Artikel

Ulil Amri

Kata amr, artinya urusan, perintah, perkara atau bisa juga berarti agama. Kata amir sering diartikan sebagai pemimpin . Pemimpin negara Islam juga sering disebut Amir, oleh karena itu khalifah yang empat (Abu Bakar, Umar, Utsman dan Ali) disebut juga sebagai Amirul-Mukminin, artinya pemimpin orang-orang mukmin. Organisasi Islam atau jamaah kaum Muslimin juga banyak yang memakai istilah amir bagi pemimpinya.

Istilah Ulil Amri, yang artinya orang yang memegang kekuasaan, mempunyai arti yang luas. Perkara apa saja yang bertalian dengan kehidupan manusia mempunyai ulil amri-nya sendiri-sendiri, baik dalam bidang keagamaan maupun dalam bidang kehidupan bermasyarakat.

Ulil amri dalam bidang keagamaan adalah orang yang diangap memiliki otoritas dalam bidang keagamaan, setingkat atau beberapa tingkat di bawah Nabi Suci Muhammad Saw, seperti misalnya para Mujaddid. Sedangkan dalam bidang duniawi adalah mereka yang diberi kewenangan secara sah untuk mengatur persoalan-persoalan kehidupan sosial kemasyarakatan.

Jadi dalam hal ini, pimpinan suatu urusan, betapapun kecilnya, bisa dianggap sebagai ulil amri.

 

Ketaatan kepada ulil amri adalah wajib

Allah berfirman sebagai berikut:

“Wahai orang-orang yang beriman, taatlah kepada Allah, dan taatlah kepada utusan, dan kepada yang  memegang kekuasaan di antara kamu; lalu jika kamu berselisih mengenai suatu hal, kembalikanlah itu kepada Allah dan Utusan, jika kamu beriman kepada Allah dan hari akhir. Ini adalah yang paling baik dan paling tepat untuk (mencapai) penyelesaian.” (QS 4:59).

Nabi Muhammad saw. memberikan petunjuk sebagai berikut:

“Mendengar dan taat adalah wajib. Selama orang tak disuruh mendurhaka kepada Allah, ia tak boleh tak mendengar dan taat (kepada pihak yang berkuasa).” (HR Bukhari 56:108).

Dalam ayat di atas, ketaatan kepada ulil Amri disejajarkan dengan ketaatan kepada Allah dan Utusan-Nya. Artinya ketaatan kepada ulil amri sama pentingnya dengan ketaatan kepada Allah dan Utusan-Nya.

Tetapi ayat di atas juga mengisyaratkan adanya  kemungkinan perselisihan terhadap suatu hal dengan ulil amri (baik ulil amri di bidang keagamaan maupun duniawi). Jika terjadi hal yang demikian, maka kedua belah pihak harus menempatkan Qur’an dan Hadits sebagai hakim untuk memutus perkara itu.

 

Pemerintah non-Islam

Dalam hal penguasa yang bukan berasal dari kaum Muslimin atau pemerintahan yang bukan dibentuk oleh kaum Muslimin, ketaatan kepada penguasa tidak ada perbedaan dengan penguasa Muslim, tetapi hanyalah dalam urusan hidup bermasyarakat dan bernegara saja. Nabi Suci saw. memberikan petunjuk sebagi berikut:

“Mereka yang diserahi pemerintahan jangan sekali-kali dilawan, kecuali jika kamu terang-terangan melihat mereka menjalankan kekafiran yang kamu mempunyai tanda bukti dari Allah.” (HR Bukhari 93:2).

Kemudian dalam hal kaum muslimin hidup di negara non-Islam, teladan Nabi Suci saw. perlu  dipakai sebagai acuan. Ketika seratusan orang kaum Muslimin tinggal selama lebih kurang sepuluh tahun di Abyssinea, sebuah Kerajaan Kristen, mereka taat kepada penguasa dan tunduk kepada undang-undang di negara itu. Dengan berpegang teguh pada prinsip “apabila orang disuruh mendurhaka kepada Allah, ia tak boleh mendengar dan taat kepada pihak yang berkuasa.”

Jadi menurut teladan tersebut, tunduk kepada undang-undang yang berlaku dan taat kepada pemerintah adalah wajib bagi kaum muslimin, meskipun yang memegang kekuasaan bukan berasal dari Umat Islam, dengan pedoman pokok seperti tersebut di atas.

Sehubungan dengan prinsip ini maka ketaatan kepada penguasa tidak mempertimbangkan asal-usul kebangsaan atau pun bahkan agama. Allah berfirman:

“Allah memerintahkan  kamu menyerahkan amanat kepada mereka yang pantas untuk itu.” (QS 4:58).

Nabi Suci saw. sampai-sampai mengatakan bahwa seorang negro pun dapat ditunjuk untuk memerintah orang arab, dan dalam hal demikian ia harus ditaati seperti semua kepala negara.” (HR Bukhari 10:54)

Yuk Bagikan Artikel Ini!

Comment here

Translate »