Adalah banyak sekali orang yang mengakui kebenarannya pergerakan Ahmadiyah, tetapi pada pemandangannya tidak ada sebabnya yang teristimewa, mengapa mereka harus dengan tertentu melahirkan keterangan yang serupa itu dan membuatnya Bai’at, tandanya kesetiaan. Hazrat Mirza, kata mereka, adalah seorang hamba Islam yang suci. Biarpun ia seorang Mahdi, mengapakah mereka mesti mengakui dia sebagai itu.
Sungguh benar penganggapan akan seorang Mujaddid tidak harus dilakukan serupa dalam arti penganggapan akan seorang Nabi. Tiap-tiap Nabi menuntut dua rupa pengakuan dari orang-orang – pengakuan kepercayaan kepada Tauhid Allah dan kepercayaan kepada kenabiannya. Tetapi seorang Mujaddid tiadalah pernah menuntut pengakuan kepercayaan kepada dirinya sendiri.
Bahkan orang-orang yang keliwat-liwat nafsunya dari Qadian itu akan ceritera kepada tuan, bahwa benihnya Bai’at, tanda kesetiaan, yang dituntut oleh Hazrat Mirza dari pengikut-pengikutnya, tidak berisi sebutan tentang kenabiannya Mujaddid seperti yang disangka-sangka orang itu. sebagaimana dituntutnya, maka hanyalah mereka bersanggup: “Kami hendak menjunjung agama melebihi dunia.”
Pengakuan kepercayaan kepada Tauhid Allah dan kepada kenabiannya Nabi Muhammad saw. yang Suci, hanya itulah saja yang tertuntut pada jalannya kepercayaan. Permulaan perkataan-perkataan Bai’at adalah seperti yang berikut:
Asyhadu an laa ilaaha illallaahu wahdahu laa syariikalah, wa asyhadu anna muhammadan ‘abduhuu warasuuluhu. “Kami menyaksikan bahwa tak ada yang harus disembah melainkan Allah Yang hanya Satu, tidak mempunyai teman syarikat, dan kami menyaksikan bahwa Muhammad itu Dia punya Utusan.”
Menjadi Bai’at itu berisi dua perkara, bahagian kepercayaan dan bahagian perbuatan. Bahagian kepercayaan adalah terwatas kepada Allah dan Nabi Muhammad yang Suci, dengan tak ada sedikit pun juga yang mengenai kenabian dirinya seperti yang disangka-sangka orang itu. Sedang bahagian perbuatan adalah terhimpun dalam suatu kalimat, “Kami hendak menjunjung agama melebihi dunia.”
Dan inilah maksud yang terutama daripada Bai’at, yaitu tanda yang nyata-nyata akan melayani perkaranya agama. Semata-mata buat maksud inilah maka ada diturunkannya Mujaddid-mujaddid itu – yaitu untuk melayani agama, dan dengan hal yang demikian itulah maka ia meminta dikelilingi orang-orang yang akan membantu dia di dalam pekerjaan itu.
Begitulah maka Hazrat Mirza mempersilahkan orang-orang akan berjabatan tangan dengan dia buat melakukan perlawanan untuk keperluan Islam. Inilah semata-mata kepentingannya Ba’iat yang dituntut olehnya itu.
Kepada mereka yang tidak beryakin sama sekali akan kegunaannya Bai’at, maka Quran Suci ada memberi pedoman yang nyata: kuunu ma’ash-shaadiqiin, “bersama-samalah orang-orang yang benar,” begitulah tersebut di dalam Kitab Suci itu.
Di sini adalah satu perintah yang nyata-nyata akan sungguh-sungguh bekerja menolong mereka yang membela satu perkara yang suci. Dengan hal yang demikian itu maka adalah satu kewajiban yang utama akan menjawab dakwahnya Mujaddid, orang yang tersaleh dalam zamannya, yang membela perkara-perkara yang sangat sucinya, yaitu perlindungan dan penyiaran Islam.
Oleh karenanya, maka barang siapa tidak mengindahkan dakwah yang tersebut, ialah menyingkiri satu wajib yang memerintah dan ia melalaikan perintah Quran. Dalam satu hal mereka itu menganggap satu perintah Tuhan sebagai tak berharga dan sia-sia belaka.
Allah yang hanya Ia sendiri mengetahui betapa Islam akan memperoleh kemenangan, ada menitahkan seorang untuk bekerja sungguh-sungguh mencapai maksud itu. Apakah mereka yang menjauhi dia, mengira bisa berbuat tidak bersama seorang yang seperti itu?
Sesungguh-sungguhnyalah, Allah ada di atasnya segala perkara yang sia-sia itu, dan seorang Muslim yang sempurna yaitu barang siapa dengan sepenuh-penuh hatinya bertakluk kepada segala perintah-perintahnya.
Bai’at yang teratur, tanda kesetiaan, adalah harganya yang mengenai keperluan roh. Dengan tak boleh disangkal pula, Bai’at yang demikian itu bergunalah untuk menguatkan hati manusia, membawa keamanan dan kesabaran Tuhan padanya.
Hal ini ada dibuktikan oleh satu tauladan yang nyata di dalam hidupnya Nabi yang Suci. Pada kalanya Sulhu Hudaibiyyah, maka 1400 orang Sahabat, yang telah menjadi pengikut yang setia dari Nabi yang Suci dan bersedia mengorbankan segala apa yang ada pada mereka atas perintahnya Nabi yang Suci, mereka itu pun dituntutnya membuat satu Bai’at yang baru.
Inilah diperbuatnya dengan kehendak Allah, dan ketika telah diperbuatnya, maka Allah menyatakan kesukaannya dan menanam ketenangan dan kesabaran di dalam hati mereka. Nyatalah Bai’at ini ada perlu sekali bagi peri-keadaan yang telah kejadian pada ketika itu. orang-orang Islam ada di dalam peri-keadaan yang berbahaya, dan pada ketika itu ialah saatnya menunjukkan nafsu untuk mengorbankan diri. Begitulah maka tak boleh tidak mesti dibuatnya Bai’at.
Begitu pun pada dewasa ini perlulah dibuatnya Bai’at juga. Sekarang adalah sebesar-besarnya keperluan berteriak sekeras-kerasnya memanggil akan berdiri melawan serangan-serangan hebat, yang menyerang Islam dari segala arah. Dari itu maka tak boleh tidak mesti diperbuatnya Bai’at juga.
Bai’at itu bukan lain melainkan ialahs atu kesanggupan sungguh-sungguh (suci) yang diperbuatnya di muka orang ramai untuk menyebelah dan membela sesuatu perkara. Bukan saja Bai’at itu membawa penghiburan Tuhan di dalam hati manusia, tetapi ia pun juga melekatkan manusia tinggal tetap dengan kuat-kuat pada perkara itu di dalam segala hal yang boleh kejadian adanya.
Lantaran dari alamnya, maka manusia merasa malu berbuat menyimpang daripada perkataan-perkataan yang telah dinyatakan olehnya sendiri di muka orang ramai. Begitulah apabila dalam melayani satu perkara yang mulia, ia mendapati dirinya dikelilingi oleh kesusahan-kesusahan dan merasa akan berputus asa, maka keterangannya yang sudah diucapkan di muka orang ramai itu datanglah menguatkan dia. Dia tinggal setia kepada perkataannya itu, dalam percobaan dan kesusahan.
Pekerjaan Islam pada dewasa ini tak boleh tidak mesti mempergunakan sebesar-besarnya kekuatan bertahan dan mengorbankan diri. Oleh karena itu, maka tak boleh tidak mesti dijadikannya satu perikatan orang-orang yang teguh, yang berkuasa memperlindungi Islam dalam peri-keadaan yang sangat sukarnya itu. Dan teranglah Bai’at, satu keterangan yang suci di muka orang ramai, itulah yang harus menjadi pokok kekuatannya satu susun-susunan (organisatie) yang serupa itu.
Bukan seorang serdadu yang biasa, pada kalanya masuk dalam pekerjaan militer, ada dituntutnya melahirkan keterangan yang nyata-nyata akan bersetia kepada raja. Serdadu-serdadunya Agama Islam yang harus dikumpulkan mengelilingi benderanya Mujaddid, dengan sebab yang demikian itu, adalah dituntut melahirkan dengan perkataan, bahwa bagaimana pun juga yang akan kejadian, mereka itu akan hidup dan mati dengan Islam.
“Kami hendak menjunjung agama melebihi dunia” itulah yang harus disanggupkan dengan sungguh-sungguh oleh tiap-tiap orang jua adanya!
_________________
Dinukil dari Da’watoel-‘Amal (Pengajakan Bekerja) oleh Maulana Muhammad Ali, Presiden Ahmadiyah Anjuman Isha’ati Islam, Lahore (Hindustan). Disalin oleh Oemar Said Tjokroaminoto, Presiden Central Sarikat Islam Yogyakarta (Jawa). Diterbitkan oleh Mirza Wali Ahmad Baig, Muballighul-Islam, Utusan Pergerakan Ahmadiyah, Yogyakarta (Jawa). Tanpa Tahun Terbit. Hal. 55-59.
Comment here