Opini

Ajaran Ahmad Dahlan kepada Putranya

Setidaknya ada dua momen membahagiakan yang diperoleh KH. Ahmad Dahlan pada tahun 1912. Pertama di tahun ini lahir organisasi Islam yang kemudian menjadi Ormas Islam tua dan besar di Indonesia bahkan duniayang diberi nama Muhammadiyah. Kedua, kebahagiaan KH. Ahmad Dahlan adalah lahirnya putra keempat dari Istrinya, Siti Walidah. Putra yang diberi nama Djumhan Dahlan, yang kemudian hari berganti nama Erfan A.Dahlan.

Ketika Djumhan berusia 12 tahun, ia berkesempatan belajar bahasa Inggris dari tamu dari Pakistan, Mirza Ahmad Baig dan Maulana Ahmad. Tamu jauh ini diterima untuk menginap di Gerjen Kauman, tepatnya di rumah KH. Hilal. Rumah tersebut merupakan tempat berkumpulnya anak-anak muda Muhammadiyah yang antusias dengan ilmu, rumah tersebut menjadi tempat nyaman anak muda kala itu untuk berbagi pikiran dan menyambung gagasan.Tidak terkecuali Djumhan.

Setahun setelah kedatangan Mirza Ahmad Baid dan Maulana Ahmad pada 1924, Hoofdbesture Muhammadiyah tahun 1925 mengirimkan santri muda Muhammadiyah untuk serta belajar di Ishaat Islam Colege, yang didirikan oleh Ahmadiyya Anjuman Ishaati Islam Lahore (AAIIL). Diantara santri yang dikirim bersama Djumhanyang saat itu masih berusia 13 tahun adalahChaffie, Machdoem, Jundab (putra H. Moektar), M Sabitoen (putra H. Abdul Wahab, Wonosobo) dan Maksum (putra H. Hamid).

Singkat cerita, karena kecerdasannya Djumhan menempuh pendidikan selama 6 tahun, sementara teman-temannya belum selesai. Ketika datangnya polemikkesesatan Ahmadiyyahdi Indonesiatahun 1930-an dan beberapa tahun sebelumnya. Djumhan yang waktu itu berusia 19 tahun telah selesai menyelesaikan pendidikannya di negara pusat ajaran Ahmadiyyah merasa khawatir, karena saat itu santri yang belajar di sana dianggap telah terpapar kesesatan Ahmadiyyah.

Usaha proteksi terpapas dari kesesatan Ahmadiyyah banyak dilakukan oleh ormas Islam Indonesia, termasuk Muhammadiyah yang pada waktu itu mengeluarkan maklumat pada 5 Juli 1928, kepada semua Cabang Muhammadiyah di tanah air, yang berisi tentang larangan mengajarkan ilmu dan faham agama Ahmadiyyah. Menanggapi situasi yang kurang kondusif, pemuda 19 tahun ini mengurungkan niatnya untuk pulang kampung. Djumhan sangat khawatir dan takut. Akhirnya dia memutuskan tidak kembali ke Kauman, Yogyakarta, ia memilih pergi ke Pattani, Thailand Selatan. Di sana ia kemudian mengganti namanya menjadi Erfan.

Di sana, Erfan bekerja kepada dr. Khan, seorang muslim keturunan Pakistan. Setahun setelahnya ia berhenti dan memutuskan pindah ke Nakhonsrithammarat dan berpindah lagi sampai ke Bangkok, lalu kemudian berpindah ke Kampung Jawa. Pucuk dicinta ulam pun tiba, di sini Erfan menikah dengan Zaharah, Yaharah atau Yupha (nama Thailand). Putri dari Imam Masjid Jawa, Sukaimi, pedagang asal Kendal yang menetap di Thailand. Sukaimi terkesan oleh kesederhanan dan sifat Erfan, yang kemudian percaya bahwa Erfan adalah lelaki yang baik untuk putrinya.

Ketika menikah, Erfan berusia 25 tahun dan Yupha 16 tahun. Dari pernikahannya tersebut, mereka dikaruniai 10 orang anak, 7 laki-laki dan 3 perempuan. Di sini ia bekerja dan berdakwah, pola dakwah yang dilakukannya pun hampir serupa dengan yang dilakukan oleh ayahnya kala itu. Di mana muslim di Thaliand ketika membaca Al Qur’an hanya dilafadzkan tanpa tahu makna dan artinya, Erfan kemudian mengubah cara tersebut. Sehingga selain membaca, Efran juga menerjemahkan ke dalam bahasa Thaliand.

Di sisi lain, ajaran yang disampaikan oleh Erfan adalah Islam yang penuh welas asih, dan kasih sayang. Cara-cara seperti ini ternyata berhasil menarik minat banyak orang untuk belajar Islam kepadanya. Selain itu, bersama teman-teman aktivis Islam di sana ia mendirikan perusahaan percetakan buku-buku Islam. Sepertinya ia tahu betul bahwa, strategi merebut wacana untuk menyebarkan ajaran Islam dengan cara-cara non kekerasan. Sementara istrinya, adalah salah satu pendiri Muslim Women Association of Thailand (Asosiasi Perempuan Muslim Thailand).

Erfan wafat pada 6 Mei 1967 meninggalkan istri dan semua anak-anaknya dengan wasiat agung. Ia berwasiat kepada putra dan putrinya bahwa, warisan terbaik bagi anak cucu adalah pendidikan yang baik. Janganlah malu kepada kemiskinan tapi malulah ketika berbuat salah. Jangan malas bekerja dan harus ikhlas membantu orang lain. Jangan pernah menghina yang kecil, karena suatu saat mereka bisa diangkat derajatnya menjadi orang besar. Jangan pernah meminta belas kasihan dan tetap menjaga iman.

Dalam aktivitas keagamaannya, meskipun Ia mengenyam pendidikan di Lahore selama enam tahun. Akan tetapi ajaran yang disampaikannya serupa dengan Muhammadiyah yang diajarkan ayahnya. Erfan dikenal sebagai mujahid dan muharik Islam yang sesuai dengan Muhammadiyah. Kisah menarik lainnya adalah di mana waktu itu ibadah umat Islam Thailand yang mencampur ajaran Islam dengan budaya lokal, Erfan berdakwah dan meluruskan kebiasaan tersebut serta menggantinya dengan ajaran yang sesuai dengan Al Qur’an dan As Sunnah.

Etos dakwah dan keilmuannya Erfan Dahlan menurun ke anak-anaknya, diantaranya kepada Dahlan Ahmad Dahlan putra keempat yang terkenal sebagai juru dakwah di Provinsi Thailand Selatan yang mengajarkan kekuatan muslim dengan cinta damai. Anak kelima, Winai Dahlan, sebagai staff pengajar di Universitas Chulalonkorn Thailand, serta dikenal sebagai aktivis muslim Thailand yang menjabat sebagai direktur Halal Science Center, dan anak ketujuh, Adnan atau Arthorn Dahlan yang bergiat di sektor koperasi syariah.

 

Oleh: A’an Ardianto | Sumber: umm.ac.id

Yuk Bagikan Artikel Ini!
Translate »