Wahyu adalah air hujan samawi yang turun atas karunia Allah dalam gersang hati manusia. Dengan itu, manusia menggunakan kekuatan, harta benda dan jiwa pemberian Allah, guna mengabdi pada jalan-Nya.
Oleh : Muhammad Ali A.R
Allah Yang Maha Pengasih dan Penyayang menjadikan manusia dengan maksud yang luhur, agar manusia memperoleh kebahagiaan lahir dan batin, dunia dan akhirat. Manusia dijadikan dalam bentuk yang amat baik (QS 95:4), diberi panca indra, anggota badan, akal dan hati (QS 29:23), yang semuanya menjadi sarana bagi manusia dalam mencapai tujuannya. Karena kemurahan Allah, manusia juga dikaruniai agama yang dibawa para Nabi sejak dahulu kala hingga berujung pada Nabi Suci Muhammad saw. sebagai penutup segala Nabi. Tak ada satu bangsa pun yang tidak kedatangan Nabi Utusan Tuhan (QS 35:24).
Sesuai maksud agama yang dibawanya, maka kewajiban para Nabi ialah menyucikan manusia, mengajarkan kitab dan kebijaksanaan. Para Nabi juga memberikan contoh teladan bagaimana seharusnya hidup di dunia, cara mengadakan hubungan dengan Allah dan sesama makhluk, agar dapat tercapai apa yang menjadi tujuan hidupnya.
Untuk mencapai tujuan yang luhur, manusia memerlukan contoh, kesucian dan kebijaksanaan. Sehebat apa pun panca indra dan akal manusia, ia menjadi lemah dan tak berdaya dalam upayanya mencapai tujuan luhur dan ma’rifat kepada Allah. Manusia sering mengalami jalan buntu dan tidak mengerti apa yang sebenarnya menjadi tujuan luhurnya. Mereka menyangka bahwa hidupnya hanya sekarang saja, di dunia, tanpa ada keberlanjutan di kehidupan lain sesudahnya (6:39). Mereka hanya sibuk dan berlomba-lomba dalam mencari tambahan kekayaan duniawi berupa harta benda, nama dan kehormatan.
Kecintaan dan ketertarikan manusia akan tumpukan kekayaan duniawi itu melupakan kewajiban, meninggalkan pertimbangan baik dan buruk. Perbuatan halal dan haram tak dihiraukan lagi, asal mereka dapat mencapai yang menjadi keinginan. Tidak aneh jika mereka saling tindas dan tipu menipu satu sama lain. Atau bisa jadi mereka sudah mengerti apa yang dilarang oleh agama, tetapi mereka tabrak saja asal keinginan hatinya tercapai.
Jika manusia sudah demikian sifatnya, maka matilah sudah hatinya. Hati manusia yang sudah mati tidak punya belas kasih kepada sesama dan buta akan kewajiban hidupnya. Itulah yang perlu dihidupkan kembali oleh Allah dengan perantaraan wahyuNya.
Sebagaimana kalam ibarat. Bumi yang keras, kering dan berdebu, ia akan tampak hidup jika terkena siraman hujan. Darinya tumbuh kekuatan yang mengeluarkan hasil bumi yang beraneka warna. Air hujan dari langitlah yang menghidupkan bumi.
Demikian pula terutusnya para Nabi yang telah membawa wahyu, tentu akan menghidupkan hati manusia. Wahyu adalah air hujan samawi yang turun atas karunia Allah dalam gersang hati manusia. Dengan itu, manusia menggunakan kekuatan, harta benda dan jiwa pemberian Allah guna mengabdi pada jalan-Nya.
Dalam shalat, seorang mukmin menyatakan kesanggupan bahwa shalat, pengorbanan, hidup dan matinya untuk Allah, Tuhan sekalian Alam. Itulah komitmen orang yang hidup hatinya. Kecintaan hatinya naik ke atas, berkhusyu’ kepada Tuhan, berketetapan dalam salatnya, dan tidak dapat meninggalkan Qur’an. Di waktu siang hari giat mencari harta, agar dapat membabarkan kecintaanya kepada sesamanya, membayar zakat, mengongkosi penyebaran Islam, dan lain sebagainya. Di waktu malam, khusyu bagaikan wali dalam sujud ke hadirat Allah, memohon tambahan kekuatan ruhaninya.
Pendek kata, tangan dan lisannya hanya untuk menyelamatkan sesama manusia. Badannya sehat pikirannya tajam, hidup atau urusan rumah tangganya teratur dengan sederhana dan suci (pure and simple life), gerak gerik, diam dan bicaranya menyenangkan, roman mukanya membuktikan ketenangan batinya dan kebulatan pikirannya. Segala ucapannya mengandung isi, jauh dari segala macam tindakan atau barang yang tak berguna. Sikapnya terhormat (bukan gila hormat). Keberanianya melebihi seorang pahlawan di medan perang. Hemat tetapi kemurahannya tidak bertara. Dia sudah mempunyai keyakinan bahwa Allah itu betul-betul ada, Dzat yang memberikan hidup dan mati. Maka dari itu, dia telah jauh dari segala macam tindakan berdosa, tetap termasuk golongan Muflihun (orang-orang yang berbahagia, dapat ma’rifat akan adanya Allah, hatinya penuh cinta, tidak mempunyai kekuatiran dan ketakutan). Kekuatan imannya tidak basah oleh air, di waktu mengeluarkan harta benda untuk membela jalan Allah tidak merasa sayang dan berat, semua harta bendanya diusung dan diserahkan untuk keperluan itu. Kalau agama memerlukan tenaganya, ia tidak merasa berat untuk menyerahkan badannya. Kalau Islam memerlukan pengorbanan jiwanya, ia tidak mengelakkan dirinya. Itu semua secara pendek gambarannya orang yang telah hidup hati dan jiwanya.
Sekarang kita perlu mawas diri masing-masing. Apakah dalam menjalankan agama kita telah dapat menghidupkan hati kita? Apakah hati kita telah bangun? Apakah kita telah merasa memperoleh nikmat bahagia? Apakah dalam menjalankan shalat kita telah mendapat manisnya? Apakah kita telah mendudukkan Qur’an Suci di tempat yang paling depan? Apakah kita sudah dapat menjauhkan diri dari segala perbuatan buruk? Apakah kecintaan kita kepada Islam sudah betul-betul? Apakah kita sudah menjadi orang yang berlapang dada? Apakah kita tak dihinggapi rasa ragu-ragu akan adanya Allah, Akhirat, Malaikat dan sebagainya? Apakah kita termasuk golongan yang aktif dalam penyiaraan Islam sebagai pengisi hidup kita? Apakah dalam melayani atau megkhidmati agama kita telah memperoleh ketentraman?
Kalau belum, apakah sebabnya? Apakah janji Allah tidak benar? Apakah Qur’an Suci bukan sabda yang berkuasa? Apakah Nabi Suci saw. bukan Nabi yang sempurna dan penutup segala Nabi? Tidak sama sekali. Islam telah memberikan bukti bahwa Nabi Muhammad Saw. dan para sahabatnya telah menjadi guru dan pemimpin jagad yang kejayaanya telah mengherankan dan menakjubkan bagi kawan dan lawan maupun bagi para ahli sejarah. Jadi Islam tidak salah, Islam itu benar dan sangat benar sekali.
Bumi yang hidup mudah sekali menghirup air hujan dan mengeluarkan kekuatan berupa tumbuh-tumbuhan. Tetapi batu yang keras akan meleset saja kalau terkena air hujan. Demikian pula wahyu Al-Qur’an akan dapat menghidupkan dan menyegarkan hati manusia kalau wahyu itu meresap ke lubuk hati sehingga orangnya bangkit menuju hidup baru. Tetapi kalau wahyu itu tidak dapat meresap, karena hati sudah membatu, kita tak bisa memperoleh bahagia. Bukan Al-Qur’an, karena banyak tutup yang menyebabkan qalbu kita membatu. Untuk meresapi air ruhani dari wahyu Ilahi ke dalam hati kita, perlulah tutup-tutup itu kita ambil dan kita singkirkan jauh-jauh.
Apakah yang menjadi tutup yang menghalang-halangi meresapnya air ruhani itu? Banyak sekali, di antaranya ialah:
- Kekurangan ilmu, karena tidak memperoleh pelajaran, tak pernah menghadiri pengajian, atau karena taqlidul a’ma (ikut-ikutan secara membabi buta) sehingga tidak mengerti apa sebenarnya Islam, dan apa pangkal ujungnya Al-Qur’an dan sunnah Rasulullah. Segala amalan dilakukan hanya karena mengikuti orang banyak saja.
- Karena kekotoran batin, sampah-sampah dalam hati menebal akibat perbuatan masa lalu, tak bertaubat sungguh-sungguh, bahkan selalu mengulang-ulangi dan mendekati kejahatan, bagaikan minum obat sambil minum racun. Penyakitnya tetap tidak berkurang. Atau karena makan barang-barang haram.
- Keliru dalam tindakan, agama Islam yang tidak mengadakan kependetaan lalu ia mengadakan pendeta, sama seperti membikin sakit badan (kurang makan, kurang tidur) dan kurang bergerak, niatnya akan menyingkirkan dunia, akhirnya menjadi sakit-sakitan badan dan jiwanya.
- Merasa sudah cukup, agama hanya dianggap sebagai upacara. Hanya mengatur lagu dan mementingkan bacaanya saja, meskipun ia tak mengerti maksudnya, suka cekcok perkara yang tak seberapa, puas karena banyak pengikut meskipun tidak memikirkan budi pekertinya. Perasaan sudah cukup itulah yang menghalang-halangi meresapnya wahyu.
- Kurang kesungguhan, shalatnya tidak khusyu, kikirnya tak berubah, sempitnya masih, besar marahnya, mudah naik darah, tak berniat memperbaiki kelakuan dan tak menginginkan tambahan kekuatan ruhani, karena dari tipisnya iman dan karena tidak pernah menerima ajaran yang menyegarkan jiwa, tidak menyertai orang-orang yang benar, tak bersujud dengan orang-orang yang sujud, bahkan memusuhi orang-orang yang saleh.
Akhirnya orang-orang demikian kepercayaan kepada Allah semakin lemah ragu-ragu kepada kebenaran Al-Qur’an, tidak jelas pandangan kepada kesempurnaan Nabi Muhammad Saw, ketekunannya dalam berkhidmat kepada agama menjadi kurang.
Dengan demikian, Wahyu Ilahi atau agama hanya mandeg dalam upacara lahiriyah, terpancang dalam bacaan, keramaian berkumpul dan rapat, pencarian, demonstrasi, dan sebagainya. Tidak diperhatikan bagaimana supaya agama itu berbekas dan berpengaruh dalam hati, ucapan dan amal perbuatan sehari-hari.
Allah mengerti apa yang ada dalam hati kita, apakah di waktu kita menghadap ke kiblat dalam shalat, hati kita menghadap kepada Allah atau melayang kian kemari? Apakah sewaktu kita memotong korban hati kita bergetar ingat kepada Allah atau ingat akan enaknya daging?
Oleh karena itu kalau kita ingin menghidupkan hati dan jiwa kita, hendaklah kita kembali kepada Al-Qur’an dan Sunnah Nabi Muhammad saw, dengan menyingkirkan jauh-jauh segala tutup yang menghambat meresapnya wahyu. Meniru perjalanan Nabi Muhammad saw., semasa hidupnya dengan rendah hati, berbudi lemah lembut, sopan santun tidak suka menyusahkan orang lain dengan jalan apa pun juga. Tetap teguh mengabdi kepada Allah dalam keadaan yang bagaimana pun juga, tidak berpaling pada-Nya dalam keadaan suka dan duka, lapang dan sempit, sehat dan sakit dan sebagainya. Sebagai pengisi hidup, kita hendaknya selalu menjunjung dan mentablighkan agama Islam dengan harta, benda, lisan dan tulisan. Memperbanyak pujian (tahmid), dzikir, shalat lima waktu dan shalat tahajjud. Berdo’a senantiasa kepada Allah tanpa mengenal jemu, bosan, payah, putus asa, dan sebagainya.
Usaha dan ikhtiar manusia hanya sekedar alat dan sarana, sedang datangnya kemenangan tergantung dalam kekuasaan Allah Yang Maha Kuasa dan Maha Bijaksana. Banyak orang ingin memperoleh kemenangan, tetapi sedikit sekali orang yang memperoleh kemenangan itu. Karena hal itu tak dapat diperoleh jika tak disertai dengan susah payah, dan dengan pengorbanan yang sebenar-benarnya.
Sekalipun anda menyanyikan lagu kemenangan, sampai seberapa lama anda kehendaki, kata Hazrat Mirza Ghulam Ahmad, tidaklah berguna. Sukar sekali jalan itu dan berbahayanya perjalanan. Tak akan dapat anda tempuh perjalanan itu selama anda tidak menginjakkan kaki anda dengan keikhlasan yang sebenarnya pada api yang menyala, yakni api yang menyebabkan orang lain berlarian daripadanya. Banyak bicara kotor tidak akan menolong, jika di dalamnya tidak terdapat keteguhan dan kesungguhan (lihat buku Falsafah Islamiyah). Berkenaan dengan hal itu Allah Ta’ala berfirman:
“Dan apabila hamba-hamba-Ku bertanya kepadamu tentang diri-Ku, katakanlah kepada mereka, bahwa Aku dekat. Aku mendengar do’a orang yang bermohon takala ia berseru kepada-Ku. Oleh karena itu hendaklah mereka memenuhi panggilan-Ku (untuk berdo’a ) dan hendaklah mereka percaya panggilan-Ku (bahwa Aku akan mengabulkan do’a mereka), supaya mereka dapat menempuh jalan yang benar”. (QS Al-Baqarah [2]:186).
Manusia itu memang makhluk yang tertinggi. Untuk meneruskan dan memelihara ketinggian manusia, perlu sekali adanya wahyu Ilahi. Supaya Wahyu itu dapat meresap menembus sampai ke dalam hati, maka manusia harus menyingkirkan segala yang menutupi hatinya berupa kekotoran dosa-dosa dengan berdo’a selalu kepada Allah tanpa mengenal jemu dan bosan, agar supaya ia selalu memperoleh taufiq dan hidayah-Nya. Sungguh bahagia orang yang menuruti jalan yang benar. ***
Comment here