Oleh : Mardiyono
|| Tahun 1918. Yudo, seorang muda umur 20 tahun dari Wates, pergi ke Yogyakarta, berjalan kaki. Setiba di Pasar Bering, tiba-tiba kedua pundaknya dipegang dari belakang. Saat membalik badan, si pemegang pundak dengan sekonyong-konyong meludahi Yudo, persis di mukanya. Tentulah Yudo terkejut, marah dan tercengang. Ia pun bersegera mengangkat tangan, hendak menempeleng orang itu. Tetapi bakul-bakul kanan kiri memegang kedua tangannya sambil berseru,
“Jangan, den!”.
“Lha, kok?”.
“Itu ndoro Purbo!”.
“Aku tak kenal…”.
“Beliau Wali, den”.
Sementara itu, yang dikatakan orang Ndoro Purbo, mengacungkan jari telunjuknya ke muka Yudo sambul berseru, “Uh uh uh”. Kemudian ketawa “Ha ha ha ha” lalu pergi.
Para bakul berkata, “Wah, sampeyan begjo, den…”
Peristiwa pun berlalu begitu saja. Dan Yudo, sesudah berbelanja berbagai keperluannya, pulang kembali ke Wates, juga dengan berjalan kaki.
Esoknya, di kampung Yudo, ada dua orang bersaudara yang sedang cekcok perkara tanah warisan. Akhirnya, mereka sepakat untuk menghibahkan tanahnya kepada Yudo, daripada kedua saudara itu tidak rukun. Itulah keberuntungannya yang pertama.
Hari berikutnya, Yudo pergi ke Yogya lagi untuk melihat Sekaten di malam hari. Ia ikut main rulet, memberi uang di suatu nomor, bola kecil menggelinding berhenti di nomor itu. Uang dibiarkan tetap di nomor itu, bola kecil berhenti di situ lagi. Uang disentil pindah nomor, bola kecil berhenti di nomor yang baru. Uang diangkat dan dijatuhkan di sembarang nomor, bola kecil berhenti di situ. Demikianlah seterusnya sampai akhirnya sang bandar bangkrut. Hari-hari berikutnya, keberuntungan datang susul menyusul kepada Yudo. Apapun yang Yudo kerjakan membawa keberuntungan. Usaha apapun sukses. Berdagang apapun memberi untung.
Tetapi setahun berlalu, nasib keberuntungan Yudo berhenti, keadaannya menjadi seperti dahulu lagi. Kadang sukses kadang gagal, kadang untung kadang rugi. Maka mulailah Yudo bersalat lima waktu sambil bertanya kepada Tuhan, mengapa keberuntungannya berhenti.
Konon, Yudo mendapat wangsit “Begjomu hanya setahun”. Kini ia mencoba mengerti bahasa ndoro Purbo. Ia diludahi di mukanya dahulu berarti “Kamu begjo”. Jari telunjuk diacungkan di depan hidungnya mempunyai arti “Satu tahun”. Mungkin, kalau yang diacungkan dua jari, begjonya menjadi “dua tahun”). “Ha ha ha ha” artinya “Saya ucapkan selamat atas keberuntungan anda”.
***
Itulah sekadar cerita mengenai pangeran Purbo yang makamnya berada di sebelah timur makam pahlawan Yogya, dahulu dengan papan nama yang besar “Kyai Ageng Prawiro Purbo”. Makam beliau dianggap keramat, sehingga setiap malam Jumat Kliwon, orang berkunjung ke makam untuk mohon berkah hingga sekarang.
Pangeran Purbo ialah bangsawan keraton Yogya yang memegang jabatan tinggi di istana. Suatu ketika beliau mengalami musibah yang beruntun, yaitu isteri meninggal, disusul putra-putranya meninggal satu per satu. Pangeran Purbo ingin seikhlas-ikhlasnya mengalami musibah-musibah itu dengan cara bertapa dengan berpindah-pindah tempat, akhirnya kembali ke Yogya sudah menjadi Waliyullah.
Pangeran Purbo sangat dihormati oleh masyarakat Yogya, diharap-harap namun juga ditakuti. Orang jualan di tepi jalan, ndoro Purbo lewat sambil menyaut barang atau makanan dagangannya, orang senang sekali, sebab dagangannya akan laris. Jika ada orang duduk di tepi jalan, ndoro Purbo menghampiri, orang dikencingi, orang akan mendapat rejeki yang besar. Jika beliau berjalan mengitari orang, orang akan celaka. Jika masuk rumah orang dan sumbat saluran bak kamar mandi dicabut sehingga air habis mengalir keluar, orang akan habis kekayaannya.
Suatu ketika ndoro Purbo menyuruh masyarakat Yogya untuk mandi di kali Code yang airnya begitu kotor dan bau, orang Yogya patuh. Ternyata mereka yang telah mandi di kali bakal selamat dari wabah kolera yang kemudian melanda Yogya. Kiranya sebelum adanya wabah, di kali Code sudah ada kuman-kuman kolera yang memberi imunisasi kepada mereka yang mandi.
***
Lantas, apakah bangsa Indonesia memerlukan waliyullah yang sakti, seperti ndoro Purbo itu, untuk dapat membenahi keadaannya yang sedang amburadul dewasa ini?Mumpuni dalam beragama, meskipun Islam, ternyata tidak mampu untuk mengatasi keadaan. Ilmu pengetahuan juga tidak dapat, ibadah-ibadah yang lengkap dan intensif ternyata juga tidak dapat.
Kiranya yang dapat hanyalah manusia-manusia sakti yang adalah Waliyullah. Tidak sembarang sakti, melainkan kesaktian yang dapat mengatasi kejahiliahan umat, dan membawa umat kepada kejayaan Islam. Krisis multidimensi, bencana-bencana alam, kecelakaan-kecelakaan di darat, laut, udara, penyakit-penyakit mewabah, penjajahan terselubung oleh bangsa lain, semua itu adalah akibat dari kejahiliahan umat.
Dahulu bangsa Indonesia, khususnya yang di Jawa, menjadi Islam karena jasa Walisongo, yaitu sembilan orang Waliyullah, dengan sarana yang rakyat sudah punya, yaitu Mahabarata yang disajikan dalam bentuk wayang kulit. Kiranya wayang kulit adalah wahyu hasil tafakur yang sangat mendalam oleh kesembilan wali. Tandanya hingga sekarang tidak berubah, pakem-pakemnya, suluk-suluknya sama dahulu dan sekarang, bentuk masing-masing wayang masih saja seperti dahulu. Umpama sang Petruk yang hidungnya panjang dimodernkan dengan hidungnya dibuat lebih pendek, orang tidak mau terima. Semar yang pantatnya sebesar gentong dimodernkan dengan diperkecil, orang tidak mau terima. Gaya bahasa lahiriah dan batiniah juga sudah amat sesuai dengan masing-masing tokoh wayangnya, demikian juga gerakan dan sepak terjang masing-masing tokoh, tidak bakal orang mau terima untuk diubah.
Itulah bukti-buktinya bahwa Wali Songo berkarya dengan tuntunan wahyu-wahyu Tuhan. Seluruh wayang, termasuk gamelan dan dalangnya itulah diri manusia yang mikrokosmos, yang memiliki potensi seluruh kekuatan yang berada di alam (QS 91:1-10). Hadis Nabi “Anak diahirkan fitrah Islam, orang tualah yang membuatnya menjadi Yahudi, Nasrani atau Majusi”. Dengan bahasa wayang “Fitrahnya manusia ialah Pendawa, yang berpusaka sakti Serat Kalimosodo, yaitu Kalimah Syahadat yang tiada taranya, adapun jika manusia bernasib Kurawa atau Denawa (Buto Cakil dsb), itulah pokalnya sendiri”.
Diperlukan usaha yang raksasa untuk menghentikan kejahiliahan umat, apalagi untuk mendatangkan kejayaan Islam kembali. Umat Islam sebagaimana keadaannya sekarang terbukti tidak mampu untuk melaksanakannya. Yang mampu untuk dapat dihinggapi oleh kekuatan-kekuatan yang berasal dari Tuhan hanyalah wali-waliyullah, maka hanyalah wali-wali yang dapat menjadi robot-robot pelaksana Kehendak Tuhan. Hanya Wali-wali yang dapat menghentikan kejahiliahan umat. Tuhan menghendaki Islam jaya kembali, maka hanya wali-wali yang mampu untuk dapat dibekali dengan worldpower guna dapat menegakkan kembali kejayaan Islam.
“Sungguh para waliyullah tak bakal takut dan susah, yaitu mereka yang iman dan takwa. Kabar-kabar baik turun kepada mereka di dunia ini dan di akhirat nanti. Tak ada perubahan dalam janji Allah. Itulah prestasi yang gemilang” (QS 10:62-64). Manusia Islam merasa dirinya sudah beriman dan bertaqwa. Tinggal meningkatkannya sehingga akhirnya Tuhan berkenan untuk melaksanakan janji-Nya dengan menurunkan “kabar-kabar baik”, bahkan yang bertubi-tubi, maka iman dan taqwanya sudah berada di kalbu, insya Allah ia telah diterima oleh Tuhan sebagai waliyullah.
Jika obsesi dan karyanya demi untuk dapat datangnya kejayaan Islam, maka insya Allah Tuhan akan memberinya worldpower sebagaimana dahulu Tuhan telah berikan kepada Nabi Besar SAW, para sahabat dan para penerus beliau-beliau, yaitu menyebarkan KEINDAHAN dan KEAGUNGAN Islam dengan dihinggapi oleh Kekuatan-kekuatan yang berasal dari Tuhan.
Kejayaan Islam kembali sudah Kehendak Tuhan untuk zaman sekarang ini. Maka insya Allah umat Islam dewasa ini akan mengalami bangkitnya wali-waliyullah di kalangan umat sendiri, sebagai tanda bahwa Kejayaan Islam sudah di ambang pintu.[]
Comment here