AkademikaArtikel

Ahmadiyah Lahore Masih Ada di Garis Yang Lurus

Secara teologis, Islam merupakan sistem nilai dan ajaran yang bersifat ilahiyah, karena itu bersifat transenden. Dari sisi ini Islam merupakan doktrin atau ajaran yang bersifat universal. Tetapi secara sosiologis, ia merupakan fenomena peradaban, kultural dan realitas sosial dalam kehidupan manusia yang termanifestasikan dalam institusi-institusi sosial yang dipengaruhi oleh situasi dan dinamika ruang dan waktu.

Dialektika dua fenomena tersebut dalam perjalanan sejarah sering menimbulkan “ketegangan teologis”[1] yang pada gilirannya tidak hanya menciptakan barrier psikologis bagi mereka yang peduli pada posisi Islam vis-a-vis realitas sosial-kultural tetapi juga konflik teologis, intelektual dan sosial diantara kaum Muslim. Keadaan inilah yang menurut Azyumardi Azra mewarnai panorama upaya “aktualisasi” Islam melalui apa yang disebut “pembaruan”.[2]

Dalam area pebaruan yang dilakukan oleh pemikir-peikir Muslim ketika berhadapan dengan tantangan ilmu pengetahuan dan teknologi, A. Syafi’i Ma’arif memetakannya dalam empat tipologi kasar, yaitu: Pertama, kelompok modernis dan penerusnya neo-modernis. Kelompok ini dikenal sebagai pembela prinsip ijtihad sebagai metode utama untuk meretas kebekuan berpikir umat Islam. Sikap mereka terhadap nilai-nilai dan gagasan tertentu yang lahir dari peradaban Barat, diterima dan diberi bingkai Islam.

Kedua kelompok neo-tradisionalis dengan kecenderungan sufisme yang kental bercampur dengan filsafat. Di mata kelompok ini peradaban Barat modern telah lama tercerabut dari akar spiritual-transendental dan sepenuhnya bercorak antroposentris, karena itu tidak dapat diislamkan dan usaha ke arah itu pastilah sia-sia dan menyesatkan.

Ketiga kelompok yang serba eksklusif Islam, yang menjadikan Islam sebagai ideologi politik. Mereka hendak menawarkan Islam yang menurut kelompok ini belum tercemar oleh daki peradaban lain. Dan keempat, golongan modernis sekularis Muslim. Menurut mereka, agama harus direduksi menjadi sistem etika belaka. Jika dunia Islam mau beranjak dari keterbelakangannya pemisahan agama dan politik adalah pilihan satu-satunya.[3]

Namun demikian, A. Syafi’i Ma’arif menambahkan bahwa memetakan seorang tokoh atau gerakan yang sangat kompleks tidak bisa dalam tipologi tertentu, hal ini dilakukan dengan menyadari segala kelemahan yang inhern di dalamnya. Dengan mendasarkan pada tipologi kasar di atas, perlu dipetakan dimana posisi Ahmadiyah yang oleh pencetus dan pengikutnya disebut sebagai gerakan pembaruan.

Tokoh utama gerakan Ahmadiyah yang lahir di India adalah Mirza Ghulam Ahad (1835). Dia menyatakan dirinya sebagai Mujaddid abad ke-14 H. Ahmadiyah termasuk paham yang millenaristis[4] yang lahir ketika kondisi umat Islam India pada waktu itu yang berada dalam posisi inferior karena berbagai tekanan baik dari pihak imperialis Inggris maupun dari umat Hindu. Secara garis besar program yang dilakukan oleh gerakan ini adalah menggali konsepsi-konsepsi Islam dengan menterjemahkan dan menafsirkan Al-Qur’an ke dalam bahasa-bahasa penting dunia dan menyebarluaskannya serta tabligh dan tarbiyah yaitu dengan mengirimkan para muballigh dan membuka pusat tabligh di seluruh dunia. Dari program yang dilakukan Ahmadiyah, gerakan ini bisa dikategorikan dalam tipologi pertama, yaitu modernisme dan penerusnya neo-modernis.

Dalam perkembanganny Ahmadiyah ini terpecah menjadi dua golongan (1914)-setelah meninggalnya Hazrat Mirza Ghulam Ahmad-menjadi Gerakan Ahmadiyah yang berpusat di Qadian (sekarang di Rabwah Pakistan) di bawah pimpinan Mirza Basyiruddin Mahmud Ahmad, putera Hazrat Mirza Ghulam Ahmad dan Gerakan Ahmadiyah yang berpusat di Lahore di bawah pimpinan Maulana Muhammad Ali M. A; LL. B; murid dari Hazrat Mirza Ghulam Ahmad. Perpecahan ini disebabkan peredaan pendapat apakah Hazrat Mirza Ghulam Ahmad itu seorang Nabi atau Mujaddid.Menurut golongan Qadian, Hazrat Mirza Ghulam Ahmad adalah Nabi dan barang siapa yang tidak berbaiat kepadanya berarti kafir, sedang menurut golongan Lahore Hazrat Mirza Ghulam Ahmad adalah Mujaddid, maka kaum muslim yang tidak berbaiat bukanlah orang kafir.[5] Pada tahun 1924 gerakan ini (baik golongan Qadian maupun Lahore) tumbuh dan berkembang pesat di Indonesia dan tampak lebih aktif di bidang keagamaan dan pendidikan. Mereka menunjukkan sikap kooperatif dengan pemerintah sehingga dapat melebarkan daerah pengaruhnya di Indonesia.

 

Asal Mula Ahmadiyah

Ahmadiyah adalah suatu aliran keagamaan yang lahir di anak benua India pada tahun 1989.[6] Pada saat itu umat Islam di India mengalami keterbelakangan dalam segala bidang. Runtuhnya dinasti Mughol, persaingan dan pertentangan yang cukup keras antara aliran, madzab dan golongan Islam, pertikaian dengan kaum Hindu serta jatuhnya India menjadi koloni Inggris menjadikan umat Islam sangat tradisionalis, fatalistis disertai semangat antipati dan fanatisme keagamaan yang berlebihan dalam menghadapi tradisi Barat.[7]

Pendiri Ahmadiyah adalah Hazrat Mirza Ghulam Ahmad. Ia dilahirkan pada tahun 1252 H, tepatnya pada hari Jum’at 13 Pebruari 1835 di sebuah desa yang bernama Qadian, India. Ayahnya bernama Mirza Ghulam Murtada, salah seorang pegawai tinggi kolonial Inggris.[8]

Mengenai pendidikannya, Mirza Ghulam Ahmad pertama-tama belajar membaca Al-Qur’an dan beberapa kitab Persia. Sejak umur 10 tahun ia telah mulai mempelajari bahasa Arab dan ketika berumur 17 tahun ia mempelajari nahwu, logika dan filsafat dari seorang guru yaitu Gul Ali Shah dari Batala. Sedang ilmu kedokteran dipelajari dari ayahnya sendiri yang memang seorang tabib yang pandai.[9]

Setelah Mirza Ghulam Ahmad berumur 29 tahun (1864) ia bekerja pada Mahkamah Inggris di Sialkot, yang memberinya kesempatan untuk mempelajari bahasa Inggris. Disamping pekerjaan sehari-hari, sisa waktunya digunakan untuk mempelajari Al-Qur’an. Selama di Sialkot, ia pernah terlibat persengketaan dengan missionaris Kristen sesudah empat tahun tinggal di Sialkot (1864-1868) ia dipanggil pulang oleh ayahnya untuk bertani. Ghulam Ahmad merasa tidak cocok dengan pekerjaan tersebut, karena itu sebagian besar waktunya digunakan untuk mempelajari Al-Qur’an. Ia suka menyepi untuk beri’tikaf dalam masjid dan mencurahkan perhatiannya kepada Islam dengan menulis beberapa artikel keagamaan dalam berbagai media cetak untuk melawan kepercayaan Hindu Arya dan agama Kristen yang berkembang saat itu.[10]

Pada bulan Maret 1882, Mirza Ghulam Ahmad menerima wahyu pertama.[11] Ia mengaku telah diangkat sebagai al-Mahdi dan al-Masih oleh Tuhan. Perintah Tuhan dalam wahyu tersebut ada dua hal yang harus dilakukannya, yaitu pertama, perintah untuk menerima bai’at dari pengikutnya; kedua, perintah untuk membuat bahtera yakni membuat wadah untuk menghimpun suatu kekuatan yang dapat menopang misi dan cita-cita kemahdiannya guna menyerukan Islam ke seantero dunia. Atas dasar keyakinannya setelah menerima wahyu ia menyusun sebuah buku dengan nama Baraiyu Ahmadiyah, yang menjelaskan tentang kebenaran agama Islam.[12]

Pada bulan Desember 1888 secara terang-terangan Mirza Ghulam Ahmad menyatakan dirinya telah menerima perintah dari Tuhan melalui ilham ilahi setelah itu, pada tahun 1889 ia mulai mengadakan bai’at  atas orang-orang yang beriman kepadanya dan ia mendirikan suatu jema’at untuk pegikut-pengikutnya sebagai pelaksanaan dari wahyu Tuhan. Nama jema’at atau gerakan adalah Ahmadiyah.[13]

Pada tanggal 26 Mei 1908, Mirza Ghulam Ahmad meninggal dunia dalam usia 73 tahun. Sepeninggal Mirza Ghulam Ahmad, Ahmadiyah dipimpin oleh putra dan sahabat-sahabatnya. Khalifah pertama yang diangkat sepeninggal Mirza Ghulam Ahmad adalah Hazrat Hakim Nuruddin, yang menjabat sampai meninggalnya yaitu tanggal 13 Maret 1914 yakni selama kurang lebih enam tahun.[14] Pada masa Hazrat Hakim Nuruddin, Ahmadiyah mencapai keajuan pesat dan mulai dikenal di kalangan umat Islam secara luas.

Suasana keutuhan dan kesatuan pengikut Ahmadiyah yang sangat dirasakan pada masa hidupnya Mirza Ghuam Ahmad, menjelang meninggalnya khalifah I mulai berubah dan tampak adanya bibit perpecahan diantara mereka. Menurut Mirza Bashir Ahmad, ada tiga persoalan yang menjadi ajang perbedaan pendapat di kalangan Ahmadiyah, yaitu masalah Khalifah (pengganti pimpinan), masalah iman kepada Mirza Ghulam Ahmad dan masalah kenabian.[15]

Masalah khalifah berkaitan dengan masalah manajemen pengorganisasian Ahmadiyah sebagai gerakan Mahdi yang memiliki jangkauan luas, baik di kalangan muslim sendiri,maupun non muslim. Ada dua pendapat tentang masalah ini, pertama: mengakui dan mendukung keberadaan organisasi khilafat dengan alasan bahwa menurut ajaran Islam dan wasiat Mirza Ghulam Ahmad, dalam jema’at harus ada khilafah yang harus ditaati oleh jema’at. Sedang pendapat kedua mengatakan bahwa organisasi khilafat tidak perlu, tetapi cukup dengan organisasi anjuman saja.

Untuk menghormati wasiat khilafah pertama, bolehlah ditetapkan seorang sebagai Amir, tetapi orang ini tidaklah wajib di taati oleh jema’at atau oleh Sadr Anjuman Ahmadiyah, memiliki waktu terbatas dan memakai syarat-syarat tertentu untuk mendudukinya.[16]

Mengenai iman kepada Mirza Ghulam Ahmad, pendapat pertama mengatakan bahwa iman kepada Mirza Ghulam Ahmad merupakan suatu kewajiban, artinya orang yang tidak percaya kepada Mirza Ghulam Ahmad trgolong keluar dari Islam (kafir), sedang pendapat kedua menyatakan bahwa iman kepada Mirza Ghulam Ahmad memang suatu hal yang baik dan perlu untuk kemajuan rohani, tetapi tidak perlu untuk kebebasan di akherat nanti. Artinya tidak iman kepada Mirza Ghulam Ahmad pun orang akan mendapatkan kebebasan juga.[17] Dengan demikian dapat dikatakan bahwa menurut pendapat kedua, mereka yang tidak beriman kepada Mirza Ghulam Ahmad masih diangap sebagai orang Islam.

Sedang mengenai kenabian Mirza Ghulam Ahmad di kalangan Ahmadiyah juga ada dua pendapat. Pertama berkeyakinan bahwa kenabian tetap terbuka sesuadah Rasulullah s.a.w dan mengakui bahwa Mirza Ghulam Ahmad adalah seorang nabi, sedangkan pendapat kedua berkeyakinan bahwa sesuadah Nabi Muhammad s.a.w pintu nubuwwat sama sekali tertutup dan mengakui bahwa Mirza Ghulam Ahmad tidak mendakwakan diri menjadi nabi.[18]

Alasan yang dipergunakan pendapat pertama adalah bahwa khatam al-nabiyyin dalam surat Al-Ahzab ayat 40, yang artinya: “Muhammad itu sekali-kali bukanlah bapak dari seorang laki-laki diantara kamu, tatapi dia adalah Rasulullah dan penutup nabi-nabi……[19]

Menurut ereka khatam al-nabiyyin diartikan sebagai martabat yang paling luhur, melebihi yang lain.[20] Di samping itu juga dari ucapan Mirza Ghulam Ahmad sendiri yang mengatakan bahwa “Aku adalah rasul dan nabi, tetapi tidak membawa syari’at baru. Nabi dengan arti semacam ini tidak pernah aku ingkari, malah dengan makna inilah Allah selalu memanggilku nabi dan rasul.[21]

Sedang alasan pendapat kedua adalah dari ucapan Mirza Ghulam Ahmad juga yang mengatakan bahwa dirinya tidak pernah mengakui  sebagai nabi, tetapi hanyalah sebagai muhaddats dan pengakuan ini didasarkan atas perintah Illahi. Jika ini disebut sebagai nabi, maka hanya dalam arti kiasan atau nabi juz’i, bukan pengakuan sebagai nabi.[22]

Pada tahun 1914, saat meninggalnya Hazrat Hakim Nuruddin pertentangan dua pendapat semakin nampak, ketika terjadi pemilihan pengganti khalifah. Pendapat pertama memiliki calon Mirza Bashiruddin Mahmud Ahmad, putra Ghulam Ahmad dan calon kuat. Pendapat yang kedua adalah Maulvi Muhammad Ali. Dalam pemilihan itu, Mirza Bashiruddin Mahmud Ahmad terpilih sebagai khalifah. Dengan kekalahan itu Maulvi Maulana Ali dan para pendukungnya menarik diri dari jema’at yang dipimpin Mirza Bashiruddin Mahmud Ahmad dan kemudian mendirikan persatuan tersendiri dengan nama Anjuman Ishaat Islam yang berpusat di Lahore.[23] Mereka inilah yang kemudian dikenal dengan Ahmadiyah Lahore. Dan kelompok yang dipimpin oleh Bashiruddin Mahmud Ahad dikenal dengan Ahmadiyah Qadian.

Bila diteliti dari dua aliran tersebut memang terdapat perbedaan yang menyolok antara Ahmadiyah Qadian dan Ahmadiyah Lahore, terutama berkaitan dengan keyakinan tentang kenabian Ghulam Ahmad. Persoalan ini barangkali yang pada akhirnya menjadi permasalahan besar, yaitu penolakan umat Islam yang lain terutama kaum sunni terhadap Ahmadiyah.

 

Tujuan dan Program Ahmadiyah

Sebagaimana para pemikir India yang lain, seperti Ahmad Khan, Syekh Waliyullah dan lainnya, Mirza Ghulam Ahmad juga melakukan pembaharuan pemikiran. Ia mengakui telah diangkat sebagai al-Mahdi dan al-Masih oleh Tuhan, sehingga merasa mempunyai tanggung jawab moral untuk memajukan Islam dan umat Islam. Pembaharuan yang dilakukan adalah memberikan interpretasi baru terhadap ayat-ayat Al-Qur’an sesuai dengan tuntunan zamannya. Menurut Muslih Fathoni, motif Mirza Ghulam Ahmad ini tampaknya lebih didorong oleh gencarnya serangan missionaris Kristen dan propaganda kaum Hindu terhadap umat Islam saat itu.[24]

Berkaitan dengan hal tersebut, Wilfred Cantwell Smith mengatakan bahwa Ahmadiyah lahir menjelang akhir abad ke-19, di tengah huru-hara runtuhnya masyarakat Islam lama dan infiltrasi budaya dengan sikapnya yang baru, serangan gencar kaum misionaris Kristen dan berdirinya Universitas Aligarh yang baru, maka lahirlah Ahmadiyah sebagai protes terhadap keberhasilan kaum missionaris Kristen yang memperoleh pengikut-pengikut baru. Selain itu juga sebagai protes terhadap paham rasionalis dan westernisasi yang dibawa oleh Ahmad Khan dengan Aligarhnya dan protes atas kemerosotan Islam pada umumnya.[25] Abdurrahman menambahkan bahwa pemikiran Mirza Ghulam Ahmad juga merupakan refleksi dari sikapnya membela Islam dan umat Islam India dari serangan pemeluk Hindu, yaitu gerakan Aryo Samaj, yang berusaha mempertahankan kepercayaan lama dan menekankan gagasan kembali kepada Weda. Arya Samaj juga mencoba menarik kembali orang-orang Islam dan Kristen untuk berpindah ke Hindu.[26]

Dengan demikian gerakan Ahmadiyah dapat dikategorikan dalam pembaharuan di bidang intelektual/ pemikiran, meskipun menurut Gibb sebagai pembawa tafsiran-tafsiran yang bersifat liberal hanya sedikit artinya dan suatu unsur yang tidak begitu penting di dunia Islam namun menurut B.J. Esser dapat memuaskan emosi keagamaan dan mengatasi perubahan zaman.[27]

Ahmadiyah sebagai gerakan yang bersifat mahdiistis, meyakini bahwa al-Mahdi mempunyai tugas untuk mempersatukan kembali perpecahan umat Islam, baik di bidang akidah maupun syari’ah sehingga mereka dapat bersatu kembali sebagaimana di zaman Nabi Muhammad s.a.w. Selain itu al-Mahdi juga bermaksud mempersatukan kembali semua agama, terutama ajaran Nasrani dan Hindu melebur ke dalam Islam, karena menurut Mirza Ghulam Ahmad untuk mempersatukan umat beragama dan menjauhkan dari sikap permusuhan diantara mereka hanyalah dengan jalan membawa mereka ke dalam Islam dengan menunjukkan bukti-bukti kekeliruan mereka.[28]

Secara lebih jelas, Wali Ahmad Baiq menyampaikan ada dua tujuan Ahmadiyah, pertama: mengumpulkan orang-orang Islam di dunia di bawah satu bendera Islam, yaitu membikinnya Islam sejati. Kedua menyiarkan agama Islam yaitu agama yang cocok dengan kejadian manusia di seluruh dunia.[29] Dalam rangka menyebarluaskan ide-idenya di seluruh dunia, Gerakan Ahmadiyah melakukan berbagai cara sesuai dengan situasi dan kondisi zaman yaitu:

  1. Dakwah agama Islam dengan usaha-usaha sebagai berikut:
    • Menggali konsepsi-konsepsi Isam.
    • Menerbitkan literatur Islam.
    • Tabligh dan Tarbiyah.
    • Korespondensi dan
    • Bai’at, bersumpah setia membela dan menyiarkan Islam.
  2. Pendidikan
  3. Usaha-Usaha Sosial[30]

Konsepsi Islam yang mendapat perhatian untuk selalu digali adalah Al-Qur’an. Risalah Al-Qur’an adalah untuk seluruh umat manusia di dunia, akan tetapi sebagian besar penduduk dunia tidak mengerti bahasa Quran suci yaitu bahasa Arab, maka Ahmadiyah berusaha menterjemahkan dan menafsirkan ke dalam bahasa-bahasa penting di dunia, bahasa Inggris, Belanda, Jerman, dan sebagainya, meskipun pada waktu itu alim ulama Islam pada umumnya beranggapan perbuatan tersebut adalah bid’ah yang terbesar.

Adapun literatur yang diterbitkan oleh Ahmadiyah adalah bermacam-macam brosur, kitab-kitab dan majalah-majalah dalam berbagai bahasa dunia untuk membuktikan keindahan dan keunggulan Islam. Ribuan buku telah diterbitkan, seperti: The Theaching of Islam, The Religion of Islam, Muhammad the Prophet dan lain-lain. Penerbitan literatur Islam ini juga merupakan pelaksanaan dari pesan pendiri Ahmadiyah yang mengatakan bahwa:

“Dengan kekuatan yang ada pada saya, saya bermaksud menyiarkan ilmu dan rahmat yang dianugerahkan Allah kepada saya ke seluruh Eropa dan Asia……..Oleh karena itu saya berpesan agar negara-negara ini dibanjiri dengan buku-buku yang baik-baik”.[31]

Sebagai organisasi yang lahir di tengah-tengah pertikaian politik Ahmadiyah dalam gerakannya tidak pernah mencampuri persoalan politik. Bahkan ada yang berpendapat bahwa Ahmadiyah adalah penjilat penjajah, yaitu kolonial Inggris yang waktu itu sedang berkuasa.[32] Demi keamanan dakwahnya Ahmadiyah selalu taat kepada pemerintah di manapun gerakan itu berada, meskipun yang berkuasa waktu itu adalah penjajah. Namun dari sumber Ahmadiyah mengatakan meski demikian mereka tetap memegang semboyan Nabi Suci Muhammad s.a.w yang artinya sebagai berikut: “Tidak ada ketaatan kepada sesama makhluk dalam maksiat kepada Allah”.[33]

Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa Ahmadiyah menghendaki tersebarnya Islam ke seluruh dunia tanpa melihat/mencampuri persoalan-persoalan politik di negara dimana ia berada.

 

Masuknya Ahmadiyah Lahore ke Indonesia

Munculnya gerakan Ahmadiyah Lahore di Indonesia berawal dari masuknya propagandis-propagandis Ahmadiyah Lahore. Pengiriman propagandis-propagandis itu sebagai realisasi dari program mereka yaitu tabligh.

Ahmadiyah Lahore dkenal di Jawa, tepatnya di Yogyakarta tahun 1924 dibawa oleh dua orang muballigh dari Hindustan yaitu Maulana Ahmad dan Mirza Wali Ahmad Baiq.[34] Ada beberapa pendapat tentang kehadiran dua muballigh ini. Menurut Muhammadiyah, Wali Ahmad Baiq mengemukakan bahwa ia sebenarnya akan ke Manila, tetapi tidak ada biaya yang cukup sehingga terpaksa tinggal di Indonesia. Pendapat lain mengatakan bahwa Maulana Ahmad dan Mirza Wali Ahmad Baiq bermaksud ke negeri Cina namun mengadakan kunjungan singkat di pulau Jawa. Mereka melihat Jawa merupakan daerah subur bagi pengkristenan sehingga mereka mempunyai hasrat yang kuat untuk tinggal di Jawa dan mengajukan permohonan kepada pimpinan Pusat Ahmadiyah Lahore untuk mengirimkan orang lain ke Cina. Permohonan mereka diterima dan sejak itu mereka tinggal di Yogyakarta.[35]

Kedatangan muballig di Yogyakarta disambut oleh Pengurus Besar Muhammadiyah. Wali Ahmad Baiq tinggal di rumah Haji Hilal-menantu KHA. Dahlan-di kauman. Dalam konggres Muhammadiyah pada tahun 1924, mereka mendapat kehormatan untuk memberikan sambutan. Maulana Ahmad memberi sambutan dalam bahasa Arab sedangkan Wali Ahmad Baiq dalam bahasa Inggris.[36] Pidato yang disampaikan kedua muballigh mendapat sambutan hangat dari konggres waktu itu.[37]

Pemberian kesempatan kepada muballigh Hindustan diberikan juga dalam konggres Muhammadiyah tahun 1925. Pada saat itu Maulana Ahmad sakit dan telah kebali ke India sehingga yang memberi sambutan hanya Mirza Wali Ahmad Baiq.

Dengan pemberian kehormatan pada dua muballigh tersebut, maka terjadi hubungan yang baik antara Ahmadiyah dan Muhammadiyah. Dan dalam waktu yang tidak lama, tersebar luas semangat ide-ide baru yang dibawa kedua muballigh itu. Surat kabar, majalah dan tulisan-tulisan lain banyak memuat karya-karya tentang Ahmadiyah.[38]

Rumah tempat tinggal Wali Ahma Baiq menjadi tempat pertemuan orang-orang Muhammadiyah, khususnya di kalangan muda, seperti M. Husni-Sekretaris Jenderal Pengurus Besar Muhammadiyah- Sudewa- Direktur HIS Muhammadiyah- untuk berdiskusi aneka masalah agama dan juga belajar bahasa Inggris. Bahkan HOS Tjokroaminoto dan para anggota masyarakat Islam juga sering ikut dalam kegiatan tersebut.[39]

Hubungan baik Muhammadiyah dan Ahmadiyah lebih tampak lagi dengan dikirimnya pemuda Muhammadiyah ke Lahore untuk ditraining sebagai muballigh Ahmadiyah. Mereka adalah Kyai Maksum, Kyai Sabit dari Wonosobo dan Jumhan, putra KH. Ahmad Dahlan putra pendiri Muhammadiyah ini di India berganti nama menjadi Irfan dan meninggal di Bangkok sebagai muballigh Lahore.[40]

Setelah beberapa tahun terjalin hubungan yang ramah dan akrab antara Muhammadiyah dan Ahmadiyah tahun 1926 mulai tampak ada jarak diantara keduanya. Hal ini terjadi setelah Muhammadiyah mempelajari bahwa Ahmadiyah telah menyimpang dari sunnah yang benar seperti yang dianut Muhammadiyah.[41]

Pendapat lain menyatakan bahwa terjadinya perubahan sikap baru terjadi tahun 1927 yaitu ketika datang seorang ulama dari India yang bernama Abdul Alim as-Sidiqi ke Indonesia, termasuk ke yogyakarta. Untuk menyambut kedatangannya Pengurus Besar Muhammadiyah menyelenggarakan rapat umum. Dalam rapat itu ulama dari India tersebut mempropaganda anti Ahmadiyah. Propaganda anti Ahmadiyah ini memperoleh sambutan dari tokoh Muhammadiyah dan sejak itu disebarluaskan di mana-mana dan dimuat  dalam surat kabar. Sebagai klimaksnya Pengurus Besar Muhammadiyah mengirimkan maklumat ke seluruh cabang Muhammadiyah yang isinya antara lain melarang mengajarkan ilmu dan  paham Ahmadiyah di lingkungan Muhammadiyah. Maklumat itu tertanggal 5 Juli 1928, nomor 294. Dengan keluarnya maklumat itu, maka tiap-tiap orang yang mengikuti ajaran Ahmadiyah harus menentukan pilihan, keluar dari Muhammadiyah ataukah meninggalkan paham Ahmadiyah.[42]

Djojosugito yang pada waktu itu sebagai Ketua Cabang Muhammadiyah Purwokerto sangat sedih menerima berita tersebut. Kemudian ia datang ke Yogyakarta untuk membicarakan masalah yang serius ini dengan M. Husni dan kawan-kawan. Maka diambillah kesepakatan untuk membentuk wadah baru di luar Muhammadiyah. Wadah baru itu dinamakan Gerakan Ahmadiyah Indonesia (Centrum Lahore).[43]

Secara resmi Gerakan Ahmadiyah Indonesia berdiri pada tanggal 28 September 1929 di Yogyakarta dengan pengesahan hukum (Reshts Persoan) Keputusan Pemerintah atau Gouverments Besluit tanggal 4 April 1930 No. Ix. Dengan surat Departemen Agama Republik Indonesia tertanggal 21 Pebruari 1966 No. 1-1/3/1/368/66, Gerakan Ahmadiyah Indonesia sudah terdaftar pada Departemen Agama pada tanggal 27 Desember 1966 No.18/II.[44]

 

Ajaran Dasar Ahmadiyah

Yang dimaksud dengan ajaran dasar adalah landasan kerja untuk memberikan arah bagi programnya. Dasar juga berfungsi sebagai sumber semua peraturan yang akan diciptakan sebagai pegangan langkah pelaksanaan dan sebagai jalur langkah yang menentukan arah usaha tersebut. Ajaran dasar yang digunakan adalah kalimah syahadat yang berarti berasaskan tauhid.[45]

Keadaan masyarakat yang mempercayai kejadian-kejadian yang aneh menurut Ahmadiyah merupakan tahayul yang menjadikan jiwa tidak bebas. Dengan dasar tauhid, manusia akan memiliki jiwa yang merdeka. Amat banyak ilahun yang menikat jiwa manusia , seperti hawa nafsu, binatang laut dan sebagainya bahkan kemajuan kebendaan (materialisme) yang tumbuh di dunia Barat dapat juga dijadikan ilahun baru. Ahmadiyah yang meletakan ajaran dasarnya pada tauhid mengharuskan orang yang memenuhi ajarannya, melahirkan pernyataan bahwa berbagai macam ilahun  itu sungguh-sungguh tidak ada, yang ada hanyalah satu ilahun yang sejati, yaitu Allah SWT yang menciptakan dan mendidik, yang memelihara serta menyempurnakan alam, yang Maha Murah dan Yang Maha Asih.[46]

Konsepsi yang demikian dikenal dengan konsepsi pembebasan dalam Islam. Tauhid merupakan salah satu kunci pokok keislaman, dengan jelas menunjukkan bahwa tidak ada penghambaan/penyembahan kecuali kepada Yang Maha Esa (Allah SWT), bebas dari belenggu kebendaan dan kerohanian. Dengan kata lain, seseorang yang telah mengikrarkan diri dengan dua kalimat syahadat berarti melepaskan dirinya dari belenggu dan subordinasi apapun.

Selanjutnya dengan dasar kalimah syahadat berarti juga menjadikan Muhammad s.a.w sebagai contoh terbaik, karena Muhammad itu manusia, hamba-Nya yang diutus-Nya, segala yang diajarkan bukanlah kehendak beliau sendiri, tetapi kehendak Allah. Beliau sekedar menyampaikan dan menjalankan pendidikan Allah .[47]

Keberhasilan Muhammad membawa bangsa Arab yang amat rendah, penuh tahayul, tenggelam dalam lumpur kemaksiatan, tidak ada pemerintahan yang teratur, tidak memiliki kebudayaan yang agak patut dan tidak memiliki kesatuan bangsa (perpecahan suku), dengan berdasarkan tauhid dalam waktu kurang lebih seperempat abad menjadi negara Islam yang kuat dan sentosa, merupakan contoh untuk semua manusia, bagaimana menjalankan kehendak (pendidikan) Allah.

Dalam firman Allah, surat Al- Ahzab ayat 21 dikatakan bahwa: “Sesungguhnya telah ada pada (diri) Rasulullah itu suri tauladan yang baik bagimu (yaitu) bagi orang yang mengharap (rahmat) Allah dan (kedatangan) hari kiamat dan dia banyak menyebut Allah.[48]

Selanjutnya dalam hadits disebutkan bahwa Siti Aisyah menyatakan tentang Nabi suci sebagai berikut: Akhlaq beliau itu adalah Al-Qur’an.[49]

Berdasarkan firman Allah dan hadits di atas aka apa yang dilakukan oleh Muhammad s.a.w selalu sesuai dengan firman Allah dan seluruh kehidupan-Nya merupakan praktek ajaran Al-Qur’an. Oleh karena itu dalam mencontoh Muhammad s.a.w, umat Islam mempunyai dua pimpinan yaitu Al-Qur’an dan sunnah Nabi.

Bagi Ahmadiyah yang menjadi maksud pokok dari hidup ini adalah mengabdikan diri kepada Allah dan berbuat baik kepada makhluk-Nya.[50] Dua perkara ini terjalin menjadi satu dan tidak boleh dipisah-pisahkan dalam sebagai tujuan manusia hidup di dunai ini. Dalam rangka mencapai suasana ideal, tidak cukup hanya berkiblat pada tujuan akhir, sebab a belum merupakan gambaran makna yang jelas. Adapun penjabaran lebih terinci dapat dikemukakan sebagai berikut:

  1. Membentuk manusia susila yang berjiwa cinta kasih kepada Allah SWT dan utusan-Nya Nabi suci Muhammad s.a.w baik dalam bentuk ketaatan maupun pembelaannya.
  2. Membentuk warga negara demokratis yang berbakti kepada Allah SWT, bertanggungjawab atas kebahagiaan dan keselamatan lahir batin tanah airnya.[51]

Yang perlu diperhatikan dalam hal agama, sebagaimana telah dikemukakan di depan, Ahmadiyah mempunyai pemikiran yang liberal dan berusaha memadukan berbagai madzab dalam Islam, Ahmadiyah mengajak bersatu dengan jalan:

  • Membiarkan dan tidak mengindahkan perbedaan-perbedaan diantara berbagai madzab.
  • Menghormati pshsm dan perbedaan pendapat diantara berbagai madzab dalam Islam.
  • Yang mesti benar dalam masalah agama hanyalah Allah dan Rasul-Nya.

Materi sosialisasi ajaran Ahmadiyah disusun sesuai dengan tingkatan pendidikan seseorang, yakni mulai dari tingkat dasar sampai yang tertinggi seperti berikut ini:

  • Pengertian Nabi Muhammad adalah Nabi Penutup para Nabi.
  • Perbedaan Nabi Isa dan Yesus.[52]
  • Keahmadiyahan adalah gerakan Pembaharuan Dalam Islam.
  • Sejarah dan perkembangan Gerakan Ahmadiyah Indonesia.
  • Seorang Ahmadiyah adalah muslim yang baik serta memperkenalkan tokoh-tokoh Gerakan Ahmadiyah Indonesia.
  • Arti dan hikmah berakhirnya kenabian pada diri Nabi suci Muhammad s.a.w.
  • Diutusnya para mujaddid.
  • Perbedaan Nabi dan Mujaddid.
  • Penghayatan tajdid Hazrat Mirza Ghulam Ahmad.[53]
  • Arti dan hikmah Allah membangkitkan seorang Nabi atau Rasul bagi kehidupan manusia yang diperkuat dengan dalil naqli dan aqli.
  • Arti dan hikmah berakhirnya kenabian pada diri Nabi Muhammad s.a.w, diperkuat dengan dalil naqli dan aqli.
  • Cara Allah menjaga Islam dan peran serta program Illahi diperkuat dengan dalil naqli dan aqli melalui pengamatan, klasifikasi, penerapan, dan komunikasi.
  • Makna Masih dan Mahdi yang dijanjikan dan pengertian Hazrat Mirza Ghulam Ahmad adalah Mujaddid, Masih dan Mahdi yang dijanjikan lengkap dengan dalil-dalilnya.
  • Pasang surutnya dunia Islam. Zaman kebangkitan Islam kembali diperkuat dengan dalil naqli dan aqli
  • Setiap abad dalam Islam lahir gerakan pembaharuan dalam Islam yang diperkuat dengan dalil naqli dan aqli.
  • Mengagumi dan meneladani Hazrat Mirza Ghulam Ahmad yang mengemban amanah Illahi memenangkan Islam kembali diperkuat dengan dalilaqli dan naqli.[54]

Ajaran Ahmadiyah dalam Prespektif Fiqh/Ushul Fiqh

Ajaran dasar dan materi sosialisasi yang disampaikan kepada masyarakat bukanlah sesuatu yang aneh dalam konstelasi pemikiran Islam. Maka menjadi sangat wajar, jika Ahmadiyah Lahore ini lebih bisa diterima masyarakat Indonesia. Dalam ajarannya Muhammad tetap diyakini sebagai Nabi dan Rasul.  Sedangkan Mirza Ghulam Ahmad sendiri diyakini sebagai seorang Mujaddid (pembaharu). Sebagaimana ajaran Islam yang lain selain Rasulullah Muhammad, telah muncul para pembaharu yang mengeluarkan dan memiliki pandangan yang agak berbeda dengan ajaran Islam yang lumrah sebelumnya. Pandangan yang kelihatan aneh ini didasari oleh latar belakang yang berbeda, tantangan umat yang berubah, dan muncul setelah melakukan refleksi dan pemikiran yang sangat panjang.

Landasan ajarannya sebagaimana ajaran aliran yang lain adalah mulai dari Al-Qur’an kemudian Hadits. Hanya saja untuk ijma’ dan qiyas Ahmadiyah lebih condong kepada pendapat Mirza Ghulam. Dengan kata lain, jika tidak ditemukan dasar sebuah hukum dalam Al-Qur’an dan Hadits, maka lari ke pendapat Mirza Ghulam yang diyakini sebagai Mujaddid, Masih dan Mahdi.

Dalam konteks perbedaan ajaran berbagai madzhab yang muncul mulai dari madzhab Syafi’iah, Malikiyah, Hanafiah, dan Hanbaliyah Ahmadiyah lebih memilih untuk menggunakan pendapatnya sendiri. Dalam pandangan Ahmadiyah perbedaan pendapat dan perselisihan antar madzhab merupakan salah satu penyebab enjadi lemahnya dakwah Islamiyah. Sebagian ulama dan umat Islam lebih sibuk dengan perbedaan pendapat tersebut, sehingga agak melupakan dakwah Islamiyah yang untuk saat ini menjadi sangat penting dan harus dilaksanakan secara tegas dan benar. Dengan kata lain Ahmadiyah lebih memilih untuk menghilangkan sekat-sekat perbedaan tersebut, dengan memunculkan pendapatnya sendiri secara langsung dari Al-Qur’an dan Hadits.

Pemanfaatan akal dalam penetapan hukum masih di bawah Al-Qur’an dan Hadits. Akal dalam pandangan Ahmadiyah merupakan sarana yang sangat penting menemukan rasionalisasi sebuah hukum dalam kaitannya dengan sebuah ayat atau sebuah hadits. Namun, sekai lagi ketika di dalam Al-Qur’an dan Hadits belum ditemukan secara jelas, maka harus melihat pendapat dan ajaran Mirza Ghulam mengenai status hukum tersebut. Inilah yang kemudian dikatakan bahwa Mirza Ghulam bukanlah pengganti Nabi akan tetapi seorang pembaharu yang bukan hanya bergerak di biang teologi, akan tetapi juga meliputi hukum, etika, dan politik, bahkan ekonomi.

 

Penutup

Dari sedikit paparan di atas dapat dikatakan bahwa Ahmadiyah muncul dipengaruhi oleh realitas umat Islam di India yang mengalami keterbelakangan dalam segala bidang. Runtuhnya dinasti Mughol, persaingan dan pertentangan yang cukup keras antara aliran, madzhab dan golongan Islam, pertikaian dengan kaum Hindu serta jatuhnya India menjadi koloni Inggris menjadikan umat Islam sangat tradisionalis, fatalistis disertai semangat antipati dan fanatisme keagamaan yang berlebihan dalam menghadapi tradisi Barat. Ajaran dasar Ahmadiyah adalah syahadat, yang mengandung arti tauhid dan pengakuan Muhammad s.a.w sebagai uswatun hasanah. Tujuan ajarannya adalah membentuk manusia yang mengabdi kepada Allah SWT dan berbuat baik kepada sesama makhluk. Dalam prespektif fiqh dan ushul fiqh metodologi penentuan hukum sebagaimana madzhab yang lain tetap mendasarkan diri pada –Al-Qur’an dan Hadits. Hanya saja Ahmadiyah lebih memilih pandangan dan pendapat Mirza Ghulam jika suatu masalah belum ditemukan dalam dua sumber utama tersebut. Perbedaan madzhab yang terjadi bagi Ahmadiyah harus dihindari dan dijauhi, karena perbedaan tersebut bisa menjadi salah satu faktor melemahnya dakwah Islam yang semakin lama menghadapi tantangan dan hambatan yang semakin besar dan komplek.[]

 

  • Penulis: Prof. Dr. Iskandar Zulkarnain | Guru Besar UIN Sunan Kalijaga
  • Sumber Artikel : Jurnal Mazhabuna

 

Bahan Bacaan  

  • A.Syafi’i Maarif, Peta Bumi Intelektualisme Islam di Indonesia, Mizan, Bandung, 1993.
  • Abdur ar Rahman Muhammad Usman, ‘Aunu al Ma’bur, Sarah Sunan Abu Dawud, Juz 4, Darul Fikr, Beirut, t.t.
  • Abdurrahman, Ahmadiyah Dulu, Kini dan Mendatang, Aspek Teologis, Makalah pada seminar 100 tahun Gerakan Ahmadiyah Lahore Indonesia 23 Desember 1989 di Yogyakarta.
  • Alfian, Islamic Modernism in Indonesia Politics: The Muhammadiyah Movement During the Dutch Period (1912-1942), Disertasi Doktor Universty of Wisconsin, 1969.
  • Azyumardi Azra, Pergolakan Politik Islam dari Fundamentalisme, Modernisme, Hingga Post-Modernisme, Paramadina, Jakarta, 1996.
  • Basyiruddin Mahmud Ahmad, Riwayat Hidup Mirza Ghulam Ahmad, terj. Malik Aziz Ahmad Khan, Jemaat Ahmadiyah Indonesia, Parung, 1995.
  • Buku Pelajaran Tingkat SD, Yayasan PIRI Yogyakarta.
  • Departemen Agama RI, Al-Qur’an dan Terjemahnya, Jakarta: PT Bumi Restu, 1978.
  • F. Pijper, Penelitian Tentan Agama Islam di Indonesia 1930-1950, terj. Tujdimah VI-Press, Jakarta, 1992.
  • GBPP tingkat Sekolah Lanjutan Pertama, Yayasan PIRI
  • GBPP tingkat Sekolah Menengah Umum, Yayasan PIRI
  • Gerakan Ahmadiyah Lahore Indonesia (GAI), Anggaran Dasar (Qanun Asasi)
  • Gerakan Ahmadiyah Lahore Indonesia, Buku Kenang-kenangan 50 Tahun Gerakan Ahmadiyah Lahore Indonesia, t.p, t.t, 1979.
  • H.A.R. Gibb, Aliran-aliran Modern Dalam Islam, terj. Machnun Husein, Raja Grafindo Persada, Jakarta, 1996.
  • Hamka Haq al-Badry, Koreksi Total Terhadap Ahmadiyah, Yayasan Nurul Islam, Jakarta, 1981.
  • Harun Nasution, Islam Ditinjau Dari Berbagai Aspek, Jilid I, UI Press, Jakarta, 1978.
  • Harun Nasution, Pembaharuan Dalam Islam: Sejarah Pemikiran dan Gerakan, Bulan Bintang, Jakarta, 1992.
  • Iskandar Zulkarnain, Gerakan Ahmadiyah di Indonesia 1920-1942, Disertasi Doktor IAIN Syarif Hidayatullah, Jakarta, 2000.
  • Ali, History of Pakistan/ Bangladesh, Ali Publication, Darca, 1980.
  • Amin Djamaluddin, Ahmadiyah dan Pembajakan Al-Qur’an, LPPI, Jakarta, 2000.
  • Maulana Muhammad Ali, Mirza Ghulam Ahmad of Qadian: His Life and Mission, Ahmadiyah Anjuman Isha’at Islam, Lahore, 1959.
  • Mirza Basyir Ahmad, Silsilah Ahmadiyah, terj. Abdul Wahid H.A, t.p, Kemang, 1997.
  • Mirza Ghulam Ahmad, Izalai Auham, t.p, t.t; 1891 dalam Iskandar Zulkarnain, Gerakan Ahmadiyah di Indonesia 1920-1942, Disertasi Doktor IAIN Syarif Hidayatullah, Jakarta, 2000.
  • Mirza Ghulam Ahmad, Memperbaiki Suatu Kesalahan, terj. H.S. Yahya Pontoh, Jemaat Ahmadiyah Indonesia, t.t.
  • Muslih Fathoni, Faham Mahdi Syi’ah dan Ahmadiyah Dalam Prespektif, PT. Raja Grafindo, Jakarta, 1994.
  • Nazir Ahmad Mubasyir, Al-Qaul al Sharih fi Dhuhur al-Mahdi wa al-Masih, Wakala al-Tabsyir li al-Tahrk al-Jadid, Rabwah, Pakistan, 1389 H.
  • R.H. Soedewa, Gerakan Ahmadiyah Lahore Indonesia (GAI), Pedoman Besar Gerakan Ahmadiyah Lahore Indonesia, Yogyakarta.
  • S.Ali Yasir, Gerakan Pembaharuan Dalam Islam (At-Tajdiid fi-l Islam), Jilid 2, Yayasan PIRI, Yogyakarta, 1991.
  • S.Ali Yasir, Yatimin AS (Edit), 100 Tahun Ahmadiyah, Media Komunikasi No. 02/1989, Pedoman Besar Gerakan Ahmadiyah Indonesia Bagian Tabligh dan Tarbiyah.
  • Spencer Lavan, The Ahmadiyah Movement: A. History  and Perspective, Manohar Book Service, Delhi, 1974.
  • W.C. Smith, Modern Islam in India, Usaha Publication, New Delhi, 1979.

 

Endnotes

[1] Ketegangan theologis adalah suatu keadaan yang ditimbulkan karena adanya keharusan memegangi doktrin dengan keinginan untuk memberikan pemahaman baru pada doktrin tersebut. Lihat Azyumardi Azra, Pergolakan Politik Islam dari Fundamentalisme, Modernisme Hingga Post-Modernisme, Paramadina, Jakarta, 1996, p.i-ii

[2] Pembaruan jika dipahami sebagai aktuaalisasi Islam dalam perkembangan sosial, sesungguhnya telah hadir bersamaan dengan kelahiran Islam itu sendiri. Namun jika dikaitkan dengan pereodisasi sejarah merupakan pemikiran yang lahir pada masa modern (1800-an dan seterusnya). Lihat Azyumardi Azra, Pergolakan, p.iii, H.A.R. Gibb, Aliran-aliran Modern Dalam Islam, terj. Machnun Husein, Raja Grafindo Persada, Jakarta, 1996, p.3-6, Harun Nasution, Pembaruan Dalam Islam: Sejarah Pemikiran dan Gerakan, Bulan Bintang, Jakarta, 1992, p.14

[3] Tokoh-tokoh yang dimasukkan dalam kelompok pertama adalah Al-Afghani, Abduh, Ahmad Khan, Syibli Nu’mani, Namik Kemal, Ziya Gokalp, Iqbal, H.A. Salim, Natsir, Hamka, Amir Syakip Arselan, Muhammad Asad, Fazlur Rahman, Ali Syariati, Ismail Al-Faruqi dan Muhammad Arkoun. Sedang kelompok kdua, intelektualis Islam yang muncul setelah Perang Dunia II seperti: F. Schuon, Hossein Nasr, Hamid Algar, Roger Garaudy, Martin Lings, Muhammad Naquib Al-Attas. Tokoh yang dimasukkan tipologi ketiga, antara lain, Abul A’la Al-Maududi, Sayyid Quthb dan Ayatullah Khomeini. Sementara tokoh yang dikategorikan kelompok keempat, yaitu, Ali Abd. Raziq, Kemal Attaturk, Sukarno, Bassam Tibi, Abdullah Laroui, Detlev H. Khalid, juga Abul Kalam Azad. Lihat A. Syafii Maarif, Peta Bumi Intelektualisme Islam di Indonesia, Mizan, Bandung, 1993, p. 12-14

[4] Paham millenaristis adalah ajaran yang mengakui akan datangnya seorang tokoh juru selamat atau Messiah pada umat yang tertindas akibat merajalelanya kezaliman penguasa. Lihat Muslih Fatoni, Faham Mahdi Syiah dan Ahmadiyah Dalam Prespektif, PT. Raja Grafindo, Jakarta, 1994, p.2

[5] S. Ali Yasir, Yatimin AS (Edit), 100 Tahun Ahmadiyah, Media Komunikasi No. 02/1989, Pedoman Besar Gerakan Ahmadiyah Indonesia Bagian Tabligh dan Tarbiyah, p.18-20

[6] Hamka Haq al-Badry, Koreksi Total Terhadap Ahmadiyah, Yayasan Nurul Islam, Jakarta, 1981.p.7

[7] K. Ali, History of Pakistan/Bangladesh, Ali Publication, Darca, 1990, p.496. Lihat pula dalam Harun Nasution, Islam Ditinjau Dari Berbagai Aspek, Jilid I, UI Press, Jakarta, 1978, p.82-88.

[8] Hamka Haq al-Badry, Koreksi Total, p.24

[9] Basyiruddin Mahmud Ahmad, Riwayat Hidup Mirza Ghulam Ahmad, terj. Malik Aziz Ahmad Khan, Jemaat Ahmadiyah Indonesia, Parung, 1995, p.9. Lihat juga Spencer Lavan, The Ahmadiyah Movement: A. History and Perspective, Manohar Book Service, Delhi, 1974, p.27-28

[10] Maulana Muhammad Ali, Mirza Ghulam Ahmad of Qadian: His Life an Mission, Ahmadiyah Anjuman Isha’at Islam, Lahore, 1959, p.12.

[11] Hamka Haq al-Bardy, Koreksi Total, p.25

[12] Basyiruddin Mahmud Ahmad, Riwayat Hidup, p.21

[13] Tentang nama Ahmadiyah ada perbedaan pendapat. Ada yang mengatakan bahwa nama itu diambil dari nama pendirinya yaitu Ghulam Ahmad (Hamka Haq Al-Badry, Koreksi Total, p.25). Sedang menurut Maulana Muhammad Ali, nama tersebut diambil dari salah satu nama Rasulullah. Nama itu diambil dari surat as-Shaff ayat 6, yang memuat informasi bahwa nanti akan datang seorang nabi yang bernama Ahmad (Maulana Muhammad Ali, Mirza Ghulam Ahmad, p.17). dalam seperempat abad PIRI ditambahkan bahwa Nabi Suci mempunyai dua nama yang termasyhur, yaitu Ahmad dan Muhammad. Ahmad artinya yang banyak memuji sedangkan Muhammad artinya yang sangat terpuji. Nama Muhammad menunjukkan sifat kebesaran dan kemenangan yang lazim disebut sifat jalali, sedangkan nama Ahmad menunjukkan sifat keindahan, keelokan dan kehalusan budi atau yang lazim disebut sifat jamali. Mirza Ghulam Ahmad memilih nama Ahmadiyah untuk menamakan jemaat atau gerakannya dimaksudkan agar setiap orang yang mendengar nama ini tergerak hatinya bahwa gerakan ini menghayati aktifitasnya dengan sifat jamali yaitu memperbanyak taqwa kepada Allah, berdakwah Islam dengan keindahan, keelokan dan kehalusan budi (Seperempat Abad Yayasan PIRI, 1947-1972, Darkuti, Yogyakarta, tt; p.60).

[14] Hamka Haq al-Badry, Koreksi Total, p.30

[15] Mirza Bashir Ahmad, Silsilah Ahmadiyah, terj. Abdul Wahid H. A, t.p; Kemang, 1997, p.71

[16] Ibid; p.39-40

[17] Ibid; p.71

[18] Mirza Bashir Ahmad, Riwayat Hidup, p.16

[19] Departemen Agama RI, Al-Qur’an dan Terjemahnya, Jakarta: PT Bumi Restu, 1978, p.674

[20] Nazir Ahmad Mubasyir, Al-Qaul al Sharih fi Dhuhur al-Mahdi wa al-Masih, Wakala al-Tabsyir li al-Tahrk al-Jadid, Rabwah, Pakistan, 1389 H, p.170

[21] Mirza Ghulam Ahmad, Memperbaiki Suatu Kesalahan, terj. H.S. Yahya Pontoh, Jemaat Ahmadiyah Indonesia, t.t; p.14

[22] Mirza Ghulam Ahmad, Izalai Auham, t.p, t.t;1891 dalam Iskandar Zulkarnain, Disertasi Doktor IAIN Syarif Hidayatullah (Belum diterbitkan), Jakarta, 2000, p.99

[23] Hamka Haq al-Badry, Koreksi Total, p.30

[24] Muslih Fathoni, Faham Mahdi Syi’ah dan Ahmadiyah Dalam Prespektif, PT. Raja Grafindo, Jakarta, 1994, p.53

[25] W.C. Smith, Modern Islam in India, Usaha Publication, New Delhi, 1979, p.368

[26] Abdurrahman, Ahmadiyah Dulu, Kini dan Mendatang, Aspek Teologis, Makalah pada seminar 100 tahun Gerakan Ahmadiyah Lahore Indonesia 23 Desember 1989 di Yogyakarta, p.3

[27] Ibid; p.2

[28] Muslih Fathoni, Faham Mahdi, p. 137

[29] Bendera Islam, 19 Maret 1925

[30] S. Ali Yasir, Gerakan Pembaharuan Dalam Islam (At-Tajdiid fi-l Islam), Jilid 2, Yayasan PIRI, Yogyakarta, 1991, p.30. Lihat juga M. Amin Djamaluddin, Ahmadiyah dan Pembajakan Al-Qur’an, LPPI, Jakarta, 2000, p.200

[31] Mirza Ghulam Ahmad, Izalati Auham, t.p, t.t; 1891 dalam Iskandar Zulkarnain. P.

[32] Hamka Haq al-Badry, Koreksi Total, Disertasi Doktor IAIN Syarif Hidayatullah, Jakarta, 2000, p.29

[33] Muslim, Shohih Muslim, juz 2, Kona’ah, t.t, p.131

[34] G.F. Pijper, Penelitian Tentang Agama Islam di Indonesia 1930-1950, terj. Tudjimah VI- Press, Jakarta, 1992, p.41

[35] Ibid; p.41

[36] Gerakan Ahmadiyah Lahore Indonesia, Buku Kenang-kenangan 50 Tahun Gerakan Ahmadiyah Lahore Indonesia, t.p, t.t, p.83

[37] Gerakan Ahmadiyah Lahore Indonesia (GAI), Anggaran Dasar (Qanun Asasi), p.97

[38] Amanah Muhammadiyah 1926-1927, p.133-135

[39] Gerakan Ahmadiyah Lahore Indonesia, Buku Kenang-kenangan, p.83

[40] Ibid.

[41] Alfian, Islamic Modernism in Indonesia Politics: The Muhammadiyah Movemen During the Dutch Period (1912-1942), Disertasi Doktor Universty of Wisconsin, 1969, dalam Iskandar Zulkarnain, Disertasi Doktor IAIN Syarif Hidayatullah, Jakarta, 2000, p.940

[42] Iskandar Zulkarnain, Gerakan Ahmadiyah di Indonesia 1920-1942, Disertasi Doktor IAIN Syarif Hidayatullah, Jakarta, 2000, p.257

[43] S. Ali Yasir, Yatimin AS. (Edit) 100 Tahun Ahmadiyah, 60 Tahun Gerakan Ahmadiyah Lahore Indonesia, Media Komunikasi No. 2/1989, p.33-35. Tentang nama pergerakan ini telah beberapa kali mengalami perubahan, yaitu sebagai berikut:

  1. Pada Zaman Kolonial Belanda bernama “Gerakan Ahmadiyah Indonesia (Centrum Lahore).
  2. Pada zaman kemerdekaan sampai tahun 1973 bernama “Gerakan Ahmadiyah Lahore (Aliran Lahore).
  3. Sejak tahun 1975-1994 bernama “Gerakan Ahmadiyah Lahore Indonesia”
  4. Sejak 1994 sampai sekarang bernama “Gerakan Ahmadiyah Indonesia” disingkat GAI (M. Amin Djamaluddin, Ahmadiyah dan….), p.199

[44] R.H. Soedewa, Gerakan Ahmadiyah Lahore Indonesia (GAI), Pedoman Besar Gerakan Ahmadiyah Lahore Indonesia, Yogyakarta, p.14. Lihat juga S. Ali Yasir, Yatimin AS, 100 Tahun, p,36

[45] Yayasan PIRI, AD/ART, p.24

[46] Ibid; p.19-21

[47] Yayasan PIRI, AD/ART, p.21-22

[48] Yayasan PIRI, AD/ART, p.21-22

[49] Abdur ar Rahman Muhammad Usman, ‘Aunu al Ma’bur, Sarah Sunan Abu Dawud, Juz 4, Darul Fikr, Beirut, t.t; p.220.

[50] Yayasan PIRI, AD/ART, p.14

[51] Ibid; p.44-45

[52] Dikutip dari pelajaran tingkat SD, Yayasan PIRI, Yogyakarta

[53] Dikutip dari GBPP tingkat Sekolah Lanjutan Pertama, Yayasan PIRI

[54] Dikutip dari GBPP tingkat Sekolah Menengah Umum, Yayasan PIRI

Yuk Bagikan Artikel Ini!

Comment here

Translate »