Artikel

Menyoal Ide Pembaharuan Pemikiran Islam

blur close up composition diary

Di Jakarta, 26 Juli 2004 yang lalu, digelar sebuah seminar bertajuk “Rethinking Islam: The Perspektive of British Diaspora,” dengan pembicara utama adalah Prof. Ziauddin Sardar, seorang pemikir Muslim Inggris (Dialog Jum’at, 30 Juli 2004).

Salah satu poin penting pemikiran Sardar dalam seminar itu adalah soal perlunya umat Islam untuk membuka kembali pintu ijtihad. Gagasan yang dikemukakan oleh Sardar ini sebenarnya bukan barang baru. Beberapa tokoh muslim kenamaan, seperti Sir Muhammad Iqbal dan Sir Sayyid Ahmad Khan, juga telah melontarkan seruan itu.

Tetapi memang, hingga sejauh ini seruan kedua tokoh itu belum banyak menolong, karena tampaknya belum menyentuh persoalan yang mendasar.

Sebenarnya ada tokoh lain yang hidup sezaman dengan Iqbal dan Ahmad Khan, yakni Hazrat Mirza Ghulam Ahmad, yang tanpa menghitung resiko, telah melakukan terobosan dengan mendobrak pintu ijtihad yang terkunci rapat lebih dari seribu tahun. Sayangnya, tokoh ini diabaikan sebagian besar umat Islam.

Agaknya, persoalannya terletak pada ketidaksiapan umat Islam untuk meninggalkan atau membuang paradigma lama yang dianggap baku dan final, sehingga sulit untuk menerima paradigma atau pemikiran-pemikiran yang “baru”.

Karenanya, boleh dikata, sebenarnya bukan pintu ijtihad yang tertutup, melainkan pintu hati umat Islam-lah yang tertutup.

Sedikit contoh pembaharuan pemikiran yang dikemukakan oleh Hazrat Mirza Ghulam Ahmad adalah tentang konsepsi wahyu dan jihad.

Dalam konsepsi ‘lama’ atau ortodoks, wahyu dikatakan hanya diberikan kepada para nabi utusan Allah, yang seolah-olah meniscayakan adanya jarak antara manusia biasa dengan Tuhannya. Maksudnya, pemaknaan wahyu seperti itu menimbulkan asumsi bahwa manusia biasa menjadi mustahil melakukan komunikasi langsung dengan Tuhannya.

Konsep wahyu ini pula yang menimbulkan pengertian bahwa dengan berakhirnya kenabian pada pada diri Nabi Suci Muhammad saw., maka Allah pun berhenti juga melakukan kontak atau komunikasi dengan manusia.

Barangkali ini pula yang memunculkan konsep washilah, atau perlunya perantara antara manusia dengan Tuhan, di kalangan umat Islam.

Konsepsi seperti inilah yang diperbarui oleh Hazrat Mirza Ghulam Ahmad dengan mengatakan bahwa wahyu adalah kenyataan universal yang abadi, seabadi eksistensi Allah sendiri. Sebabnya, sifat Kalam adalah salah satu sifat Allah yang menyatu dengan Dzat-Nya. Singkat kata, jika pada zaman dahulu Allah berfirman, maka sekarang dan sampai kapan pun Ia akan tetap berfirman.

Memang benar bahwa firman yang berisi nubuat dan risalah tidak akan ada lagi, karena telah sempurna diberikan kepada Nabi Suci Muhammad saw. Dan sesuatu yang sudah sempurna, tentu tidak perlu ada perubahan, penambahan, atau pengurangan lagi.

Tetapi mengingat wahyu adalah perwujudan kehendak Ilahi, maka selain yang berisi risalah seperti yang diberikan kepada Nabi Muhammad saw. (Al Qur’an), wahyu Allah akan terus-menerus berlangsung sampai kapan pun.

Keberlangsungan wahyu ini memungkinkan kedekatan hubungan antara manusia dengan Tuhannya, karena memang manusia sangat memerlukan itu. Dan dengan demikian akan mendorong manusia berusaha melakukan kontak langsung dengan Allah untuk mendapatkan petunjuk-Nya terhadap setiap pemecahan masalah yang ia hadapi.

Bukankah Allah sendiri berjanji kepada manusia, melalui sejumlah ayat Qur’an, untuk memberi pertolongan langsung melalui firman-Nya, dalam bentuk ilham, kasyaf, ru’ya, dan lain sebagainya?

Kalimat “iyyaaka na’budu wa iyyaaka nasta’iin,” yang kemudian diikuti dengan kalimat “ihdinash-shiraathal-mustaqiim” dalam Surat Al-Fatihah, jika menggunakan pemahaman ini, akan sangat terasa bahwa pernyataan dan permintaan itu langsung ditujukan kepada Allah. Apalagi jika kalimat itu kita baca ketika sedang shalat, dimana kita harus berasumsi bahwa Allah ada di hadapan kita, atau kita sedang berdiri di hadapan Allah.

Maka hidayah, atau petunjuk/pimpinan/bimbingan yang serupa shiraathal-mustaqim itu sebenarnya mencakup semua urusan sehari-hari kita.

Kemudian tentang pemahaman jihad. Hazrat Mirza Ghulam Ahmad berpendapat bahwa arti kata jihad sekarang ini telah diperkosa sedemikian rupa oleh umat Islam, karena hanya dipahami sebagai perang fisik semata.

Di masa-masa awal penyiaran Islam, Nabi Suci saw. dan para sahabat terpaksa berperang karena musuh-musuh Islam berusaha menghancurkan Islam dengan senjata fisik. Tetapi untuk zaman sekarang, senjata fisik seperti bom dan lain-lain, tidak diperlukan lagi. Pasalnya musuh-musuh Islam pada zaman ini tahu betul Islam tidak mungkin bisa dikalahkan dengan senjata fisik.

Kondisi dan situasi zaman tidak memungkinkan lagi untuk melakukan penghancuran Islam dengan senjata fisik, misalnya meledakkan tempat-tempat ibadah, atau apa pun, dengan bom atau bentuk-bentuk kekerasan fisik lainnya.

Dalam prakteknya, cara-cara yang digunakan musuh-musuh Islam untuk menghancurkan Agama Allah ini, pada zaman akhir ini melalui tulisan-tulisan dan bentuk-bentuk lain, misalnya melalui pola hidup materialistik, peredaran narkotika, pornografi, dsb.

Pola hidup yang berorientasi pada mareri adalah berlawanan dengan nilai-nilai ajaran Islam yang lebih berorientasi kepada spiritualitik. Paham materialisme akan membawa kecenderungan jauh dari Tuhan, karena adanya perasaan mampu mencukupi kebutuhannya sendiri tanpa bantuan Tuhan.

Sementara itu, tentang peredaran narkotika dan pornografi, ada sementara orang yang menengarai sebagai usaha kaum Yahudi untuk memperlemah generasi muda Muslim khususnya, sehingga menjauhkan mereka dari agama.

Dakwah Islam pada era ini, menurut Hazrat Mirza Ghulam Ahmad, harus dilakukan dengan semangat jihad, artinya harus dilakukan dengan usaha yang sungguh-sungguh.

Secara teknis, pertama-tama orang Islam harus mampu mengendalikan hawa nafsunya (nafsu serakah terhadap harta dan kenikmatan duniawi lainnya, nafsu berbuat jahat, dll.), kemudian menyebarluaskan keindahan dan kebenaran Islam dengan sungguh-sungguh lewat tulisan-tulisan yang bermutu, yang merujuk langsung pada sumber ajarannya, yaitu Al-Qur’an.

Inilah jihad yang harus dilakukan oleh setiap Muslim sekarang ini.[]

Penulis: Mulyono | Sekretaris PB GAI Masa Bakti 1999-2024

Yuk Bagikan Artikel Ini!

Comment here

Translate »