atas itu adalah juga: “tak ada.”

Manusia bukan pula “dari tiada kepada ada,” seperti diajarkan oleh filsuf zaman sekarang, Martin Heidegger (1889). Filsuf dari Jerman ini menyatakan bahwa manusia “dilemparkan” (geworfen) ke dunia ini, tanpa diketahui dari mana asalnya, siapa yang melemparkan dia, dan untuk apa ia dilemparkan. Lantas, manusia dilemparkan kembali kepada tiada, hilang tak berbekas, tak tahu kemana ia pergi.

Jadi pada hakikatnya, dalam pandangan Heidegger, manusia itu ada di dunia ini untuk mati, untuk tak ada.[4] Sehingga berlakulah sepenuhnya apa yang dikatakan dalam Faust, ciptaan Johanna Wolfgang Goethe (1749-1832): “Vorbei, es ist so gut als war es nie gewesen.” (Lampaulah sudah, boleh dikatakan sama saja halnya dengan bilamana itu tak pernah ada!)

Filsafat eksistensial ciptaan Heidegger dan Jean Paul Sartre, yang sifatnya ateistis dan sangat pesimistis itu, tidak membicarakan hal-hal yang tak ada harganya dalam kehidupan manusia, melainkan bahwa kehidupan itu sendiri sama sekali tak ada harganya, dan memperlihatkan ciri yang khas dari keadaan batin bangsa-bangsa Barat pada masa-masa sesudah dua kali perang dunia.

Karena bertumpu pada filsafat eksistensial itu, bangsa Barat sama sekali tak mempunyai pegangan lagi, tempat menggantungkan kepercayaan dan harapan baik, serta kehilangan tempat berpijak.

Struktur dasar eksistensi manusia adalah “ketakutan”, yakni takutnya suatu wujud dalam kesendirian, kesunyian dan bergantung di atas jurang ketiadaan yang gelap.[5] Adanya di dunia ini terang merupakan suatu beban bagi manusia,[6] karena dikuasai oleh Sorge,[7] yaitu kekhawatiran tentang pemeliharaan hidup beserta tekanan-tekanan batin dan duka cita yang berhubungan dengan itu.

Eksistensialisme dalam pandangan filsafat di atas sudah barang tentu bertentangan dengan Quran SUci, yang tidak mengajarkan bahwa manusia itu “dilemparkan begitu saja”, melainkan diciptakan: bukan dari tiada kembali kepada tiada, melainkan dari Allah dan kembali kepada Allah.

“Bagaimana kamu dapat mengafiri Allah, dan dahulu kamu tak hidup, lalu Ia memberi kamu hidup. Kemudian Ia mematikan kamu, lalu Ia menghidupkan kamu, dan mengembalikanmu kepada-Nya” (QS 2:28)

Maka atas ketiga pertanyaan Immanuel Kant di atas, jawaban yang diberikan Islam adalah tegas dan jelas. Apakah yang dapat manusia ketahui? Adalah apa yang Allah berkenan mewahyukannya kepadanya. Apakah yang harus manusia perbuat? Adalah apa yang diamanatkan Allah kepadanya. Dan apakah yang boleh manusia harapkan? Adalah apa yang dijanjikan Allah kepadanya!

Dari firman Allah di atas itu nyata bahwa proses-proses evolusi yang digerakkan oleh Allah tidak berhenti dengan matinya manusia. Bahkan sesungguhnya manusia diciptakan di dunia ini untuk suatu tujuan yang khas, yakni menyelenggarakan amanat Allah sebagai khalifah atau wakil Allah, agar supaya dapat naik (mi’raj) ke Allah, yang jalan-jalannya ditunjukkan melalui hudallaah, pimpinan atau petunjuk Allah yang termaktub dalam Quran Suci (QS 70:33, 22-35, 38-39), dan ditafsirkan oleh Nabi Suci Muhammad saw. dalam perkataan dan perbuatannya yang nyata (Sunnah).

Jadi, manusia diciptakan di dunia ini supaya berkontribusi dengan mengambil bagian dalam usaha melangsungkan dan mewujudkan proses-proses evolusi kosmis, dan tidak mengizinkannya duduk diam bertopang dagu, tak berbuat apa-apa.

Tuhan tidak pula membiarkan manusia menuruti kemauannya sendiri, melainkan senantiasa mendorongnya untuk melakukan kegiatan-kegiatan baru dengan keinginan-keinginan dan harapan-harapan baru pula, dan melanjutkan usahanya sesudah kematiannya di alam akhirat.[]

Dinukil dan diselia dari buku “Intisari Qur’an Suci” karya Soedewo P.K., Darul Kutubil Islamiyah, 1989 (terbit pertama kali tahun 1965), hlm. 68-71. Judul oleh admin.


[1] Kritik der rainen Vermunft (1781), p. 805; Logik, Einleitung, P. 61.

[2] Evolution Creatrice, p. 26

[3] Les Deux Sources de la Morale et Dela Religion, p. 52

[4] Sein Und Zet, p. 134 dan 234; passim, p. …; bandingkan dg Blaise Pascal (1623-62), Penses Bruschvicq, terjemahan Fenna de Meyier, p. 205-210 dan 693.

[5] Heidegger dan Jean Paul Sartre, p. 342 dan 164

[6] Heidegger dan Jean Paul Sartre, p. 134

[7] Heidegger dan Jean Paul Sartre, p. 198

Yuk Bagikan Artikel Ini!

Comment here