Artikel

Eksistensi Manusia: Dari Filsafat Naturalisme-Materialistis ke Filsafat Islam

a greek man statue standing in the dark

Dalam anggapan ilmu pengetahuan dan aliran filsafat Barat, yang disebut “naturalisme biologis” atau “naturalisme vitalistis,” manusia adalah layaknya seperti binatang. Di antara ahli-ahli biologi yang masyhur, yang berpendapat bahwa manusia itu binatang, ialah Charles Robert Darwin (1809-82), pengarang buku “On The Origin of Species By Means of Natural Selection” (1859).

Ini diamini pula oleh Ernst Haeckel (1834-1919), penganut Darwinisme berkebangsaan Jerman, yang juga salah seorang yang meletakkan dasar bagi monisme biologis (Die Weltratsel, 1899), juga oleh para filosof Jerman lain seperti Nietschze, Valhinger, Henri Bergson, dan Theodore Lessing.

Pada zaman ahli-ahli fikir dan ahli-hali biologis yang kenamaan mengajarkan bahwa manusia itu pada hakikatnya binatang, sudah sewajarnyalah bila para ahli ilmu jiwanya, yang berpendirian bahwa jiwa manusia itu harus dipelajari dengan metode-metode ilmiah saja, terpengaruh oleh mereka dan mempergunakan ajaran mereka sebagai dasar teorinya dalam bekerja.

Sebutlah sebagai misal Sigmun Freud (1856-1939), pencipta psychoanalisa bangsa Austria.[1] “Kalau manusia itu pada hakikatnya binatang,” kata Freud, “maka sudah selayaknya pula jika dia hidup seperti binatang. Makin mengganas kebinatangannya, makin baik dan kian dekatlah dia kepada tujuan hidupnya, yaitu kesempurnaan.”

Makin leluasa manusia menuruti naluri-naluri hewaninya, dan memandang serta memperlakukan satu sama lain seperti alat pemuas keinginan naluri-naluri itu, demikian kata Freud lebih lanjut, maka makin patutlah perbuatannya dan makin bahagialah hidupnya.

Kultur atau kehidupan mental, moral dan spiritual manusia, kata Freud, hanya mungkin terjadi jika desakan asli (oerdrang) yang disebut libido (nafsu kelamin, nafsu serang dan nafsu mati) ditindas dengan kekerasan. Sehingga bentuk-bentuk kehidupan kultural yang timbul daripadanya, merupakan penghalang yang besar bagi desakan asli itu, yang karenanya tak dapat memuaskan keinginan-keinginannya dengan leluasa.

Adapun halnya menurut pandangan materialisme-materialistik, manusia itu pada hakikatnya adalah alat atau perkakas yang merupakan bagian daripada suatu pesawat (mesin) raksasa yang kita sebut alam semesta, seperti apa yang diungkap oleh para filosof penganut “naturalisme materialistik.” Maka sudah sepatutnyalah dia mencapai tujuan hidupnya jika kehidupan umat manusia dirasionalisasikan dan dimekanisasikan.

Makin sempurna manusia yang satu memandang dan memperlakukan yang lain dan dirinya sendiri seperti barang atau perkakas, maka makin sempurna pula perbuatannya dalam lapangan hidup yang mana pun juga, dan makin bahagia pula hidupnya.

Materialisme sebagai aliran metafisika dan ontologi memandang materi (zat organis yang tak hidup) sebagai satu-satunya kenyataan (reality) yang benar, yang menjadi dasar segala sesuatu yang ada dan apa yang terjadi. Seluruh peristiwa (fenomena), baik yang jasmani maupun yang rohani, dipandangnya sebagai proses-proses kebendaan yang berjalan secara mekanis-kausal.

Sebagai contoh, kita bisa baca apa yang ditulis oleh Karl Marx (1818-83), “Alam kebendaak yang ditangkap dengan alat-alat Indra, yang kita sendiri termasuk ke dalamnya, ialah satu-satunya kenyatakan (the only reality).

Kesadaran dan fikiran, betapa pun juga tinggi dan tampaknya mengatas daripada keindraan, adalah hasil suatu alat jasmani yang kebendaan, yaitu otak. Materi bukanlah hasil kesadaran (consciousness), sebaliknya kesadaran itu sendiri hanyalah hasil yang tertinggi dari materi. Fikiran tak mungkin dipisahkan dari yang berfikir. Materi ialah pokok segala perubahan.”[2]

Di antara kaum materlis, ada golongan yang menyamarkan materialisme yang sebenarnya, yang bersifat dialektis-mekanistis atau mekanistis pasivistis itu. Sedemikian rupa sehingga “materialisme” seperi bukan materialisme lagi.

Kepada materi disebut otodinamika sebagai sifat aslinya, yakni kehidupan batin dengan proses-proses yang berjalan dengan sendirinya, atau pertentangan batin yang timbul daripadanya gerakan dengan sendirinya (selbstentiwickelung durch widerspruch, menurut ajaran panlogisme filsuf Hegel).

August Weismann misalnya berpendapat bahwa “materi itu berjiwa.” Hecckel mengajarkan bahwa tiap-tiap atom mempunyai sejumlah tenaga yang tak terpisahkan darinya dan berjiwa. Begitu pula Karl Marx dan filsafat Soviet (Leninsitis) mengajarkan bahwa materi itu sifatnya dialektis-aktivistis.

Kalau orang menganut ajaran bahwa tak ada materi yang mati, bahwa materi itu pada hakikatnya hidup, dan sifat aslinya ialah kesadaran, maka dia bukanlah seorang materialis lagi, melainkan seorang hylozoist. Menurut materialisme hylozoist ini, organisme yang hidup terjadi dari “generatio spontanae”, kejadian tanpa peralihan dari materi yang pada hakikatnya hidup juga.

Berseberangan dengan teori-teori dan konsepsi-konsepsi para filsuf Barat di atas, Islam memahami manusia dengan cara pandang yang berbeda: bukan semata sebagai entitas materialistik.

Dalam perspektif Quran, manusia adalah suatu bentuk kehidupan jasmani pada tingkat perkembangannya yang tertinggi (QS 95:4; 75:4). Sebab kemampuan fisiologis manusia telah mencapai batas perkembangannya yang tertinggi. Artinya, dengan terjadinya manusia, berakhirlah sudah fase biologis daripada proses evolusi kosmis.

Tetapi tidak demikian halnya dengan evolusi rohani manusia. Manusia mengandung benih bagi suatu siklus perkembangan yang sama sekali baru. Dan dalam rangka melaksanakan fase evolusi jenis yang baru itulah ia dikarunia beberapa keunggulan, antara lain sebagai berikut:

  • Sifat-sifat yang tertinggi di antara sekalian ciptaanNya di alam semesta (QS 91:1-7)
  • Daya-daya dan kesanggupan-kesanggupan yang sangat besar untuk maju, dengan kemungkinan yang tak kurang besarnya untuk merosot derajatnya menjadi “serendah-rendah makhluk” (QS 95:4, 64:3). Dalam kelemahannya, manusia dapat hidup seperti binatang. Tetapi dalam kejayaannya, dia dapat mengangkat dirinya ke puncak perkembangan yang setinggi-tingginya.
  • Kebebasan memilih sendiri, kebebasan serta tanggung jawab moral (freedom of choice, moral freedom and responsibiltiy). (QS 2:256, 5:48, 90:8-10, 32:13, 74:55, 76:3, 9:39-41, 16:9, 6:150, 11:118)
  • Suatu kehendak yang merdeka (free will) dalam batas-batas tertentu untuk berbuat menurut kemauannya. (QS 76:3, 37:61-62, 6:150)
  • Sesuatu yang essensial dan fundamental (QS 15:29, 32:9), yang karenanya ia mempunyai hubungan mistis yang erat dengan Ruh Allah. Dengan ini pula ia dapat menguasai dunia lahir dan batin, sehingga dapat melaksanakan kemajuan dalam lapangan mental, moral dan spiritual, selaras juga dengan kemampuannya dalam lapangan ilmu pengetahuan, teknik dan teknologi.

Jiwa manusia adalah suatu keseluruhan dan kesatuan dengan raganya, tersusun dari sistem-sistem daya-daya fisis, biologis, mental, moral dan spiritual, yang harus diorganisir, dikoordinir, dan diintegrasikan demikian rupa. Sehingga dengan kerja samanya sistem-sistem daya yang rendah secara integratif, kreatif dan harmonis itu, diperoleh kebebasan yang lebih banyak untuk berkembang.

Karena kepadanya dipercayakan kewajiban (tugas) melanjutkan proses evolusi kosmis itulah, maka manusia disebut khalifah, atau wakil Allah di muka bumi (QS 2:30, 6:166, 35:39). Dan karena itu pula ia disebut sebagai makhluk yang dipercaya (QS 33:72), dihormati oleh Allah, dan “jauh melebihi kebanyakan mereka yang Kami ciptakan.” (QS 17:70).

Maka untuk perkembangan dan kesejahteraannya, juga sebagai bagian dari alam, manusia diamanatkan supaya menyatakan sifat-sifat bawaannya yang baik lagi besar (QS 33:72), atau kemampuan-kemampuannya berbuat baik, yang terpendam dalam keadaan potensial dalam nature-nya (QS 11:7, 67:2).

Dengan kata lain, manusia diamanatkan supaya berusaha keras melaksanakan sendiri, dengan sadar dan dengan sengaja, mengubah yang evolusioner pada khuluk atau nature-nya, yakni perkembangan batiniyah dengan organisasi batiniyah pula. Bukan sebaliknya: perubahan lahiriyah dengan organisasi lahiriyah juga.

Keadaan asli dari daya-daya rohani manusia harus berubah sedemikian rupa sehingga memperoleh sifat-sifat yang baru (QS 2:138, 7:180) dan dia dapat memelihara kehidupan yang seimbang. Singkatnya, manusia diamanatkan Tuhan supaya mengusahakan perbaikan diri (self improvement), penciptaan diri (self creation), perkembangan yang selaras dengan daya-daya rohaninya (self realization), dan penyempurnaan diri (self perfection).

Kesemuanya bisa dilakukan tanpa melampaui batas-batas kemampuan manusia untuk melaksanakannya (QS 2:233, 2:286, 6:153, 7:42, 23:62, 65:7). Dengan demikian, manusia dapat mencapai kemerdekaan dan keseimbangan batin, mengatasi diri sendiri, dan mengangkat dirinya kepada Allah Ta’ala, yang merupakan tujuan sebenarnya daripada hidup manusia (QS 2:28, 70:33, 38:39).

Tujuan itu hanya dapat dicapai bilamana manusia berusaha mengambil “warna Allah” (QS 2:138), yakni memiliki sifat-sifat yang menyerupai sifat-sifat Allah (QS 7:180). Senada dengan yang diperintahkan oleh Nabi Suci Muhammad saw., “Takhallaqu bi akhlaaqillaah.” Pakailah akhlak-akhlak atau pekerti-pekerti Allah.

Hendaklah manusia menguasahakan dirinya untuk memiliki sifat-sifat Allah menurut kesanggupannya. Bukankah kehendak Allah dengan menciptakan segala sesuatu itu ialah untuk mewujudkan sifat-sifatnya?

Inisiatif tentang hal itu harus diambil oleh manusia sendiri, sebab Allah tidak mengubah keadaan sesuatu bangsa atau karunia yang dianugerahkan kepadanya, hingga mereka mengubah keadaan batin mereka sendiri (QS 13:11, 8:53). Dan manusia tak dapat memperoleh selain daripada apa yang ia usahakan (QS 53:39).

Tanggung jawab atas usaha itu tak dapat dibebankan kepada orang lain, melainkan harus dipikulnya sendiri, sebab “tiada pemikul beban bakal memikul beban orang lain” (QS 6:165, 53:38). Demikian pula dikatakan, “Nasib buruk yang mana pun juga menimpa kamu sekalian, terjadi karena perbuatan tanganmu sendiri” (QS 42:30, 4:79).

Kalau manusia insaf bahwa dengan menjalankan peranan sewajarnya dia memberikan sumbangan kepada proses evolusi yang universal itu, maka pertentangan dan perpisahan antara orang-seorang dengan masyarakat akan lenyap.

Sebaliknya, kalau manusia membatasi, memusatkan dan mencurahkan segala fikiran, waktu dan tenaganya hanya kepada kegiatan berusaha mencari nafkah, dengan tujuan memenuhi kebutuhan-kebutuhan badaninya, atau memenuhi permintaan dari daya-daya rendahnya yang bersifat cyclus-intensif dan egosentris, yaitu hawa nafsu kebinatangan berupa kebutuhan sandang pangan, tidur, tempat berlindung dan harta benda, maka penyelamatan diri (self preservation) yang sesungguhnya merupakan alat itu dibuatnya jadi tujuan, dan faktor-faktor lahiriyah dipandangnya sebagai faktor-faktor yang menentukan perkembangan rohani, seperti halnya menurut Marxisme.

Manusia yang seperti itu merendahkan martabatnya menjadi sekedar binatang ekonomis yang berfikir, dan budak daripada kesenangan-kesenangan badani belaka. Besar kemungkinan dia akhirnya bersikap batin dagang dengan laba atau keuntungan material bagi diri sendiri saja sebagai daya pendorong yang utama.

Waktu yang terluang dan daya lainnya yang lebih tinggi tingkatnya, tak digunakan dan tak dikerjakan. Nilai moral dan spiritual tak diindahkan, untuk mencapai tujuan atau cita-cita yang lebih tinggi daripada itu.[3] Dengan demikian dia mengingkari keesaan daya rohaninya dengan dasa fisiologis atau biologisnya, mengorbankan segi-segi spiritual dari jiwanya, dan berlaku tak adil terhadap diri sendiri, yang justru dapat membinasakan dirinya sendiri pula.

Egoisme dan perbudakan kepada desakan keharusan biologis, membuat hidup manusia menjadi penjara atau belenggu (QS 83:7, 69:32), bahkan menjadi beban (QS 2:286) yang merintanginya untuk bergerak dengan leluasa dan bebas. Demikian pula karat pada hatinya (QS 83:14), yang diakibatkan oleh perbuatannya yang merusak keseimbangan antara kehidupan batin dan lahirnya, menjadi alat pembinasa rohaninya dan perintang kemajuannya. Sehingga,  terasinglah dia dari Rabb-nya (QS 83:15).

Karena tak dapat membebaskan diri dari keinginan hawa nafsunya itu, maka dia menjadi budak kehidupan, menjadi sekedar mesin, atau daabbatum minal-ardl (QS 27:82), yaitu suatu makhluk yang tunduk rendah-rendah ke tanah, dan tak tahu akan norma dan nilai kehidupan rohani yang tinggi, seperti halnya bangsa-bangsa Barat yang materialistik (QS 7:176).

Pemujaan akal (rasio), atau anggapan tentang mahakuasanya akal, yang diperhambakan kepada usaha memenuhi berbagai keinginan dan kebutuhan hewani saja, yang akhirnya hanya tertuju kepada kwantitas, memang menghasilkan kemajuan yang menakjubkan dalam lapangan ilmu pengetahuan teknik dan teknologi, baik untuk kepentingan pertanian maupun industri ilmiah.

Akan tetapi sebaliknya, perbuatan mendewa-dewakan hawa nafsu hewani, yang menurut ajaran Quran Suci merupakan suatu sistem daya-daya rendah itu (QS 3:13, 57:20), sudah pasti akan membangkitkan keinginan, emosi, nafsu, kehendak dan cita-cita yang dapat didesak, dikekang dan ditindas oleh kekuasan lahiriyah (duniawi) untuk beberapa waktu lamanya.

Sifat-sifatnya yang jahat daripada perbuatan itu sedikit pun tak dapat diubah ke arah kebaikan oleh tindakan-tindakan pencegahan dari ciptaan ahli kenegaraan yang paling bijaksana sekalipun.

Perubahan sejati pada diri manusia tidaklah datang dari luar, dari pengaruh-pengaruh yang dikenakan dari luar batinnya, melainkan hanyalah dari dalam dan dilaksanakan oleh yang bersangkutan sendiri dengan sadar dan sengaja, yaitu dengan usaha batiniyah yang giat, dengan berdasarkan pada perbuatan-perbuatannya, baik yang langsung berhubungan dengan usaha mempertahankan hidupnya maupun tujuan lainnya, kepada niat dan norma yang tertuju pada kualitas, dan yang diperlukan bagi perbaikan, perkembangan dan penyempurnaan dirinya.

Singkatnya, perbudakan kepada hawa nafsu kebinatangan pasti akan menimbulkan suatu sikap batin (attitude of mind) yang materialistis, meracuni dan merusak perhubungan antar manusia, karena menelurkan kecenderungan-kecenderungan egoistis, serakah dan imperialistis, menjajah dan memeras tenaga sesama manusia, baik terang-terangan maupun sembunyi-sembunyi, sehingga manusia yang satu menjadi musuh manusia yang lain (ba’dlukum li ba’dlin ‘aduwwun) (QS 2:36, 20:123, 5:14).

Inilah ciri dari peradaban kebendaan Barat (materialistic civilization), yang dalam Quran Suci banyak dilukiskan dengan jelasnya sebagai Yakjuj wa Makjuj (Gog and Magog), yang menguasai seluruh dunia (QS 18:94, 21:96). Bangsa yang dipribadikan atau dipersonifikasikan dalam nubuat Nabi Suci Muhammad saw. sebagai Dajjal, yang usahanya, tipu muslihatnya, serta racun pengaruhnya bersifat psychis destruktif.

Dan atas dasar itulah peradaban Barat akhirnya menjadikan wilayah di daerah-daerah tropis dan sub tropis sebagai jajahan. Dan menjadikan keadaan dunia penuh sesak dengan urusan-urusan ekonomi dan politik, sekaligus beserta dengan kekosongan sosial dan spiritual.[4] Kerusakan dan kerendahan rohani menjadi ciri yang khas dari tiap-tiap peradaban materialistis. Imperialisme dengan penetrasi kultural politis-nya pun menjadi kenyataan yang tak terelakkan.[]

Dinukil dan diselia dari buku “Intisari Quran Suci” karya Soedewo P.K. Darul Kutubil Islamiyah:1989 (terbit pertama kali tahun 1965), halaman 53-60.


[1] Lihat pandangan-pandangan Freud dalam hal ini dalam Jenseits des Lust Prinzips, p. 40

[2] Karl Marx, “Selected Works”, Russ. Ed. Vol. I, p. 32, 335, dikutip dalam “History of the Communist Party of the Soviet Union/Bolsheviks,” edited by the C.C. of the C.P.S.U: (B) 1938

[3] Dalam hubungan ini, firman Allah berikut ini perlu diingat: “Dan carilah tempat kediaman akhirat dengan apa yang telah Allah anugerahakn kepada engkau. Dan jangan kau abaikan bagian engkau daripada dunia, dan berbuat baiklah kepada sesama, sebagaimana Allah telah berbuat baik kepadamu. Dan janganlah berusaha membuat bencana di bumi” (QS 28:77; lihat juga QS 7:32, 62:10).

Atau ingatlah pula nasehat Nabi Suci Muhammad saw. yang populer: I’mal li dunyaaka ka annaka ta’iisyu ‘abadan. Wa’mal li aakhiraatika ka annaka tamuutu ghodan. “Berusahalah untuk kehidupanmu di dunia ini, seakan-akan engkau akan hidup selama-lamanya. Dan berusahalah untuk kehidupanmu di akhirat kelak, seakan-akan engkau akan mati esok hari.”

[4] Baca perihal ini dalam “Civilization on Trial: The World and The West” karya Arnold Toynbee, Maridian Books, New York, 1958, p. 183.

Yuk Bagikan Artikel Ini!

Comment here