ArtikelDiskursus

Sosialisasi dan Kaderisasi di tubuh Gerakan Ahmadiyah: Sebuah Keniscayaan

Sosialisasi dan/atau kaderisasi Ahmadiyah tidak berorientasi pada jumlah anggota yang banyak, melainkan lebih pada upaya mengkatalisasi proses perubahan ke arah zaman baru, yaitu Zaman Islam, atau yang lebih populer di kalangan kita dengan istilah Zaman Kemenangan Islam.

Oleh: Mulyono | Sekretaris PB GAI

Selama ini yang terbangun dan tersimpan di file otak kita adalah: semua orang menolak Ahmadiyah, semua orang memusuhi Ahmadiyah, dsb. Fatwa Majelis Ulama Indonesia (MUI) yang menyatakan “Ahmadiyah sebagai ajaran sesat dan menyesatkan, serta orang Islam yang mengikutinya murtad,” agaknya menjadi “penampakan” dari ketakutan-ketakutan kita itu.

Tetapi ternyata, apa yang selama ini menghantui kita itu, ya “hanya seperti itu,” dan tidak lebih dari hanya seperti itu.

Kendati MUI diasumsikan sebagai insitusi para ulama yang paling kompeten terhadap persoalan-persoalan agama Islam, dan dianggap paling otoritatif mengatur segala macam yang berkaitan dengan keberagamaan umat Islam di Indonesia, tetapi hingga sejauh ini, fatwanya tidak berdampak negatif terhadap Gerakan Ahmadiyah Indonesia (Ahmadiyah faksi Lahore di Indonesia). Hal ini seolah mengafirmasi apa yang dikata Hazrat Mirza Ghulam Ahmad lebih seabad yang lalu, bahwa “dunia tidak akan membahayakan sedikit pun” gerakan yang dibangunnya .

Terlepas dari tendensi politis, jika pun itu ada, adalah wajar dan bahkan sudah seharusnya, sebagai pihak yang merasa menjadi pewaris tugas-tugas kenabian, MUI berkewajiban melindungi umat Islam dari paham-paham keagamaan yang, sejauh mereka ketahui sementara ini, dapat membahayakan aqidah umat Islam.

Betapa pun, fenomena ini penting untuk kita cermati. Apakah peristiwa itu menjadi bukti bahwa meskipun bangunan organisasi Gerakan Ahmadiyah harus kita akui sangat rapuh, tetapi agaknya memiliki pondasi yang cukup kokoh, sehingga terpaan angin puting beliung yang sempat membuat sebagian penghuninya panik dan kalang kabut, memberi cukup alasan bagi Allah untuk tidak mengizinkan bangunan itu roboh?

Atau apakah fenomena ini sebuah kabar bahwa aksi-aksi dakwah yang dilakukan oleh Gerakan Ahmadiyah masih jauh dari berhasil, meskipun telah berkiprah lebih dari 80 tahun di Indonesia?

Menurut keyakinan penulis, kedua asumsi itu bisa benar adanya. Kokohnya pondasi bangunan Gerakan Ahmadiyah, sekurang-kurangnya terbukti dengan kuatnya warganya berpegang kepada Qur’an Suci dan Sunnah Nabi saw. dalam hampir setiap pembicaraan perihal agama. Qur’an dijadikan sumber utama dan pertama dari seluruh ajaran dan syariat Islam, sedangkan Hadits menempati posisi kedua sesudah Qur’an.

Sementara itu, belum berhasilnya dakwah Islam yang diselenggarakan oleh Gerakan Ahmadiyah, bisa jadi disebabkan oleh lemahnya semangat warganya untuk berkorban dalam memperjuangkan kebenaran.

Berbagai “Kasus Ahmadiyah” seolah menjadi batu uji atau proses seleksi, yang pada akhirnya bisa memperlihatkan sekaligus memisahkan, mana orang-orang yang beriman sungguh-sungguh, mendedikasikan diri sebagai barisan “prajurit samawi,” dan tetap istiqomah berjuang di dalam gerakan ini, dengan orang-orang yang bersikap “munafik” atau bahkan “mengafiri” gerakan ini, yang keberadaan atau kehadirannya di gerakan ini karena terpaksa atau dipaksa oleh keadaan semata.

Bukankah di kalangan para pengikut Rasulullah saw. pun, dua jenis golongan manusia itu juga ada? Perjalanan dakwah Rasulullah saw., dan bahkan semua nabi, sangat menarik sebagai referensi bagi perjuangan kebenaran, dimana setiap terjadi tantangan, selalu diikuti oleh kesuksesan. Tepat sekali lukisan QS 94:5-6, “Sesungguhnya beserta kesukaran adalah kemudahan. Sesungguhnya beserta kesukaran adalah kemudahan.”

Tetapi sudah pasti, kemudahan itu hanya akan diberikan kepada orang-orang yang tidak melarikan diri dari kesukaran (“munafik”), melainkan menghadapinya dengan penuh tawakkal kepada Allah untuk menemukan jalan keluar yang cerdas.

Masalah membawa berkah

Setiap peristiwa tidak berdiri sendiri dan juga tidak terjadi secara kebetulan. Suatu peristiwa tentulah bagian dari rangkaian atau akibat peristiwa lain, yang kemudian akan terangkai atau menjadi sebab dan mengakibatkan peristiwa lain lagi.

Jika Allah adalah Al-Awwal (sebab pertama) dan sekaligus Al-Akhir (tempat kembali atau tujuan terakhir), maka semua peristiwa, besar atau kecil, menyedihkan atau menyenangkan, menguntungkan atau merugikan, tentu hanya bagian dari sebuah proses panjang dan rumit untuk mencapai tujuan terakhir itu. Singkat kata, tidak ada peristiwa yang terlepas dari skenario Allah.

Allah adalah Rabbu-l ‘alamin, Yang membuat segala sesuatu menjadi semakin baik, hingga pada akhirnya mencapai kesempurnaan. Jika demikian, maka penistaan terhadap Ahmadiyah yang dilakukan oleh MUI, justru menjadi isyarat bagi kemajuan Gerakan Ahmadiyah di kemudian hari.

Tetapi Allah memberitahu kita bahwa segala yang baik datang dari Allah sedangkan keburukan yang menimpa kita adalah akibat belaka dari sikap dan perbuatan kita sendiri. Hal ini mengandung maksud bahwa setiap peristiwa akan selalu memiliki dua potensi sekaligus, yakni bisa menjadi sarana ke arah kebaikan atau sebaliknya bisa menjadi sarana ke arah keburukan.

Kita tidak bisa membayangkan seandainya Allah tidak menciptakan masalah. Suatu keberhasilan atau kesuksesan selalu diukur dari besarnya masalah yang mampu diselesaikan. Semakin besar masalah yang mampu dihadapi, maka tingkat kesuksesannya akan semakin besar pula.

Suatu kesuksesan tidak akan memiliki makna apa pun, jika untuk mencapainya tanpa disertai perjuangan yang sehebat-hebatnya. Perjuangan hebat ini sebenarnya perjuangan menyelesaikan masalah.

Tidak pernah terlintas di dalam benak penulis, bahwa fatwa MUI tentang Ahmadiyah itu justru menjadi alasan bagi cukup banyak pihak untuk mengenal Ahmadiyah. Dari banyak pihak itu tentu memiliki tujuan yang beragam: untuk bahan pemberitaan, untuk menentukan sikap, untuk kepentingan pengamanan, untuk tujuan ilmiah, untuk mengetahui sekedarnya saja, dan ada juga yang sungguh-sungguh ingin menyaksikan kebenaran ajaran Ahmadiyah.

Dalam dua bulan terakhir ini saja penulis mencatat tidak kurang dari 11 (sebelas) orang mahasiswa Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga yang berkunjung ke kantor PB GAI untuk melakukan penelitian. Dua di antaranya untuk kepentingan menyusun skripsi, selebihnya untuk pembuatan laporan singkat dan global tentang Ahmadiyah Lahore atas penugasan dari fakultas mereka.

Lebih dari itu, sejumlah institusi juga telah mengundang PB GAI untuk mengikuti kegiatan-kegiatan yang mereka selenggarakan. Beberapa di antaranya:

  1. Majalah Suara Muhammadiyah, dalam sebuah seminar tentang kemiskinan dan utang luar negeri, bertempat di Gedung Pusat Muhammadiyah,
  2. Dinas Sosial DIY bekerjasama dengan FPUB, dalam lokakarya tentang kerukunan antarumat beragama, bertempat di kompleks Pemerintah Propinsi DIY
  3. PKBI, dalam dua kali seminar
  4. Forum Persaudaraan Umat Beriman (FPUB) dalam acara berbuka puasa bersama sekaligus sarasehan “Temu Kebangsaan” dan mendengarkan orasi dari Ibu Yeni Zanuba Gus Dur
  5. Institut Dian Interfidei (forum dialog antariman) dalam hampir semua kegiatannya,
  6. Pusat Studi HAM UII
  7. USC Satunama (LSM) dalam sejumlah pelatihan untuk para pemuka dan aktivis keagamaan.

Yang tersebut terakhir ini PB GAI telah mengirimkan 5 (lima) orang untuk mengikuti pelatihan di lembaga itu, yaitu pelatihan ekonomi, sosial dan budaya (sebanyak satu orang), dan empat orang lainnya mengikuti pelatihan kewarganegaraan (Civic Education for Religious Leaders) dalam tiga angkatan secara berturut-turut.

Tidak kurang penting dari hal-hal yang tersebut di muka adalah Jembatan Persahabatan Lintas Agama yang terbentuk atas prakarsa Departemen Sosial RI. Forum ini beranggotakan 100 (seratus) orang yang mewakili tidak kurang dari 24 (dua puluh empat) organisasi lintas agama dan golongan keagamaan (termasuk MUI DIY), lembaga pemerintahan, TNI dan Kepolisian. Berbagai kegiatan yang telah diselenggarakan bersama di antaranya:

  1. workshop guru-guru agama SMA/SMK se Daerah Istimewa Yogyakarta dalam penyusunan modul pendidikan kebebasan beragama
  2. outbond siswa SMP lintas agama
  3. Live In (hidup bersama selama beberapa hari) siswa SMA/SMK lintas agama di Pondok Pesantren Sunan Pandanaran dan Ashram Krishna (Hindu).

Kegiatan-kegiatan lain telah direncanakan, dan akan segera menyusul dalam waktu dekat ini.

Menariknya, hampir semua kegiatan itu digagas di Kantor PB GAI atau di serambi masjid Darussalam Kompleks PIRI Baciro, karena untuk sementara waktu tempat ini dijadikan arena berkumpulnya anggota Jembatan Persahabatan untuk rapat-rapat, diskusi-diskusi, dll.

Dalam konteks sosialisasi GAI, hal-hal yang tersebut di atas, menurut hemat penulis, akan memiliki makna yang cukup signifikan, insya Allah. Paling tidak, mereka berkesempatan mengenal kita dari dekat melalui proses interaksi dan komunikasi yang tidak hanya berlangsung satu atau dua hari.

Bukankah Hazrat Mirza Ghulam Ahmad juga mengundang kepada siapa saja yang tidak percaya pada kebenaran dakwah beliau untuk datang dan hidup bersama beliau?

Ide-ide Ahmadiyah harus dikomunikasikan

Ahmadiyah adalah produk pemikiran yang lahir dari kegelisahan Hazrat Mirza Ghulam Ahmad atas kondisi umat yang terasing dari peran-peran duniawi (khalifatullah fi-l ardl), sebagai akibat keterasingannya dari Tuhan (iman berada di awang-awang). Kiranya sangat wajar jika pemikiran baru itu mendapat tentangan dari pemikiran lama, yang telah dianggap baku dan tidak bisa berubah.

Kenyataan menunjukkan kepada kita bahwa kondisi umat belum banyak berubah, kendati Ahmadiyah telah berkiprah lebih dari seratus tahun, dan pengikutnya pun telah tersebar di seluruh penjuru dunia. Ini berarti, sosialisasi ide-ide tajdid Ahmadiyah belum cukup berhasil.

Realita ini bisa disebabkan karena bangunan pemikiran lama itu sudah berurat berakat sedemikian kuatnya, bisa juga disebabkan karena upaya-upaya sosialisasi dan kaderisasi yang dilakukan oleh para pengikut Hazrat Mirza Ghulam Ahmad masih belum cukup efektif, atau mungkin masih kurang intensif.

Tetapi ada lagi analisis yang mengatakan bahwa penerimaan terhadap ide-ide Ahmadiyah hanyalah soal waktu.

Nampaknya ketiga hal tersebut benar semua, karena memang saling berhubungan satu dengan yang lain. Kokohnya bangunan pemikiran lama antara lain terbukti oleh adanya kenyataan bahwa meskipun ide-ide pembaruan Ahmadiyah seluruhnya dibangun berdasarkan pada Al-Qur’an dan Hadits Nabi saw., dengan argumentasi ilmiah yang nalariah dan fitriah, namun keberanian umat untuk membuang atau melepas produk pemikiran lama belum ada.

Di sisi lain, program kaderisasi nampaknya belum menjadi semangat yang mempribadi di kalangan kaum Ahmadi sendiri. Dalam hal yang tersebut belakangan ini, kaum Ahmadi umumnya lebih menganggap bahwa kaderisasi adalah urusan organisasi , dan hal itu menjadi tanggung jawab para pengurus organisasi.

Dari segi waktu, kita melihat sejumlah fenomena yang menarik, yang kesemuanya mengisyaratkan akan segera tiba waktunya ide-ide pembaruan Ahmadiyah diterima umat. Sejumlah paham keagamaan yang sebelumnya merupakan klaim atau kekhasan Ahmadiyah, kini telah diakui sebagai kebenaran umum, seperti misalnya pemahaman makna jihad, perlunya ijtihad, Nabi Isa a.s. telah wafat, Nabi Adam a.s. bukan manusia pertama, Isra’ Mi’raj Nabi Suci saw. hanya secara ruhaniah, dsb. Bahkan dalam hal fiqih, sudah banyak kalangan (kendati masih bersifat personal) memiliki pandangan yang sama dengan kaum Ahmadi.

Sebagai sebuah produk, ide-ide pembaruan Ahmadiyah harus disosialisasikan seluas-luasnya oleh setiap kaum Ahmadi, sesederhana apa pun usaha yang bisa dilakukan. Tanpa ada upaya sosialisasi itu, maka ide-ide Ahmadiyah tidak dikenal orang. Meskipun orang bisa menemukan kebenaran (Islam) tanpa melalui, atau belajar dari, Ahmadiyah (karena Islam adalah agama fitrah), akan tetapi sebagai gerakan pembaruan sudah seharusnya setiap orang yang telah melibatkan diri dalam gerakan itu (segenap kaum Ahmadi) mengambil peran dalam proses perubahan itu.

Sejauh yang penulis pahami, sebatas inilah, sebenarnya, yang ingin dilakukan oleh Ahmadiyah. Dengan kata lain, sosialisasi dan/atau kaderisasi Ahmadiyah tidak berorientasi pada jumlah anggota yang banyak, melainkan lebih pada upaya mengkatalisasi proses perubahan ke arah zaman baru, yaitu Zaman Islam, atau yang lebih populer di kalangan kita dengan istilah Zaman Kemenangan Islam. Inilah goal atau target akhir perjuangan Ahmadiyah.

Nama Hazrat Mirza Ghulam Ahmad atau pun Ahmadiyah boleh ditolak, tetapi ide-ide keagamaannya memberikan kontribusi yang siginifikan dalam proses perubahan menuju Zaman Kemenangan Islam. Ibarat bangunan beton bertulang, maka Ahmadiyah adalah besi-besinya, yang meskipun tidak terlihat dari luar, tetapi sangat menentukan kekuatan bangunan itu.

Berdasarkan pengalaman dan pengamatan penulis, keberatan orang kepada Ahmadiyah lebih pada sejumlah klaim yang diajukan (didakwahkan) oleh Hazrat Mirza Ghulam Ahmad. Klaim-klaim itu misalnya sebagai mujaddid, Al-Masih dan Mahdi, sebagai nabi, sebagai Adam, sebagai Krisna, dan sebagainya. Dengan kata lain, “minus” klaim-klaim tersebut, ide-ide pembaruan Hazrat Mirza Ghulam Ahmad sudah banyak diakui sebagai kebenaran umum, meskipun masih bersifat personal dan sembunyi-sembunyi.

Tetapi perkembangan terakhir menunjukkan bahwa klaim sebagai Mujaddid sudah mulai tidak dipersoalkan lagi. Paling tidak, pernyataan seperti ini dikemukakan oleh Menteri Agama R.I., pihak yang paling kompeten bicara masalah agama di negeri ini, beberapa waktu yang lalu. Artinya, pengakuan sebagai mujaddid bukanlah suatu kesesatan dan menyesatkan, dan orang-orang yang mengakui beliau sebagai mujaddid bukanlah kemurtadan.

Menurut hemat penulis, klaim-klaim itu tidak terlalu penting bagi kebanyakan orang (awam). Pembicaraan mengenai sejumlah klaim Hazrat Mirza Ghulam Ahmad hanya penting bagi orang-orang yang berkecimpung dalam urusan keagamaan (muballigh, kyai, tokoh agama, akademisi agama, ulama, dsb.)

Dengan demikian, yang terutama dan pertama-tama harus dilakukan oleh setiap Ahmadi adalah menyebarluaskan Islam menurut paradigma atau nalar keagamaan Ahmadiyah. Sedangkan yang terkait dengan pribadi Hazrat Mirza Ghulam Ahmad dan organisasi Ahmadiyah, harus disesuaikan dengan kebutuhan keadaan. Jika hal itu memang dirasa perlu dan tepat, barulah dikemukakan.

Kenyataannya, beliau sendiri tidak keberatan jika orang tidak mau mengakui beliau sebagai apa pun. Persis seperti sikap Nabi Suci saw. dalam Perjanjian Hudaibiyah, ketika orang-orang kafir Makkah menolak mengakui beliau sebagai Utusan Allah (Muhammad Rasulullah), selain sebatas sebagai anak Abdullah (Muhammad bin Abdullah).

Klaim-klaim Hazrat Mirza Ghulam Ahmad itu semata-mata untuk memenuhi janji Allah melalui Nabi Suci saw., seperti yang dinyatakan di sejumlah Hadits. Artinya, klaim-klaim beliau bukanlah atas kemauan beliau sendiri (misalnya sekedar mencari popularitas atau penghormatan), melainkan berdasarkan atas sejumlah sabda Nabi Suci saw.

Dan yang lebih penting lagi, klaim-klaim tersebut bukanlah tujuan akhir dakwah beliau, melainkan hanya sebagai sarana untuk mencapai tujuan, yaitu kemajuan agama Islam.

Di sisi lain, di balik sejumlah klaim beliau mengandung pesan kepada umat bahwa sekedar duduk termenung menanti turunnya tokoh yang diharapkan mampu mengalahkan musuh-musuh Islam dan memenangkan Islam kembali (Nabi Isa a.s. dan Imam Mahdi) adalah kesia-siaan yang luar biasa. Kemenangan Islam harus dicapai sendiri oleh seluruh umat Islam melalui kerja keras dan saling bahu-membahu dengan mengabaikan perbedaan-perbedaan terhadap persoalan-persoalan furu’iyyah dan fiqhiyyah.

Agar perjuangan umat Islam lebih efektif haruslah menggunakan strategi dan metode yang sesuai dengan perkembangan keadaan, seperti lewat penerbitan, silaturahim, surat-menyurat, ceramah-ceramah, dsb.

Target sasaran dan target hasil

Salah satu pernyataan yang kita ucapkan dalam baiat ialah: “Dengan sekuat-kuatnya saya hendak tabligh agama Islam dan meluaskan Gerakan Ahmadiyah seperti yang diperintahkan oleh Gerakan Ahmadiyah Indonesia.” Ini berarti, setiap warga Gerakan adalah muballigh/muballighat, baik karena keharusan (sebagai konsekuensi baiat), atau karena merasa sebagai kebutuhan (konsisten pada komitmen), atau sebagai bentuk rasa syukur karena telah mendapatkan rahmat Ilahi mengenal ajaran Imamuzzaman, atau karena kecintaan kepada Ahmadiyah, kecintaan kepada Islam, dan kecintaan kepada sesama manusia.

Sebagai muballigh, setiap warga Gerakan sebaiknya memiliki perencanaan, tertulis maupun tidak, terhadap aktivitas tablighnya. Pertama-tama kita musti menentukan target sasaran dan target hasil. Target sasaran dimulai dari orang-orang yang paling dekat hingga yang paling jauh, yaitu: (A) mulai dari istri/suami, (B) kemudian kepada anak-anak, (C) anggota keluarga lain, (D) komunitas (lingkungan masyarakat tempat tinggal, lingkungan kerja, lingkungan pergaulan lain), (E) sampai ke masyarakat umumnya.

Sedangkan target hasil, mulai dari yang paling sederhana hingga yang tertinggi, yakni:

  1. Tidak memusuhi, tidak bersikap fobi, tidak apriori, tidak antipati, tidak skeptis, terhadap Gerakan Ahmadiyah.
  2. Memahami Gerakan Ahmadiyah dan mampu menjelaskan kepada orang lain
  3. Simpati terhadap Gerakan Ahmadiyah
  4. Baiat

Target sasaran tersebut di atas dapat disegmentasi lagi secara lebih spesifik, misalnya umur, tingkat pendidikan, status sosial, dsb.

Pencapaian target, baik sasaran maupun hasil, pasti sangat ditentukan oleh banyak faktor, baik internal maupun eksternal. Faktor internal adalah yang berkaitan dengan diri seorang Ahmadi sendiri, misalnya pengetahuan tentang Ke-Islaman dan Ke-Ahmadiyahan, konsistensi terhadap pengamalan ajarannya, kebijaksanaan dalam melakukan proses sosialisasi dan kaderisasi, dsb.

Sedangkan faktor eksternal adalah kondisi di luar diri seorang Ahmadi, misalnya selain yang secara umum berpengaruh adalah kondisi politik, sosial, ekonomi, dan budaya, yang tidak kalah penting adalah kondisi keberagamaan target sasaran.

Kondisi yang berbeda-beda, menuntut metode yang berbeda-beda pula. Boleh jadi tidak setiap anggota Ahmadiyah mampu mencapai target sasaran tertinggi (masyarakat umum) dengan target hasil tertinggi pula (baiat).

Target sasaran terredah (istri/suami) dan target hasil terrendah (tidak memusuhi Ahmadiyah) pun, jika hal itu diniati dengan benar, maka akan memiliki makna yang sangat penting bagi program sosialisasi dan kaderisasi di tubuh Gerakan Ahmadiyah.

Usaha sosialisasi dan kaderisasi Gerakan dengan target sasaran komunitas khusus maupun masyarakat umumnya, akan lebih efektif dan juga lebih intensif jika dilakukan dalam kelompok. Praktisnya, seorang Ahmadi memiliki kelompok atau berperan penting dalam kelompok, seperti misalnya kelompok pengajian atau yang sejenis dengan itu.

Kelompok ini bisa dibentuk oleh seorang Ahmadi atau kelompok warga Ahmadi, jika di lingkungannya belum terdapat kelompok sejenis. Akan tetapi jika kelompok sejenis sudah ada, seorang atau beberapa orang Ahmadi dapat menggabungkan diri di kelompok itu dan berusaha mengambil peran-peran strategis untuk mendapatkan kesempatan guna menyampaikan ide-ide Ahmadiyah kepada kelompok tersebut.

Kelompok-kelompok seperti ini bisa ditingkatkan menjadi, misalnya pondok pesantren, lembaga pendidikan formal, dsb., sesuai dengan kondisi dan kebutuhan masyarakat.

Peranan organisasi

Dalam hal seperti yang tersebut di atas, organisasi GAI, baik tingkat cabang maupun pusat, sudah seharusnya memberikan support yang memadai terhadap usaha-usaha sosialisasi dan kaderisasi yang dilakukan oleh warga Ahmadi, baik yang dilakukan secara individu, kelompok, maupun cabang.

Beberapa hal yang barangkali perlu diupayakan adalah:

  1. PB GAI memiliki lembaga pengkaderan yang bisa digunakan sebagai referensi atau bahkan “model” bagi cabang-cabang maupun kelompok-kelompok warga GAI, dan bahkan pribadi-pribadi Ahmadi.
  2. PB GAI perlu melakukan upaya conditioning, misalnya lewat penyelenggaraan seminar, diskusi, simposium, dsb., baik dilakukan secara mandiri maupun kerjasama dengan institusi lain.
  3. PB GAI menerbitkan buku panduan sosialisasi dan kaderisasi GAI dan menyediakan buku-buku yang diperlukan untuk itu, majalah/bulletin, baik yang disebarkan secara cuma-cuma maupun dengan jalan membeli (untuk keperluan dakwah diberi harga khusus).
  4. PB GAI perlu memiliki program kunjungan ke cabang-cabang secara teratur, sedangkan pengurus cabang memiliki program kunjungan kepada kelompok-kelompok warga GAI maupun pribadi-pribadi warga GAI secara teratur pula.
  5. PB GAI perlu memiliki tim muballigh yang memadai, dan setiap kunjungan muballigh ke cabang tidak hanya memberikan siraman ruhani (pengajian), melainkan diberi tugas untuk mendorong dan memonitor kegiatan sosialisasi dan kaderisasi di cabang yang bersangkutan.[]
Yuk Bagikan Artikel Ini!

Comment here

Translate »