DiskursusTabayyun

Sekilas Tentang Ahmadiyah

Sepanjang mengenai paham keagamaan Ahmadiyah Lahore, secara umum tidak berbeda dengan golongan Islam pada umumnya, baik dari segi aqidah maupun syari’ah. Kalaupun ada perbedaan, pasti hanya menyangkut masalah furu’iyyah (cabang) atau detail agama, bukan masalah pokok asasi agama (ushuluddin).

Oleh: Mulyono | Sekretaris PB GAI

Hingga saat ini masih banyak orang yang salah mengerti tentang Ahmadiyah. Sebagian orang menganggap bahwa  Ahmadiyah adalah ajaran sesat dan menyesatkan, bukan golongan Islam. Tidak cukup hanya dengan menulis dan menerbitkan buku, bahkan media massa pun dimanfaatkan untuk mempublikasikan tuduhan itu.

Tetapi bagaimana agama Islam sendiri hingga sekarang pun masih sangat banyak orang yang salah mengerti. Barangkali sudah ratusan atau bahkan ribuan buku yang telah diterbitkan hanya untuk memusuhi Islam. Dan juga usaha-usaha lain dengan maksud sama.

Persoalannya adalah, apakah manusia memiliki hak dan kewenangan untuk mengeluarkan seseorang atau  kelompok orang dari keluarga Islam hanya karena perbedaan paham?

Hal pertama yang perlu dikemukakan adalah bahwa di dalam tubuh Ahmadiyah terpecah menjadi dua kelompok/golongan. Kendati keduanya bersumber dari ajaran Hazrat Mirza Ghulam Ahmad, namun dalam perjalanan sejarahnya terjadi silang pendapat terhadap sejumlah masalah prinsip keagamaan yang cukup fondamental, yang dipicu oleh klaim Basyirudin Mahmud Ahmad bahwa :

  1. Hazrat Mirza Ghulam Ahmad  sungguh-sungguh nabi,
  2. Kata Ahmad yang terdapat dalam Qur’an Suci Surat Ash-Shoff ayat 6 adalah Mirza Ghulam Ahmad, dan
  3. Setiap orang yang tidak mengakui kenabian dan berbaiat kepada Hazrat Mirza Ghulam Ahmad adalah kafir dan di luar batas Islam.

Maulana Muhammad Ali, M.A., LL.B., pengikut setia yang menjadi tangan kanan Hazrat Mirza Ghulam Ahmad, bersama sejumlah pengikut senior lainnya, menolak klaim tersebut. Dengan keyakinan bahwa klaim Basyirudin tersebut tidak bersumber pada Hazrat Mirza Ghulam Ahmad, maka Muhammad Ali dan pendukungnya mengambil sikap dan memisahkan diri dari kelompok Basyirudin Mahmud Ahmad, kemudian membentuk jamaah sendiri dengan nama Ahmadiyah Anjuman Isya’ati Islam (Ahmadiyah Gerakan Penyiaran Islam) yang berpusat di kota Lahore (Di Indonesia bernama Gerakan Ahmadiyah Indonesia, disingkat GAI). Sedangkan kelompok Basyirudin Mahmud Ahmad berpusat di Qadian, sehingga dikenal dengan nama Ahmadiyah Qadian (di Indonesia bernama Jemaat Ahmadiyah Indonesia, disingkat JAI).

Ahmadiyah Lahore dan golongan Islam lain

Sepanjang mengenai paham keagamaan Ahmadiyah Lahore, secara umum tidak berbeda dengan golongan Islam pada umumnya, baik dari segi aqidah maupun syari’ah. Kalaupun ada perbedaan, pasti hanya menyangkut masalah furu’iyyah (cabang) atau detail agama, bukan masalah pokok asasi agama (ushuluddin).

Jika golongan Islam lain merumuskan aqidah ke-Islamannya dalam Rukun Iman yang enam, maka Ahmadiyah Lahore pun demikian. Jika golongan Islam lain mengucapkan Syahadat dengan kalimat “Asyhadu allaa illaha illalooh wa asyhadu anna Muhammadarrosuulullooh”, maka Ahmadiyah lahore pun tidak lebih dan tidak kurang. Jika golongan Islam lain meyakini Muhammad saw. Sebagai nabi terbesar dan terakhir (qhotamun-nabiyyin, penutup sekalian nabi), Ahmadiyah Lahore pun sama. Jika golongan Islam lain menghadap kiblat ke Ka’bah di Makkah dalam setiap sholat mereka (baik sholat wajib maupun sunnat), maka Ahmadiyah Lahore pun sama. Jika golongan Islam lain berpuasa  wajib setiap bulan Ramadhan, Ahmadiyah Lahore pun melakukannya. Jika golongan Islam lain membayar Zakat, Ahmadiyah Lahore juga melaksanakan sebagai kewajiban syara’. Jika golongan Islam lain menunaikan ibadah haji ke Baitullah di Makkah Al-Mukarromah, Ahmadiyah Lahore pun sama. Lalu, adakah yang lebih atau yang kurang dari hal-hal seperti tersebut untuk diakui sebagai golongan Islam?

Mirza Ghulam Ahmad bukan nabi

Gerakan Ahmadiyah (Lahore) meyakini bahwa Rasulullah Muhammad saw. Adalah nabi yang terbesar dan terakhir (penutup sekalian nabi) secara mutlak, yakni bahwa sesudah beliau tidak akan ada nabi lagi, baik nabi lama (yang pernah diutus oleh Allah, seperti misalnya Nabi Isa a.s.) maupun nabi baru. Implikasi dari keyakinan ini adalah bahwa Hazrat Mirza Ghulam Ahmad bukan nabi, melainkan seorang mujaddid (pembaharu, remormer, seperti misalnya Imam Ghozali, Syekh Abdul Qodir Jailani, Ibnu Taimiyah, dll.) terhadap pemahaman ajaran Islam dan pola keberagamaan Islam zaman ini. Jika ada orang atau kelompok orang yang meyakini Mirza Ghulam Ahmad sebagai nabi, pasti bukan dari Gerakan Ahmadiyah (Lahore).

Boleh jadi pernyataan ini akan menimbulkan pertanyaan: Mengapa dari pribadi yang sama muncul keyakinan yang berbeda  bahkan kontradiktif? Hendaklah diingat, Nabi Isa a.s. oleh sebagian orang diyakini sebagai Tuhan Anak atau Anak Tuhan, sedangkan oleh sebagian yang lain diyakini sebagai Nabi utusan Allah.

Mirza Ghulam Ahmad tidak menghapus jihad

Tuduhan orang bahwa Hazrat Mirza Ghulam Ahmad menghapus doktrin jihad, sesungguhnya karena kurang memahami pribadinya. Bagi Hazrat Mirza, hidup hanyalah untuk mengabdi kepada Allah, dengan semboyan “ Menjunjung agama melebihi dunia”. Seluruh usaha beliau hanyalah ditujukan untuk perjuangan menyiarkan Islam. Dalam hal ini, keluhuran budi pekerti, kekuatan taqwa, ketinggian rohani dan keunggulan argumentasi Qur’ani adalah kunci keberhasilan. Beliau menilai bahwa jihad diartikan sebagai “menyiarkan Islam dengan pedang atau peperangan” adalah bertentangan dengan ajaran Qur’an Suci dan tradisi Nabi suci Muhammad saw. Kaum muslimin baru diizinkan mengangkat senjata apabila diserang karena alasan agama, sebagaimana dinyatakan oleh Qur’an Suci (Surat 2:190): “Dan berperanglah di jalan Allah melawan mereka yang memerangi kamu, tetapi janganlah kamu melanggar batas”. Menurut beliau, jihad akbar adalah menyiarkan Islam dengan Qur’an Suci, bukan dengan pedang (perang). Bukan berarti beliau menafikan perjuangan politik, tetapi beliau tidak mengambil jalur itu.

Sayangnya, ketidakterlibatan beliau dalam perjuangan politik, lagi-lagi, disalahpahami oleh sebagian orang, bahkan menuduh beliau sebagai anthek penjajah Inggris. Prinsip beliau, manusia adalah umat yang satu dan hidup di bumi Allah yang satu pula. Seseorang tidak bisa mengklaim bahwa suatu tempat atau daerah adalah miliknya secara mutlak, sehingga orang lain tidak boleh tinggal di tempat itu. Jika prinsip seperti ini diikuti,  betapa dunia akan kacau. Orang-orang yang merasa pemilik bumi Indonesia akan mengusir orang Cina, India, Arab, dll. Bisakah demikian? Bukankah orang-orang Islam dulu juga menguasai dan memerintah daerah-daerah di luar Jazirah Arab?

Persoalan sesungguhnya adalah bahwa bangsa-bangsa penjajah itu belum mengenal ajaran Islam, sehingga mereka lebih banyak mengambil keuntungan daripada berbuat kemaslahatan. Justru dengan begitu kepada orang-orang Eropa, Islam sangat perlu disiarkan. Dan ini pulalah yang dikerjakan oleh Hazrat Mirza Ghulam Ahmad beserta pengikut-pengikut beliau.

Dakwah Islam di Barat

Ketika kebanyakan orang Islam masih meratapi nasibnya yang tengah terpuruk, Hazrat Mirza Ghulam Ahmad sejak awal tahun 1901 telah memulai usaha menyiarkan Islam ke benua Eropa, antara lain dengan menerbitkan majalah berbahasa Inggris, Review of Religion yang dipimpin oleh Maulana Muhammad Ali, M.A., LL.B. Usaha ini terus diintensifkan dengan mendirikan masjid dan lembaga dakwah di Inggris dan Jerman, dll.

Kitab Suci Gerakan Ahmadiyah

Tuduhan orang bahwa Gerakan Ahmadiyah memiliki kitab suci sendiri bernama Tadzkirah, adalah fitnah belaka. Dalam pandangan Gerakan ahmadiyah, Qur’an Suci adalah sumber pertama dan terutama dari seluruh ajaran dan syari’at Islam. Oleh karena itu Gerakan Ahmadiyah berusaha keras dan terus menerus untuk menyebarluaskan Qur’an Suci dengan menerjemahkannya ke dalam berbagai bahasa penting dunia, dan juga buku-buku ke-Islaman lainnya. (Wallahu a’lam bi-sh shawab).[]

Yuk Bagikan Artikel Ini!

Comments (1)

  1. salamullah alaikum…
    sayah ingin bertanya;
    1.apa isi kitab tadzkirah?
    2.apakah kitab tersebut diyakini sbg wahyu?
    wassalam

Comment here

Translate »