Siapa sangka, karya terjemah Al-Qur’an berbahasa Belanda yang pertama kali terbit di abad ke-20 ternyata ditulis oleh seorang anak muda Muslim dari suku Jawa tulen! Nama anak muda itu: Soedewo Partokusumo Kartoadinegoro (1906-1971).
Karya bertajuk “De Heilige Quran” itu dicetak di Batavia (kini Jakarta) pada tahun 1934, untuk pembaca Indonesia. Meskipun karya itu dikritik oleh beberapa ulama karena berasal dari kalangan Ahmadiyah, tetapi terjemahan ini juga mendapat pujian yang amat baik dari para ulama Sunni di Indonesia.
Selama beberapa dekade, karya terjemah Sodewo ini boleh dikata menjadi terjemah Al-Quran yang paling banyak digunakan di kalangan elit Indonesia yang anti-kolonial dan anti-postkolonial. Karya terjemahan Soedewo telah dicetak berulang kali, dan tidak hanya beredar di Indonesia, tetapi bahkan juga di Suriname.
Kisah kesuksesan penerbitan karya itu menunjukkan konteks global di mana genre terjemahan Al-Qur’an modern muncul. Dan kisah tentang tidak lagi digunakannya bahasa Belanda di Indonesia, menyoroti transformasi identitas linguistik dan sektarian yang terjadi pada abad ke-20 di negeri ini.
Soedewo adalah bagian dari generasi Indonesia yang dididik di sekolah-sekolah kolonial. Tetapi ketimbang menghamba pada pemerintah kolonial, Soedewo lebih memilih untuk berjuang dalam kemerdekaan negerinya. Karena itu, Soedwo menjadi teladan istimewa dari tipe manusia nasionalis anti-kolonial, sebagaimana dilukiskan oleh Benedict Anderson dalam “Imagined Communities”.
Meski dididik dalam bahasa dan kurikulum Belanda, Soedewo, sebagaimana generasi muda Indonesia lainnya pada masanya, tetap memimpikan sebuah bangsa yang mandiri, dan tetap terhubung dengan warisan budaya dan agamanya. Sayangnya, mereka tidak bisa memahami bahasa kyai atau ulama ortodoks dan guru sufi (mursyid) yang mengajarkan Islam di masa itu (karena menggunakan bahasa Arab –pen.).
Terlebih, anak-anak muda itu menganggap para kyai itu sebagai kuno, tahayul dan tak memiliki ketertarikan. Bahkan mereka dianggap mewakili segala citra buruk yang dikritik oleh kaum penjajah dan misionaris Kristen tentang Islam.
Sebab itulah pula mengapa Soedewo, sebagaimana juga kaum muda lainnya, aktif di berbagai organisasi revivalis seperti Muhammadiyah yang didirikan pada tahun 1912 dan Jong Islamieten Bond (Persatuan Pemuda Muslim) yang didirikan pada tahun 1925. Terakhir, Soedewo bergabung dengan Gerakan Ahmadiyah Lahore yang muncul di Indonesia tahun 1924. Gerakan inilah yang juga membawa serta terjemahan Al-Qur’an dalam bahasa Inggris (The Holy Qur’an) karya pimpinan mereka, Maulana Muhammad Ali, yang terbit pertama kali pada tahun 1917.
Gerakan Ahmadiyah didirikan untuk pertama kalinya di British India oleh Mirza Ghulam Ahmad (1835-1908). Tetapi tak lama pasca kematiannya, muncul perselisihan soal pewaris dan suksesor kepemimpinannya, dan berakibat pada terpecahnya gerakan itu menjadi dua. Pecahan pertama adalah faksi Qadian, yang meyakini Mirza Ghulam Ahmad sebagai Mesias yang dijanjikan (al-Masih al-mau’ud), dan menyebut para suksesornya sebagai Khalifah. Yang kedua adalah faksi Lahore, yang memandang Mirza Ghulam Ahmad semata sebagai seorang mujaddid (reformis atau pembaharu).
Di bawah kepemimpinan Maulana Muhammad Ali (1874-1951), Ahmadiyah Lahore menyelenggarakan aktivitas dakwah ke seluruh dunia, termasuk di pusat-pusat kerajaan kolonial Eropa. Penerbitan terjemah dan tafsir Al-Qur’an dalam bahasa Inggris pada tahun 1917 adalah salah satu bagian dari agenda dakwah Gerakan ini.
Dicetak dalam banyak edisi dan diterjemahkan ulang ke berbagai bahasa, Kitab Tafsir karya Maulana Muhammad Ali itu berkontribusi pada munculnya genre terjemahan Al-Qur’an yang benar-benar baru. Genre inilah yang membuat terjemahan Soedewo atas karya Muhammad Ali menarik di Indonesia, karena sesuai dengan gaya penerbitan yang sudah dikenal oleh kaum intelektual Indonesia lulusan (sekolah-sekolah) Belanda.
Umat Islam di wilayah Asia Tenggara telah pula mengupayakan penerjemahan Al-Qur’an ke dalam bahasa daerah masing-masing selama berabad-abad lamanya. Beberapa di antaranya bahkan telah dicetak dalam beberapa dekade sebelum terjemahan Soedewo diterbitkan untuk pertama kalinya. Tetapi, tak satu pun dari karya-karya itu seperti karya Soedewo.
Terjemahan yang ada sebelumnya adalah terjemahan interlinear yang berfokus pada teks Arab Al-Qur’an, dengan penjelasan kata demi kata dalam baris yang sama; atau ada pula yang membubuhkan parafrase ayat Qur’an di dalam tubuh tafsir yang ringkas, berisi perluasan penafsiran, seperti menyebutkan atau menegaskan siapa yang bicara dan siapa yang mendengar dalam suatu ayat tertentu, dan mengisi elipses (bagian yang hilang atau tak disebutkan) dalam teks.
Sebaliknya, Soedewo, seperti Muhammad Ali, mengupayakan terjemahan yang sedekat mungkin dengan teks aslinya (harafiah). Meskipun, tidak seperti terjemahan interlinear sebelumnya, Soedewo memberikan keterangan mengenai maksud teks secara koheren (saling bersangkut paut).
Kata pengantar yang cukup panjang lebar mengenai Islam dan Al-Qur’an, pengenalan masing-masing Surah, judul halaman, dan penyisipan judul bagian, semuanya disajikan untuk membuat karya ini dapat diakses oleh pembaca, baik Muslim maupun non-Muslim, yang tak memiliki pengetahuan dasar ilmu agama Islam sekalipun. Di samping itu, terdapat pula ribuan catatan kaki yang menampilkan tafsir yang sangat lengkap, dan terpisah jelas dari terjemahan ayatnya.
Karena catatan kaki pada edisi tahun 1917 sangat banyak, Muhammad Ali menerbitkan versi baru pada tahun 1928, berisi catatan kaki yang lebih sedikit dan lebih pendek. Soedewo berpendapat bahwa karya yang lebih baru itu memenuhi ekspektasi kelompok sasarannya. Karenanya, meskipun secara umum ia merujuk pada edisi 1917, tetapi ia mendasarkan terjemahannya pada catatan kaki edisi 1928.
Kedua edisi tersebut memiliki kata pendahuluan yang berbeda. Soedewo lantas menerjemahkan kedua kata pendahuluan itu, sehingga menghasilkan halaman muka yang berjumlah hampir 200 halaman, dari 1.400 halaman karyanya itu.
Tata letak Terjemah dan Tafsir Qur’an karya Muhammad Ali mengikuti tipografi Eropa pada umumnya dalam tata letak karya terjemah Alkitabiah. Bedanya, ia tetap menyertakan ayat Quran aslinya dalam teks Arab. Teks ayat dan terjemahnya diletakkan dalam dua kolom yang bersebelahan. Lalu bilamana diperlukan, perluasan tata bahasa dari suatu teks ayat akan dibubuhkan di samping dua kolom itu.
Maulana Muhammad Ali memilih cara penerjemahan yang mengingatkan kita pada gaya terjemahan Alkitabiah, termasuk gaya terjemahan King James yang sengaja dibuat kuno (lihat, misalnya, QS 1:6: “the path of those upon whom Thou hast bestowed favors…” (jalan orang-orang yang telah Engkau karuniai…). Soedewo mencoba meniru hal ini dengan menggunakan kata “Gij”, kata ganti orang kedua dalam bahasa Belanda yang kuno: “Het pad dergenen wien Gij gunsten hebt geschonken”.
Meskipun ia berusaha untuk tetap setia pada pilihan Maulana Muhammad Ali, tetapi ia tokh menyimpang juga setidaknya dalam satu aspek penting. Keinginannya untuk tidak menggunakan istilah-istilah teknis Arab-Islam yang tidak familiar dalam karya terjemahnya membuatnya melangkah lebih jauh. Tidak seperti Muhammad Ali, misalnya, yang menerjemahkan kata “allah” menjadi “Allah”, ia lebih memilih menerjemahkan sebutan itu dalam bahasa Belanda: “God” (Tuhan).
Karya Soedewo adalah proyek kedua penerjemahan The Holy Quran karya Maulana Muhammad Ali di Indonesia. Karya pertama adalah terjemahan ke dalam bahasa Melayu, yang diproyeksikan menjadi bahasa Indonesia pasca kemerdekaan. Karya itu dikerjakan oleh Tjokroaminoto, seorang tokoh nasional, sejak akhir tahun 1920-an.
Proyek Tjokro mendapat tentangan sengit terutama dari kalangan reformis Muhammadiyah. Meski pada mulanya mereka memiliki hubungan baik dengan Ahmadiyah, tetapi lantas berbalik punggung pada akhir 1920-an. Pengurus Muhammadiyah bahkan meminta Rashid Ridla, ulama Mesir yang populer di kalangan kaum reformis Indonesia berkat jurnal “al-Manar” yang ia terbitkan, untuk mengeluarkan fatwa yang melarang terjemahan tersebut.
Rashid Ridla pun dengan keras menyerang proyek Tjokroaminoto atas dua alasan. Pertama, ia menentang gagasan untuk memproduksi “terjemahan literal (harafiah)” Al-Qur’an karena khawatir terjemahan itu akan menghilangkan teks (ayat) aslinya. Kedua, karena pada dasarnya ia memang sangat menentang Ahmadiyah, baik cabang Lahore maupun Qadian.
Tetapi meski mendapat tentangan dari Muhammadiyah, Tjokroaminoto tetap melanjutkan proyeknya. Terlebih, ia mendapat dukungan dan restu pula dari Majelis Ulama kala itu. Sayangnya, ia tak sampai merampungkan proyeknya secara utuh, karena keburu sakit dan wafat.
Penentangan terhadap Ahmadiyah atau larangan pada umumnya untuk menerjemahkan Al-Qur’an juga tidak menghalangi Soedewo untuk menyelesaikan terjemahannya ke dalam bahasa Belanda. Dan, sebagaimana disebutkan di atas, proyeknya ternyata sukses besar. Karyanya boleh dikata menjadi terjemahan Al-Qur’an yang paling banyak digunakan di era pra-kemerdekaan Indonesia.
Karya Terjemah Soedewo sering sekali dikutip oleh Presiden pertama Republik Indonesia, Sukarno, dalam banyak pidatonya. Karya itu juga dapat ditemukan di sebagian besar rumah kaum elit Muslim pada masanya. Bahasa Belanda, pada saat itu, jelas lebih dari sekadar bahasa kerajaan-kerajaan Kristen. Bahasa ini juga telah menjadi bahasa umumnya umat Islam, sehingga tidak sedikit pula permintaan akan literatur Islam berbahasa Belanda di masa itu.
Ini disebaban karena kaum elite nasionalis Indonesia sebagian besar mengenyam pendidikan di sekolah-sekolah Belanda, seperti layaknya Soedewo. Lulusan sekolah-sekolah ini biasanya tidak familiar dengan bahasa Arab, hanya bisa membaca aksara Latin, dan kurang menguasai tradisi sastra berbahasa lokal seperti Melayu dan Jawa. Juga, mereka tak mendapat pendidikan agama yang memadai, yang memungkinkan mereka memahami tafsir Al-Qur’an yang berisi tata bahasa atau hadis berbahasa Arab.
Karya Soedewo, karenanya, menjadi kitab pertama yang memberi peluang kepada mereka untuk mengakses Al-Qur’an. Sehingga karya itu dicetak dan didistribusikan secara luas, dan mudah diperoleh. Dan, yang tidak kalah pentingnya, kitab ini menyajikan pemahaman Islam yang modern, dan kadang-kadang bersifat apologetis, yang memungkinkan para pembacanya bisa bersikap lantang membela agama mereka dari tuduhan sebagai agama yang terbelakang.
Sebagai contoh, dalam Surat an-Naml (QS 27:18-19), terdapat kisah ketika pasukan Sulaiman mencapai “Lembah Semut” (Waadi an-Naml). Seekor semut (namlah) lantas berbicara lantang memperingatkan semut lainnya (naml) untuk masuk rumah, sehingga tentara Sulaiman tidak melindas mereka. Sulaiman, yang mampu memahami kata-kata si Semut ini, tersenyum mendengarnya.
Tidak puas dengan kisah mitologis semacam ini, Maulana Muhammad Ali lantas mengambil pemahaman bahwa “an-Naml” yang dimaksud dalam ayat-ayat tersebut adalah nama diri (sehingga tidak perlu diterjemahkan sebagai “semut” –pen.). “An-Naml” menurutnya adalah suku yang tinggal di suatu lembah, yang disebut “Lembah Naml” itu. Karena itu, Muhammad Ali menerjemahkan ayat di atas sebagai berikut: “Hingga ketika mereka sampai di Lembah Naml, seorang warga Naml berkata: Wahai Naml! masuklah ke rumahmu…”
Soedewo menerjemahkannya demikian, “Tot, toen zij tot de vallei van den Naml kwamen, een Namliet zei: O Naml! ga in uw huizen…” Dengan demikian, para pembaca karya Soedewo tidak harus diperhadapkan dengan suatu “peristiwa ajaib” atau peristiwa supranatural (karena seorang manusia seperti Sulaiman bisa berbicara dg binatang seperti semut –pen.). Karena itulah, terjemahan Soedewo dalam konteks ini lebih disukai daripada cerita-cerita dongeng yang disajikan para ulama ortodoks.
Dalam beberapa kasus, tafsir Maulana Muhammad Ali, yang terdapat di dalam catatan kaki karya ini, menjelaskan ayat-ayat Al-Qur’an sedemikian rupa sehingga mengurangi “goncangan” bagi pembaca yang berpendidikan Eropa. Misalnya sehubungan dengan QS 4:34, yang secara tekstual seolah mengizinkan seorang suami untuk memukul istrinya. Maulana Muhammad Ali dan Soedewo menjelaskan duduk perkara ayat itu di catatan kaki, bahwa hal itu adalah pilihan terakhir dalam kasus-kasus ekstrim. Terlebih lagi, “pukulan” itu dibatasi hanya sebagai pukulan ringan saja, seperti layaknya memukul dengan sebatang lidi.
Demikian pula dalam QS 5:51, yang berbunyi “Wahai orang-orang yang beriman! Jangan jadikan kaum Yahudi dan Nasrani sebagai kawan (awliya)…”. Dalam tafsirnya, Muhammad Ali menjelaskan bahwa larangan menjadikan orang Yahudi dan Nasrani sebagai kawan itu secara eksklusif berlaku pada situasi ketika kaum Yahudi dan Nasrani tengah memerangi umat Islam.
Melihat fakta bahwa karya terjemah Soedewo cukup memenuhi kebutuhan intelektual kalangan Islam berpendidikan Belanda, maka konsesi yang kadang-kadang muncul terkait keyakinan yang khas Ahmadiyah dalam karya itu, seperti halnya soal kematian Yesus, tampaknya tidak berarti apa-apa bagi mereka.
Lagipula, sikap nasionalis Soedewo yang tak terbantahkan, melindunginya dari tuduhan yang menghantui Gerakan Ahmadiyah di India, bahwa mereka enggan mengangkat senjata dan menolak jihad atau berperang melawan anti-kolonial.
Terjemahan Soedewo menunjukkan keberhasilan aktivitas Ahmadiyah Lahore dalam lapangan penerjemahan Al-Qur’an. Banyak terjemahan bahasa Indonesia berikutnya, termasuk yang diterbitkan oleh pemerintah Indonesia mulai tahun 1965, mengikuti contoh model karya ini: membuat tata letak dua kolom (ayat dan terjemah) dan letak catatan kaki (tafsir) yang sama.
Karya Terjemah Al-Qur’an Soedewo menunjukkan bahwa batas-batas sektarian antara kaum reformis Muslim dan Gerakan Ahmadiyah, khususnya Ahmadiyah Lahore, pada masa itu begitu cair. Berbeda dengan masa jauh sesudah kemerdekaan. Batas-batas itu, pada era menjelang akhir abad ke-20, telah banyak berubah. Demonisasi (mempersepsikan sesuatu seburuk mungkin seolah tanpa ada kebaikannya sedikit pun) terhadap Ahmadiyah berkontribusi pada marginalisasi terjemahan Al-Qur’an mereka di Indonesia.
Sekarang ini, sedikit sekali orang Indonesia yang mampu membaca karya terjemah Soedewo, karena pengetahuan bahasa Belanda di Indonesia sudah hilang. Beruntungnya, pada tahun 1950-an, karya Muhammad Ali telah diterjemahkan ke dalam bahasa Jawa, dan ke dalam bahasa Indonesia pada tahun 1970-an.
Saat ini, bahkan para intelektual reformis di Indonesia cenderung menekankan identitas ke-Sunnian mereka, dan Ahmadiyah secara luas dianggap sesat. Tetapi hal ini tidak boleh mengaburkan peran penting Gerakan Ahmadiyah dalam pembentukan wacana penerjemahan Al-Qur’an, baik di Indonesia maupun di tingkat global.
(Lihat karya terkait oleh Ahmad Najib Burhani di sini, dan Moch. Nur Ichwan, di sini).
Judul Asli : Soedewo And The Dutch Qur’an In Indonesia (Qur’an Translation Of The Week #21)
Oleh : Johanna Pink | Sumber : The Global Quran
Diterjemahkan oleh : Asgor Ali (berkat bantuan google translate)
Comment here