ArtikelTokoh

Kehidupan Sehari-hari Eyang Djojosoegito

Saya kurang ingat, apakah saya mulai nderek Bapak Djojosoegito di Malang, atau hanya diajak Eyang Lurah (R. Ngt. Kramadihardja, Lurah Linggasari, Purwokerto) berkunjung. Tetapi kira-kira akhir tahun 1938 atau 1939, saya berada di Malang.

Waktu itu adikku Titiek (Siti Nuraniyah), sudah lahir berumur lebih setahun, sudah dapat berjalan dan duduk di pispot. Bapak waktu itu tinggal di Klojen Kidul Gang IV, yang sering kami sebut “Gang Pesing”, karena baunya.

Bapak lahir 16 April. Menurut zodiak, beliau berbintang Aries, yang mempunyai ciri-ciri atau sifat-sifat antara lain pantas menjadi pemimpin, sebab tindakannya berani, tegas dan agresif, mudah kesal hati, menjadi perintis perjuangan hidup, pantang mundur, memiliki cita-cita mulia, optimistis, rendah hati, teguh pendirian, dan gemar berkesenian.

Sebagian besar rasanya cocok dengan gambaran dalam tulisan ananda Nanang Ismullah maupun dengan yang saya saksikan sendiri.

Yang saya ingat, sejak saya balita, di rumah mana pun, tiap magrib maupun taraweh, selalu shalat berjamaah. Beliau yang menjadi imam. Sampai sekarang saya masing ingat “lagu” yang dialunkan bapak waktu membacakan surat Al-Fatihah, suaranya harus tetapi merdu. Sampai sekarang saya berusaha menirukan kalau saya mengimami shalat jamaah di rumah dengan anak cucu.

Beliau adalah seorang otodidak. Menurut cerita beliau sendiri, setelah tamat Sekolah Guru, lalu memperdalam sendiri bahasa Belanda, sampai beliau dapat ujian dan mendapat ijazah untuk mengajar di sekolah pemerintah, yang waktu itu bahasa pengantarnya Bahasa Belanda.

Bahasa Inggris juga tidak beliau pelajari di sekolah atau kursus, tetapi toch beliau mampu menerjemahkan The Holy Qur’an karya Maulana Muhammad Ali, dari versi Bahasa Inggris ke Bahasa Jawa.

Keahlian beliau sebetulnya bahasa Jawa dan Jawa Kuno (Sanskerta). Dalam keahlian ini, beliau selalu saling kontak dengan Bapak Purbocaroko yang lebih senior, sehingga beliau memanggilnya “Kangmas Purbo.”

Demikian juga studi banding agama Islam dengan agama-agama lain, beliau lakukan sendiri tanpa guru. Dalam almari dan meja tulis beliau, terdapat kitab suci dari berbagai agama: Kristen, Katolik, Hindu, Buddha, Konghucu, dll. Kitab Injil-nya juga ada berderet-deret, berasal dari bermacam versi yang beliau pelajari.

Saya kira, itulah sebabnya beliau haqul yakin bahwa agama yang benar adalah Islam yang dianutnya, karena beliau sudah menelaah semua agama yang ada, dibanding-bandingkan antar yang satu dengan yang lainnya.

Saya ingat, kalau berangkat mengajar ke MULO Malang (juga di HIK, SMP I Negeri maupun SGA Negeri di Jogja), beliau selalu naik sepeda, dengan tas kerja digantung di ril sepeda (besi panjang antara stang dan sadel). Karena selalu berbusana Jawa bersarung kain batik tulis dan jas tutup putih, maka ketika hendak naik sepeda, beliau selalu duduk di sadel dulu, baru kemudian menggenjot pedalnya.

Pada zaman Belanda, beliau adalah satu-satunya pribumi yang mengajar di sekolah-sekolah di atas, selebihnya bule (orang Belanda).

Bapak selalu rapi dalam berbusana. Kain batiknya selalu diwiru lebarnya tiga hingga empat jari, sampai sedikitnya sembilan lipatan. Yang membuat wiron adalah Yu Saodah, sepupu Ibu dari Purwokerto, yang juga punya tugas mengasuh adikku, Titiek.

Jas tutupnya harus putih, yang selalu dicuci bersih lalu dikanji dan disetrika licin-licin. Beliau memakai udeng atau blangkon model Solo, sedang sandalnya berupa sandal jepit dari kulit yang bagus bernama “cripu”.

Selaku pribadi, beliau anteng, bahkan hampir-hampir dingin sikapnya, tidak pernah bercanda atau tertawa ngakak. Biasanya beliau tidak berbicara kalau tidak perlu. Berbicaranya halus dan pelan, baik dalam kehidupan di rumah sehari-hari maupun dalam berceramah. Tetapi waktu khotbah atau ceramah dalam pengajian selalu menarik pendengarnya.

Ini saya ingat, karena sejak saya di SMP (1949), di dalem Tjokrokusuman No. 3, beliau selalu mengadakan pengajian tiap hari Minggu. Waktu saya masih di Jogja, pengajian diadakan bergantian di sana atau di rumah Bapak Kaelan di Jetis, Lor Tugu.

Kehalusan Bapak ini juga dikatakan oleh suami saya, Mas Pom (Soepomo Aslar). Antara tahun 1956-1958, sebelum menikah dengan saya, ia menjadi instruktur Akmil di Magelang. Di waktu itu, ia selalu datang tiap Minggu mengikuti pengajian yang diadakan Bapak. Demikian juga kesaksian Bapak Aslar Martodiwiryo, mertua saya,  yang ternyata juga salah seorang murid Bapak waktu bersekolah di HIK Probolinggo, Jawa Timur.

Namun pada waktu-waktu tertentu, beliau toh bisa hangat dan bisa banyak bicara. Misalnya waktu beliau berkisah tentang masa kecil beliau. Beliau berkisah soal bagaimana kehidupan keluarga Mbah Sawit (Kyai Mangunharjo, Penghulu Naib di Sawit, Boyolali) di masa paceklik, sehingga beliau pernah jatuh pingsan pada watu berjalan pulang dari sekolah karena kelaparan.

Pada waktu malam selepas shalat Isya, sering beliau duduk di kursi rotan tua di teras Tjokrokusuman, dan ndongengi kami, anak-anak yang mengelilingi beliau, tentang “Cipak-cipik cipak-cipik. Sapa kuwi? Capalinah! Nggolek jangan apa? Jangan ulo! Gedhene sepira? Sak lumbung bandung, matane sak kenong.” juga dongeng lainnya.

Kenangan Masa Tinggal di Malang

Saya masih ingat bentuk rumah Klojen Kidul, Malang. Rumah itu mempunyai pavilyun, dan kakak saya yang sudah besar-besar tinggal di pavilyun itu. Di belakang rumah ada pagar tembok tinggi dan pohon bambu dengan pintu keluar, darimana kami dapat turun dan bermain-main di Kali Berantas.

Yang rajin mengajak bermain saya adalah Yu Fatim (Siti Sayyidah Fatimah) dan Yu Tatiek (Sri Soehartatie). Saya ingat pernah diajak membeli permen coklat di toko kecil yang letaknya di jalan raya di luar gang, dan harus melewati rumah yang ada anjing besarnya, hitam dan galak. Waktu kami lewat di muka rumah itu, tiba-tiba anjing itu menyalak. Saya ketakutan sekali dan menangis, sehingga kedua mbakyu saya yang masih kecil-kecil itu bergantian menggendong saya di punggungnya.

Waktu adik saya Yayak (Hidayatullah Al-Muqtadir) lahir, saya ikut Eyang Lurah dan Mas Mad (Ahmad Muhammad) menengok Ibu, yang melahirkan di klinik dr. Surodjo di Jalan Sukun. Di depan klinik ada zeikenhuiz (rumah sakit yang sekarang menjadi RS Tentara) dengan halaman yang luas yang ditanami pohon kenari dan pohon asem.

Pada waktu ada angin kencang, buah asam dan kenari berjatuhan. Maka saya pun diajak lari mengumpulkan buah-buah yang berjatuhan. Kenari itu dipukuli Mas Mad memakai batu, dan saya diberi isinya untuk dimakan. Rasanya nikmat sekali.

Kadang-kadang saya diajak bermain-main ke alun-alun bunder yang ada air mancurnya, dan yang terletak tidak seberapa jauh dari Klojen Kidul. Hanya itu yang saya ingat dari masa kecil di Malang.

 

Pindah ke Jogja

Pada waktu Bapak pindah dari Malang ke Jogja (tahun 1939), kami semua naik kereta api ekspress yang waktu itu sebutannya kalau tidak salah eendagse, karena perjalanan sampai ke Jogja lamanya satu hari.

Kami semua anak perempuan memakai baju yang sama, tidak dibedakan, yaitu katun kotak-kotak biru, yang dibuatkan sebelumnya oleh Mbakyu Qodar. Rambut kami masing-masing dipasang pita merah di kepala, kecuali Yu Is (Siti Aisyah Iswari) yang rambutnya sudah panjang dan dikepang dua, memakai pita di ujung kepangnya.

Dalam kereta api kami makan sangu ketupat dan ayam goreng, yang sebelumnya dimasak Eyang Lurah puteri. Waktu itu beliau sarimbit datang ke Malang dan ikut membantu boyongan ke Jogja.

Di Jogja, keluarga Bapak berpindah-pindah rumah beberapa kali. Waktu datang dari Malang bertempat tinggal di Kweekschoolaan Jetisardjo No. 13, rumah dinas untuk guru Holands Inslinde Kweekschool (HIK), dimana Bapak mengajar. Kemudian berturut-turut pindah rumah ke Jalan Kertonedan (1941, sekarang Jalan Mataram), Jalan Sumbing No. 20 Kotabaru (1943), Terban Taman No. 21 (sesudah Proklamasi 1945), kembali lagi ke Jetisardjo No. 13 (1947).

Lalu di masa pendudukan Belanda/clash kedua, tahun 1948, pindah ke Jetisardjo No. 1. Kemudian menggeser ke rumah di belakangnya, yaitu jalan Tjokrokusuman No. 1 (1949). Waktu rumah Pak Rusli kosong, karena keluarga tersebut ikut konvoi pindah dari Jogja (akibat agresi militer Belanda), Bapak sekeluarga pindah ke rumah tersebut, di Tjokrokusuman No. 3.

Terakhir, Bapak sekeluarga pindah ke Kompleks PIRI, Jalan Kemuning Baciro. Pindah rumah yang terakhir ini tidak saya alami, karena waktu itu saya sudah di Bogor.

 

Riwayat Dari Hj. Sri Koesdiati Soepomo (Anak Djojosoegito)

Sumber: Buku “Mengenang Perjuangan Rd. Ngb. H. Minhajurrahman Djoyosugito,” Souvenir Silaturahmi Akbar Keluarga Djoyosugito, 2015.

Yuk Bagikan Artikel Ini!