Artikel

Nafsu

Rasulullah Muhammad saw. ketika menyambut para sahabat sepulang dari Perang Badar, bersabda, “Selamat datang! Kalian datang dari perjuangan kecil menuju perjuangan besar.”

Para sahabat, dengan penuh keheranan, bertanya, “Ya Rasulallah, gerangan apakah perjuangan yang besar itu?”

Rasulullah menjawab, “Perjuangan melawan nafsumu sendiri!”

Sebagian orang, salah menafsirkan hadits yang diriwayatkan oleh Baihaqi ini. Mereka mengira, nafsu di dalam dirinya, harus dibunuh atau dimusnahkan sama sekali.

Padahal, nafsu adalah karunia Allah yang amat besar bagi manusia, supaya ia bisa melangsungkan kehidupannya di dunia. Tanpa nafsu, hidup manusia di dunia ini tak ada artinya.

Jika nafsu dilenyapkan, niscaya tak ada lagi yang disebut keluarga, bangsa, dan negara. Tak ada pula kegiatan manusia seumumnya seperti pendidikan, kebudayaan, pertanian, peternakan, perdagangan, industri, dan lain sebagainya.

Lantas, apakah nafsu itu sesungguhnya?

Rasulullah saw. bersabda, “Nafsumu adalah apa yang ada di antara dua lambungmu!” (HR Baihaqi). Ini mengisyaratkan dua sarana yang menjadi sumber nafsu dalam diri manusia, yakni perut dan kemaluan.

Binatang juga memiliki nafsu semacam itu. Tetapi untuk memenuhi nafsunya, binatang menggunakan cara-cara yang monoton. Yang itu-itu saja. Sebabnya, ia tak memiliki akal pikiran. Berlainan sekali dengan manusia.

Di zaman batu, manusia memenuhi nafsunya dengan cara yang relatif sederhana. Dengan peralatan yang terbuat dari bebatuan, manusia berburu ke hutan atau ke sungai. Mereka berpakaian seadanya, tidur di atas pohon, atau di dalam gua.

Tapi sebab akal pikirannya, manusia kemudian semakin maju meningkat dalam cara-cara pemenuhan kebutuhan nafsunya.

Lihatlah sekarang. Betapa rumit dan kompleksnya cara-cara manusia memenuhi keinginan nafsunya.

Untuk mengatasi nafsu laparnya, berbagai cara dilakukan, berbagai alat dan sarana digunakan.

Untuk menanam padi, misalnya, berbagai cara dan sarana diselenggarakan. Untuk pengairan sawah, mereka membendung sungai. Untuk membuat bendungannya, mereka membutuhkan bahan bangunan. Tidak cukup batu dan pasir, tapi juga semen.

Semen didatangkan dengan truk atau kereta api. Karenanya, pabrik dan bengkel harus disediakan, jalan perlu dibangun, rel kereta dibentangkan, jembatan digantung di atas sungai-sungai. Demi itu semua, dibutuhkan besi beton, besi isku, paku, dan lain-lain.

Belum lagi tenaga-tenaga ahli, tenaga terdidik, yang artinya dibutuhkan juga pengajaran dan pendidikan. Dibangunlah sekolah, universitas, dan segala sarana dan sistem pendukungnya.

Jadi bayangkan! Demi kebutuhan tanam padi, begitu rumit dan kompleks cara dan sarana pendukungnya. Belum lagi jika padi yang telah dipanen itu mau dijadikan beras. Juga urusan bagaimana beras jadi nasi, dan bagaimana nasi itu sampai ke perut kita. Semua ada rangkaian cara dan sarana lain lagi yang diperlukan.

Sarana prasarana dalam soal urusan pemenuhan sex juga tak kalah kompleksnya. Dari nafsu sex, menjelmalah apa yang kita sebut keluarga. Keluarga membutuhkan rumah, yang ada kamarnya, ruang tamunya, dapurnya, toiletnya, tentu dengan segala perabotan pendukungnya. Semua memiliki riwayatnya sendiri-sendiri yang tak ada habisnya jika dituliskan.

Keluarga-keluarga membentuk lingkungan rukun tangga, rukun warga, dan meluas terus hingga sekup negara. Semakin luas cakupannya, tentu semakin luas juga kompleksitas urusan dan problematikanya.

Jadi, sekali lagi, nafsu itu penting sekali bagi kehidupan manusia. Tanpanya, hidup manusia tak ada artinya. Oleh sebab pentingnya perkara nafsu ini, Allah Ta’ala menaruh perhatian besar terhadapnya.

Segala sesuatu diciptakan oleh Allah untuk kebaikan, bukan sebaliknya. Misalnya anggur, buah yang manis rasanya. Oleh tangan manusia, ia diubah menjadi minuman yang memabukkan.

Tangan, ciptaan Allah yang seharusnya digunakan untuk kebaikan, oleh manusia dipakai untuk mencuri, mencopet, korupsi, membunuh, merampok, dsb.

Itulah sebabnya, mengapa Allah berfirman, “Kebaikan apa saja yang engkau peroleh adalah dari Allah; dan keburukan apa saja yang menimpa engkau, itu adalah buah tanganmu sendiri” (QS 4:79)

Demikian pula halnya dengan ciptaan Allah berupa nafsu. Sesungguhnya ia diciptakan untuk kebaikan manusia. Tetapi manusia menyalahgunakannya untuk keburukan. Nafsu dapat mendatangkan kebaikan dan keburukan, tergantung dari manusianya.

Pemenuhan nafsu seks, misalnya. Jika pemenuhannya diatur melalui jalan perkawinan, niscaya ia akan mendatangkan kebaikan kepada manusia. Tetapi tanpa perkawinan, maka nafsu ini akan mendatangkan malapetaka. Sebab, tanpa perkawinan, nafsu seks hanya akan menjadikan manusia sewenang-wenang, zalim, pengecut, tak bertanggung jawab, dan berakibat lahirnya anak keturunan yang tak beradab.

Bayangkan, jika Allah tak menurunkan undang-undang perkawinan. Manusia pasti tak ada bedanya dengan binatang, yang menggauli lawan jenis tanpa peduli apakah dia istrinya sendiri, istri tetangga, atau bahkan ibunya, kakak atau adiknya, ataukah anaknya.

Tanpa perkara perkawinan, tak mungkin diharapkan ada keluarga yang baik, tak ada hubungan masyarakat yang harmonis. Sebaliknya, kekacauan dan kesengsaraan yang akan datang bertubi-tubi.

Demikian pula jika untuk memenuhi nafsu lapar dan dahaga tidak ada aturannya, niscaya masyarakat akan mengalami hidup neraka, sebab selalu terancam oleh ketakutan, penganiayaan, penindasan, penghisapan, pembunuhan, penculikan, penganiayaan, dll.

Jadi, nafsu itu dapat berakibat baik atau buruk bagi manusia, bergantung pada siapa nafsu itu diperhambakan. Jika nafsu itu diperhambakan kepada setan, niscaya ia akan mendatangkan malapetaka. Tetapi jika nafsu itu diperhambakan kepada Tuhan, pasti akan mendatangkan kebaikan.

Jika nafsu tak diperhambakan kepada Allah, niscaya ia akan mudah dipermainkan oleh setan. Setan selalu mengajak kepada keburukan. Dalam Qur’an dinyatakan, “Apakah engkau melihat orang yang mengambil keinginan rendahnya sebagai Tuhan?” (QS 46:23).

Nafsu yang tak diperhambakan kepada Allah, pasti akan mengikuti keinginan rendahnya, bahkan tunduk kepadanya. Dalam Qur’an, keinginan rendah itu disebut dengan istilah hawa. Bentuknya adalah amoral, asusila, sifat rakus, egois, smobong, kikir, pamer, khianat, tak setia kepada amanat, kikir, tak adil, dendam, suka memfitnah, dlsb.

Nafsu semacam itu disebut hawa nafsu atau nafsu ammarah. Manusia yang berada di level ini, tak mengindahkan sama sekali nilai hidup yang luhur. Ia mengalir begitu saja mengikuti hawa nafsu rendahnya.

Sudah barang tentu, suatu masyarakat atau negara yang terdiri dari orang-orang semacam itu, pasti akan kacau balau.

Maka dari itu, untuk membangun masyarakat yang tertib dan damai, bebas dari penghisapan, penindasan dan kesewenang-wenangan, manusia harus membebaskan nafsunya dari keinginan rendahnya, dan memperhambakannya kepada Allah.

Allah Ta’ala berfirman, “Adapun orang yang takut di hadapan Tuhannya, dan menahan nafsu dari keinginan rendah (hawa), niscaya ia berdiam di Sorga” (QS 79:40-41).

Dari itu, terang sekali bahwa untuk mencapai kehidupan sorgawi, baik di dunia maupun di akhirat, manusia harus menahan nafsunya dari keinginan rendah, dan memperhambakannya kepada Allah. Dalam arti, ia harus menundukkan nafsunya di bawah undang-undang Allah.

Dalam Kitab Falsafah Islamiyah, Mujaddid menyatakan bahwa ajaran Quran Suci itu besar sekali khasiatnya dalam memerdekakan nafsu dari cengkeraman keinginan rendah atau hawa.

Ini telah terbukti pada zaman Islam permulaan. Di zaman jahiliah, Bangsa Arab dikenal sebagai hambanya hawa nafsu. Tetapi dalam waktu yang relatif singkat, disulap oleh ajaran Quran Suci menjadi bangsa yang berbudi luhur dan berakhlak mulia. Sehingga, para ahli sejarah amat kagum atas perubahan drastis ini.

Mula pertama Bangsa Arab diperkenalkan dengan kalimah thayyibah, bahwa sesungguhnya tak ada tuhan selain Allah. Kalimat ini menggetar dalam batin orang-orang terdekat Nabi Suci, terutama kaum yang tertindas, kaum miskin dan budak belian. Sebab, orang semacam ini, amat menginginkan pembebasan, sehingga mudah sekali digerakkan hatinya ke arah nilai-nilai hidup yang luhur.

Setelahnya, mereka diajarkan ilmu adab atau tata susila. Maka mereka mengubah dirinya dari manusia biadab menjadi manusia beradab, dan meningkat lagi menjadi manusia berakhlak mulia dan berbudi pekerti luhur. Dan mereka naik level ke tingkat nafsu lawwamah.

Lawwamah artinya mencela diri sendiri. Apabila ia berbuat dosa, atau berbuat salah terhadap orang lain, hatinya merasakan penyesalan. Karena menyesal, ia lantas memperbaiki diri, adan berbuat lebih baik lagi.

Lama kelamaan, iman mereka semakin bertambah kuat. Hubungan mereka dengan Allah semakin erat. Amal mereka terhadap sesama manusia semakin baik. Kini mereka menjadi manusia suci. Hati mereka menjadi tempat persemayaman Allah, dan tak bisa hidup sekejap pun tanpa Allah.

Dalam tingkatan semacam itu, manusia telah mengalami kehidupan sorga, meski pun jasadnya berada di dunia. Nafsu mereka telah membubung tinggi dalam perhambaannya kepada Allah. Dalam tingkatan ini, nafsu manusia naik level ke tingkat nafsu muthmainnah, yang tentram damai bersama Allah.

Jadi, nafsu itu sekali lagi penting bagi kehidupan manusia, asal diperhambakan kepada Allah. Nafsu yang diperhambakan kepada Allah, meskipun sehari-hari tetap disibukkan dalam pemenuhan kebutuhan perut dan kemaluan, tetapi tak sampai menjadi budaknya. Ia tetap menyelenggarakan pemenuhan nafsunya dalam rangka pengabdian kepada Allah dan berbuat baik kepada sesama manusia.[]

Oleh: H.M. Bachroen | Sumber: Warta Keluarga GAI No. 31 | 1 Juli 1973 | Ditulis ulang dengan beberapa penyesuaian oleh Asgor Ali, April 2021

Yuk Bagikan Artikel Ini!
Translate »