ArtikelTabayyun

Muhammad Nabi Terakhir Sebagai Asas Pokok Keyakinan di Dalam Islam

Dalam Qanun Asasi Gerakan Ahmadiyah Indonesia (GAI) Pasal 4 butir ke 2 dinyatakan bahwa Gerakan Ahmadiyah meyakini Nabi Muhammad saw. sebagai nabi yang terakhir. Sesudah beliau tidak akan datang nabi lagi, baik nabi lama ataupun nabi baru.

Masalah pokok yang pertama-tama perlu diterangkan dari pernyataan di pasal itu adalah: Benarkah kenabian itu disudahi oleh Nabi Muhammad saw. ataukah tidak?”

Jika Nabi Muhammad s.a.w itu Nabi terakhir, sudah barang tentu tak ada dan tak akan ada Nabi lagi sesudah beliau. Tetapi jika seandainya kenabian itu akan selalu ada, seperti halnya pada zaman sebelum Rasulullah saw., niscaya kaum Muslimin selama lebih dari 1.300 tahun sampai sekarang ini berada dalam iman yang salah.

Oleh sebab itu perkara ini adalah persoalan yang amat penting, yang perlu mendapat perhatian serius dari segenap kaum Muslimin.

Persoalan keberakhiran kenabian (khatamun-nabiyyin) adalah perkara POKOK di dalam Islam. Sedangkan persoalan “adakah Al-Masih Al-Mau’ud (Mesias Yang Dijanjikan) itu seorang nabi atau bukan” adalah persoalan turunan saja dari perkara yang pokok itu.

Jika kenabian itu diyakini sebagai disudahi oleh Nabi Muhammad saw., seperti kepercayaan kaum Muslimin pada umumnya, maka Al-Masih Al-Mau’ud itu tentu bukan Nabi.

Jika tidak, maka yang menjadi nabi terakhir itu bukanlah Nabi Muhammad saw., melainkan Al-Masih Al-Mau’ud itu. Atau jika pintu kenabian terus terbuka, tentu bukan Al-Masih Al-Mau’ud saja yang menjadi nabi, melainkan tentu beribu-ribu nabi yang akan datang.

Akibat dari keyakinan ini, tentu dunia Islam yang satu ini akan terpecah belah menjadi beribu-ribu golongan, masing-masing dengan nabinya sendiri sebagai pemimpin, dan akhirnya Nabi Muhammad saw. akan terdesak mundur dari posisinya.

Ada segolongan orang yang mempunyai kepercayaan demikian:

“Nabi Muhammad itu sekali-kali bukan nabi terakhir. Pintu kenabian tidak tertutup olehnya, melainkan akan terbuka selama-lamanya. Barang siapa berkata bahwa Nabi Muhammad saw. adalah nabi terakhir, dia menganggap bahwa Nabi Muhammad itu bukan rahmat, melainkan laknat bagi manusia. Sebab, beliau menutup rahmat Allah yang sebesar-besarnya, yakni kenabian itu sendiri. Orang yang mempunyai kepercayaan sedemikian itu dilaknat dan ditolak oleh Allah,”   

Kami dari golongan Gerakan Ahmadiyah Indonesia, sama sekali bebas dari kepercayaan atau keyakinan semacam di atas itu. Oleh sebab itu, persoalan “Khatamun-Nabiyyin” ini kiranya perlu kami terang-jelaskan.

Al-Qur’an menyatakan bahwa sebelum Nabi Muhammad saw., Allah telah mengutus para nabi yang bertugas memimpin masing-masing bangsanya. Tidak seorang nabi pun yang diutus sebelum Rasulullah saw. untuk memperbaiki seluruh umat manusia.

Dahulu, kemanusiaan yang belum dewasa itu perlu mendapat pimpinan perkara yang khusus, yang tidak sekali-kali diperuntukkan menjadi petunjuk bagi seluruh manusia untuk selama-lamanya. Kitab suci para nabi itu pun ada rusaknya, entah banyak atau sedikit.

Akan tetapi dengan datangnya Rasulullah Muhammad saw. terjadilah perubahan besar dalam tugas kenabian. Zaman Kenabian nasional sudah terlampaui, diganti dengan kenabian yang bertaraf internasional, yang diutus ke seluruh dunia, untuk segala bangsa dan segala abad.

Nabi Muhammad saw. adalah satu-satunya nabi untuk dunia, dan beliau adalah SANG Khatamun-Nabiyyin. Adapun tugasnya adalah untuk MEMPERSATUKAN SELURUH UMAT MANUSIA.

Kedengkian dan penindasan antar bangsa dilenyapkan, sendi dasar persaudaraan antar umat diletakkan. Risalahnya menyeluruh dan mencakup keperluan segala bangsa dan segala zaman, sehingga tidak diperlukan lagi adanya risalah baru. Dengan demikian, tidak diperlukan datangnya Nabi lagi.

Kitab suci yang sudah-sudah telah mengalami kerusakan. Oleh sebab itu diturunkan pula kitab suci baru yang sempurna dan tidak akan mengalami kerusakan. Kitab suci yang sudah-sudah tak ada satupun yang mendawahkan diri sebagai petunjuk bagi seluruh umat manusia.

Demikian pula tak ada satupun yang mendakwahkan dirinya SEMPURNA dan mencukupi keperluan segala bangsa dan segala zaman. Hanya Al-Qur’an sajalah yang mendakwahkan demikian.

“Katakanlah: Wahai manusia, sesungguhnya aku ini utusan Allah kepada kamu sekalian” (QS 7:158).

“Pada hari ini Aku sempurnakan bagimu agamamu, dan Aku lengkapkan kepadamu nikmat-Ku, dan Aku pilihkan bagimu Islam sebagai agama” (QS 5:3).

Enam ratus tahun sebelum Nabi Muhammad saw., Nabi Isa a.s. sebagai nabi nasional yang terakhir, menyatakan dengan kata-kata yang terang bahwa beliau tidak dapat memimpin dunia kepada Kebenaran yang sempurna, karena dunia di saat itu, tidak dalam kondisi yang tepat untuk menerima Kebenaran yang sempurna. Dalam Kitab Bebel bisa kita baca demikian:

“Masih banyak hal yang harus Kukatakan kepadamu, tetapi sekarang kamu belum dapat menanggungnya. Tetapi apabila Ia datang, yaitu Roh Kebenaran, Ia akan memimpin kamu ke dalam seluruh kebenaran.” (Yohanes 16:12-13)

Jadi jelas, bahwa Kebenaran itu sudah diturunkan kepada segala bangsa melalui Nabinya, akan tetapi itu hanya sebagian saja. Kebenaran yang sempurna hanya diberikan kepada Nabi Muhammad saw. sebagaimana diterangkan dalam QS 5:3 di atas.

Sekarang jika agama itu sudah sempurna dalam Islam, dan Kenabian telah sempurna dalam diri Nabi Muhammad saw., maka tentu tidak diperlukan lagi turunnya agama, kitab suci dan Nabi lain.

Dan oleh sebab itulah mengapa Nabi Muhammad saw. diberi gelar “Khaataman-Nabiyyiin.” Sebagaimana bisa kita baca dalam Qur’an Suci: “Muhammad bukanlah ayah salah satu dari orang-orang kamu, akan tetapi ia adalah Utusan Allah dan penutup para nabi” (QS 33:40).

Untuk menjelaskan arti “Khatam”, di bawah ini kami  kutipkan keterangan di dalam tafsir Maulana Muhammad Ali sebagai berikut: 

“Nabi Suci adalah Nabi terakhir, dan ini dibuktikan oleh sejarah bahwa sesudah beliau tak ada Nabi lagi di dunia ini. Kata khatam artinya cap atau bagian terakhir dari suatu barang;  yang tersebut belakangan ini adalah makna asli dari kata khatim. Khatamul-qaumi artinya kaum terakhir atau akhirul-qaumi (T, LL).

Namun demikian Al-Qur’an menggunakan kata khatam bukan khatim, karena kata cap itu mempunyai arti yang lebih dalam daripada kata penghabisan. Kata cap itu sebenarnya, mengandung arti gabungan antara penghabisan dan kesempurnaan kenabian.

Rasulullah saw. adalah capnya sekalian nabi, karena pada beliaulah tujuan kenabian, yakni perwujudan kehendak Ilahi yang dituangkan dalam bentuk undang-undang untuk memimpin umat manusia, dilaksanakan dalam turunnya undang-undang yang sama sekali sempurna, yakni Al-Qur’an.

Rasulullah saw. juga disebut sebagai capnya sekalian Nabi, karena kenikmatan yang dianugerahkan kepada para nabi sebelum beliau itu juga akan dianugerahkan pula kepada pengikut-pengikut beliau.

Tugas seorang Nabi untuk memimpin manusia, baik dengan memberikan undang-undang kepada mereka, atau menyempurnakan undang-undang yang sudah ada, atau memberikan aturan-aturan baru yang cocok dengan tuntutan zaman.

Oleh karena keadaan masyarakat di zaman dahulu belum mengizinkan diturunkannya undang-undang yang sempurna, yang sesuai untuk memenuhi tuntutan berbagai ragam tempat dan golongan, maka para Nabi selalu dibangkitkan.

Akan tetapi tidak berarti bahwa kenikmatan Allah yang diberikan kepada hamba-hamba-Nya yang terpilih itu tidak diberikan kepada hamba-hamba yang terpilih di antara kaum Muslimin.

Memang manusia tidak memerlukan lagi undang-undang baru, karena manusia sudah mempunyai undang-undang yang sempurna. Akan tetapi manusia masih membutuhkan diberi kenikmatan Allah.

Adapun kenikmatan Allah yang paling tinggi ialah Wahyu. Dan hal ini benar-benar diakui oleh Islam, bahwa Allah sekarang pun berbicara kepada hamba-hamba-Nya yang terpilih, sebagaimana Dia dahulu juga berbicara.

Dalam sebuah hadits sahih, Nabi Suci bersabda:  ”Di antara umatku, yakni kaum Muslimin, ada orang yang Allah berbicara kepadanya, sekalipun ia bukan nabi” (HR Bukhari 62:6). Di lain hadits diterangkan bahwa orang semacam itu, diberi julukan muhaddats (HR Bukhari 62:6).

Hal ini dikuatkan oleh hadits lain yang berbunyi: “Kenabian sudah tidak ada lagi, kecuali mubasysyarat. Dan apakah mubasysyarat itu? Nabi Suci bersabda: “Impian yang baik”(HR Bukhari 91:5). Di lain hadits Nabi Suci bersabda: “Impian orang mu’min itu derajatnya sama dengan seperempat puluh enam dari Kenabian” (HR Bukhari 91:4).

Kenabian sudah tidak ada lagi, akan tetapi sebagian dari nikmat kenabian masih ada, dan akan tetap untuk selama-lamanya, dan akan diberikan kepada para pengikut Nabi suci yang terpilih.”

Dinukil dan diselia dari “Qanun Asasi Gerakan Ahmadiyah Indonesia,” hlm. 23-32.

Yuk Bagikan Artikel Ini!

Comment here