Artikel ini dinukil dari booklet transkrip ceramah Maulana Aftabuddin Ahmad, Imam Besar Masjid Shah Jehan Woking, Surrey, London, bertajuk “The Status of Women In Islam.” Ceramah itu sendiri disampaikan Aftabuddin di hadapan para petinggi dan jamaah Gereja James Sanctuary di Knightbridge, London pada tahun 1933.[1]
———
Berhubung kita semua telah sama-sama tahu untuk maksud apa kami diundang di sini pada malam hari ini, maka tanpa perlu membuang waktu dengan kata pendahuluan, perkenankanlah kami langsung menguraikan pokok-pokok pembicaraan yang ingin kami sampaikan.
Ini adalah Gereja. Dan hadirin sekalian tentunya adalah pemeluk agama Kristen. Tetapi di sini kami berbicara di hadapan anda sekalian sebagai orang Islam mengenai kedudukan kaum wanita dalam pandangan Islam.
Sebagai manusia yang berfikiran logis, kita tentu memahami segala sesuatu itu manakala ia memiliki hubungan satu sama lain dengan yang lain.
Oleh sebab itu, kami mohon hadirin sukalah mengingat-ingat kembali keterangan Bibel perihal doktrin “Jatuhnya Adam ke Dalam Dosa.” Mengingat bahwa seluruh kepercayaan Kristen berlandaskan atas doktrin ini.
Walaupun kami, sebagai orang Islam, tak setuju dengan doktrin Paulus ini, tetapi kami menganggap beliau seorang yang konsisten, manakala beliau menulis, “Adam tak tertipu, tetapi wanitalah yang karena tertipu maka ia menyeleweng.”
Demikian pula dengan konsistensi para Imam Gereja abad pertengahan, manakala mereka melemparkan kutukan terhadap kaum wanita. Di antara mereka ada yang menyebut wanita sebagai “kaki tangan setan,” sebagian lagi menggambarkan wanita sebagai “alat yang digunakan oleh setan untuk menguasai kaum pria.”
Betapapun menggelikannya gagasan ini bagi kita, teristimewa di abad 20 ini, tetapi bukankah itu semua memang selaras dengan doktrin “Jatuhnya Adam Dalam Dosa,” sebagaimana diundangkan oleh agama Kristen?
Kaum Muslimin juga percaya akan gagasan “Jatuhnya Adam ke Dalam Dosa” ini, seperti bisa kita baca dalam Quran Suci, “Dan kami berkata: Wahai Adam! Tinggallah engkau dan istri engkau di Taman, dan makanlah dari sana makanan apa saja yang kamu kehendaki, dan janganlah berdekat-dekat dengan pohon ini, agar kamu tak menjadi golongan orang yang lalim. Akan tetapi Setan membuat mereka tergelincir dari sana dan menyebabkan mereka keluar dari keadaan yang mereka berada di dalamnya.” (QS 2:35-36).
Tetapi dari ayat ini teranglah bahwa menurut Islam, baik Adam maupun Hawa sama-sama tertipu oleh Setan, pada saat yang sama dan dengan cara yang sama pula.
Sehubungan dengan itu, kami ingin menyampaikan bahwa Quran Suci menyangkal adanya anggapan bahwa wanita diciptakan dari tulang rusuk pria. Surat An-Nisa’ diawali dengan uraian sebagai berikut:
“Wahai manusia, bertaqwalah kepada Tuhan kamu, Yang menciptakan kamu dari makhluk satu, dan menciptakan jodohnya dari (makhluk) yang sama (QS 4:1).
Perkara ini diuraikan lebih jelas lagi di tempat lain dalam Qur’an Suci sebagai berikut: “Dan Allah telah membuat jodoh untuk kamu dari sesama kamu sendiri” (QS 16:72).
Ayat ini menekankan bahwa istri-istri kita memiliki hakikat yang sama seperti kita juga, sama-sama diciptakan dari jenis yang sama. Secara teologis, tidak ada deklarasi soal kesamaan kedudukan antara wanita dan pria yang lebih jelas lagi daripada ini.
Berbicara mengenai kedudukan wanita, marilah kita tinjau sekali lagi uraian Injil:
“Bukanlah laki-laki diciptakan untuk perempuan, melainkan perempuan diciptakan untuk laki-laki.” (1 Korintus 11:9)
“Biarlah perempuan itu belajar dengan diam, dengan segala ketundukan, karena aku tak membiarkan perempuan menguasai laki-laki.” (1 Timotius 2:11)
“Aku tidak memberi izin bagi perempuan untuk mengajar atau memerintah laki-laki, melainkan hendaklah ia berdiam diri.” (1 Timotius 2:12)
Berlawanan dengan pandangan Bibel dalam soal hak-hak kaum pria dan wanita, Qur’an Suci menyatakan sebagai berikut: “Dan mereka (wanita) mempunyai hak yang sama dengan apa yang dipikulkan terhadap mereka dalam perkara kebaikan.” (QS 2:78).
Perihal saling bergantungnya pria dan wanita satu sama lain, diuraikan lebih jelas lagi dalam Qur’an Suci sebagai berikut: “Mereka (istri-istrimu) adalah pakaian bagi kamu, dan kamu adalah pakaian bagi mereka” (QS 2:187).
Alangkah indahnya perumpamaan ini! Kegunaan pakaian adalah untuk menutupi aurat dan menutupi cacat-cacat jasmani yang perlu disembunyikan. Demikian pula hubungan suami-istri itu untuk saling menutupi kelemahan masing-masing.
Sayang sekali bahwa manusia beradab pada zaman sekarang ini tak menyadari bahwa nafsu seksualnya itu hanya pernyataan unsur hewani yang ada pada dirinya, dan bahwa semakin nafsu itu disembunyikan dan dikendalikan, semakin baiklah bagi martabat dirinya sebagai makhluk yang berakal.
Sebagaimana pakaian itu memberi kesenangan pada tubuh kita, demikianlah pula suami memberi kesenangan kepada istri, demikian pula sebaliknya. Pakaian juga merupakan perhiasan bagi tubuh kita, begitu juga suami merupakan hiasan bagi istri, dan istri merupakan perhiasan bagi suami.
“Harta karun yang terpendam di dasar lautan, tak seberapa harganya jika dibandingkan dengan kenikmatan seorang pria yang tersimpan dalam hati seorang wanita,” demikianlah tulis seorang penyair Inggris kenamaan.
Saya berani berkata bahwa perasaan sang penyair ini hanyalah sebuah pantulan belaka dari Qur’an Suci, dan sekali-kali bukan karena diilhami oleh Bibel. Karena hanya dalam Quran sajalah tercantum pernyataan, “Dan di antara tanda bukti-Nya ialah bahwa Ia telah menciptakan untuk kamu jodoh dari golongan kamu sendiri, agar kamu menjadi tentram karenanya, dan bahwa Ia telah menempatkan cinta dan kasih sayang di antara kamu” (QS 30:21).
Demikianlah hakekat kedudukan seorang istri dalam Islam. Dan kami tak pernah memperoleh pandangan yang lebih mulia daripada pandangan Islam mengenai hubungan suami-istri yang didasarkan atas cinta, kasih sayang, dan persamaan derajat.
Perkenankanlah kami juga mengemukakan beberapa pernyataan Rasulullah saw. dalam beberapa riwayat Hadits berkenaan dengan hubungan antara laki-laki dan perempuan, sebagai berikut:
“Wanita adalah saudara kembar pria.”
“Allah memerintahkan kami memperlakukan wanita dengan baik, karena mereka adalah para ibu, anak-anak perempuan, dan bibi-bibi kami.”
“Dunia dan segala isinya adalah amat berharga. Akan tetapi yang paling berharga ialah seorang wanita yang berhati suci.”
“Seorang Muslim tak boleh membenci istrinya. Jika ia membenci dia karena suatu sifat yang ia tak menyukainya, carilah sifat-sifatnya yang lain yang baik.”
“Seorang istri yang berhati suci adalah harta seorang suami yang paling berharga.”
“Seorang muslim yang baik adalah yang baik tingkah lakunya. Yang paling baik di antara kamu adalah yang memperlakukan istrinya dengan baik.”
“Takutlah kepada Allah dalam memperlakukan istrimu, karena sesungguhnya mereka adalah penolong kamu. Kamu telah memperistrikan mereka atas amanat Allah, dan disahkan oleh firman Allah.”
Selanjutnya, kami perlu menyampaikan perihal hak-hak kaum wanita dalam pandangan Islam.
Sekali lagi kami sampaikan dengan lugas dan tanpa takut sedikit pun akan sangkalan-sangkalan bahwa kaum wanita tak pernah mendapat suatu hak, apalagi hak istimewa, dari Yesus Kristus.
Sehingga bagi kaum wanita, tak ada bedanya seandainya Yesus Kristus lahir atau tak lahir di dunia ini. Karena Yesus tak pernah berkata sepatah kata pun tentang hak-hak kaum wanita. Bahkan ia mencontohkan perasaan benci terhadap wanita: terhadap ibunya sendiri, ia tak mampu menyenangkan hatinya.
Walaupun gereja berkali-kali berkata bahwa hak-hak yang diperoleh kaum wanita sekarang ini adalah hasil evolusi Roh Yesus, tetapi kian lama kian kuat anggapan orang bahwa hal itu justru terjadi karena adanya pengaruh kaum non-Kristen. Dan siapa tahu bahwa yang mempengaruhi ialah undang-undang Nabi Muhammad saw., yang secara tidak langsung mempengaruhi pandangan mereka.
Adapun hak-hak kaum wanita seperti yang digariskan oleh Qur’an Suci adalah jelas dan luas, dan benar-benar merupakan perbaikan dari segala sistem yang ada.
Qur’an Suci menyatakan, “Kaum pria mendapat bagian dari apa yang ditinggalkan oleh ayah-ibu dan kaum kerabat. Kaum wanita juga mendapat bagian dari apa yang ditinggalkan oleh ayah-ibu dan kaum kerabat, entah sedikit ataukah banyak.” (QS 4:7).
Sembari menyimak ayat ini, hendaklah kaum pria dan wanita Kristen di Inggris ini ingat bahwa pengesahan hak kaum wanita atas harta mereka boleh dikata terbilang baru saja terlaksana.[2] Padahal para wanita Islam telah memperoleh hak-hak itu sejak 1400 tahun silam.
Dalam Islam, seorang wanita mempunyai hak atas diri pribadinya sendiri, baik saat di rumah orang tuanya maupun di rumah suaminya. Ia mempunyai nama sendiri, dan di mana-mana ia dipanggil dengan nama itu.
Kendati sudah menikah, wanita tetap menjadi waris atas harta peninggalan orang tuanya. Bahkan ia mendapat hak lagi sebagai ahli waris harta peninggalan suaminya.
Dalam Islam, tak perlu ada orang seperti Miss Eleanor Rathbone[3] yang menumpahkan amarahnya di depan parlemen untuk menentang para suami yang mewariskan harta peninggalan mereka dengan mengecualikan istri-istri mereka sama sekali.
Sehubungan dengan ini, kami mempersilakan hadirin untuk membaca pandangan Mr. Pierre Crabites, yang pada tahun 1911 telah ditunjuk sebagai hakim oleh Presiden William Howard Taft untuk mewakili Amerika Serikat dalam Mixed Tribunal[4] di Kairo, Mesir.
Pandangan Pierre ini dimuat dalam sebuah karangan yang bertajuk “Hal-hal yang telah dilakukan oleh Muhammad terhadap kaum wanita,” antara lain berisi sebagaimana kutipan berikut ini:
“Sungguh tak ada yang lebih menakjubkan lagi daripada menjumpai suatu kenyataan bahwa sebelum tahun 632 Masehi, Nabinya Umat Islam telah berbuat lebih banyak dalam hal menjamin hak milik kaum wanita, daripada apa yang telah diperbuat oleh Dewan Legislatif Negara Bagian Lousiana terhadap istri saya.
Sumbangan Muhammad yang amat besar bagi kepentingan kaum wanita ialah diberikannya hak milik kepada pihak istri.
Kedudukan hukum seorang istri, kalau istilah teknis ini boleh saya pakai, adalah sama dengan suami. Seorang istri dalam Islam mempunyai kebebasan dalam segala hal yang berhubungan dengan harta miliknya. Undang-undang Islam memperbolehkan istri untuk berbuat sekehendaknya terhadap harta miliknya sendiri tanpa minta izin suaminya.
Maka dari itu tak ada gunanya untuk mengatakan kepada saya bahwa seorang wanita Islam hanyalah sebuah mesin pembuat susu, dan bahwa wanita tak mempunyai jiwa, dan bahwa laki-laki adalah tuannya dan majikannya.
Saya tidaklah berbicara tentang kondisi sosial. Saya hanyalah sedang menggambarkan karya besar dari seorang pembuat undang-undang dan bangunan peradilah yang telah didirikan olehnya.
Tetapi bila saya mendapat banyak kritikan, saya akan mulai dengan mempersilahkan masing-masing pria dan wanita untuk mengajukan sangkalannya. Tetapi ia harus membuktikan terlebih dulu bahwa kaum istri di negaranya menikmati hak-hak istimewa yang menyamai apa yang dinikmati oleh bangsa-bangsa yang tersembunyi dalam Islam itu.
Saya kira saya dapat dibenarkan untuk mengajukan persyaratan ini. Jika ini akan mengurangi jumlah orang yang dapat memenuhi persyaratan, ini bukanlah salah saya.
Selanjutnya saya akan mengundang kepada mereka yang sedang melalui Ellis Island untuk dapat ke kantor sidang saya. Di sana mungkin akan saya tunjukkan kepada mereka para perempuan berkerudung dengan lengan mereka yang bertato, memakai cincin pada hidungnya, menggendong anak yang penuh lalat di pundaknya.
Walaupun tanpa pembela atau wali, mereka berani berdiri di depan hakim atau jaksa untuk membela hak-hak mereka dengan penuh keyakinan dan dengan bahasa yang fasih dan lancar, yang membuat orang kagum.
Jika adegan ini belum meyakinkan saudara-saudara, silahkan mencari keterangan kepada siap saja yang saudara percayai, siapa sebenarnya yang pertama kali mengobarkan api semangat di Mesir itu, dan siapa pula yang terus menyalakan api itu, dan siapa pula musuh-musuh yang paling nekad dan yang paling berani, dan menolak untuk diajak kompromi!
Bagi pertanyaan-pertanyaan itu hanya ada satu jawaban. Yaitu bahwa untuk kebaikan atau keburukan, wanita Islam merupakan kekuatan pendorong yang diciptakan oleh seorang yang maha bijaksana.
Hak menelurkan tanggung jawab, tanggung jawab menimbulkan kepemimpinan, dan kepemimpinan selalu menyatakan kepribadian.
Muhammad-lah yang telah mengatur dengan kebijaksanaan yang tepat perihal hak milik bagi kaum wanita negaranya. Dialah yang telah memberikan kepada mereka kerpibadian mereka. Dia pulalah yang telah menaruh tongkat kerajaan dalam tangan mereka.”[5]
[bersambung]
—–
[1] Diterjemahkan Oleh Siti Rochmaniyah Prayogo. Sumber Artikel: Majalah Warta Keluarga GAI No. 41 Tahun 1974. Sumber Asli: The Status of Woman In Islam
[2] Yaitu pada tahun 1870 oleh Parlemen Inggris –pent.
[3] Eleanor Florence Rathbone (12 Mei 1872 – 2 Januari 1946) adalah seorang Anggota Parlemen (MP) independen Inggris dan juru kampanye jangka panjang untuk tunjangan keluarga dan hak-hak perempuan. Dia adalah anggota keluarga Rathbone yang terkenal di Liverpool (Sumber: Wikipedia – Admin)
[4] Semacam Mahkamah Internasional – Pent.
[5] Majalah The Asia, New York, January 1927
Comment here