AkademikaArtikelSejarah

Gerakan Islam Ahmadiyah di Modjokuto

Catatan Redaksi : Mojokuto adalah nama lain dari Desa/ Kelurahan Pare, Kabupaten Kediri. Sekarang dikenal Kecamatan Pare. Kota kecil ini juga dikenal Kota Mastrip (tempat perjuangan para tentara pelajar). Dan untuk mengenang perjuangan mereka, telah dibangun Patung Mastrip di tengah Kota Pare.

 

Oleh: Nu’man Iskandar, MA[1]

 

Latar Belakang Kelahiran Ahmadiyah

Kelahiran Ahmadiyah merupakan bagian dari perjalanan gerakan besar Islam yang muncul dari situasi kondisi umat Islam pada abar 19 di India. Terjadi sebelum Pakistan memisahkan diri dari India. Menurut Lothrop Stoddard, peristiwa awal abad 19 di India tersebut merupakan rentetan dari kekalahan Turki Usmani dalam perebutan Benteng Wina tahun 1683, dimana negara-negara ‘Barat’ bangkit dan bersemangat menaklukkan wilayah-wilayah kekuasan Islam.

Penaklukan secara besar-besaran telah dimulai pada awal abad ke-18 dengan dikuasainya Mesir dan India oleh Inggris, Afrika Utara oleh Perancis, dan Asia (Tenggara) oleh Portugal dan Belanda. Daerah-derah tersebut sebelumnya merupakan daerah ekspansi kekuasaan Islam. Kemajuan ‘Barat’ ini didorong oleh semangat revolusi industri dan banyaknya penemuan teknologi baru yang menunjang ekspansi mereka seperti alat penunjuk arah (kompas), mesin dan persenjataan.[2]

Setelah menguasai wilayah jajahan, sikap ‘Barat’ terhadap Islam selalu dalam kecurigaan. Inggris yang menguasai India memperlakukan Islam dan Hindu secara berbeda. Pemeluk Hindu selain dianggap lebih kooperatif terhadap pemerintah jajahan (Inggris), sebelumnya pada tahun 1857 terjadi pemberontakan Mutiny yang menimbulkan kecurigaan yang berkepanjangan terhadap umat Islam India oleh Inggris.[3] Keadaan ini menjadikan umat Islam jatuh pada sikap ortodoksi dan fatalis. Sifat-sifat eksklusif menjangkiti umat muslim. Kondisi inilah yang menurut Maulana Muhammad Ali menjadi latar belakang munculnya Gerakan Ahmadiyah.[4]

Selain sebab-sebab di atas, menurut Wilfred C. Smith, setidaknya ada beberapa hal yang melatarbelakangi kelahiran Ahmadiyah. Pertama, lahir dari sebuah huru-hara dari runtuhnya masyarakat Islam lama, dari masyarakat merdeka menjadi masyarakat jajahan, sehingga  umat Islam India mengalami kemerosotan yang luar biasa dalam segala hal. Kedua, akibat infiltrasi budaya baru ‘Barat’ dan serangan missionaris Kristen pada umat Islam India sebagai konsekwensi wilayah jajahan. Ketiga, perbedaan paham atas rasionalisme dan westernisasi yang dibawa oleh Sayyid Ahmad Khan.[5]

Menurut Muslih Fathoni, Sayyid Ahmad Khan menginginkan agar umat muslim bisa memperoleh kemajuan dan kesuksesan yang dicapai oleh bangsa-bangsa Eropa. Sedangkan menurut Mirza Ghulam Ahmad, kemajuan dan kesuksesan tersebut dapat diperoleh dalam perlindungan politik Inggris.[6]

Ahmadiyah lahir di Qadian, India. Ajaran dan organisasi tersebut dibawa dan didirikan oleh Mirza Ghulam Ahmad. Mirza Ghulam Ahmad lahir pada tahun 1835, putra dari Mirza Ghulam Murtadha. Nenek moyangnya berasal dari Samarkand dan pindah ke India pada tahun 1530-an. India waktu itu masih dalam kekuasaan Dinasti Mughal, sebelum akhirnya ditaklukkan Inggris tahun 1858 M.[7] Menurut cerita, kota Qadian dibangun nenek moyang Mirza Ghulam Ahmad. ‘Mirza’ dalam namanya diambil dari sistem kebangsawanan dalam dinasti Mughal.[8]

Ada banyak versi tentang asal nama Ahmadiyah. Menurut Maulana Muhammad Ali, Ahmadiyah diambil dari salah satu nama Rasulullah,[9] diambil dari Al-Qur’an Surat Ash-Shaff (61:6). Menurut Muslim Fathoni, kata ‘Ahmad’ dalam QS Ash-Shaff tersebut oleh pendirinya diterjemahkan sebagai ‘Mirza Ghulam Ahmad’, sebagai penegas dan mengukuhkan tugas kemahdiannya, sehingga Ahmadiyah memiliki arti sebagai pengikut Mirza Ghulam Ahmad.[10]

Namun dalam beberapa pengertian Ahmadiyah dari sumber resmi yang dikeluarkan Ahmadiyah, Ahmadiyah bukan merujuk pada Mirza Ghulam Ahmad, tetapi Ahmadiyah dinisbatkan sebagai pengikut Nabi Muhammad. Posisi Mirza Ghulam Ahmad sendiri sebagai mujaddid, bukan sebagai agama dengan nabi sendiri di luar Islam. Ahmadiyah sebagai gerakan Islam.[11]

Sesudah banyak mempelajari Islam, pada tahun 1884 Mirza Ghulam Ahmad mengikrarkan diri sebagai mujaddid, pembaharu dalam Islam yang lahir pada abad 14.[12] Kontroversi pendiri Ahmadiyah ini adalah pada saat berumur 50 tahun (1888) dengan menyatakan diri sebagai Mesias yang dijanjikan agama Nasrani dan Imam Mahdi sebagaimana dalam doktrin Islam.[13] Imbas dari kontroversi tersebut dalam perkembangannya Ahmadiyah banyak mengalami hambatan dan tantangan dalam penyebarannya.

Nama Ahmadiyah sendiri oleh Mirza Ghulam Ahmad diproklamirkan penggunaannya pada 4 November 1900. Sejak itu nama Ahmadiyah dimasukkan dalam catatan resmi pemerintah kolonial Inggris.[14] Pada tahun 192 Ahmadiyah membuka cabang di Inggris dan pada tahun 1922 di Jerman Barat.[15]

Pasca meninggalnya Mirza Ghulam Ahmad di tahun 1905, terjadi perpecahan di antara pengikutnya, dimulai sejak tahun 1908. Kelompok pertama dipimpin oleh Khawaja Kamaluddin dan pergi ke Lahore dan kemudian mendirikan Anjuman Isha’ati Islam (perkumpulan untuk menyebarkan agama Islam). Sedangkan yang lain tetap tinggal di Qadian di bawah pimpinan Mirza Bashiruddin Mahmud Ahmad, putra Mirza Ghulam Ahmad. Perpecahan antara Lahore dan Qadian ini pada masa selanjutnya menimbulkan perbedaan besar, baik dalam gerakan maupun keilmuan yang berkembang di kemudian hari.

 

Sejarah Masuknya Ahmadiyah ke Indonesia

Ahmadiyah masuk pertama dan berkembang di Indonesia (nusantara) awal tahun 1920-an dari Tapak Tuan (Aceh) yang kemudian menyebar ke seluruh Sumatra dibawa oleh para pelajar. Persinggungan pertama pelajar muslim Sumatra dengan Ahmadiyah pertama dari buku-buku dan majalah-majalah yang terbit di luar negeri (terutama Inggris) dan yang sampai di Indonesia. Pelajar tersebut banyak di antaranya dari Sumatra Thawalib. Beberapa orang murid Haji Rasul di Sumatra Thawalib di antaranya menjadi penyebar dan ulama Ahmadiyah di Tapak Tuan, seperti Guru Muhammad Isa dan Ahmad Syukur.[16]

Buku dan majalah tersebut mengakibatkan pergeseran kiblat pendidikan Islam yang tidak lagi di Mesir (Kairo) dan Makkah (Hijaz), apalagi pada saat yang bersamaan kondisi politik dalam negeri Mesir dan Makkah tidak menguntungkan. Kairo dan Makkah saling berebut menjadi pengganti kekhalifahan Turki Usmani yang baru saja dibubarkan Mustafa Kemal Attaturk. Ditambah lagi, dari beberapa alumni dan pelajar dari India mengabarkan pendidikan di India lebih murah dan bagi yang tidak mampu akan mendapat bantuan wakaf dari sekolah (beasiswa). Pengajian-pengajian agama Islam di Tapak Tuan bahkan langsung diajar dari guru yang datang dari India, Maulvi Rahmat Ali.[17]

Perkembangan Ahmadiyah di Sumatra mendapat tantangan besar dari ulama, terutama dari ulama-ulama Minangkabau sebagai basis pergerakan Islam modernis dipimpin oleh Haji Rasul, meski juga penyebar Ahmadiyah juga merupakan murid Haji Rasul sendiri, seperti Zaini Dahlan, Abu Bakar Ayub dan Ahmad Nuruddin, sebagai alumni Sumatra Thawalib. Ketiga tokoh terakhir yang disebut adalah sahabat Hamka pada waktu di Sumatra Thawalib.[18]

Tantangan itu terutama pada masalah pokok yang menganggap Ahmadiyah tidak lagi sesuai dengan doktrin pokok Islam. Akibat pertentangan yang luar biasa dari ulama Minangkabau pimpinan Haji Rasul, para ulama Ahmadiyah kemudian pindah ke Jawa. Peristiwa ini jika dilihat dari sejarah pertentangannya, terutama dilihat dari suduh pandang ideologis faham keberagamaan, pertentangan tersebut adalah buah dari pertentangan masa lalu ideologis-politis dalam penyebaran Islam di Sumatra.

Samudra Pasai sebagai Kerajaan Islam pertama di Nusantara berfaham Syiah, karena memiliki afiliasi dengan Bani Fathimiyah di Mesir. Madzhab Syiah ini yang menjadi dasar perkembangan Islam di Sumatra. Namun pasca kemenangan Gerakan Padri dalam faham keagamaan, Padri berhaluan Hambali Su’udi (Wahabi), faham Syiah mengalami kemunduran dan pudah digantikan Hambalisme. Hambalisme ini kemudian juga digantikan Syafi’isme. Hanya saja Hambalisme masih kuat di beberapa daerah seperti Minangkabau.[19]

Hambalisme yang masih kuat di beberapa daerah di Sumatra ini menjadi batu sandungan kuat semua gerakan yang secara ajaran dan ideologis bertentangan. Setidaknya hal ini yang menjadi alasan lain hambatan ajaran Ahmadiyah berkembang di Sumatra, selain karena paham ajarannya yang dianggap menyimpang.

 

Ahmadiyah Lahore dan Qadian: Kelahiran dan Perkembangannya di Indonesia

Sebagaimana disinggung sebelumnya, Ahmadiyah yang telah terbagi dalam dua aliran, Lahore dan Qadian, keduanya memiliki sejarah yang berbeda dalam pertumbuhan awal dan perkembangannya, terutama di Tanah Jawa. Persamaannya, kedua aliran ini ketika masuk ke Pulau Jawa, ternyata Pulau Jawa menjadi tempat subur dalam pertumbuhan dan perkembangannya, suatu keadaan yang sangat sulit terjadi di Sumatra. Paham keberagamaan di Jawa pada umumnya bermazhab Syafi’i dan dengan kondisi sosiologis serta situasi sosial yang sama sekali berbeda dengan Sumatra.

Masuknya kedua aliran Ahmadiyah tersebut di Jawa, Ahmadiyah Lahore pertama masuk di Yogyakarta dibawa oleh Mirza Wali Ahmad Baig tahun 1921, sedangkan aliran Qadian dibawa oleh Maulvi Rahmat Ali pada tahun 1924,[20] setelah pindah dari Tapak Tuan ke Jakarta. Hal ini untuk membedakan dengan kedatangan Ahmadiyah dari Lahore yang tidak banyak menimbulkan gerakan penentangan para ulama (khususnya di Jawa), perkembangan Ahmadiyah aliran Qadian yang berkembang di Jawa akibat pertentangan yang kuat dari ulama Minangkabau pimpinan Haji Rasul hingga kemudian di Jawa Ahmadiyah mampu berkembang.

Di Indonesia, sejak awal Ahmadiyah ini tidak menekuni (mencampuri) masalah politik dalam penyebarannya, ajarannya hanya mempersoalkan prinsip-prinsip keagamaan dalam Islam. Karena itu, dalam hal pokok-pokok doktrin ajaran dan dakwah Islam, Ahmadiyah (Qadian) bersinggungan sejak awal atau bahkan bertentangan dengan Persatuan Islam (Persis) yang didirikan oleh Ahmad Hasan pada tahun 1920-an, terutama tentang peran dan kedudukan Mirza Ghulam Ahmad dalam Ahmadiyah.[21] Karena tidak menekuni masalah politik, Ahmadiyah juga dianggap tidak nasionalis karena tidak peduli dengan masalah kemerdekaan. Hal ini yang menjadikan gerakan kemerdekaan kurang memperhitungkan keberadaan Ahmadiyah.

Menarik hasil penelitian Howard M. Federspiel tentang hubungan Persis dengan Ahmadiyah. Setidaknya Ahmad Hasan pernah melakukan debat dengan Ahmadiyah Qadian yang pada waktu itu dipimpin oleh Maulvi Rahmat Ali pada tahun 1933 dan 1934, terjadi tiga kali perdebatan. Perdebatan itu dipublikasikan dalam majalah Pembela Islam yang diterbitkan Persis.[22] Dalam konsep kenabian, Ahmad Hasan membukukannya dalam kitab An-Nubuwwah.[23]

Perkembangan Ahmadiyah Lahore dan Ahmadiyah Qadian di Indonesia sangat berbeda. Jika Ahmadiyah Qadian banyak mengalami pertentangan, hal tersebut tidak berlaku bagi Ahmadiyah Lahore.

Perkembangan Ahmadiyah Lahore di Indonesia tidak dapat dilepaskan dari Sarekat Islam dan Muhammadiyah. Di Sarekat Islam, Mirza Wali Ahmad Baig ini berteman akrab dengan HOS Cokroaminoto sebagai tokoh penting Sarekat Islam[24] dan di Muhammadiyah bersahabat akrab dengan Erfan Ahmad Dahlan,[25] putra KH Ahmad Dahlan, pendiri Muhammadiyah. Mungkin berawal dari persahabatan, hingga Erfan ini menjadi pengikut dan salah satu aktor penting dalam penyebaran Ahmadiyah di Yogyakarta.

Demikian juga dengan AR Sutan Mansur yang menjadi teman seperjuangan Mirza Wali Ahmad Baig yang ketika itu menjadi Ketua PB Muhammadiyah. Hubungan keduanya menjadi merenggang setelah AR Sutan Mansur mendapat teguran keras dari mertuanya, Haji Rasul, tentang doktrin dan kedudukan Mirza Ghulam Ahmad dalam Ahmadiyah yang dianggap sebagai nabi.[26]

Pandangan Haji Rasul ini terutama pada pandangan pada Ahmadiyah Qadian. Pandangan Haji Rasul terhadap Ahmadiyah adalah pada persinggungannya dengan Maulvi Rahmat Ali. Sehingga dalam melihat Wali Ahmad Baig, Haji Rasul menyamakannya dengan Maulvi Rahmat Ali. Ini adalah awal pertama kerenggangan hubungan antara Ahmadiyah dan Muhammadiyah dan menjadi yurisprudensi kerenggangan hubungan Ahmadiyah dan Muhammadiyah di kemudian hari, sebagai akibat keretakan hubungan AR Sutan Mansur dan Wali Ahmad Baig.

Karena itu, untuk memperkuat barisan, Ahmadiyah pimpinan Wali Ahmad Baig pada bulan September 1929 di Yogyakarta mendirikan perkumpulan dengan nama De Ahmadiyah Beweging Indonesia, lebih sering disebut dengan Gerakan Ahmadiyah Indonesia (GAI)[27] atau lebih dikenal dengan Ahmadiyah Lahore. Sedangkan Ahmadiyah Qadian berada di Jakarta yang berpindah ke Parung, Bogor yang lebih dikenal dengan Jemaat Ahmadiyah Indonesia (JAI). Dalam rumusan ajarannya, Ahmadiyah Lahore memiliki doktrin pokok sebagai dasar perjuangannya, yaitu:[28]

  1. Quran adalah kitab suci terakhir, dasar dan arah hidup terbaik untuk manusia.
  2. Keyakinan bahwa Nabi Muhammad adalah nabi penutup dan sesudahnya tidak ada nabi lagi. Bahwa Nabi Muhammad adalah contoh yang terbaik bagi manusia, dan oleh karena itu manusia harus meneladaninya.
  3. Pengakuan bahwa sesudah mihrad Nabi Muhammad akan datang mujaddid dan pengakuan bahwa Hazrat Mirza Ghulam Ahmad adalah Mujaddid dari abad 14 Hijriyah.

Dari doktrin tersebut, Ahmadiyah (Lahore) kemudian menyebar ke seluruh penjuru nusantara dengan berbagai bentuk adaptasi, sehingga model gerakan Ahmadiyah awal dengan model yang telah tersebar memiliki perbedaan-perbedaan yang terkadang bertentangan. Perkembangan gerakan Islam pada masa perjuangan kemerdekaan menyebabkan Ahmadiyah juga menyebar bersama gerakan Islam lain, terutama seperti Sarekat Islam dan Muhammadiyah sebagai gerakan Islam yang telah eksis terlebih dahulu, hingga akhirnya Ahmadiyah (Lahore) sampai di Mojokuto.

 

Ahmadiyah di Modjokuto: Gerakan Ahmadiyah Indonesia (GAI)

Sebagaimana Ahmadiyah di Yogyakarta, pertumbuhan dan perkembangan Ahmadiyah di Mojokuto juga tidak bisa dilepaskan dari dakwah Muhammadiyah. Pada masa awal, dalam penyelenggaraan berbagai kegiatan dakwah, Ahmadiyah hampir selalu bersama Muhammadiyah. Pada masa awal pertumbuhannya, kegiatan Ahmadiyah pertama dipusatkan di lembaga-lembaga pendidikan Muhammadiyah.[29] Apalagi beberapa tokoh-tokoh Muhammadiyah dan tokoh Ahmadiyah di Modjokuto memiliki kesamaan pandangan politik pada saat mereka berada dan menjadi pimpinan Masyumi.

Sebagai faham, Ahmadiyah di Modjokuto telah dikenal sejak sebelum kemerdekaan,[30] akan tetapi secara organisasi baru berdiri tahun 1963 di Desa Templek.[31] Pertama dibawa dan disebarkan oleh K.H. Burhanul Arifin, nama kecilnya Sarwo Wibowo Burhanul Arifin. KH Burhanul Arifin ini menamatkan pendidikannya di sekolah Belanda dengan pendidikan agama di beberapa pesantren. KH Burhanul Arifin juga pernah belajar di Yogyakarta dan pernah menjadi murid Wali Ahmad Baig. Alasan terakhir ini yang memungkinkan KH Burhanul Arifin mengenal Ahmadiyah dan kemudian mendirikan Ahmadiyah di Modjokuto.

Perkembangan Ahmadiyah di Modjokuto pada periode pertama hanya diikuti oleh 6 orang, satu di antaranya adalah seorang perempuan bernama Caroline, seorang mualaf asal Belanda yang hingga akhir hayatnya di Modjokuto dipersembahkan untuk Ahmadiyah. Oleh warga setempat, ia lebih sering disebut dengan Nyonya Caroline. Tokoh-tokoh lain di antaranya Yatmin, Sukemi, Haji Idris, Ngateman dan Qodirin. Tokoh-tokoh tersebut di antaranya asli dari Modjokuto, akan tetapi dalam silsilah keturunannya berasal dari pesisir utara Pulau Jawa.

Cikal bakal Ahmadiyah adalah Serikat Buruh Islam Indonesia (SBII), salah satu organisasi sayap di bawah naungan Masyumi. Ketua SBII sejak awal didirikan hingga Masyumi membubarkan diri tahun 1959 di Modjokuto dijabat oleh KH Burhanul Arifin sendiri. Dalam masa perjuangannya bersama Masyumi, KH Burhanul Arifin bersahabat dekat dengan Moh. Roem, KH Kahar Muzakkir dari PP Muhammadiyah.

Hampir semua tokoh nasional dari Masyumi yang pernah singgah di Modjokuto memiliki hubungan persahabatan akrab dengan KH Burhanul Arifin. Di tingkat lokal, KH Burhanul Arifin ini seangkatan dengan Ustadz Yazid (Muhammadiyah), yang saat itu menjadi Ketua Dewan Syura Masyumi.

Komunikasi antar tokoh tersebut semakin intensif, termasuk dengan Mohammad Sarjan, yang ketika itu menjabat Ketua Pusat STII (Sarekat Tani Islam Indonesia) dan menjadi Menteri Pertanian pada Kabinet Wilopo. Mohammad Sarjan ini meski tidak lahir di Modjokuto, namun lebih dikenal sebagai orang asli Modjokuto karena besar di Modjokuto.

Rapat-rapat Masyumi banyak dilaksanakan di rumah Mohammad Sarjan[32] sampai kemudian Masyumi membubarkan diri tahun 1959. Dengan demikian, tersumbatnya kegiatan SBII akibat dipaksa bubarnya Masyumi oleh Presiden Soekarno, Ini juga menjadi penyebab lahirnya Ahmadiyah (Lahore) di Modjokuto, sebab pada saat yang bersamaan, aktifitas SBII tidak dapat terwadahi oleh organisasi lain meski memiliki kedekatan dengan Muhammadiyah.

Dari kampung Templek, Ahmadiyah kemudian menyebar di pusat kota Modjokuto dan ke beberapa desa dan kecamatan lain di sekitar Modjokuto, seperti Pranggang (Kec. Plosoklaten), Tegowangi (Kec. Plemahan), Semut (Kec. Pagu), Wonorejo (Kec. Kepung). Dan pada saat ini, berpusat di Desa Adan-Adan (Kec. Gurah). Bahkan lahirnya Ahmadiyah di Kab. Blitar, seperti di daerah Kec. Udan Awu dan Ponggok, serta di Oro-Oro Ombo (Kab. Jombang) juga tidak dapat dilepaskan dari tokoh-tokoh Ahmadiyah di Modjokuto, dari jaringan SBII yang telah dimiliki oleh KH Burhanul Arifin.

Dalam perkembangannya, Gerakan Ahmadiyah di Modjokuto tidak seperti organisasi atau gerakan Islam lain yang agresif dan mencolok dalam penyebaran dan dakwahnya. Ahmadiyah yang lahir dari rahim SBII di Modjokuto ini tetap membaur menjadi satu dengan organisasi atau kelompok-kelompok yang telah ada sebelumnya pada tempat itu, terutama NU, Muhammadiyah, dan tarekat-tarekat yang banyak dan tersebar luas di Modjokuto.

Di pusat kota Modjokuto, Ahmadiyah pada masa awal lebih identik dengan Muhammadiyah, yang oleh karena itu pegiat masjid Ahmadiyah[33] di pusat kota Modjokuto justru lebih banyak dari kalangan warga dan tokoh-tokoh Muhammadiyah. Sebelum Muhammadiyah membangun dan memiliki banyak masjid dan pusat kegiatan sendiri sebagaimana sekarang ini, aktifitas Muhammadiyah banyak melakukan aktifitas di masjid yang didirikan oleh tokoh-tokoh Ahmadiyah, di samping Muhammadiyah melakukan kegiatannya sendiri, terutama di kampung-kampung basis Muhammadiyah.

Kedua organisasi ini saling pengaruh-mempengaruhi. Sebagaimana telah disinggung sebelumnya, aset-aset Ahmadiyah maupun Muhammadiyah digunakan secara bersama. Perbedaannya, secara organisasi Muhammadiyah lebih teratur dan tertib, dan dikelola berdasarkan prinsip-prinsip organisasi. Sementara, Ahmadiyah lebih menunjukkan ketokohan seseorang, sehingga pasca ketiadaan tokoh, Ahmadiyah mengalami kemunduran. Setelah KH Burhanul Arifin wafat, kegiatan-kegiatan Ahmadiyah sedikit mengalami banyak kemunduran. Hingga kemudian Ahmadiyah dan Muhammadiyah saling menjaga jarak.

Persinggungan terakhir hubungan Ahmadiyah dan Muhammadiyah sehingga kedua organisasi dan aktifitasnya menjaga jarak adalah pada saat kasus besar yang menimpa Ahmadiyah Qadian. Apalagi setelah Ahmad Hariadi menulis buku “Mengapa Saya Keluar Dari Ahmadiyah Qadian?”.[34] Buku tersebut menjadikan tokoh-tokoh Ahmadiyah dan Muhammadiyah menjadi berjarak.

Terlebih lagi, sesudah tokoh-tokoh Ahmadiyah pasca KH Burhanul Arifin meninggal, Ahmadiyah lebih tampak dekat dengan kalangan warga Nahdliyyin, hingga kemudian Ahmadiyah dalam gerakannya lebih menyerupai gerakan-gerakan Islam yang diikuti warga Nahdliyyin, dalam pengertian lain NU dan Tarikat.

Pandangan aktivis Muhammadiyah dengan lahirnya buku tersebut, Ahmadiyah Lahore yang sebenarnya menjadi cikal Ahmadiyah di Modjokuto sebagai kelanjutan SBII, menjadikan aktivitas Muhammadiyah menjadi merenggang. Ahmadiyah di Modjokuto difahami sebagai Ahmadiyah Qadian sebagaimana gambaran Ahmad Hariadi tersebut.

Apalagi di kemudian hari banyak aktivis Muhammadiyah di Modjokuto adalah alumni Pesantren Persis (Bangil), atau secara pemikiran lebih dekat dengan pandangan Persis. Sehingga seolah-olah peristiwa pertentangan Ahmadiyah-Persis tahun 1920-an dan Wali Ahmad Baig–AR Sutan Mansur terulang di Modjokuto dalam bentuk lain, yaitu pertentangan tertutup antara Ahmadiyah dan Muhammadiyah.

Kedekatan persinggungan antara Ahmadiyah dan NU, terutama pada beberapa masalah dasar yang sifatnya kultural, akan tetapi telah menjadi identitas utama pertentangan NU dan Muhammadiyah, seperti sebagaimana para kalangan warga Nahdliyyin yang menyebut Nabi Muhammad dengan Sayyidina, warga Ahmadiyah juga menggunakan kata Sayyidina dalam menyebut Nabi Muhammad. Ditambah lagi, Ahmadiyah dan NU di Modjokuto juga sama-sama menggunakan dasar qaul qadim dan qaul jadid dalam pengambilan keputusan hukum, lainnya seperti ijma’ dan qiyas. Hal ini digunakan dalam menjawab masalah-masalah hukum aplikasi keagamaan yang sedang dihadapi umat.

Lainnya, keberadaan bedug di masjid atau kentongan di mushola-mushola, mengunjungi makam, selamatan dan ritual lain yang sering dilakukan oleh warga Nahdliyyin dilakukan pula oleh warga Ahmadiyah, meski pada batas-batas tertentu mereka tidak melakukannya. Kedekatan ini menjadikan antara NU dan Ahmadiyah, tanpa ada pengamatan yang menyeluruh akan sulit untuk membedakan kegiatan-kegiatannya.

Dari doktrin awal Ahmadiyah yang terdiri dari tiga doktrin pokok, persinggungan Ahmadiyah (Lahore) dengan lingkungan lokal di Modjokuto, doktrin tersebut mengalami pergeseran, terdiri dari:

  1. Allah adalah Tuhan Yang Maha Esa.
  2. Muhammad adalah Nabi terakhir dan tak ada nabi sesudahnya.
  3. Al-Quran adlaah sebagai Kitab Suci terakhir.
  4. Setelah Nabi Muhammad wafat, pada setiap abad akan datang seorang mujaddid. Hal ini diambil dari salah satu hadits Abu Dadud. Menurut penganut Ahmadiyah, Mujaddid pada abad 14 Hirjiyah tersebut adalah Mirza Ghulam Ahmad.
  5. Setiap orang yang mengucap syahadatain adalah seorang muslim.

Ada beberapa hal pokok yang difahami secara berbeda dari gerakan Islam lain di Modjokuto. Ahmadiyah menyatakan bahwa setiap nabi adalah rasul, dan seorang rasul belum tentu nabi. Menurut Ahmadiyah, manusia adalah wakil (khalifah) Allah di muka bumi. Kata ‘utusan’ ini yang kadang disebut dengan rasul. Tokoh-tokoh seperti KH Hasyim Asy’ari, KH Ahmad Dahlan, juga adalah seorang rasul (utusan). Posisi Mirza Ghulam Ahmad sama seperti kedua tokoh ini, sebagaimana kerasulan Nabi Muhammad, namun memiliki derajat yang berbeda. Oleh karena itu, para rasul ini dianggap utusan yang tidak membawa syariat.[35]

Di pusat kota Modjokuto, Ahmadiyah menyebar di beberapa kampung lain seperti Kampung Meduran, Jl Slamet di pusat kota, Tulungrejo, Mangiran dan Cangkring. Lahirnya Ahmadiyah di kampung Meduran karena tokoh pembawa dan penyebar Ahmadiyah adalah warga berketurunan Madura.

Di kampung-kampung sebagaimana telah disebut, mereka membaur menjadi satu dengan warga Nahdliyyin, sehingga sebagaimana telah dikemukakan sebelumnya, aktivitas Ahmadiyah di Modjokuto lebih mirip dengan NU. Dalam beberapa kasus, beberapa tokoh lokal NU seringkali berkonsultasi pada masalah agama dengan tokoh-tokoh Ahmadiyah, seperti yang terjadi pada KH Jazuli Ali Zein, KH Musni Nur Ahmad dan KH Yazid Burhani, sebagai tokoh dan sesepuh Ahmadiyah generasi kedua di Modjokuto.

 

 

[1] Penulis adalah Assisten Riset Laboratorium Ilmu Pemerintahan dan Assisten Dosen DR. Rahmawati Husein, SS, MCP., dari Universitas Muhammadiyah Yogyakarta.

[2] Lothrop Stoddard, Dunia Baru Islam (terj.), Panitia Penerbit Jakarta, 1966, hal. 27. Muslih Fathoni, Paham Mahdi Syiah dan Ahmadiyah Dalam Perspektif, IAIN Walisongo Press dan Rajawali Press, Semarang-Jakarta, 2002, hal. 51.

[3] Gambaran kehidupan masyarakat India dan pertentangan pemikiran, pemikiran Islam dapat kita jumpai dalam banyak karya. Di antaranya karya A. Mukti Ali, Alam Pikiran Islam Modern di India dan Pakistan, Mizan, Bandung, 1996, sangat menarik untuk dibaca sebagai pengantar menelusuri kelahiran Ahmadiyah.

[4] Maulana Muhammad Ali, Mirza Ghulam Ahmad of Qadian, His Life and Mission, Anjuman Isha’ati Islam Lahore, 1959, hal. 12. Muslih Fathoni, Paham Mahdi, op. cit., hal. 53.

[5] Wilfred Cantwell Smith, Modern Islam In India, Usha Publication, India, 1979, hal. 368. Muslih Fathoni, Paham Mahdi, op. cit., hal. 53-54.

[6] Muslih Fathoni, Paham Mahdi, op. cit., hal. 54.

[7] Badri Yatim, Sejarah Peradaban Islam, op. cit., hal. 162.

[8] Muslih Fathoni, Paham Mahdi, op. cit., hal. 54.

[9] Maulana Muhammad Ali, Mirza Ghulam Ahmad, op. cit., hal. 2. Muslih Fathoni, Paham Mahdi, op. cit., hal. 60

[10] Muslih Fathoni, Paham Mahdi, op. cit., hal. 54.

[11] R. Ng. H. Minhadjurrahman Djojosoegito, Pengertian Yang Benar Tentang Ahmadiyah, Darul Kutubil Islamiyah, Jakarta, tt., hal. 1. Dalam berbagai sumber, Nabi Muhammad juga memiliki nama Ahmad. Nama ini menjadi dasar nama Ahmadiyah.

[12] A.K. Pringgodigdo, Sejarah Pergerakan Rakyat Indonesia, Dian Rakyat, Jakarta, 1991, hal. 106. Penggunaan angka abad 14 adalah penggunaan tahun hijriyah, bukan dalam penanggalan tahun Masehi.

[13] A.K. Pringgodigdo, Sejarah Pergerakan, op. cit., hal. 106.

[14] Muslih Fathoni, Paham Mahdi, op. cit., hal. 62.

[15] Muslih Fathoni, Paham Mahdi, op. cit., hal. 63.

[16] HAMKA, Ayahku: Riwayat Hidup DR. Abdul Karim Amrullah dan Perjuangan Kaum Agama di Sumatra. Penerbit Umminda, Jakarta 1982, hal. 139.

[17] HAMKA, Ayahku: Riwayat, ibid, hal. 138.

[18] HAMKA, Ayahku: Riwayat, ibid, hal. 139.

[19] Hazairin (Prof. Dr.), Kata Sambutan dalam Abubakar Atjeh, Perbandingan Madzhab Syiah: Rasionalisme Dalam Islam, Penerbit Ramadhani Semarang-Solo, 1980, hal. Vii. Dapat juga dibaca dalam MD. Perlindungan, Tuanku Rao, Penerbit Tanjung Harapan, Jakarta 1965.

[20] A.K. Pringgodigdo, Sejarah Pergerakan, op.cit., hal. 107. Deliar Noer, The Modernis Muslim Movement, op. cit., hal. 264, menyebut Ahmadiyah masuk di Indonesia tahun 1925. Keterangan Deliar Noer tersebut didasarkan pada Buku Peringatan MIAI 1937-1941.

[21] Deliar Noer, The Modernis Muslim Movement, op. cit., hal. 95-103.

[22] Persatuan Islam, Verslag Opisil dari Persebatan Pembela Islam dan Ahmadiyah Qadian, Majalah Pembela Islam, nomor 6-6 (9 Mei – Juli 1933). Verslag Debat Antara Pembela Islam dan Ahmadiyah Qadian di Gang Kenari tanggal 3-4 November 1934. Juga Verslag Debat Luar Biasa Tahun 1934 Antara Pembela Islam dengan Ahmadiyah Qadian yang Mempunyai Nabi Baru di Batavia Centrum. Lihat Howard M. Federspiel, Persatuan Islam: Islamic Reform in Twentieth Century Indonesia, Cornel University, Ithaca, New York, 1970. Diterjemahkan dalam Persatuan Islam: Pembaharuan Islam Indonesia abad XX, Yudian W. Asmin dan Affandi Mochtar (pen.), Gadjah Muda University Press, Yogyakarta, Cet. I Mei 1996, hal. 278

[23] Howard M. Feredspiel, Persatuan Islam, ibid, hal 127-133

[24] Mirza Wali Ahmad Baig ini adalah sahabat HOS Cokroaminoto dan yang membantu dalam menerjemahkan Al-Qur’an.

[25] A.K. Pringgodigdo, Sejarah Pergerakan Rakyat Indonesia, op. cit., hal. 264.

[26] HAMKA, Ayahku, op. cit., hal 149.

[27] A.K. Pringgodigdo, Sejarah Pergerakan Rakyat Indonesia, op. cit., hal. 106-108.

[28] A.K. Pringgodigdo, Sejarah Pergerakan Rakyat Indonesia, op. cit., hal. 108.

[29] Sekarang SMP Muhammadiyah I Pare, Jl Gede I Pare

[30] Dalam wawancara penulis dengan KH Yazid Burhani, mantan Ketua Cabang Ahmadiyah Modjokuto, sebagai tokoh Ahmadiyah generasi ke-2, Ahmadiyah sebagai faham pertama dikenal di Modjokuto tahun 1940, namun secara resmi berdiri tahun 1960-an.

[31] Desa ini terletak di sebelah timur perkampungan Arab di Modjokuto. Sekarang satu kampung dengan pasar hewan Kwagean, pasar hewan terbesar di Modjokuto. Demikian keterangan dari KH Ahmad Yazid Burhani.

[32] Rumah tersebut kini berada di Jl Yos Sudarso, Desa Toeloengredjo Gg II. Mohammad Sarjan adalah Ketua Fraksi Masyumi di DPR yang terakhir.

[33] Masjid ini terletak di Jl. Slamet, Kota Modjokuto

[34] Buku ini terbit di Malaysia. Penulis hanya mendapatkan sebagian cuplikan dalam bentuk fotocopy. Cuplikan fotocopy tersebut masih tersimpan dalam perpustakaan pribadi Haji Hasan, salah seorang tokoh Muhammadiyah Modjokuto. Siapa Ahmad Hariadi? Ahmad Hariadi adalah pengikut Ahmadiyah yang lahir di kampung Kemendung, Desa Sekoto, Kec. Pare. Kampung ini adalah salah satu basis Muhammadiyah.

[35] Wawancara dengan KH Ahmad Yazid Burhani, mantan ketua Gerakan Ahmadiyah Indonesia Cabang Modjokuto

Yuk Bagikan Artikel Ini!

Comments (1)

  1. Masha Allah – Great work. Proud of our Indonesia branch.

Comment here

Translate »