Sebagai bangsa yang berketuhanan Yang Maha Esa, sudah barang tentu kepemimpinan nasional yang kita cari di Indonesia adalah pola kepemimpinan yang rabbanian atau teosentris. Yang dimaksud di sini adalah kepemimpinan yang berpusat dan berorientasi kepada Tuhan, bukan pemimpin yang berorientasi kepada kekuasaan atau kedudukan. Dalam hal ini, ketuhanan menjadi sumber tertinggi dalam semua ajaran moral dan etika sang pemimpin.
Orientasi ketuhanan dalam kepemimpinan akan memunculkan sikap pelayanan. Kehadiran seorang pemimpin bukanlah untuk dilayani, melainkan untuk melayani banyak orang. Bahkan jika perlu, ia akan rela menyerahkan nyawanya demi kesejahteraan bangsa dan negaranya.
Prinsip ini diajarkan oleh Nabi Isa Al-Masih, atau Yesus Kristus dalam khazanah Kristen, sebagaimana bisa kita baca di bawah ini:
“Kamu tahu bahwa pemerintah bangsa-bangsa memerintah rakyatnya dengan tangan besi, dan pembesar-pembesar menjalankan kuasanya dengan keras atas mereka. Tidaklah demikan (hendaknya) di antara kamu. Barang siapa ingin menjadi besar di antara kamu, hendaklah menjadi pelayanmu. Dan barang siapa ingin terkemuka di antara kamu, hendaklah ia menjadi hambamu. Sama seperti Anak Manusia: datang bukan untuk dilayani, melainkan untuk melayani, dan untuk memberikan nyawa-Nya menjadi tebusan bagi banyak orang” (Matius 20:25-28).
Pola ideal kepemimpinan rabbani yang dipersonifikasikan oleh Isa Al-Masih sebagai “Anak Manusia” itu diperagakan oleh Nabi Suci Muhammad saw. Dan secara kebetulan, ungkapan “Anak Manusia” itu juga digunakan untuk seorang tokoh yang dinubuatkan oleh Nabi Daniel, yang hidup sekitar tahun 600 sebelum tarikh Masehi.
Di samping itu, Rasulullah saw. sendiri menyatakan bahwa ia hadir untuk menggenapi nubuat para nabi sebelumnya, antara lain seperti yang dinubuatkan oleh Nabi Daniel dan Yesus Kristus ini.
Tentang “Anak Manusia” ini, Daniel menubuatkan, “Diberikan kepadanya kekuasaan dan kemuliaan, dan kekuasaan sebagai raja. Maka orang-orang dari segala bangsa, suku bangsa dan bahasa, mengabdi kepadanya. Kekuasaannya ialah kekuasaan yang kekal, yang tiada akan lenyap, dan kerajaannya ialah kerajaan yang tidak akan musnah” (Daniel 7:14).
Gambaran dalam Nubuatan Daniel itu sangat cocok dengan pribadi Rasulullah Muhammad saw. Sampai hari ini, wilayah kekuasaan beliau dapat disaksikan oleh berbagai mata di dunia. Antara lain kawasan Timur Tengah yang, berdasar nubuat Daniel juga, dahulu dikuasai oleh Babilonia. Secara beruntun, Timur Tengah pernah pula dikuasai oleh Persia, Makedonia, dan Romawi. Dan terakhir dikuasai oleh Islam, yang dilambangkan dalam nubuat Daniel sebagai “Batu Gunung.” (baca Kitab Nabi Daniel fasal 2).
Oleh karena kekuasaan yang dikaruniakan kepada Rasulullah saw. itu amat luas, dalam arti bukan hanya mencakup persoalan politik saja, maka tepatlah manakala beliau dijadikan sebagai teladan yang baik (uswatun hasanah) dalam segala aspek kehidupan manusia.
Sekiranya Rasulullah saw. tak memimpin pasukan, niscaya beliau tak dapat menjadi contoh bagi seorang jendral yang memimpin pasukan dalam pertempuran. Sekiranya beliau tak menjalankan perang, niscaya beliau tak dapat menjadi contoh bagi seorang prajurit yang menyabung nyawa untuk membela kebenaran, keadilan dan kemerdekaan.
Sekiranya Rasulullah saw. tak membuat undang-undang sebagai petunjuk bagi para pengikut beliau, niscaya beliau tak dapat menjadi contoh sebagai anggota legislatif. Sekiranya beliau tak memutuskan perkara, niscaya beliau tak dapat menjadi pelita bagi hakim dan jaksa.
Sekiranya beliau tak kawin, niscaya beliau membiarkan orang-orang tanpa petunjuk dalam mengerjakan sebagian tugas manusia sehari-hari, dan tak dapat memperlihatkan bagaimana seorang suami harus bersikap manis dan kasih sayang kepada istri, dan bagaimana seorang ayah harus mencintai anak-anaknya.
Sekiranya beliau tak membalas kaum lalim akan kekejaman mereka terhadap orang-orang yang tak bersalah, dan sekiranya beliau tak dapat mengalahkan musuh yang aniaya, dan sekiranya beliau tak mengampuni mereka, dan mengabaikan kesalahan mereka yang dekat kepadanya, niscaya beliau tak dapat menjadi teladan yang baik dan contoh yang mulia.
Atas dasar berbagai ayat Quran maupun hadits Nabi, seseorang dijadikan pemimpin harus atas dasar musyawarah, atau dipilih secara demokratis.
Adapun tipe pemimpin ideal atau pemimpin rabbanian itu, masih menurut Qur’an dan Hadits, antara lain sebagai berikut:
Pertama, pemimpin yang memiliki kapasitas dan kapabilitas. Kepemimpinan dasarnya bukanlah keturunan, bukan pula kekayaan ataupun banyaknya pengikut. Bukan pula atas dasar jenis kelamin. Tetapi, seorang pemimpin harus dipilih atas dasar kemampuannya.
Kedua, pemimpin yang bertaqwa dan berbudi pekerti luhur (akhlakul karimah). Seorang pemimpin harus menjadi teladan (uswah hasanah) bagi yang dipimpinnya. Manakala seorang pemimpin tidak bisa ditiru dan digugu, maka dipastikan kepemimpinannya tidak juga bisa dianut dan ditaati.
Ketiga, pemimpin yang amanah. Sebuah jabatan atau kedudukan adalah amanah yang harus dipertanggungjawabkan. Pemimpin rabbanian sadar betul bahwa jabatannya tidak hanya dipertanggungjawabkan kepada rakyat yang telah memilihnya, tetapi juga kepada Allah SWT.
Keempat, pemimpin yang berpola hidup sederhana. Seorang pemimpin tak boleh menunjukkan kemewahan (flexing), tidak boleh pula menumpuk harta kekayaan, apalagi kekayaan itu didapatkan dari hasil korupsi. Dan karena mendapat gaji dari negara, maka seorang pemimpin tak boleh juga menerima hadiah (gratifikasi) atau pun suap dari rakyat.
Dengan hadirnya para pemimpin yang memiliki pola dan tipe kepemimpinan rabbanian di atas, insya allah nuansa masyarakat madani di Indonesia dapat segera diwujudkan.[]
- Judul Asli: Kepemimpinan Rabbani
- Penulis: K.H. Simon Ali Yasir (Ketua Umum PB GAI Masa Bakti 1995-1999)
- Ditulis Ulang dan disunting oleh Asgor Ali
Comment here