ArtikelEdisi KemerdekaanKliping

Selayang Pandang GAI di Kediri

Pada masa awal kepengurusan SWB Arifin, terbentuklah desa-desa binaan sebagai basis GAI di daerah sekitar Sungai Konto, di antaranya Desa Sekuning, Wangkalan, Jaban dan desa Pusuh. Kegiatan yang rutin diselenggarakan adalah Pengajian Tafsir Qur’an, bertempat di rumah SWB Arifin, pada setiap Minggu pagi. Kegiatan ini diikuti oleh tokoh-tokoh ormas dan para pemuda Islam. 

Oleh: Mutohir Alabas | Sekretaris GAI Cabang Kediri

Ahmadiyah adalah gerakan penyiaran Islam yang tersebar di berbagai negara. Di dunia internasional, terdapat dua organisasi Ahmadiyah, yang lazim dikenal dengan Ahmadiyah Lahore dan Ahmadiyah Qadian. Antara keduanya tidak ada hubungan struktural organisasi dan masing-masing berjalan sendiri.

Di tingkat internasional, organisasi Ahmadiyah Lahore bernama “Ahmadiyya Anjuman Isha’ati Islam Lahore” (AAIIL). Gerakan ini didirikan pada tahun 1914 oleh Maulana Muhamad Ali, murid sekaligus sekretaris pribadi Hazrat Mirza Ghulam Ahmad. Kata “Lahore” sendiri diambil dari salah satu nama kota di negara Pakistan dimana Gerakan ini didirikan. Perlu diketahui bahwa Ahmadiyah Lahore berfaham Ahli sunah wal jama’ah. Ahmadiyah Lahore berkeyakinan setelah kadatangan nabi Muhammad SAW sampai nanti kiamat tidak akan datang nabi lagi, baik nabi lama maupun nabi baru.

Di Indonesia, organisasi dari faksi Ahmadiyah Lahore secara resmi bernama Gerakan Ahmadiyah Indonesia (GAI), berpusat di Daerah Istimewa Yogyakarta. Sementara dari faksi Ahmadiyah Qadiyan bernama Jemaat Ahmadiyah Indonesia (JAI), berpusat di Parung, Bogor.

Di Kediri sendiri, masing-masing organisasi ini memiliki kantor cabang. Gerakan Ahmadiyah Indonesia (GAI) Cabang Kediri berkantor di Jl. Raya Kediri-Pare KM 8 Desa Adan-adan Kecamatan Gurah, Kediri. Sementara JAI berkantor di Kelurahan Ngadisimo, kota Kediri.

Berdirinya GAI Cabang Kediri tak terlepas dari peran seorang pejuang penyiaran Islam yang tinggal di dusun Templek, Desa Gadungan, Kecamatan Puncu, Kediri bernama Raden Mas Sunandar Wiryo Burhanul Arifin, atau lebih dikenal dengan panggilan SWB Arifin. Beliau lahir di Kediri, 31 Desember 1913. Beliau adalah putra R.M. Sunandar Wiryo Dirdjo, seorang Sinder perkebunan se-Karisidenan Kediri pada zaman Belanda.

Meski berpendidikan terkakhir MULO (setingkat SMA), namun SWB Arifin fasih berbahasa Belanda dan Inggris. Di masa muda, beliau mendapat pemahaman tentang Ahmadiyah Lahore langsung dari HOS Tjokroaminoto, yang kelak dikenal sebagai Pahlawan Nasional. Kemudian beliau melanjutkan berguru kepada seorang mubaligh Ahmadiyah dari Pakistan yang bermukim di Purwokerto, bernama Mirza Wali Ahmad Baig.

Dalam aktivitas dakwahnya, SWB Arifin dibantu sang istri, Shofi Retnaningsih, perempuan keturunan Jepang yang berprofesi sebagai ahli hukum. Nyai Shofi dikenal karena selalu membantu rakyat kecil yang mendapat kesulitan di bidang hukum.

Di masa penjajahan Jepang, SWB Arifin diangkat menjadi vuku daitaico untuk Karisidenan Kediri. Karena kedekatannya dengan Residen Kediri, beliau diizinkan membagikan tanah perkebunan bekas peninggalan belanda yang berada di wilayah kecamatan Kepung dan Puncu kepada rakyat. Meskipun, pembagian tanah perkebunan itu disertai syarat agar rakyat berkewajiban menyetor hasil bumi berupa iles-iles, tanaman sejenis tales berkulit lembut  yang disukai bangsa jepang.

Tanah perkebunan pun dibagikan secara adil dan merata. Tetapi SWB Arifin pribadi tidak mengambil sejengkal pun tanah pembagian itu. Beliau sendiri tetap hidup dalam kesederhanaan. Hal inilah yang menyebabkan SWB Arifin sangat disukai rakyat banyak, dan menjadi modal penyiaran Islam melalui Gerakan Ahmadiyah.

Pada tahun 1963, Gerakan ahmadiyah Indonesia Cabang Kediri didirikan. SWB Arifin diangkat sebagai ketua, dan wakil ketuanya adalah Musni Nur Ahmad. Bertindak sebagai sekretaris adalah sang istri, Shofi Retnaningsih, sementara posisi Bendahara dijabat Syafi’udin.

Pada masa awal kepengurusan SWB Arifin, terbentuklah desa-desa binaan sebagai basis GAI di daerah sekitar Sungai Konto, di antaranya Desa Sekuning, Wangkalan, Jaban dan desa Pusuh. Kegiatan yang rutin diselenggarakan adalah Pengajian Tafsir Qur’an, bertempat di rumah SWB Arifin, pada setiap Minggu pagi. Kegiatan ini diikuti oleh tokoh-tokoh ormas dan para pemuda Islam. Kegiatan GAI yang lain adalah mengisi ceramah umum serta mengadakan dialog dengan tokoh-tokoh agama, baik kepada sesama muslim maupun kepada non muslim, terutama dengan Kristen Advent.

Murid-murid SWB Arifin generasi awal yang masih hidup antara lain Kyai SA Yazid Burhany L., Kyai Musni Nur Ahmad, Kyai Djazuli Ali Zein, Sahrudji, Imam Taukhit, Sutedjo, Wakidi, H. Kutadji, Jumarno, H. Mat Susin, Imam Bakri, Abdullah Busyro, Munasrip, Ibu Zahroh, dan Ibu Nafsiyah. Sampai saat ini mereka masih aktif mengembangkan GAI di wilayah Pare, Kediri.

Murid-Murid Kyai SBW Arifin, Generasi Awal GAI Cabang Kediri

Hingga saat ini terbentuk anak Cabang di wilayah Kecamatan Pare, Badas, Plosoklaten, Gurah, Puncu, Kepung, Plemahan, Pagu, Kayen Kidul, dan di Ngampel Mojoroto Kota Kediri yang diketuai Suradi. Bahkan GAI tersebar hingga sampai ke Desa Bacem, Ponggok Kabupaten Blitar yang diketuai Mut’im Sudiono dan Juga di wilayah Gudo Jombang dibawa oleh Drs. Kardji, seorang pensiunan guru.

Sampai dengan saat ini, GAI Cabang Kediri sudah pernah  enam kali ganti kepengurusan, yakni masa kepengurusan SWB Arifin, kemudian dilanjutkan berturut-turut dengan masa kepengurusan K.H. Musni Nur Ahmad, Dimhari Utsman, K.H. Djazuli Ali Zein, Drs Nurudin M.Pd, Usman Gumanti, dan terakhir Drs As’adi Al Fatah.[]

 

 

Yuk Bagikan Artikel Ini!

Comment here