Kliping

Ahmadiyah Itu Aliran Tasawuf

Berlandaskan akidah, Majelis Ulama Indonesia (MUI) memfatwakan Ahmadiyah sesat. Namun Ahmadiyah bisa dipandang dari kacamata lain, misalnya tasawuf. Direktur Program Pasca Sarjana Universitas Islam Negeri (UIN) Sunan Kalijaga, Yogyakarta, Prof. Dr. Iskandar Zulkarnain, telah menulis disertasi tentang Gerakan Ahmadiyah di Indonesia 1920-1942, dan telah diterbitkan LkiS menjadi Gerakan Ahmadiyah di Indonesia. Berikut ini wawancara dengannya.

Bagaimana anda menanggapi fatwa MUI yang menyebutkan Ahmadiyah sebagai ajaran yang menyesatkan?

Berdasarkan Al-Qur’an dan Hadits, fatwa MUI tidak salah. Tapi dari kacamata yang berbeda, misalnya dari kajian tasawuf, ajaran Ahmadiyah sesungguhnya tidak menyesatkan.

Pengakuan terhadap tokoh yang disebut sebagai nabi bukan hal yang aneh. Bahkan ada konsep keyakinan tentang pengakuan dirinya adalah Tuhan, meski ini tak sesuai dengan ajaran Islam.

Ini sesungguhnya tak beda dengan penghayatan Kejawen, yaitu Manunggaling Kawula Gusti. Dan ini tidak bisa diganggu gugat, karena sudah menyangkut intuisi, rasa, dan bersifat pribadi.

Pengalaman religius itu berbeda dan sangat pribadi satu sama lain.

Apakah ajaran Ahmadiyah dekat dengan aliran tasawuf?

Bisa dikatakan demikian. Tasawuf dipandang sebagai upaya akal manusia untuk memahami hakikat segala sesuatu dan untuk menikmati hubungan intim dengan Allah.

Dalam tasawuf, manusia mencoba bermeditasi, mencari jalan agar dapat bertemu muka, dan mendapat wangsit atau wahyu dari Tuhan.

Berarti tidak ada yang salah bila kita memandang Ahmadiyah dari kajian tasawuf?

Secara akademis memang tidak ada yang salah. Bisa dipahami bila Ahmadiyah meyakini adanya nabi, dalam hal ini nabi buruzi. Dari kajian tasawuf, bukan hal yang aneh bila Ahmadiyah meyakini hal tersebut, karena Mirza Ghulam Ahmad dipandang sebagai murid atau guru spiritual. Dan ini tidak ada pada kacamata MUI.

Berangkat dari situ, bila Ahmadiyah tetap dimasukkan dalam aliran aqidah, ya seperti ini yang terjadi. Sebagian umat Islam tentu tidak bisa menerima ajaran itu. Bahkan terjadi tindak anarkis, karena mereka menilai ajaran Ahmadiyah sudah menyimpang dari prinsip dasar Islam. Berbeda bila Ahmadiyah dimasukkan dalam aliran tasawuf.

Bagaimana anda melihat gerakan Ahmadiyah di Indonesia?

Ahmadiyah adalah sebuah organisasi dan juga gerakan keagamaan yang murni berorientasi dakwah Islam dan tidak berorientasi politik. Sebagai organisasi Ahmadiyah didirikan Mirza Ghulam Ahmad (1835-1906) di India.

Oleh Muslim Sunni, Ahmadiyah dianggap menyimpang dari ajaran Islam sebenarnya. Ajaran yang menyimpang, misalnya menyangkut al-Masih, al-Mahdi, dan terutama tentang kenabian dan wahyu.

Bagaimana pandangan Ahmadiyah tentang kenabian dan wahyu, sehingga dianggap menyimpang dari ajaran Islam?

Terkait tentang kenabian, Ahmadiyah memahami ada tiga klasifikasi kenabian, yaitu nabi sahibu al-syariah dan mustaqil atau langsung. Nabi tersebut adalah pembawa syariat untuk manusia.

Sedangkan nabi mustaqil adalah hamba Allah yang menjadi nabi dengan tidak mengikuti nabi sebelumnya. Nabi Muhammad saw. termasuk nabi sahibu al-syariah dan mustaqil, seperti Nabi Musa a.s. yang membawa Taurat.

Berikutnya adalah Nabi mustaqil ghairu at-Tasyri, yakni hamba Allah yang menjadi nabi dengan tidak mengikuti nabi sebelumnya. Mereka tidak membawa syariat baru dan ditugaskan menjalankan syariat yang dibawa nabi sebelumnya. Misalnya seperti Nabi Harun, Daud, Sulaiman, misalnya.

Dan terakhir adalah nabi buruzi ghair al-Tasyri, yaitu hamba Tuhan yang mendapat anugerah menjadi nabi semata-mata karena kepatuhannya pada nabi sebelumnya dan mengikuti syariatnya.

Menurut Ahmadiyah Qadian, hamba Tuhan yang masuk golongan ini adalah Mirza Ghulam Ahmad yang mengikuti syariat Nabi Muhammad saw. ini yang harus dipahami. Pasalnya, hal tersebut yang menjadi pangkal persoalan di Indonesia seperti yang terjadi belakangan ini.

Menurut keyakinan muslim Sunni khususnya di Indonesia, tidak ada nabi lagi setelah Nabi Muhammad, entah itu yang disebut buruzi atau nabi yang lain. Perbedaan penafsiran atau klasifikasi ini yang tidak bisa diterima oleh sebagian masyarakat Muslim di Indonesia, termasuk Majelis Ulama Indonesia (MUI), seperti tertuang dalam fatwanya.

Ini berarti tidak hanya Mirza Ghulam Ahmad yang menjadi nabi buruzi. Bisa jadi ada pemimpin umat yang juga layak disebut sebagai nabi buruzi. Bagaimana pendapat anda?

Memang benar. Menurut pandangan Ahmadiyah, khususnya Qadian, nabi buruzi tidak hanya Mirza Ghulam Ahmad, tapi masih ada yang lain. Hanya sampai saat ini Ahmadiyah baru meyakini Mirza Ghulam Ahmad sebagai buruzi.

Mungkin belum ada sosok yang layak dijadikan sebagai nabi buruzi atau Ahmadiyah memang tidak menjelaskan bahwa ada nabi buruzi selain Mirza Ghulam Ahmad.

Tadi disebutkan kenabian dari Ahmadiyah Qadian. Padahal ada Ahmadiyah Lahore. Apakah konsep kenabian mereka berbeda dengan Ahmadiyah Qadian?

Pemahaman tentang kenabian dari Ahmadiyah Lahore memang berbeda. Ini pula yang harus dicermati. Mereka meyakini Nabi Muhammad saw. sebagai nabi terakhir. Tidak ada nabi lain, baik itu nabi lama maupun nabi baru. Ini yang membedakannya dengan Ahmadiyah versi Qadian.

Ahmadiyah Lahore memandang Mirza Ghulam Ahmad sebagai Mujaddid atau pembaharu. Ahmadiyah Lahore juga tidak mengenal sistem kekhalifahan yang merupakan penerus Mirza Ghulam Ahmad.

Sebaliknya, ada sistem kekhalifahan pada Ahmadiyah Qadian dan saat ini merupakan kehalifahan yang kelima, yang berkedudukan di London. Barangkali masih sedirik umat Islam di Indonesia yang mengetahui ini.

Lalu apa persamaan dari Ahmadiyah Qadian dan Lahore?

baik Ahmadiyah Qadian maupun Lahore mengakui Mirza Ghulam Ahmad adalah al-Masih al-Mahdi. Mereka juga memiliki kesamaan pandangan tentang kewahyuan. Menurut mereka, wahyu tidak hanya diturunkan kepada para nabi dan rasul, tetapi juga kepada manusia biasa, malaikat, binatang, dan bahkan makhluk tak bernyawa seperti bumi dan langit.

Dari situ, wahyu terbagi menjadi dua, yaitu wahyu syariat atau wahyu tasyri’ yang sudah berakhir pada zaman Nabi Muhammad saw. Dan satu lagi adalah wahyu mutlak yang diberikan tidak hanya kepada nabi, tapi juga kepada yang lain. Wahyu tersebut masih tetap terbuka dan berlaku sampai selama-lamanya, meski tidak ada lagi syariat yang diturunkan.[]

  • Wawancara dengan Prof. Dr. Iskandar Zulkarnain | Harian Duta Masyarakat, 7 Juni 2008
Yuk Bagikan Artikel Ini!

Comment here