Artikel

Nubuat Kebangkitan Islam di Zaman Akhir

Dalam Qur’an, Allah Ta’ala berfirman, “Dia ialah Yang mengutus Utusan-Nya dengan petunjuk dan agama yang benar agar Ia memenangkan itu di atas semua agama. Dan Allah sudah cukup sebagai saksi.” (QS 48:28)

Ayat di atas mengisyaratkan mengenai perkara kemenangan Islam di atas semua agama. Mengomentari ayat ini,  Ibnu Jarir menulis, “Agama yang benar, yang Allah turunkan kepada Utusan-Nya itu, akan mendapat kemenangan dari segala agama, dan kemenangan ini akan terjadi (kembali) dengan turunnya Isa bin Maryam” (Tafsir Ath-Thabari, jilid 28, hlm. 54).

Kelanjutan ayat di atas (QS 48:29) memberikan tiga macam ilustrasi mengenai karakteristik umat Islam, yang berhasil memenangkan Islam di atas semua agama itu.

Ilustrasi yang pertama menggambarkan karakteristik umat Islam sebagaimana termaktub dalam Taurat, “Muhammad adalah utusan Allah. Dan orang-orang yang menyertainya berhati teguh melawan kaum kafir dan bercinta kasih di antara mereka. Engkau melihat mereka ber-ruku’, bersujud, memohon anugerah dan perkenan Allah. Tanda-tanda mereka tampak di wajah mereka karena  bekas-bekas sujud. Itulah gambaran mereka dalam Taurat.” (QS 48:29).

Ilustrasi yang kedua menggambarkan karakteristik umat Islam sebagaimana termaktub dalam Injil, “Dan gambaran mereka dalam Injil, bagaikan benih yang mengeluarkan  tunasnya, lalu menguatkan itu, maka jadilah  itu kuat dan berdiri dengan teguh di atas batangnya, yang menyenangkan bagi para petani, agar Ia membuat marahnya kaum kafir karena itu. Allah menjanjikan kepada orang-orang yang beriman dan berbuat kebaikan di antara mereka, pengampunan dan ganjaran yang besar.” (48:29).

Ilustrasi yang ketiga menggambarkan karakteristik umat Islam yang termaktub sekaligus dalam Taurat dan Injil, “Muhammad adalah Utusan Allah, dan orang-orang yang menyertai  dia adalah  berhati teguh melawan kaum kafir, bercinta-kasih antara mereka. Engkau melihat mereka ber-ruku’, bersujud, memohon  anugerah dan perkenan Allah. Tanda-tanda  mereka tampak pada wajah mereka  bekas-bekas  sujud. Itulah  gambaran  mereka dalam Taurat, dan gambaran mereka dalam Injil.” (48:29).

Ilustrasi ketiga di ayat 48:29 terbaca seperti yang terakhir di atas, karena terdapat waqaf mu’anaqah (berupa tanda titik tiga) pada kalimat “wa matsaluhum fil injil” (dan gambaran  mereka dalam Injil), baik sebelum maupun sesudahnya. Karenanya, ketika membaca ayat itu, kita bisa berhenti pada salah satu dari waqaf itu.

Jika berhenti pada waqaf yang pertama, ayat ini menyajikan dua lukisan, yakni lukisan umat Islam dalam Taurat (lukisan yang pertama) dan lukisan dalam Injil (lukisan yang kedua). Tetapi jika berhenti pada wakaf kedua, ayat ini menyajikan lukisan umat Islam, baik dalam Taurat maupun Injil (lukisan yang ketiga).

Penggenapan Nubuat di Zaman Permulaan Islam

Ilustrasi yang pertama dari ayat di atas diperagakan oleh Rasulullah saw. dan para sahabatnya pada periode dakwah di Madinah, sebagai penjabaran nama “Muhammad,” yang mengandung sifat jalali. Nama “Muhammad” bermakna “orang yang terpuji.” Nama ini mengandung sifat jalali, yakni sifat kebesaran, kemenangan dan kemuliaan.

Sejarah mencatat, pada periode Madinah, Rasulullah saw. dan para sahabat menampilkan sifat keberanian menghadapi musuh, kemenangan dalam pertempuran, kesabaran menghadapi bahaya besar yang mengancam, pengampunan terhadap musuh yang telah  takluk, kesuksesan  dalam berdiplomasi, penegakan hukum, dsb. Maka dari itu, di dalam segala aspek yang sering digunakan untuk memburuk-burukkan Rasulullah saw., sejatinya tersimpan kebesaran dan kemuliaannya.

Oleh karena itu, Rasulullah saw. menjadi uswatun hasanah bagi para panglima dan prajurit, hakim dan jaksa, pedagang dan pengusaha, dsb., karena beliau telah memperagakannya, sebagaimana dilukiskan dalam Taurat Musa (Kita bisa baca misalnya dalam Kitab UIangan 18:18-22; 20:10-20; 33:1-3; 34:10-12; dll.)

Ilustrasi yang kedua di dalam ayat di atas diperagakan oleh Rasulullah saw. dan para  sahabatnya pada periode dakwah di Mekah, sebagai penjabaran nama “Ahmad,” yang mengandung sifat jamali. Nama Ahmad, yang dikemukakan oleh Isa Almasih dalam QS 61:6, bermakna “orang yang memuji,” mengandung sifat jamali, yakni sifat keindahan, keelokan, dan kehalusan budi. Sebab, seseorang yang memuji pihak lain, tentu harus dengan menggunakan  tutur kata  yang lemah lembut, sikap yang sopan dan halus.

Sejarah  mencatat pada periode Mekah, Rasulullah saw. dan para sahabat menyebarluaskan ajaran Islam dengan keindahan, keelokan dan kehalusan budi pekerti. Empat hal yang mereka junjung tinggi adalah: (1) kekuatan ilmu, (2) kekuatan  bayyinah (tanda bukti, burhan atau argumen), (3) kekuatan taqwa (berbakti dan keteguhan iman, dan (4) kekuatan rohani (percaya akan pertolongan Allah SWT).

Kita bisa membaca dalam Injil, misalnya di Kitab Matius 13:1-23, gambaran kehidupan Nabi Suci dan Para Sahabat yang dilukiskan sebagai penabur benih. Sebagian benih  yang ditaburnya itu jatuh di pinggir jalan, lalu dimakan burung sampai habis. Sebagian lagi jatuh ke tanah berbatu-batu, yang tidak lama tumbuh, tetapi juga segera mati karena  tanahnya sedikit. Sebagian lagi jatuh ke semak duri, dan semak itu semakin besar  hingga mematikan benih yang telah tumbuh. Dan sebagian benih lagi jatuh ke tanah subur, sehingga itu bertumbuh subur dan berbuah seratus kali lipat, enam puluh kali lipat, dan ada yang tiga puluh kali lipat.

Yang dimaksud  ”benih” dalam ayat nubuat di Kitab Matius itu adalah “Firman Allah tentang Kerajaan Sorga”, yang menyiratkan “Risalah Islam.” Gambaran “benih yang tertabur di pinggir jalan dan habis dimakan burung” adalah lukisan golongan umat Rasulullah saw. yang menolak atau mengafiri dakwah Rasulullah saw. Gambaran “benih yang tertabur di tanah bebatuan” adalah umat Rasulullah yang menerima dakwah beliau, tetapi iman mereka tak mengakar, sehingga imannya cepat mati.

Gambaran “benih yang tertabur di semak duri” adalah umat Rasulullah yang menerima dakwah Rasulullah saw., tetapi karena mereka terbelenggu oleh tipu daya  dunia, sehingga pada akhirnya imannya kalah dan mati. Gambaran “benih yang ditabur di tanah yang subur” adalah umat Rasulullah saw. menerima dakwah beliau dengan sepenuh hati, sehingga membuahkan iman yang bertumbuhkembang dan menghasilkan buah berlipat-lipat.

Golongan terakhir ini, dilukiskan dalam Injil, yang juga diabadikan  dalam Quran Surat 48:29, adalah golongan yang menyenangkan  para petani, tetapi membuat marah dan jengkel mereka yang menolak kebenaran, atau kaum kafir.

Puncak kemarahan kaum kafir Quraisy, yang menolak dakwah Rasulullah saw., terjadi pada tahun 622 Masehi, tatkala mereka bersepakat untuk menghabisi Nabi Suci dan gerakan dakwahnya (QS 8:30). Karena itulah, Nabi Suci terpaksa hijrah ke Madinah. Tetapi meski sudah berada di Madinah, Rasulullah saw. tetap dikejar dan hendak dimusnahkan, di bawah ancaman pedang. Tetapi pada akhirnya, kemenangan demi kemenanganlah yang beliau peroleh, sebagaimana dilukiskan dalam Taurat Musa.

Penggenapan Nubuat di Zaman akhir

Ilustrasi ketiga dari gambaran umat Rasulullah saw. menurut gambaran Taurat dan Injil, diperagakan pada zaman akhir sebagai penjabaran dari nama lain Rasulullah saw., yakni “Ahmad.”

Kata Ahmad, secara linguistik mengandung dua arti. Pertama, jika kata itu berlaku sebagai kata sifat, maka mengandung arti “yang terpuji.” Dalam arti ini, kata Ahmad identik dengan nama diri Rasulullah saw. yang utama, yakni Muhammad. Nama yang diilhamkan kepada Abdul Muthalib, kakek Rasulullah saw.

Kedua, jika kata Ahmad berlaku sebagai kata kerja, maka mengandung arti “aku memuji,” identik dengan nama lain dari Rasulullah saw., yakni Ahmad itu sendiri. Nama ini diilhamkan Allah kepada Siti Aminah, ibunda beliau. Nama ini juga menjadi pemenuhan dari nubuat Isa Almasih (Lihat QS 61:6).

Jadi, dalam nama Ahmad, terkandung dua sifat, yaitu sifat jalali dan sifat jamali, yang gambarannya telah dilukiskan di dalam Injil seperti di atas.

Ilustrasi ketiga dalam ayat nubuat di atas, terpenuhi dengan hadirnya Gerakan Ahmadiyah, yang didirikan oleh Hazrat Mirza Ghulam Ahmad (1835-1908). Gerakan ini didirikan atas dasar ilham yang diterima oleh HMGA pada 1 Desember 1888, yang berbunyi, “fasna’il-fulka bi a’yuunina wawahyina (bangunlah ’kapal’ di hadapan Kami dengan ilham  Kami).”

Tak lama sesudah menerima ilham itu, HMGA membai’at sebanyak 40 orang, pada 23 Maret 1889 di Kota Ludhiana. Hingga akhirnya, pada 4 November 1900, dideklarasikanlah nama gerakannya sebagai Gerakan Ahmadiyah. Nama gerakan ini merujuk pada kata Ahmad, nama Nabi Suci Muhammad saw. yang termaktub dalam Qur’an Suci dan Hadits Nabi, yang uraiannya seperti di atas itu.

Sifat jalali umat Rasulullah saw. yang digambarkan pada ayat-ayat di atas adalah berkenaan dengan akidah dan ibadah (hablum minallah), yang bersifat personal individual, tak dapat dicampuri oleh siapa pun. Implementasinya adalah “berhati teguh terhadap kaum kafir” (asyiddaa’u ’alal-kuffar). Dalam konteks ini, tak ada toleransi dan kompromi. Yang berlaku adalah lakum dinukum waliyadin, bagi kamu agama kamu dan bagiku  agamaku (QS 109:6).

Sementara itu, sifat jamali umat Rasulullah saw. berkenaan dengan akhlak dan mu’amalah (hablum minannas), yang implementasinya adalah “berkasih sayang  terhadap sesama mereka” (ruhama’u bainahum). Sifat kasih sayang, lemah lembut dan tulus ikhlas ini ditampilkan dalam hubungan antar sesama umat manusia.

Kedua sifat itu diperagakan oleh Hazrat Mirza Ghulam Ahmad. Ini tercermin dalam tulisan beliau sebagai berikut: “Aku menyatakan  kepada semua orang Islam, Kristen, Hindu dan Arya, bahwa aku tidak punya seorang musuh pun di dunia ini. Aku mencintai seluruh umat manusia laksana seorang ibu pengasih terhadap anak-anaknya, bahkan lebih daripada itu. Aku hanya jadi musuh bagi kepercayaan-kepercayaan bathil yang merusak dan melemahkan kebenaran. Cinta terhadap sesama manusia adalah kewajibanku. Dan berlepas diri dari kebohongan, syirik, aniaya, dan berlepas diri dari segala perbuatan yang jelek dan akhlak yang buruk, adalah pendirianku” (Kitab Arba’in).

Dengan demikian, HMGA secara kalam ibarat bisa disebut sebagai “Mazhar Muhammad” atau “Muhammad Kedua,” karena adanya kesamaan sifat di antara keduanya. Keduanya juga sama-sama mendapat amanah untuk memenangkan Islam dengan pola yang sama pula, yakni menjabarkan sifat jalali (asyiddaa’u ’alal-kuffaar) berkenaan dengan akidah dan ibadah, dan menjabarkan sifat jamali (ruhamaa’u bainahum) berkenaan dengan akhlak dan mu’amalah.

Di samping itu, keduanya datang dalam situasi dan kondisi yang sama, yang dilukiskan dalam Quran sebagai “merajalelanya kerusakan di daratan dan di lautan” (lihat QS 30:41). Hanya bedanya, pada zaman Rasulullah, kerusakan itu terjadi karena merajalelanya kemusyrikan (QS 30: 40-41). Tetapi pada zaman akhir ini, kerusakan itu terjadi karena merajalelanya doktrin “Tuhan Yang Maha-pemurah memungut putera” (QS 19: 90-93).

Perbedaan lainnya, Rasulullah saw. adalah seorang utusan dari bangsa Arab yang ummi (QS 62:2), sedangkan mazhar-nya adalah seorang utusan dari bangsa yang lain (QS 62:3), yakni bangsa Persia, seperti halnya Salman Al-Farisi. Perbedaan etnis yang seharusnya diarifi ini (lihat QS 49:13), justru menjadi salah satu faktor penting penolakan umat Islam terhadap diri dan ajaran Rasulullah saw. maupun mazhar-nya.

Penggenapan nubuat Qur’an Suci

Kaum Ahmadi adalah pengejawantahan umat Islam yang dilukiskan dalam Taurat dan Injil, yang berperan sebagai penebar rahmatan lil ‘alamin di zaman akhir ini, sebagaimana dilakukan oleh Nabi Suci dan para sahabat di zaman awal Islam. Sebagai pemenuhan doa Isa bin Maryam di dalam Qur’an Suci, “Wahai Allah Tuhan kami, turunkanlah  kepada kami hidangan dari langit, yang ini akan menjadi hari raya bagi kami, baik bagi yang pertama dari kami maupun yang terakhir dari kami, dan (pula) menjadi tanda bukti dari Engkau” (QS 5:114).

Yang dimaksud “hidangan dari langit adalah  Qur’an Suci. Sedangkan yang dimaksud “hari raya atau kegembuiraan yang berulang” adalah  kejayaan umat Kristen di dunia ini. Jadi ayat suci tersebut menubuatkan Kejayaan Kristen yang berulang dua kali, yang diikuti dengan kesadaran mereka menjadi muslim.

Sejarah  mencatat, kejayaan Kaum Kristen yang pertama terjadi pada abad 4 hingga 7 Masehi. Ditengarai dengan dijadikannya agama Kristen sebagai agama negara, oleh Kaisar Theodosius yang Agung (380 M), yang dengannya Kristen berkembang pesat menjadi agama dunia. Perkembangan Kristen ke dunia timur terhenti karena lahirnya Islam, tetapi ia berkembang terus ke Barat.

Seiring dengan itu, mulai abad ke-7 negara-negara Timur yang semula beragama Kristen beralih menjadi pemeluk Islam. Berkat Qur’an Suci mereka menikmati “hidangan dari langit” (QS 5:114), “yang menentramkan hati” (QS 5:113). Inilah  hari raya Kristen yang pertama, yang oleh  Isa Almasih atau Yesus Kristus dilukiskan sebagai “Tegaknya Kerajaan Seribu Tahun,” karena iblis dan setan dihukum (Wahyu 20:1-6).

Tetapi setelah seribu tahun, iblis dilepas dan berhasil menyesatkan Yakjuj wa Makjuj (Gog dan Magog) (lihat Wahyu 20:7-10). Terlepasnya iblis ini ditengarai dengan merajalelanya Gog dan Magog, yakni bangsa-bangsa Barat, Eropa dan Amerika ke berbagai penjuru dunia, sejak abad 17 Masehi.

Sejarah mencatat, setelah ditemukannya Benua Amerika oleh Christofer Columbus pada akhir abad ke-15 memasuki abad ke-16, imperialisme dan kolonialisme Barat yang disertai dengan Kristenisasi, merajalela di Benua Asia dan Afrika, yang mayoritas penduduknya beragama Islam. Dan pada abad ke-17, mereka mulai menguasai dunia.

Sejarah Gereja menetapkan tahun 1815 hingga 1914 adalah “Abad Agung Penginjilan Dunia” (The Great Century of World Evangelization). Ini adalah hari raya kedua atau yang terakhir bagi umat Kristen. Ini juga berarti umat Kristen akan segera berkesadaran dan menjadi pemeluk Islam, setelah mereka menikmati hidangan dari langit berupa Qur’an Suci.

Perkara ini adalah pemenuhan profetik-eskatologik Rasulullah saw. bahwa di akhir zaman Masih Mau’ud datang untuk “Mematahkan Salib,” diikuti dengan “Terbitnya matahari dari Barat.”

Untuk memenuhi kebutuhan kesadaran Kaum Kristen itu, Hazrat Mirza Ghulam Ahmad dalam fungsinya sebagai Al-Masih Al-Mau’ud, sejak tahun 1901 mencanangkan penyiaran Islam di Barat dan menetapkan Maulana Muhammad Ali sebagai “panglimanya”. Muhammad Ali dipilih menjadi pemimpin Redaksi The Review of Religion, yang diikuti dengan penerbitan buku-buku dan tafsir Qur’an Suci dalam berbagai bahasa dunia.[]

Penulis : K.H. Simon Ali Yasir | Ketua Umum PB GAI Periode 1995-1999

Yuk Bagikan Artikel Ini!

Comment here

Translate »